RESUME AR-RAHN (BARANG JAMINAN) 1. Pengertian
Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan.
Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan, dan rungguhan.
Dalam Islam ar-rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.
Ulama fikih Malikiyah
مازل نيد يف هب اقثوت هكلام نم ذخؤي لومتم ءيش
“Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan (agunan), maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan :
َكْْْلِت ْنِم اَه ُْْضْعَب ْوَأ اَْْهّلُك ِنيّدْْلا ُذَْْخَأ ُنِكْمُي ُثْيَحب ِنْيَدِْْب ٌةَقْبَتَو ِعْرّشلا ِرظَن يِف ٌةَيِلاَم ٌةَميِق اَهَل ِنْيَع َلَعَج
ِنْيَعْلا
“Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya”.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn dengan.
ِهِتاَفَو ُرّدَعَت َدْنِع اَهْنِم يِف ْوَتْسَي ِنْيَدِب ًةَقيِثَو ٍنْيَع ُلَعَج
“Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.”
2. Dasar Hukum ar-Rahn
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul.
Dalam surat al-Baqarah, 2: 283 Allah berfirman:
ٌةَضْوُبْقَم ٌناَهِرَف اًبِتاَك اوُدِجَت ْمَلَو ٍرَفَس ىَلَع ْمُتنُك نِإَو
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dalam keadaan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maks hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (pemberi hutang)……
(HR al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah)
يراْْخبلا هاور ) ٍدْْيِدَح ْنِم اًْْع ْرِد ُهْْنهر اْْماعط ىِدوُْْهَي ْنِم ىرتشا ملسو هيلع ا ىلص ا لوسر نأ ملسمو )
“Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan”
(H.R Imam asy-Syafi'i dan ad-Daruquthni)
Dalam riwayat Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasul saw bersabda
ينطقرادلاو يعفاشلا هاور .همرغِهْيَلَعَو ُهُمْنَع ُهَل ُهَنِهَر يِذّلا ِهِبِحاَص ْنِم َنْهّرلا ُمَلْعَي ل )
“Pemilik harta yang diagunkan jangan dilarang memanfaatkan hartanya itu, karena segala hasil barang itu menjadi milik (pemilik)-nya dan segala kerugian barang ini menjadi tanggung jawab (pemilik)-nya.”
Berdasarkan ayat dan hadis-hadis di atas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
3. Rukun ar-Rahn
Menurut jumhur ulama rukun ar rahn itu ada empat, yaitu shigat (lafal ijab dan qabul), orang yang berakad (ar- rahin dan al-murtahin), harta yang dijadikan agunan (al marhun), dan utang (al-marhun bih)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan oleh pemilik barang) dan qabül (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang agunan itu).
Di samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad ar-rahn ini, maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang.
Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama Hanafiyah termasuk syarat-syarat ar-rahn, bukan rukunnya.
4. Syarat-Syarat ar-Rahn
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat ar-rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat al-rahn meliputi.
a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan, menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad ar-rahn, dengan syarat akad al-rahn yang di lakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan dari walinya.
b. Syarat shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akad- nya sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan.
Ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syariatnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan ar-rahn satu bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-ruhn itu jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya.
c. Syarat al marhun bihi (utang) adalah: (1) Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berutang (2) Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu. (3) Utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para pakar fiqh, adalah: (1) barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. (2) barang jaminan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan, karenanya khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan disebabkan khamar tidak bernilai harta dan tidak bermanfaat dalain Islam, (3) barang jamunan itu jelas dan tertentu, (4) agunan itu milik sah orang yang berutang. (5) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain, (6) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan (7) barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
Ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahnkan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi hutang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang.
Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh pemberi utang.
Syarat yang terakhir adalah qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang). Syarat itu menjadi penting karena Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 283 menyatakan "fa rihanun maqbudhah" (barang Jaminan itu dipegang/dikuasai [secara hukum]). Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.
Apabila hutang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan hutang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Untuk al- qabdh ini, para ulama juga mengemukakan beberapa syarat, yaitu: (a) al-qabdh itu atas seizin orang yang me-rahn-kan (ar-rahin); (b) kedua pihak yang melakukan akad ar-rahn cakap bertindak hukum ketika terjadinya al-qabdh, (c) barang itu tetap di bawah penguasaan pihak yang menerima ar rahn (al-murtahun).
Syarat ketiga ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, sesuai dengan tuntutan surat al-Baqarah, 2: 283 di atas (fa rihanun maghudhah).
5. Memanfaatkan Barang Jaminan [Agunan] (al-Marhun)
HR asy-Syafi'i dan ad-Daruquthni
ينطقرادلاو يعفاشلا هاور .ُهُم ْرُغ ِهْيَلَعَو ُهُمْنُغ ُهَل )
“……pemilik barang jaminan (agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu.
HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan ibn Hibban darı Abu Hurairah
يبأ نع ناْْبح نباو يقهيبلاو مكاحلا هاور .ُهُم ْرُغِهْيَلَعَو ُهُمْنُغ ُهَل ُهَنِهَر يِذّلا ِهِبِحاَص ْنِم َنْهّرلا ُقَلْغَي َل ةريره
“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya.
HR al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).ُبَك ْرَْْي يِذّلا ىَلَعَو اًْْن ْوُه ْرَم َناَْْك اَذِإ ِهِْْتَقْفَنِب ُبَر ْْْشُي ّرّدْْلا ُنَبَلَو اَْْنْوُهْرَم َناَْْك اَذِإ ِهِْْتَقْفَنِب ُبَكْرُْْي ُرْْْهّظلا ةريره يبأ نع دواد وبأو ىذمرتلاو يراخبلا هاور .ةقفنلاُبَرْشَيَو )
“Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barung jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya.
HR Ahmad ibn Hanbal dari Abu Hurairah
اَْْبِر َوُْْهَف ِفْْْلِعْلا ِنَمَث َدْْْعَب ًئْي َْْش ِنَبّللا َنِم َل َْْضْفَتْسا نِإَْْف اَْْهِفْلَع ِرْدَقِب اَهَنَبَل ُنِهَتْرُمْلا َبِرَش َءاَش َنَهَتْرا اَذِإ ةريره يبأ نع نع لبنح نب دمحأ هاور )
“Jika agunan itu seekor kambing, orang yang memegang barang jaminan boleh meminum susunya, sesuai dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan untuk kambing itu. Apabila susu yang diambil melebihi blaya pemeliharaan, maka kelebihannya itu menjadi riba.
Kesimpulan:
Semua ahli fiqh sepakat bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berhutang
Barang jaminan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali karena Tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah saw.
Pihak Pemegang barang jaminan.Jumhur ulama (selain Hanabilah): tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu (sekalipun diijinkan pemiliknya) karena barang itu bukan miliknya secara penuh (barang hanyalah sebagai jaminan piutang) dan apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi hutangnya.
Barang jaminan adalah Binatang ternak. Menurut jumhur ulama (selain Hanabilah) apabila hewan tersebut dibiarkan begitu saja, tanpa diurus pemiliknya maka al murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak. Menurut ulama Hanabilah, pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.
Pemanfaatan barang jaminan oleh ar-rahn.Ulama Hanafiyah dan Hanabillah menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan barang miliknya yang menjadi jaminan tersebut, jika diizinkan al-murtahin, prinsipnya barang jaminan menjadi tanggungjawab orang yang memanfaatkannya. Ulama Syafi’iyah menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan barang miliknya yang menjadi jaminan tersebut, walau tanpa izin al-murtahin, karena barang itu adalah miliknya. Ulama Malikiyah menyatakan pemilik barang tidak boleh memanfaatkan barang miliknya yang menjadi jaminan tersebut, walaupun dengan seizin al murtahin.
Hakikat Ar-Rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.