FILOSOFI PANCASILA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
Universitas Pamulang
ABSTRAK
Filosofi Pancasila memiliki peran yang penting dalam pembentukan peraturan perundang- undangan di Indonesia. Jurnal ini menyelidiki bagaimana nilai-nilai Pancasila tercermin dalam proses pembuatan undang-undang dan kebijakan publik. Melalui pendekatan interdisipliner, jurnal ini menganalisis bagaimana sila-sila Pancasila seperti ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan, dan keadilan sosial dapat membimbing pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijakan yang sesuai dengan semangat dan tujuan negara. Selain itu, jurnal ini juga mengeksplorasi tantangan dan peluang dalam mengimplementasikan filosofi Pancasila dalam konteks perundang-undangan modern.
Dengan demikian, jurnal ini memberikan kontribusi yang berharga dalam memperdalam pemahaman tentang peran Pancasila dalam menciptakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat bagi masyarakat Indonesia.
Kata Kunci: Filosofi Pancasila, pembentukan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai Pancasila, sila-sila Pancasila, ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan, keadilan sosial, tantangan dan peluang implementasi filosofi Pancasila.
ABSTRACT
The Pancasila philosophy has an important role in the formation of laws and regulations in Indonesia. This journal investigates how Pancasila values are reflected in the process of making laws and public policies. Through an interdisciplinary approach, this journal analyzes how Pancasila principles such as belief in one God, just and civilized humanity, Indonesian unity, democracy and social justice can guide lawmakers in establishing policies that are in line with the spirit and goals of the country. Apart from that, this journal also explores the challenges and opportunities in implementing the Pancasila philosophy in the context of modern legislation.
Thus, this journal makes a valuable contribution in deepening understanding of the role of Pancasila in creating laws that are just and dignified for Indonesian society.
Keywords: Pancasila philosophy, formation of laws and regulations, Pancasila values, Pancasila principles, belief in the Almighty God, just and civilized humanity, Indonesian unity, democracy, social justice, challenges and opportunities for implementing the Pancasila philosophy.
PENDAHULUAN
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut bermakna bahwa Negara Indonesia bukan negara yang berdasar atas kekuasaan atau machstaat.
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka wajib dilakukan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia.
Terkait dengan pengertian hukum, memang sulit ditemukan suatu definisi yang sungguh- sungguh dapat memadai kenyataan. Para sarjana hukum memberikan definisi tentang hukum terdapat perbedaan pandangan, dan menurut seleranya masing-masing sesuai dengan objek penelitiannya. Hal ini disebabkan karena masingmasing sarjana hukum terpaku pada pandangannya sendiri.
Menurut Duguit sebagaimana dikutip oleh H. Ishaq bahwa hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama
terhadap orang yang melanggar peraturan itu. Hukum adalah kontrol sosial pemerintah. Dengan kata lain, hukum adalah kehidupan normatif suatu negara dan warganya seperti legislasi, litigasi, dan ajudikasi. Di Indonesia, hukum terbagi 2 (dua) yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis adalah aturan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Sedangkan hukum tidak tertulis adalah norma atau peraturan tidak tertulis yang telah dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum tertulis terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Pasal angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan(selanjunya disebut UU 12 Tahun 2011) menentukan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang- undangan memiliki banyak jenis, Salah satunya yaitu undang-undang. Pasal 1 angka 3 UU 12 Tahun 2011 menentukan bahwa undang-undang adalah peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama presiden. Menurut Pasal 1 angka 1UU No. 12 Tahun 2011menentukan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Keseluruhan tahapan pembentukan peraturan perundang- undang tersebut juga berlaku dalam pembentukan undang-undang.
Pembentukan undang-undang adalah bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat yang terdiri dari atas gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya, sehingga merancang dan membentuk undang-undang yang dapat diterima masyarakat luas merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan undang-undang adalah suatu bentuk komunikasi antara lembaga yang menetapkan yaitu pemegang kekuasaan legislatif dengan rakyat dalam suatu negara.
Pembentukan peraturan perundang- undangan wajib meliputi tahapan yang telah ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang terdiri dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan wajib memiliki konsiderans. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V, konsiderans adalah pertimbangan dasar penetapan keputusan, peraturan, dan sebagainya.
Konsiderans tersebut terbagi 3 (tiga) yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis. Ketiga landasan tersebut juga berlaku dalam pembentukan undang-undang. Setiap undang-undang yang dibentuk pada dasarnya diharapkan menjadi undang-undang yang bersifat demokratis. Demokratis adalah bersifat demokrasi. Dalam KBBI Edisi V, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Demokrasi juga diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan hak dan kewajiban yang sama bagi semua warga negara.
Berdasarkan penelusuran penulis, saat ini masih banyak undang-undang di Indonesia yang belum mengutamakan nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, sehingga menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat, politisi, dan aparat penegak hukum.
Hal ini menunjukkan bahwa undang-
undang tersebut belum sepenuhnya memuat nilai-nilai demokrasi. Tidak jarang pula ditemukan bahwa sebagian ketentuan dalam undang-undang justru mempunyai dampak yang negatif bagi masyarakat umum karena pembuat undang-undang tidak mengetahui arena kepentingan yang akan dipengaruhi oleh undangundang tersebut. Sehingga masyarakat kerap kali menyebutkan suatu adagium yaitu “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas” atau “undang-undang tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, yang artinya bahwa keadilan lebih tajam menghukum masyarakat menengah ke bawah atau hukum lebih bersahabat kepada kalangan atas.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulistertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Urgensi Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis urgensi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan undangundang di Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Filosofis / Dasar Filsafat Negara ?
2. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Sumber Hukum ?
3. Apa pentingnya Filosofi Pancasila dalam pembentukan Peraturan Perundang- Undangan?
PEMBAHASAN
1. Pancasila sebagai Filosofis / Dasar Filsafat Negara
Sebelum membahas tentang Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, seyogyanya diperlukan penjelasan tentang perjalanan sejarah Pancasila. Menurut Asvi Warman Adam mencoba menjelaskan akan perjalanan sejarah Pancasila yang dibagi atas empat gelombang, yaitu:
1. Gelombang pertama adalah saat penciptaan (pada 1 Juni 1945). Pada 1 Juni 1945, Soekarno berpidato di depan siding BPUPKI menjawab pertanyaan ketua siding Radjiman Widyodiningrat tentang dasar negara. Pada rapat 22 Juni 1945 tim Sembilan yang diketuai Soekarno mencantumkan tujuh buahkata
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dalam rancangan pembukaan UUD 1945.
Namun menjelang proklamasi kemerdekaan, Hatta menerima pesan dari masyarakat Indonesia Timur yang menolak bergabung dengan Indonesia bila pernyataan itu dipertahankan. Hatta kemudian merundingkan hal tersebut
dengan tokoh- tokoh Islam, yang akhirnya dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 menghilangkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang menjadi sila pertama dalam Pancasila. Urutan yang disepakati adalah seperti Pancasila yang ada sekarang ini.
2. Gelombang kedua adalah masa perdebatan. Setelah pemilihan umum tahun 1955, terbentuklah Konstituante yang bertugas merancang undang- undang dasar. Ketika itu Pancasila diperdebatkan apakah sebagai dasar negara atau ideologi lain.
3. Gelombang ketiga adalah masa rekayasa.
Pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dijadikan asas tunggal untuk partai dan organisasi masyarakat. Hal ini pada awalnya ditentang oleh organisasi, namun pada akhirnya mereka tidak mempunyai pilihan lain. Sejak 1 Juni 1970, peringatan hari lahirnya Pancasila dilarang Kopkamtib.
4. Gelombang keempat adalah masa penemuan kembali. Pada awal reformasi BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) dibubarkann dan kegiatan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dihapuskan. Meskipun demikian, Pancasila masih tetap diajarkan di sekolah dan sebagian perguruan tinggi.
Hal ini menunjukkan adanya pengurangan pengajaran pada bidang Pancasila. Namun, peringatan hari lahirnya Pancasila kembali diselengarakan. Seiring berjalannya waktu, muncul kembali kerinduan pada ideologi ini. Suasana masyarakat yang dibayangi ancaman perpecahan menyebabkan masyarakat melihat kembali sesuatu yang bisa jadi perekat kesatuan bangsa. Yang tepat untuk itu adalah Pancasila. 1
Sebenarnya, Pancasila itu berasal dari kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di Indonesia sejak zaman dahulu kala yang tercermin di dalam adat istiadat, agama dan kepercayaan serta kebudayaan. Nilai-nilai itu kemudian diambil intinya yang kemudian dirumuskan menjadi lima hal yang merupakan unsur-unsur dari Pancasila.
Dari penjelasan di atas, nilai-nilai Pancasila mengandung unsur etika, dan hal ini sesuai dengan respon Jonar dalam buku
1 Jonar, Bung Karno; Biografi Putra Sang Fajar, hlm. 426-429
Bung Karno: Biografi Putra Sang Fajar,
“Etika Pancasila adalah filsafat moral atau filsafat kesusilaan yang berdasarkan atas kepribadian, ideologi, jiwa, dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Etika Pancasila adalah etika yang berdasarkan atau berpedoman pada norma-norma yang bersumber dari ajaran Pancasila”. 2 Dengan demikian, Pancasila layak sebagai dasar- dasar dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam pembentukan dan membangun sebuah Negara dibutuhkan perumusan dasar-dasar Negara, seperti yang telah disebutkan Soekarno pada salah satu pidatonya di BPUPKI sebagai berikut:
“Paduka Tuan Ketua, setelah saya menguraikan dasar-dasar yang menurut hemat saya hendak dipakai untuk membangun Negara Indonesia, maka saya sekarang hendak menguraikan konsekuensi dari teori Negara tersebut terhadap pada soal-soal:
(1) Perhubungan Negara dan agama.
(2) Cara pembentukan pemerintahan.
(3) Kehidupan Negara dan ekonomi. ”3 Menurut Ir. Soekarno Negara yang berdasarkan persatuan itu akan sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, akan
2 Jonar, Bung Karno; Biografi Putra Sang Fajar, hlm. 439.
3 Lahirnya Pancasila; Kumpulan Pidato BPUPKI, Cetakan Pertama (Jakarta: Media Pressindo, 2017), hlm. 63.
tetapi Negara yang bersifat persatuan itu telah menjadi cita-cita pergerakan politik Indonesia pada zaman dahulu sampai sekarang. 4
Untuk mewujudkan Indonesia merdeka maka harus mempersipkan beberapa hal. Salah satu di antaranya adalah dasar ideologi dari bangsa tersebut. Jika dasarnya belum dibangun, maka bangsa itu terlihat rapuh. Oleh karena itulah, dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar Dasar Negara Indonesia diberi nama Pancasila.
Pada mulanya Rumusan Pancasila yang diusulkan Soekarno, yang disampaikan dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI, dengan urutan sebagai berikut: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan.
Selain itu, pada 22 Juni 1945, sembilan tokoh nasional dan juga tokoh- tokoh Dokuritsu Junbi Choosakai (disebut juga BPUPKI) mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul mengenai asas dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang BPUPKI.
4 Lahirnya Pancasila; Kumpulan Pidato BPUPKI, Cetakan Pertama (Jakarta: Media Pressindo, 2017), hlm. 63.
Kesembilan tokoh mencoba menyusun rumusan dasar dari Pancasila yang dikenal dengan nama “Piagam Jakarta”5. Dari sinilah dua pilar negara (Pancasila dan Piagam Jakarta) yang menyebabkan persatuan sampai dengan sekarang dalam bingkai ke-Indonesia-an karena Pancasila merupakan (1) pernyataan kebersamaan atau titik temu di mana Indonesia berdiri atas kepentingan dan ideologi yang sama dari berbagai perbedaan. (2) kesepakatan kuat.
Sebagaimana maksudnya bahwa Indonesia bukanlah Negara agama tetapi berdasarkan agama. Oleh karena itu, setiap butir dalam Pancasila menambah kesejukan dalam kehidupan di tengah keberagamaan yang ada di Indonesia, serta menjujung tinggi nilai- nilai peradaban sebuah bangsa.
Walaupun tanggal 1 Juni bukanlah hari kelahiran Pancasila, tetapi merupakan hari bersejarah, di mana nilai-nilai peradaban pada zaman dahulu kala digali kembali. Hal itulah yang dilakukan oleh Soekarno sebagai penggali akan Pancasila tersebut. 6 Dan mengingat kejadian-kejadian historis tersebut, di antaranya yaitu pada
5 Isi dari “Piagam Jakarta” yaitu: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia.
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6 Jonar T.HLM. Situmorang, Bung Karno;
Biografi Putra Sang Fajar, hlm. 425-432.
tanggal 1 Juni 1945, Soekarno adalah pertama kalinya melahirkan dan mengusulkan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Saat itu, Soekarno menamakan Pancasila dengan dasar-dasar”,
”Philosofische grondslag”7,
“Weltanschauung”8, di atas mana didirikan Negara Indonesia daripada Indonesia Merdeka. 9
Oleh karenanya, layaklah Soekarno menyatakan bahwa buat bangsa Indonesia
7 Philosofische grondslag (bahasa Belanda) adalah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam- dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi, keberadaannya, rumusannya, penyebutannya, fungsi, dan kedudukannya dalam sistem kenegaraan Indonesia tetap sesuai yang diamanahkan founding fathers sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Lihat Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta (Jakarta:
Gramedia, 2003), hlm. 177.
8 Weltanschauung adalah nilai-nilai falsafah yang sudah ada sejak lama tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat Nusantara sebagai sistem kebenaran dan sistem keyakinan yang dipegang dan dianut oleh masyarakatnya yang bertebaran di seluruh bumi Nusantara. Sistem kebenaran dan keyakinan itu telah diperjuangkan oleh masyarakat Nusantara, sehingga telah menyemangati dn memotivasi mereka bertahun-tahun, karena itu harus segera dibulatkan di dalam hati dan pikiran sebagai sebuah Weltanschauung atau pandangan hidup (way of life) yang utuh dan resmi bagi Indonesia merdeka. Lihat Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan Tim Universitas Pattimura Ambon, Prosiding Kongres Pancasila VI:
Penguat, Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Pelembgan dn Pembudyaan Pancasil dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa (Yogyakarta:
Pusat Studi Pancasila, 2014), hlm. 50.
9 Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Cet. 2 (Jakarta: Media Presindo, 2017), hlm.
14
“Weltanschuung” sudah lama harus (di) bulatkan di dalam pikiran sebelum Indonesia Merdeka mendatang. Adapun pendirian dan pandangan hidup itu Soekarno telah menyediakan dan memperjuangkannya sejak 1918. 10 Pernyataan ini didukungkan dengan perkataan Soekarno sebagai berikut:
“Akan hasil atau tidaknja kita mendjalankan kewadjiban jang seberat dan semulia itu, bukanlah kita jang menetukan.
Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaja-upaja, tidak boleh habis-habis ichtiar mendjalankan kewadjiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tahadi itu! Sebab kita jakin, bahwa persatuanlah jang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnja impian kita: Indonesia-Merdeka. Entah bagaimana tertjapainja persatuan itu, entah pula bagaimana rupanja persatuan itu; akan tetapi tetaplah bahwa kapal jang membawa kita ke Indonesia-Merdeka itu, ialah Kapal- Persatuan adanja!”. 11
Kemudian pantaslah Soekarno menyatakankan bahwa Pancasila bukan suatu konsepsi politis, akan tetapi buah hasil perenungan jiwa yang dalam, buah hasil
10 Ir.Soekarno, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, Cet 2. (Yogyakarta: Media Presindo, 2017), hlm. 14-15.
11 Iwan Siswo, Panca Azimat Revolusi;
Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966, Jilid I (Jakarta: Gramedia, 2014), hlm. 4.
penyelidikan cipta yang teratur dan seksama di atas basis pengetahuan dan pengalaman yang luas. Dan Pancasila bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti bahwa Pancasila itu juga merupakan dasar dari pendidikan dan pengajaran serta usaha ilmu pengetahuan. 12
2. Pancasila sebagai Sumber Hukum Menurut Sudikno Mertokusumo sumber hukum pada hakikatnya adalah tempat kita dapat menemukan dan menggali hukumnya. Menurut Zevenbergen, sumber hukum dapat dibagi menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum formil13. Sumber hukum materil merupakan tempat dimana materi hukum tersebut diambil. Sedangkan sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Pancasila sendiri termasuk kedalam sumber hukum materil. Pancasila sebagai sumber hukum materil ditentukan oleh muatan atau bobot materi yang terkandung di dalam Pancasila.
Setidaknya, terdapat tiga kualitas materi Pancasila yaitu14:
12 Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, hlm. 17-18.
13 Fais Yonas Bo’a. (2018). Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional,
Jurnal Konstitusi. Vol. 15, No. 1, hlm. 32.
14 Dani Pinasang. (2012). Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) Dalam Rangka Pembangunan Sistem Hukum Nasional. Jurnal
1. Muatan Pancasila merupakan muatan filosofis bangsa Indonesia;
2. Muatan Pancasila sebagai identitas hukum nasional;
3. Pancasila tidak menentukan perintah, larangan dan sanksi melainkan hanya menentukan asas-asas fundamental bagi pembentukan hukum (meta-juris).
Pancasila ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam pembangunan hukum nasional bangsa Indonesia sendiri dan sampai saat ini masih terus berproses membangun sistem hukum sendiri menggantikan sistem hukum peninggalan penjajahan Belanda. Kehadiran kolonialisme pada dasarnya akan mempengaruhi hukum yang akan dianut oleh negara jajahannya, namun tidak berarti hukum yang ditinggalkan oleh kolonial tersebut akan diberlakukan secara subversif, disinilah kemudian terjadi konfigurasi hukum15. Cita hukum yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah cita hukum Pancasila. Sejalan dengan itu, Bernard L.
Tanya di dalam bukunya mengatakan bahwa misi Pancasila bagi Indonesia adalah mengelola ke Indonesiaan (yang majemuk) agar menjadi sebuah rumah bagi semua
Hukum UNSRAT. Vol. XX, No. 3, hlm.8.
15 Achmad Hariri. (2019). Dekonstruksi Ideologi Pancasila Sebagai Bentuk Sistem Hukum di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3, No. 1, hlm.2.
orang yang turut membangunnya, dan ingin hidup tenteram di dalamnya16.
Terkadang, bahkan ada peristilahan yang menyebutkan sistem hukum Pancasila.
Menurut hemat peneliti, sebenarnya peristilahan sistem hukum Pancasila layak untuk dikembangkan dan lebih disosialiasikan di dunia akademis terkhsus di kalangan mahasiswa fakultas hukum di Indonesia. Berangkat dari pendapat Teguh Prasetyo, yang berpendapat bahwa di dalam suatu sistem hukum harus mengandung gagasan adanya kedaulatan17. Suatu sistem baru disebut sebagai sistem hukum apabila berdaulat (supreme). Apabila disebut memiliki kedaulatan (supreme) maka setiap kaidah dan asas yang ada di dalam kesatuan sistem itu tidak dapat dilawan (bersifat memaksa), mau tidak mau harus diikuti karena mengandung kebenaran. Dan yang paling penting adalah suatu sistem harus mengandung gagasan toleran dengan lingkungan di luar sistem tersebut, yang juga menganut sistem kebenaran yang benar menurut sistem yang bersangkutan.
Menurut hemat peneliti, hal itu semua dimiliki oleh ideologi Pancasila.
16 Bernard L. Tanya dkk, (2015). ‘Pancasila Bingkai Hukum Indonesia’, Genta Publishing, hlm.
35
17 Teguh Prasetyo. (2014). Membangun Sistem Hukum Pancasila Yang Merdeka Dari Korupsi Dan Menjunjung HAM. Jurnal Refleksi Hukum. Vol. 8, No. 1, hlm. 10.
Pancasila adalah ideologi yang telah menyatukan seluruh kekhasan yang ada di dalam bangsa dan negara Indonesia. Dalam usaha untuk memperlihatkan kekhasan ke- Indonesiaan di dalam hukum negara ini, maka tidak jarang untuk menggambarkan negara hukum Indonesia ditambahkan atribut “Pancasila” sehingga menjadi
“negara hukum Pancasila” yang mengandung pengertian bahwa Pancasila sebagai rule of law bukan semata-mata sebagai peraturan yang diberlakukan bagi masyarakat Indonesia18. Dengan ditambahkannya atribut Pancasila dalam penyebutan negara hukum Indonesia menurut hemat peneliti bukanlah hal yang sulit untuk diterima. Karena faktanya, bahwa sistem hukum Indonesia mengarah pada apa yang disebut oleh Suteki dalam bukunya, yaitu multifacet. Artinya adalah, sistem hukum di Indonesia bersifat campuran, tidak serta merta mengarah pada sistem hukum eropa kontinental, sistem hukum anglo saxon, sistem hukum agama atau sistem hukum adat, tetapi semua sistem hukum tersebut menjadi satu kesatuan di dalam negara hukum Indonesia.
Pancasila adalah wadah yang menjadikan adanya pencapuran sistem
18 Marwan Effendy (2014). ‘Teori Hukum’, Referensi.
hukum yang ada di Indonesia. Meminjam istilah yang digunakan oleh Mahfud MD di dalam bukunya, sistem hukum Indonesia bersifat prismatik, yaitu mengambil hal-hal yang baik dari satu sistem dan sistem lainnya yang kemudian diterapkan di dalam sistem hukum di Indonesia19. Sehingga, pada dasarnya semua sistem hukum yang dikenal di dalam peradaban manusia bisa saja digunakan di dalam sistem hukum Indonesia selama dianggap tidak bertentangan dengan ideologi bangsa dan negara, yaitu Pancasila.
Pancasila sangat tepat dijadikan dasar negara Indonesia yang multi ras, multi kultur, multi etnis, multi agama dan memiliki wilayah yang cukup luas.
Pancasila yang dirumuskan berdasarkan resultante dari pada founding father and mothre bangsa Indonesia dirasa telah mewakili seluruh perbedaan yang ada sebelumnya, jauh bahkan dari masa pemikiran pendirian negara Indonesia.
Hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan fikiran masyarakat itu sendiri20. Peneliti setuju dengan pendapat dari Mahfud MD, bahwa Pancasila sudah
19 Mahfud Md, (2012), “Sistem Hukum Indonesia”.
20 Max Boli Sabon. (2012). Aspek Estimologis Filsafar Hukum Indonesia. Jurnal MasalahMasalah Hukum. Vol. 41, No. 3, hlm. 428.
tidak dapat diganggu gugat. Setidaknya, ada dua alasan yang mendukung bahwa Pancasila tidak dapat diganggu gugat, yaitu sebagai berikut:
1. Pancasila sangat cocok dijadikan platform kehidupan bersama bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk agar tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu;
2. Pancasila termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sehingga jika Pancasila diubah maka berarti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga harus diubah. Pancasila telah mampu memposisikan dirinya sebagai tempat untuk kembali jika bangsa Indonesia terancam perpecahan.
Sehingga, Pancasila merupakan sumber utama daripada pembentukan hukum di Indonesia termasuk dalam hal pembentukan peraturan perundang- undangan. Struktur dan hierarki tata hukum di Indonesia menurut Attamimi berdasarkan teori yang digagas oleh Hans Nawiasky yaitu theorie von stufenufbau der rechtsordnung di dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe”
adalah sebagai berikut21:
1. Staatfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945);
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR dan Konvensi Ketatanegaraan;
3. Formell gesetz: Undang-undang;
4. Verordnung en Autonomi Satzung:
secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota (baca Pasal 7 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan).
3. Pentingnya Filosofi Pancasila dalam pembentukan Peraturan Perundang- Undangan
Dalam pembahasan sebelumnya, peneliti telah mengulas bahwa Pancasila sebagai dasar Filsafat Negara.
Pembangunan peraturan perundang- undangan nasional di Indonesia merupakan bagian dari sistem pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan nasional untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa dan seluruh tanah air Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
21 Maria Farida Indrati S, (2019). ‘Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan)’, Penerbit Kanisius, hlm. 312.
mencerdaskan bangsa dan berperan serta dalam ketertiban dunia yang berlandaskan hukum, kebebasan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui sistem hukum negara22. Dalam pembentukan hukum di Indonesia, tidak terlepas dari hierarki norma yang ada di Indonesia. Teori herarki norma yang digunakan di Indonesia adalah stufentheorie yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dari muridnya yang bernama Adolf Merkl. Di pembahasan sebelumnya peneliti telah memaparkan hierarki norma tersebut, dimana yang memiliki kedudukan tertinggi adalah Grundnorm. Maria Farida Indriati S.
Dalam bukunya mengatakan bahwa Grundnorm sebagai norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar tersebut ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga norma dasar itu dikatakan presupposed23.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang
22 Aristo Evandy A. Barlian dan Annisa D.
Permata Herista. (2021). Pembangunan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Ideologi Politik Bangsa. Jurnal Kajian Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.
Vol.9, No. 1, hlm. 55.
23 Maria Farida Indrati S, (2019). ‘Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan)’, Penerbit Kanisius, hlm. 41.
disebutkan oleh Mahfud MD di dalam bukunya, yaitu Pancasila sebagai suatu bentuk resultante dari para founding father and mother di Indonesia. Founding father and mother adalah mereka yang merupakan perwakilan dari seluruh rakyat yang ada di nusantara pada masa itu. Maka, sudah tepat apabila ideologi Pancasila dijadikan sebagai landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena pada dasarnya hukum tersebut dibuat untuk manusia, bukan manusia yang hidup untuk hukum. Sehingga, Founding father and mother negara Indonesia Pancasila telah ditetapkan sebagai falsafah dan dasar negara Indonesia24.
Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa sudah pasti berisi tentang nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika sudah pasti berisi tentang nilai- nilai yang dianggap baik dan nilai-nilai yang dianggap tidak baik. Sehingga, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa yang berisi tentang nilai-nilai moral dan etika tersebut, yaitu ideologi. Di Indonesia, ideologi yang dimaksud adalah ideologi Pancasila. Apapun yang menjadi filsafat
24 Teguh Prasetyo. (2014). Membangun Sistem Hukum Pancasila Yang Merdeka Dari Korupsi Dan Menjunjung HAM. Jurnal Refleksi Hukum. Vol. 8, No. 1, hlm. 42.
hidup bangsa yang telah disepakati dan diterima, harus dijadikan sebagai rujukan dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Bernard L. Tanya di dalam bukunya mengatakan bahwa Groundnorm memiliki posisi sebagai premis awal, sehingga Groundnorm tidak termasuk sebagai bagian dari hukum positif.
Groundnorm melampaui tata hukum positif tersebut. Walau demikian, Groundnorm menjadi penentu validitas seluruh tata hukum positif, yang artinya adalah bahwa ideologi Pancasila merupakan patokan wajib bagi seluruh hukum yang ada di Indonesia.
Di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka akan didapati bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber hukum (sumber hukum formil) tertinggi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 adalah suatu dasar negara yang berisi tentang norma-norma dasar (basic norms) yang berisi tentang nilai-nilai yang bersifat universal. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dokumen tertulis yang berisi tentang kesepakatan-kesepakatan seluruh rakyat, baik sebagai gessamteakt ataupun sebagai kontrak sosial (social contract) sebagaimana yang dijelaskan oleh Jean
Jacques Rousseau dalam teorinya25.
Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala sikap tindak yang dilakukan haruslah berlandaskan pada hukum, termasuk dalam hal pembentukan peraturan perundang- undangan. Undangundang pembentukan peraturan perundang-undangan dibentuk untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia secara umum saat ini diatur di dalam Undang- Undang Nomor 12 ahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, yang dimana terakhir kali diubah beberapa pasal, ayat dan bagian tertentu di dalam Undang-Undang Nomro 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan di Indonesia akan ditemui berbagai jenis peraturan perundang- undangan, namun pada intinya seluruh peraturan perundang-undangan tersebut harus tunduk ataupun sesuai dengan
25 Jimly Asshiddiqie, (2020). ‘Teori Hierarki Norma Hukum’, Konpress.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum formil tertinggi di Indonesia.
Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konkretisasi dari ideologi bangsa dan negara Indonesia, yaitu Pancasila. Walaupun tidak dimasukkan di dalam hierarki peraturan perundang- undangan di Indonesia, Pancasila tetap menjadi sumber hukum tertinggi di Indonesia. Secara normatif sebenarnya hal tersebut sudah ditegaskan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan di Indonesia. Teguh Prasetyo mengatakan bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terkhusus alinea ke keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia26. Pancasila adalah sumber tertinggi yang berada di tataran filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-
26 Teguh Prasetyo. (2014). Membangun Sistem Hukum Pancasila Yang Merdeka Dari Korupsi Dan Menjunjung HAM. Jurnal Refleksi Hukum. Vol. 8, No. 1, hlm. 43.
undangan yang ada di Indonesia.
PENUTUP Kesimpulan
1. Pancasila itu berasal dari kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di Indonesia sejak zaman dahulu kala yang tercermin di dalam adat istiadat, agama dan kepercayaan serta kebudayaan. Nilai- nilai itu kemudian diambil intinya yang kemudian dirumuskan menjadi lima hal yang merupakan unsur-unsur dari Pancasila. Soekarno adalah pertama kalinya melahirkan dan mengusulkan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Nilai-nilai Pancasila mengandung unsur etika, dan hal ini sesuai dengan respon Jonar dalam buku Bung Karno: Biografi Putra Sang Fajar, “Etika Pancasila adalah filsafat moral atau filsafat kesusilaan yang berdasarkan atas kepribadian, ideologi, jiwa, dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Etika Pancasila adalah etika yang berdasarkan atau berpedoman pada norma-norma yang bersumber dari ajaran Pancasila”. Dengan demikian, Pancasila layak sebagai dasar-dasar dalam hidup berbangsa dan bernegara.
2. Sumber hukum materil merupakan
tempat dimana materi hukum tersebut diambil. Sedangkan sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Pancasila sendiri termasuk kedalam sumber hukum materil. Pancasila sebagai sumber hukum materil ditentukan oleh muatan atau bobot materi yang terkandung di dalam Pancasila. Pancasila ideologi yang telah menyatukan seluruh kekhasan yang ada di dalam bangsa dan negara Indonesia. Pancasila adalah wadah yang menjadikan adanya pencapuran sistem hukum yang ada di Indonesia.
3. Menurut Mahfud MD di dalam bukunya, yaitu Pancasila sebagai suatu bentuk resultante dari para founding father and mother di Indonesia. Founding father and mother adalah mereka yang merupakan perwakilan dari seluruh rakyat yang ada di nusantara pada masa itu. Maka, sudah tepat apabila ideologi Pancasila dijadikan sebagai landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang undangan di Indonesia, karena pada dasarnya hukum tersebut dibuat untuk manusia, bukan manusia yang hidup untuk hukum. Sehingga, Founding father and mother negara Indonesia Pancasila telah ditetapkan
sebagai falsafah dan dasar negara Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konkretisasi dari ideologi bangsa dan negara Indonesia,
yaitu Pancasila.
Saran
Saran Terkait Filosofi Pancasila dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan
1. Integrasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Setiap Tahap Legislasi
Setiap tahap dalam proses legislasi, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan peraturan
perundang-undangan, harus
mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila. Hal ini meliputi pengkajian mendalam terhadap kesesuaian materi hukum dengan prinsip- prinsip Pancasila, memastikan bahwa peraturan yang dibuat mencerminkan keadilan sosial, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Penguatan Pendidikan dan Pemahaman Pancasila bagi Pembuat Kebijakan
Pembuat kebijakan, termasuk
anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif, perlu diberikan pendidikan dan pelatihan yang komprehensif mengenai filosofi Pancasila. Pemahaman yang mendalam mengenai Pancasila akan membantu mereka dalam merumuskan peraturan yang tidak hanya sesuai dengan teks konstitusi tetapi juga mencerminkan semangat dan nilai-nilai Pancasila.
3. Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi Melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses legislasi merupakan implementasi dari nilai kerakyatan dalam Pancasila. Proses ini dapat dilakukan melalui konsultasi publik, dengar pendapat, dan mekanisme partisipatif lainnya untuk memastikan bahwa aspirasi dan kebutuhan masyarakat tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat.
4. Evaluasi dan Pengawasan Berkelanjutan Setelah peraturan perundang- undangan disahkan, perlu ada mekanisme evaluasi dan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan bahwa implementasi peraturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini dapat dilakukan oleh lembaga pengawas independen yang bertugas untuk menilai dampak peraturan dan memberikan rekomendasi perbaikan jika
diperlukan.
5. Pengembangan Kerangka Hukum yang Adaptif dan Responsif
Peraturan perundang-undangan harus adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman, namun tetap berakar pada nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, pembuat kebijakan harus terus-menerus mengevaluasi dan memperbarui peraturan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat yang dinamis, tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip dasar Pancasila.
6. Penggunaan Teknologi dan Inovasi dalam Proses Legislasi
Memanfaatkan teknologi dan inovasi dalam proses legislasi dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
Penggunaan platform digital untuk konsultasi publik, penyebaran informasi, dan pengawasan implementasi peraturan dapat memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila diintegrasikan secara efektif dalam setiap aspek proses legislasi.
7. Kolaborasi dengan Akademisi dan Ahli Pancasila:
Melibatkan akademisi dan ahli Pancasila dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan dapat
membantu memperkuat basis filosofis dari peraturan yang dibuat. Kerjasama ini akan memastikan bahwa setiap peraturan didasarkan pada kajian yang mendalam mengenai nilai-nilai Pancasila dan penerapannya dalam konteks hukum dan sosial Indonesia.
Dengan mengikuti saran-saran tersebut, diharapkan bahwa peraturan perundang- undangan di Indonesia dapat lebih mencerminkan dan mengimplementasikan filosofi Pancasila, sehingga tercipta hukum yang adil, demokratis, dan berkeadilan sosial sesuai dengan cita-cita para founding father and mother bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Jonar, Bung Karno; Biografi Putra Sang Fajar Lahirnya Pancasila; Kumpulan Pidato BPUPKI,
Cetakan Pertama (Jakarta: Media Pressindo, 2017), hlm. 63.
Lahirnya Pancasila; Kumpulan Pidato BPUPKI, Cetakan Pertama (Jakarta: Media Pressindo, 2017), hlm. 63.
Isi dari “Piagam Jakarta” yaitu: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia.
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jonar T.HLM. Situmorang, Bung Karno; Biografi Putra Sang Fajar, hlm. 425-432.
Philosofische grondslag (bahasa Belanda) adalah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam- dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam- dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi, keberadaannya, rumusannya, penyebutannya, fungsi, dan kedudukannya dalam sistem kenegaraan Indonesia tetap sesuai yang diamanahkan founding fathers sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Lihat Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 177.
Weltanschauung adalah nilai-nilai falsafah yang sudah ada sejak lama tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat Nusantara sebagai sistem kebenaran dan sistem keyakinan yang dipegang dan dianut oleh masyarakatnya yang bertebaran di seluruh bumi Nusantara. Sistem kebenaran dan keyakinan itu telah diperjuangkan oleh masyarakat Nusantara, sehingga telah menyemangati dn memotivasi mereka bertahun-tahun, karena itu harus segera dibulatkan di dalam hati dan pikiran sebagai sebuah Weltanschauung atau pandangan hidup (way of life) yang utuh dan resmi bagi Indonesia merdeka. Lihat Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan Tim Universitas Pattimura Ambon, Prosiding Kongres Pancasila VI: Penguat, Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Pelembgan dn Pembudyaan Pancasil dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila, 2014), hlm. 50.
Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Cet. 2 (Jakarta: Media Presindo, 2017), hlm.
14
Ir.Soekarno, Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, Cet 2. (Yogyakarta: Media Presindo, 2017), hlm. 14-15.
Iwan Siswo, Panca Azimat Revolusi; Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926- 1966, Jilid I (Jakarta: Gramedia, 2014), hlm.
4.
Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, hlm. 17-18.
Fais Yonas Bo’a. (2018). Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Konstitusi. Vol. 15, No. 1, hlm. 32.
Dani Pinasang. (2012). Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) Dalam Rangka Pembangunan Sistem Hukum Nasional. Jurnal Hukum UNSRAT. Vol. XX, No. 3, hlm.8.
Achmad Hariri. (2019). Dekonstruksi Ideologi Pancasila Sebagai Bentuk Sistem Hukum di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3, No. 1, hlm.2.
Bernard L. Tanya dkk, (2015). ‘Pancasila Bingkai Hukum Indonesia’, Genta Publishing, hlm. 35 Teguh Prasetyo. (2014). Membangun Sistem Hukum
Pancasila Yang Merdeka Dari Korupsi Dan Menjunjung HAM. Jurnal Refleksi Hukum.
Vol. 8, No. 1, hlm. 10.
Marwan Effendy (2014). ‘Teori Hukum’, Referensi.
Mahfud Md, (2012), “Sistem Hukum Indonesia”.
Max Boli Sabon. (2012). Aspek Estimologis Filsafar Hukum Indonesia. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Vol. 41, No. 3, hlm. 428.
Maria Farida Indrati S, (2019). ‘Ilmu Perundang- Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan)’, Penerbit Kanisius, hlm. 312.
Aristo Evandy A. Barlian dan Annisa D. Permata Herista. (2021). Pembangunan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Ideologi Politik Bangsa. Jurnal Kajian Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Vol.9, No. 1, hlm. 55.
Maria Farida Indrati S, (2019). ‘Ilmu Perundang- Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan)’, Penerbit Kanisius, hlm. 41.
Teguh Prasetyo. (2014). Membangun Sistem Hukum Pancasila Yang Merdeka Dari Korupsi Dan Menjunjung HAM. Jurnal Refleksi Hukum.
Vol. 8, No. 1, hlm. 42.
Jimly Asshiddiqie, (2020). ‘Teori Hierarki Norma Hukum’, Konpress.
Teguh Prasetyo. (2014). Membangun Sistem Hukum Pancasila Yang Merdeka Dari Korupsi Dan Menjunjung HAM. Jurnal Refleksi Hukum.
Vol. 8, No. 1, hlm. 43.