• Tidak ada hasil yang ditemukan

filsafat pendidikan ilam 3

N/A
N/A
fatmawati 05

Academic year: 2025

Membagikan "filsafat pendidikan ilam 3"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah

Manusia Sebagai Khalifatullah, Manusia Sebagai Warasatul Anbiya, serta Dimensi Hubungan Manusia dalam Kehidupan

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“ Filsafat Pendidikan Islam “ Dosen Pengampu : Prof. Dr. KH. Akhyak, M.Ag

Oleh Kelompok 3 :

1. Fitrotul Maulidah Prayogo (126209202072)

2. Ika Nafiani (126209202074)

3. Kukuh Adi Widodo (126209202076) JURUSAN TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG

TAHUN AJARAN 2020

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena telah memberikan ridho dan karunia pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula penulis haturkan sholawat serta salam kepada junjungan nabi agung Rosulullah Muhammad SAW. Atas rahmat serta hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pengertian, Ruang Lingkup,Objek, Metode, serta Peranan Filsafat Pendidikan Islam ” secara tepat waktu.

Sehubungan dengan selesai nya makalah ini maka kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung

2. Dr. Dwi Astuti Wahyu Nur Hayati,S.S.,M.Pd. selaku ketua jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial

3. Bapak Prof. Dr. KH. Akhyak, M.Ag selaku dosen pengampuh mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang telah memberikan pengarahan sehingga penulisan makalah ini bisa diselesaikan.

4. Semua pihak yang telah membantu terselesaikan nya penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan pembaca untuk menjadikan makalah ini lebih baik kedepan nya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis dan pembaca, sekian yang dapat saya sampaikan.

Wassalamualaikum wb.wb

Tulungagung, 31 Oktober 2020

Penulis

(3)

KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...

B. Rumusan Masalah...

C. Tujuan...

.

BAB II PEMBAHASAN

A. Manusia Sebagai Khalifatullah...

B. Manusia Sebagai Warosatul Anbiya...

C. Dimensi Hubungan Manusia dalam Kehidupan...

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...

DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan ciptaan Allah dengan sebaik-baiknya ciptaan. Dari sekian ribu ciptaan Allah SWT, manusialah ciptaan-Nya yang paling sempurna. Bukti paling konkrit yaitu manusia dibekali dengan kemampuan intelegensi dan daya nalar sehingga manusia mampu berfikir, berbuat dan bertindak untuk membuat perubahan dan menciptakan suatu peradaban. Namun manusia juga mengemban amanah yang berat karena kesiapannya untuk menjadi seorang manusia.

Pada hakikatnya, Allah SWT menciptakan sesuatu selalu memiliki manfaat dan tujuan tertentu. Begitu halnya dengan Allah menciptakan manusia. Manusia bukanlah sebuah kebetulan untuk diciptakan, dan bukan pula hanya sebagai benda hidup yang kemudian mati.

Namun Allah SWT menciptakan manusia dengan maksud dan tujuan tertentu. Diantara tujuan tersebut adalah sebagai khalifah di muka bumi.

Selain mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi, manusia, khususnya para ulama juga berperan sebagai Warasatul Anbiya’ yang memiliki arti “Pewaris Para Nabi”.

Ulama yang dimaksud disini tidak hanya ulama pada zaman setelah Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ulama pada zaman nabi-nabi terdahulu.

Segala sesuatu yang diciptakan Allah di muka bumi ini mempunyai kaitan, hubungan dan saling ketergantungan. Manusia sebagai makhluk individu dan sosial selalu berinteraksi dalam menjalankan kehidupannya. Interaksi tersebut berlangsung secara alami dan spontan.

Agar dapat menjalankan kehidupannya dengan dinamis dan seimbang, manusia harus menjalin interaksi dengan semua komponen dengan baik.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran manusia sebagai Khalifatullah?

2. Bagaimana peran manusia sebagai Warosatul Anbiya?

3. Bagaimana dimensi hubungan manusia dalam kehidupan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui peran manusia sebagai Khalifatullah

(5)

2. Untuk mengetahui peran manusia sebagai Warosatul Anbiya 3. Untuk mengetahui dimensi hubungan manusia dalam kehidupan

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Manusia Sebagai Khalifatullah

Khalifah secara bahasa berasal dari kata kholafa, yalibu : kaum yang sebagiannya mengganti yang lain dari abad demi abad. Sedangkan secara istilah diartikan dalam dua hal pengertian tentang khalifah ;

1. Khalifah dalam arti kepala negara,

2. Khalifah sebagai pengganti dan penghuni bumi Allah.

Sedangkan dalam Al – Qur’an disebutkan bahwa khalifah disebutkan sebanyak dua kali.

Yang pertama, kata khalifah bisa kita temukan dalam surat al-Baqarah ayat 30,”Inni ja’il fi al-ardh khalifah” dan yang kedua dapat ditemukan pada surat al-Shad ayat 26,”Ya Dawud Inna ja’alnaka khalifah fi al-ardh“. Dari kedua kata tersebut, Khalifah dapat diartikan sebagai pengganti atau wakil, dalam hal ini khalifah berarti pengganti atau bisa disebut wakil Allah di muka bumi yang juga dapat diartikan sebagai pemimpin.

Manusia adalah makhluk sentral di Planet ini. Selain penciptaanya yang paling sempurna dan seimbang, makhluk-makhluk lain yang ada seperti hewan dan tumbuh- tumbuhan diciptakan untuk kepentingannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hak pemakmuran dan pengelolaan bumi beserta isinya adalah tugas manusia sebagai

konsekuensi logis atas kesediannya memangku amanah Allah. Dalam Al-Quran diungkapkan sederhana namun tegas menekankan individualitas dan uniknya manusia, dan mempunyai pandangan yang pasti tentang peran dan nasib manusia sebagai kesatuan hidup.

Ada empat sifat manusia yang diterangkan dalam Al-qur’an: Pertama, bahwa manusia itu adalah mahkluk yang dipilih oleh tuhan.

QS. Thaha (20) : 122

﴿ ىٰ دَ دَ دَ هِ يْدَ دَ دَ ادَ دَ ۥهُ هُ دَ هُ دَىٰ دَ يْ ٱ دَ هُ

١٢٢ ﴾

”Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.”

Kedua bahwa manusia dengan segala kelalaiannya diharapkan supaya menjadi wakil tuhan di bumi (khalifah).

(7)

QS. Al Baqarah (2) : 30

ادَ ادَ هُ دَ يْ !دَ "ىٓ$نِّ &هِ 'دَا(دَ )دَ*دَ +هُنِّ ,دَ$هُدَ -دَهِ .يْ/دَهِ 0هُنِّ1دَ$هُ 2هُ/يْ$دَدَ 3دَاىٓدَ نِّ *ٱ )هُ4هِ1يْ5دَدَ ا6دَهِ هُ 1هِ4يْ5هُ 2دَ ا6دَهِ 7هُ8دَ9يْ:دَ !دَ ا۟<ىٓ*هُا(دَ =ةً4دَ هِ ?دَ @هِيْ ا!دَيْٱ "هِ 7لٌهِ ادَ "$نِّ &هِ =هِBدَCهِدَىٰىٓ .دَيْ*هِ )دَهُ دَ 'دَا(دَ Dيْ &هِدَ

﴿ Eدَ<.هُدَ 8يْ:دَ

٣٠ ﴾

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Dalam tafsir al- Misbah dijelaskan bahwa kata Khalifah pada mulanya berarti yang

menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah disini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan. Adalagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan mahkluk lain dalam menghuni bumi ini. Betapapun, ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allh SWT, makhluk yang diserahi tugas yakni Adam AS dan anak cucunya. Serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini. Jika demikian, kekhalifahan mengharuskan mahkluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.

QS. Al An'am (6) : 165

﴿ لٌمٌۢ Gهِدَ لٌ <4هُHدَ*دَ ۥهُ $دَ &هِ دَ هِ ا,دَ8هِ*يْٱ Iهُ5JهِKدَ )دَدَ دَ Eدَ &هِ يْ BهُLىٰ:دَ 3دَ اىٓدَ "هِ يْ Mهُ<دَهُ يْ دَ*نِّ Nتٍدَىٰ دَ Pدَ Qتٍ8يْدَ Rدَ<يْدَ يْ BهُSدَ8يْدَ Iدَدَ دَ دَ @هِيْ ا!دَيْٱ TدَCهِدَىٰىٓ ?دَ يْ Bهُدَ 8دَدَ Uهِ*دَٱ <دَهُ دَ

١٦٥ ﴾

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ketiga, bahwa manusia sebagai kepercayaan Tuhan, sekalipun resikonya besar.

QS. Al Ahzab (33) : 72

(8)

﴿ اةً<6هُدَ اةً <هُ Vدَ EدَاMدَ ۥهُ $دَ &هِ 2هُ1دَىٰ$ا&هِيْٱ ا6دَدَ .دَGدَدَ ا6دَWيْهِ 2دَ,يْ4دَXيْ !دَدَ ا6دَWدَيْ .هِ/يْ5دَ E !دَ 2دَيْدَا!دَدَ 'هِادَ9هِ*يْٱدَ @هِيْ ا!دَيْٱدَ Yهِ<دَىٰ.دَىٰ1دَ*ٱ "دَ دَ =دَ$دَادَ ا!دَيْٱ اWدَZيْJدَدَ ا$دَ &هِ

٧٢ ﴾

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Keempat, untuk itu manusia kemudian diberi kemampuan untuk mengetahui semua nama dan konsep benda yang malaikat sendiri tidak mampu. Karena itu malaikat sujud dan hormat kepadanya.

QS. Al Baqarah (2) : 31

﴿ 2دَ (هِهِ [دَىٰ يْ هُ WMهُ E &هِ 3هِاىٓدَ\هُدَىٰىٓ 3هِاىٓ.دَKيْا!دَهِ "$هِ<]!هُهِ $مٌۢ !دَ 'دَا,دَدَ =هِBدَCهِدَىٰىٓ .دَ*يْٱ "دَ دَ يْ 6هُZدَJدَدَ دَ هُ ا6دَدَ Mهُ 3دَاىٓ.دَKيْا!دَيْٱ ^دَPدَ 3دَ دَ دَ دَ دَ

٣١ ﴾

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin dan sebagainya. Dia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu nama-nama. 26 Dengan ini jelas bahwa ada empat sifat manusia yang diberikan kepada manusia, yaitu:

1. Manusia adalah mahkluk terpilih 2. Sebagai khalifah Allah di bumi

3. Diberikan kepercayaan melaksanakan amanat yang semua makhluk tidak tersedia 4. Manusia diberi kemampuan mengetahui nama semua benda, yang malaikat pun tidak

tahu

B. Manusia Sebagai Warosatul Anbiya

Ulama pewaris para nabi (al-’ulama warasatul anbiya). Ulama adalah pelita bagi bumi.

(9)

Ada tiga hal yang menjadi sendi utama dalam Islam itu, yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Perhatian terhadap iman memunculkan ilmu tauhid atau ilmu kalam (teologi). Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu fikih atau ilmu hukum Islam yang terjabarkan dalam empat aspek kajian (rubu’), yaitu ibadah, muamalah, munakah, dan jinayah.

Sedangkan pendalaman dimensi ihsan melahirkan ilmu tasawuf atau ilmu akhlak. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Kemudian para ulama mengadakan pemisahan menjadi bagian ilmu tersendiri. Keterpaduan tiga ilmu dasar inilah yang menghiasi para ulama dalam membimbing dan mengayomi umat agar tidak tersesat.

Rasulullah saw mewariskan semua kajian ilmu pengetahuan kepada ulama. Abu Ad-Darda berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa meniti jalan untuk

menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridhaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut.”

Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi (al-’ulama warasatul anbiya). Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Warisan nabi yang sangat berharga dan mulia di sisi Allah Swt adalah ilmu, karena dengan ilmu bisa membuat manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat.

Kesalehan dan kebahagiaan seseorang ditentukan oleh kualitas ilmu yang dimilikinya. “Siapa yang ingin bahagia di dunia, maka mesti dengan ilmu, siapa yang ingin bahagia di akhirat, maka mesti dengan ilmu, dan siapa yang ingin bahagia pada keduanya, maka mesti dengan ilmu.” Sekalipun hadis ini menjelaskan kemuliaan ilmu agama di atas segala-galanya, namun sedikit di antara umat yang mau merebutnya. Hanya para ulamalah yang senantiasa bergelut siang-malam dengan ilmu agama.

Ulama juga berfungsi sebagai perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat, dan pertolongan-Nya. Allah Swt juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama, sehingga ilmu agama terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya.

(10)

Pascawafatnya Rasulullah saw, ulamalah yang menggantikan posisi beliau dalam membina umat sebagaimana sabdanya, “Ulama adalah pewaris para Nabi.”

Ulama selalu memosisikan dirinya sebagai pioner dalam mencerdaskan umat dan menegakkan kebenaran. Menuntun umat dari segala lapisan  kepada pencapaian

kesejahteraan dan kedamaian hakiki, serta senantiasa menanamkan rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial dalam mewujudkan umat yang cinta damai.

Memberi perlindungan kepada umat dan merawat ukhuwah demi meninggikan Islam dan memajukan peradaban bahagian dari rutinitas keseharian para ulama, karena ulama memikul amanah Allah sebagai penerus risalah sesudah para nabi.

Allah Swt berfirman: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (QS. Fathir: 28). Allah memilih  ulama dalam memikul amanah dikarenakan ilmunya, sebab ilmu Allah menjadikan ulama itu sebagai hamba-Nya yang spesial. Allah  berfirman: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (QS. Az-Zumar: 9).

 Tata cara berpolitik

Ulama bukan hanya menerima warisan dari para nabi dalam aspek  ibadah saja, tetapi juga menerima warisan dalam seluruh dimensi kehidupan, termasuk bidang politik dan

kepemimpinan. Rasulullah telah memberikan teladan yang baik dalam segala hal, termasuk tata cara berpolitik. Tidak ada yang mengingkari terhadap kepiawaian Rasulullah dalam berpolitik.

Ulama sebagai pewaris nabi, tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan politik. Roda politik kehidupan sangat ditentukan oleh peran para ulama. Dunia politik akan gelap, arah kebijakan tersesat, jika ulama tidak hadir di dalamnya.

Dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw bersabda: Permisalan para ulama di bumi seperti bintang-bintang di langit, digunakan sebagai petunjuk dalam kegelapan daratan dan lautan.

Jika bintang-bintang itu hilang, dikhawatirkan orang-orang yang mencari petunjuk menjadi sesat. (HR. Ahmad).

(11)

Selepas khulafaur rasyidin, peran strategis ulama juga tidak pernah terpisahkan dengan kehidupan politik. Ulama seperti Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam Al Ghazali, adalah para ulama yang senantiasa konsen terhadap persoalan politik. Peran penting mereka dalam kehidupan politik, terlihat dari perhatian mereka terhadap keputusan-keputusan khalifah terkait urusan kaum muslimin saat itu.

Ulama harus mampu menciptakan ruang gerak politik yang leluasa bagi manusia untuk menuju cita-cita bersama. Proses perpolitikan sekarang belum menemukan bentuk yang ideal dan masih sarat dengan pengkhianatan dan fitnah. Hal ini terjadi dikarenakan ulama menjauh dari arena lembaga penghasil regulasi itu, yaitu legislatif dan  eksekutif.

Oleh karena itu, keterlibatan ulama dalam kancah politik merupakan sebuah keharusan, karena ulama mempunyai kapasitas membangun nilai moral dan etika. Sekarang saatnya ulama dapat benar-benar membuktikan kepada segenap anak bangsa bahwa ulama sungguh mampu menjalankan politik islami yang santun dan bermartabat serta menghargai pilihan orang lain sebagai kebebasan dalam bingkai ukhuwah.

Tidak semua ulama harus didorong untuk mewariskan khazanah ilmu kepada umat, tetapi harus ada juga ulama yang bergelut di bidang perdagangan, pembangunan, dan kehidupan sosial lainnya. “Sesungguhnya ulama di bumi ini adalah bagaikan bintang-bintang di langit dengan dia umat ditunjukkan jika dalam kegelapan, baik di darat maupun di laut.” (HR. Al- Ajuri dari Anas ra)

C. Dimensi Hubungan Manusia dalam Kehidupan

Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kegiatan interaksi, komunikasi dan hubungan sosial lainnya dengan sesama manusia. Namun sebelum menjalin hubungan antar sesama manusia, kita terlebih dahulu harus menjalin hubungan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan, karena kunci terjalinnya suatu hubungan yang baik adalah hubungan diri sendiri dan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

(12)

1. Hubungan dengan diri sendiri.

Hubungan dengan diri sendiri dapat diwujudkan dalam bentuk rela, menerima, sabar, memahami diri, dan mencintai diri sendiri. Kebahagiaan pribadi dapat terwujud apabila manusia mampu menerapkan sikap rela, menerima, dan sabar.

Sikap rela yang dimaksud disini adalah kesanggupan untuk melepaskan seperti melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan dan hasil-hasil pekerjaan sendiri yang menjadi keharusan dan tanggung jawab.

Sikap menerima yang dimaksudkan disini adalah menerima segala apapun yang menimpa atau mendatangi kita terkhusus hal-hal yang buruk, tanpa memberikan protes. Pengenalan dan penerimaan diri yang baik akan menentukan sikap dan

tindakannya baik terhadap sesama, Tuhan maupun lingkungannya. Dengan demikian, memahami hubungan dengan diri sendiri sangat penting karena bagaimana mungkin kita bisa mejalin hubungan dengan sesama manusia jika diri kita sendiri saja masih belum bisa kita pahami.

2. Hubungan dengan Tuhan

Menjalin hubungan dengan Allah adalah kebutuhan yang paling utama dalam hidup di dunia, karena bagaimanapun manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang harus selalu mengingat akan Sang Pencipta. Menjalin hubungan yang baik dapat dilakukan dengan cara menaati segala aturan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Selain itu, dapat pula diwujudkan dengan cara beribadah, memanjatkan doa-doa, dan selalu mengingat Allah dimanapun dan kapanpun. Karena sesungguhnya jika kita berdoa itu sama saja dengan kita menjalin komunikasi dengan Yang Maha Kuasa dan juga ketika kita senantiasa mengingat Allah maka kita akan senantiasa mendapatkan kedamaian hati dalam menjalani setiap langkah kehidupan. Pentingnya menjalin hubungan dengan Allah adalah karena kita merupakan mahkluk ciptaan-Nya dan tidak mungkin kita tidak menjalin hubungan dengan pencipta kita, dan apapun yang kita lakukan bergantung pada kehendaknya.  Dan juga hubungan dengan Allah akan

mempengaruhi hubungan kita  dengan sesama manusia. Yang dimana kehidupan manusia tidak akan berubah ketika tidak melibatkan Allah dalam kesehariannya didunia.

3. Hubungan Manusia dengan Lingkungannya.

Sang Pencipta memberi kuasa kepada manusia untuk menaklukkan alam agar manusia dapat hidup, dan kehidupan manusia tetap ada dan terus berlangsung. Manusia tidak

(13)

bisa hidup tanpa menggunakan segala sesuatu yang ada pada alam. Ketergantungan manusia-alam atau alam-manusia, menjadikan manusia menggunakan hasil alam untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Manusia-alam atau lingkungan hidup- manusia, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Relasi manusia dengan alam tidak sekedar hubungan fungsional. Relasi manusia dengan alam dapat

menghantar manusia dalam pengalaman religius yang membuat manusia semakin mensyukuri keindahan alam dan keagungan Allah sang pencipta alam semesta.

4. Hubungan Antar Sesama Manusia.

Hubungan antar sesama manusia itu sendiri dapat diartikan sebagai komunikasi antar pribadi yang berarti komunikasi yang telah memasuki tahap psikologis yang

komunikator dan komunikasinya saling memahami pikiran, perasaan, dan tindakan yang dilakukan juga didasarkan atas kebersamaan.  Dan dapat  juga diartikan bahwa apabila kita ingin menciptakan komunikasi yang akrab dengan orang lain maka dapat didahului oleh pertukaran informasi tentang identitas maupun mengenai masalah pribadi yang bersifat social.

BAB III PENUTUP

(14)

A. Kesimpulan

Khalifah secara bahasa berasal dari kata kholafa, yalibu : kaum yang sebagiannya mengganti yang lain dari abad demi abad. Sedangkan secara istilah diartikan dalam dua hal, yaitu “kepala negara” dan “sebagai pengganti dan penghuni bumi Allah”

Dari kedua kata tersebut, Khalifah dapat diartikan sebagai pengganti atau wakil, dalam hal ini khalifah berarti pengganti atau bisa disebut wakil Allah di muka bumi yang juga dapat diartikan sebagai pemimpin.

Ada empat sifat manusia yang diberikan kepada manusia, yaitu:

1. Manusia adalah mahkluk terpilih 2. Sebagai khalifah Allah di bumi

3. Diberikan kepercayaan melaksanakan amanat yang semua makhluk tidak tersedia 4. Manusia diberi kemampuan mengetahui nama semua benda, yang malaikat pun tidak

tahu.

Ulama pewaris para nabi (al’ulama warasatul anbiya). Ulama adalah pelita bagi bumi.

Para ulama adalah pewaris para nabi (al-’ulama warasatul anbiya). Para nabi tidak

mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Warisan nabi yang sangat berharga dan mulia di sisi Allah Swt adalah ilmu, karena dengan ilmu bisa membuat manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat.

Ulama juga berfungsi sebagai perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat, dan pertolongan-Nya. Allah Swt juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama, sehingga ilmu agama terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya.

Dalam menjalankan kehidupannya, manusia tidak luput dari kegiatan berhubungan atau berinteraksi. Interaksi ini terjalin antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan tuhan, dengan lingkungan, dan dengan sesamanya. Interaksi dengan diri sendiri dapat diwujudkan dengan memahami diri sendiri dengan cara rela, menerima, sabar, memahami diri, dan mencintai diri sendiri. Yang kedua adalah interaksi dengan tuhan, dapat diwujudkan melalui beriman dan taat kepada-Nya, berdoa, berdzikir, dan mengingat Allah. Kemudian yang ketiga adalah interkasi dengan lingkungan, interaksi ini dapat dilakukan dengan cara mencintai dan menjaga alam, karena manusia sangat bergantung kepada alam dalam kehidupannya. Relasi manusia dengan alam juga dapat menghantarkan manusia dalam pengalaman religius karena

(15)

akan semakin mensyukuri keagungan Allah SWT. Yang terakhir adalah interkasi dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berinterkasi dengan

sesamanya. Interaksi ini dapat terjadi dengan berbagai macam cara seperti dalam kehidupan kita sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

(16)

Angelina, Theresa Nadia. 2018. “Relasi Manusia dengan Diri Sendiri, Sesama, Lingkungan, dan Tuhan” http://theresa-nadia-angelina-fkh18.web.unair.ac.id/artikel_detail-240091- rangkuman%20agama-RELASI%20MANUSIA%20DENGAN%20DIRI%20SENDIRI,

%20SESAMA,%20LINGKUNGAN,%20DAN%20TUHAN.html, diakses pada 28 Okotober 2020 pukul 18.57 WIB.

Anonimous. 2016. “Warasatul Anbiya” https://aceh.tribunnews.com/2016/07/02/warasatul- anbiya, diakses pada 20 Oktober 2020 pukul 19.20 WIB.

Febrianti, Rifka. 2019. “Menjalin Hubungan Antarsesama (Tuhan, Diri Sendiri, dan Manusia” https://www.kompasiana.com/rifkafebrianti/5e00cae5097f360d9b6ddd54/

menjalin-hubungan-antar-sesama-tuhan-diri-sendiri-dan-manusia?page=all, diakses pada 28 Oktober 2020 pukul 19.12 WIB.

Ilyas, Rahmat. 2016. “Manusia Sebagai Khalifah dalam Perspektif Islam” dalam Mawa`izh Volume 1 (hlm. 10-13).

Referensi

Dokumen terkait

Aspek sosial panca GATRA pada dasarnya berlandaskan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan manusia dengan sesama, alam sekitarnya, maupun manusia dengan dirinya

Seorang sekretaris supaya dapat mengatasi permasalahan dalam hubungan antar manusia atau menjalin hubungan dengan manusia yang lain dengan baik, ia harus memahami kehendak dasar

Bagi al-Ghazali, anak didik diharapkan menjadi manusia yang sempurna, yang mampu mengintegrasikan kemampuan rasional dan kekuasaan Tuhan. Sehingga ia tumbuh

bahwa nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia dengan dalih bahwa akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta

Bentuk vertikal adalah hubungan manusia (dari komunitas sekolah) dengan Tuhan. Sedangkan bentuk horisontal adalah hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan

Jadi, dalam pengertian ini, etika dan moralitas sama-sama memiliki arti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah

Mengorganisir kehidupan untuk aktivitas manusia yang lebih baik.. Pengalaman adalah kunci bagi instrumentalisme, karena itu pengalaman adalah drama manusia. John Dewey

Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan moral yang meiputi hubungan manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan