Article in Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia · January 2022
DOI: 10.36418/syntax-literate.v7i1.6055
CITATION
1
READS
4,766
1 author:
Ulfi Putra Sany
Universitas Islam Negeri Salatiga 3PUBLICATIONS 16CITATIONS
SEE PROFILE
GANGGUAN KECEMASAN DAN DEPRESI MENURUT PERSPEKTIF AL QUR’AN
Ulfi Putra Sany
IAIN Salatiga (Institut Agama Islam Negeri Salatiga), Indonesia Email: [email protected]
Abstrak
Gangguan kesehatan mental merupakan masalah serius yang membutuhkan solusi terbaik guna mengurangi dampak negatifnya. Di antara berbagai gangguan kesehatan mental yang memiliki prevalensi tertinggi adalah gangguan kecemasan dan depresi. Dua gangguan ini merupakan yang lumrah dialami oleh masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Pandemi yang terjadi makin menjadi faktor yang dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental. Islam mengakui pentingnya kesehatan mental bagi umat manusia. Islam bahkan menjadikan pemeliharaan kesehatan mental sebagai salah satu maqasid yang harus dijaga. Islam memberikan tuntunan bagi penanganan gangguan kecemasan dan depresi itu di dalam Al Qur’an. Setidaknya ada tiga terapi bagi gangguan kecemasan dan depresi dalam Al Qur’an, yaitu terapi zikir, terapi Al Qur’an dan terapi doa. Terapi zikir, terapi Al Qur’an dan terapi doa dapat memberikan perasaan optimis dan mengurangi emosi negatif yang sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan dan depresi.
Kata kunci: kecemasan; depresi; alquran Abstract
Mental health disorder is a serious problem that requires the best solution to reduce its negative impact. Among the various mental health disorders that have the highest prevalence are anxiety disorders and depression. These two disorders are the most common mental disorders experienced by people all over the world, including the people of Indonesia. The ongoing pandemic is becoming a factor that can trigger mental health disorders. Islam recognizes the importance of mental health for mankind. Islam even makes mental health maintenance one of the maqasid that must be maintained. To realize the benefits of mental health for mankind, Islam provides guidelines for dealing with anxiety and depression disorders in the Qur'an. There are at least three therapies for anxiety and depression disorders in the Qur'an, namely zikir therapy, Qur'an therapy, and doa therapy. Zikir therapy, Qur'an therapy, and doa therapy can provide a feeling of optimism and reduce negative emotions that are often associated with anxiety disorders and depression. These three therapies can reduce the level of anxiety and depression in sufferers.
Keywords: worry; depression; Al-Qur'an
Pendahuluan
Kesehatan mental dan masalah-masalah psikososial merupakan masalah serius dan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Menurut data dari Balitbangkes, jumlah rumah tangga dengan anggota yang memiliki gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Dengan kata lain, setidaknya 1-2 orang per 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Di tahun 2013, dilaporkan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa yang menerima layanan terapi oleh petugas kesehatan adalah kurang dari 10%. Sebuah angka yang bisa dikatakan masih jauh dari ideal. Pada tahun 2018, dalam survei yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar, angka prevalensi gangguan jiwa berat penduduk Indonesia meningkat signifikan menjadi 7 per mil. Hal ini berarti, 7 dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat, atau meningkat 311% dibandingkan angka di tahun 2013. Peningkatan ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental tidak bisa dianggap remeh (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018).
Pada level global, dari tiap 100 orang penduduk tidak kurang dari 6 orang menderita gangguan kesehatan mental atau mengalami ketergantungan obat-obatan dan alkohol (Baasher, 2001). Berbagai faktor sosial, psikologis, dan biologis mempengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang. Misalnya, tindak kekerasan dan tekanan sosial- ekonomi yang terus-menerus disebut sebagai faktor risiko bagi munculnya gangguan kesehatan mental. Kesehatan mental yang buruk juga dikaitkan dengan kondisi kerja yang penuh tekanan, gaya hidup tidak sehat, diskriminasi gender, perubahan sosial yang cepat, pengucilan sosial, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi manusia (World Health Organization, 2018).
Kesehatan mental juga memiliki korelasi dengan tindak kekerasan dan terorisme.
Beberapa studi yang telah meneliti peran masalah kesehatan mental dalam proses radikalisasi menunjukkan hubungan antara gangguan kesehatan mental dan ekstremisme. Studi ini juga menunjukkan bahwa kesehatan mental yang buruk membuat penderitanya lebih rentan terpapar paham dan ideologi ekstremis dan mengurangi kemampuannya untuk melawan wacana radikal, dan pengaruh atau manipulasi dari perekrut ekstremis. Orang-orang yang memiliki gangguan kesehatan mental sulit mempertahankan pekerjaan dan membina hubungan sosial yang positif, dan mungkin mengalami pengucilan oleh jejaring sosial konvensional. Hal ini dapat menimbulkan perasaan termarginalisasi yang dapat membuat pengaruh wacana-wacana ekstremis lebih kuat (Copeland & Marsden, 2020).
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan tafsir tematik atau tafsir maudhu’i. Metode tafsir maudhu’i atau menurut Muhammad Baqir al-Shadr sebagai metode al-Taukhidiy adalah metode tafsir yang mencoba mengeksplorasi perspektif al-Qur’an terhadap suatu topik atau permasalahan. Metode ini ditempuh dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang sama, atau berkaitan dengan topik dan permasalahan tertentu. Kemudian menafsirkannya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain dan memperhatikan sumber-sumber lain seperti hadis Nabi SAW (Khilmi Hidayatulloh, 2019).
Metodologi tafsir tematik atau tafsir maudhu’i adalah sebagai respons mufassir atas persoalan yang membutuhkan perspektif al-Qur’an sebagai solusinya. Metode ini dinilai sebagai metode yang paling sesuai untuk menjawab permasalahan baru yang tidak ditemukan kejadiannya di masa Nabi SAW, atau permasalahan yang membutuhkan insight dari berbagai bidang ilmu (Yamani, 2015).
Hasil dan Pembahasan
1. Hakikat Kesehatan Mental
Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang utuh, dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan (World Health Organization, 2004).
Kata mental berasal dari Bahasa Inggris mental yang artinya berkaitan dengan pikiran, atau melibatkan proses berpikir. Kata ini diserap ke dalam Bahasa Indonesia yang artinya batin atau watak, atau berkaitan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.
WHO sendiri memberikan definisi kesehatan mental sebagai sebuah keadaan yang sejahtera di mana individu menyadari kemampuannya, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya (World Health Organization, 2018). Pemerintah Indonesia melalui UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa telah mendefinisikan kesehatan mental atau kesehatan jiwa sebagai kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui undang-undang tersebut menjamin agar setiap orang mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Undang-undang tersebut juga bertujuan menjamin setiap orang dapat mengembangkan potensi kecerdasan dan keterampilannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi ODMK (orang dengan masalah kejiwaan) dan ODGJ (orang dengan gangguan kejiwaan) berdasarkan hak asasi manusia. Pelayanan ini diberikan secara
terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui berbagai upaya, seperti menjamin ketersediaan sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa; meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pieper dan van Uden mendefinisikan kesehatan mental sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang realistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, mampu menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya (Pieper & van Uden, 2005).
Zakiah Daradjat (dalam Fuad, 2016) mengemukakan sebuah rumusan kesehatan jiwa sebagai berikut.
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa dan dari gejala-gejala penyakit jiwa. Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut pandang kesehatan jiwa.
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup.
Pengertian ini lebih umum daripada pengertian yang pertama, karena berkaitan dengan kehidupan sosial seorang individu. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Kesehatan mental berarti terwujudnya harmoni antara fungsi-fungsi jiwa, serta adanya kemampuan untuk menghadapi masalah dan tantangan normal, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup.
4. Kesehatan mental merupakan pemahaman dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
2. Depresi
Depresi adalah respons yang normal terhadap berbagai tekanan kehidupan.
Depresi dianggap abnormal apabila terjadi di luar kewajaran dan berlanjut melebihi batas di mana mayoritas orang sudah dapat pulih kembali. Chaplin dalam Dirgayunita (2016) mendefinisikan depresi pada dua keadaan, yaitu depresi pada orang normal dan pada kasus patologis. Pada orang normal, depresi merupakan keadaan kemurungan yang ditandai dengan perasaan tidak nyaman, menurunnya produktivitas, dan pesimisme menghadapi masa depan. Sedangkan pada kasus patologis, depresi merupakan keengganan yang ekstrem untuk bereaksi terhadap stimulus, disertai turunnya nilai diri, delusi negatif, perasaan tidak mampu dan putus asa.
Depresi adalah keadaan emosional yang diketahui, namun tidak dialami oleh semua orang. Depresi adalah keadaan yang menguras energi, dan menempatkan penderitanya dalam emosi negatif, dan jauh dari semua alasan positif untuk bahagia.
Depresi juga didefinisikan dengan elegan oleh ulama besar muslim, Abu Zaid al- Balkhi, dalam bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Abu Zayd mengungkapkan bahwa depresi adalah keadaan kegelisahan yang dapat dijelaskan sebagai kesedihan yang paling mendalam. kegelisahan seperti nyala api yang menyala, dan kesedihan seperti bara api yang tersisa setelah nyala api ini padam (Bulut et al., 2021).
Menurut Beck (Beck et al., 1985), depresi merupakan sebuah “primary mood disorder” atau sebagai suatu “affective disorder”. Depresi memiliki beberapa komponen. Komponen yang pertama yaitu komponen afektif di mana penderitanya merasakan kesedihan yang berkepanjangan dan keadaan jiwa yang apatis. Komponen kognitif adalah cara berpikir yang salah dalam memandang realitas di luar dan di dalam diri sendiri, sehingga terbentuk konsep diri yang negatif yang berlanjut pada perasaan rendah diri. Di samping itu, aspek fisiologis juga terpengaruh yang antara lain menyebabkan insomnia, rendahnya nafsu makan serta hilangnya gairah seksual.
Aspek perilaku juga terdampak dengan hilangnya kemampuan untuk berfungsi secara wajar serta rendahnya dorongan dan energi untuk bertindak.
Lebih jauh, Beck menerangkan bahwa kognisi negatif adalah sumber primer depresi. Orang yang sedang mengalami depresi biasanya mempunyai pandangan diri yang negatif. Pandangan negatif ini juga dapat mengenai dunianya dan mengenai masa depannya. Orang yang mengalami depresi mengambil kesimpulan yang salah sebagai akibat dari penilaian negatif dirinya, dunianya dan masa depannya.
Akibatnya, suasana hatinya menjadi murung, kemampuannya menurun drastis, dirinya menolak harapan-harapan dan mungkin mempunyai pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Beck menghubungkan tingkat depresi dengan gejala-gejala antara lain, menurunnya selera makan, gangguan tidur, hilangnya gairah seksual, dan kelelahan yang tinggi.
3. Kecemasan
Kecemasan atau anxiety adalah salah satu gangguan kesehatan mental yang paling banyak ditemui (Kessler et al., 2005). Kecemasan atau anxiety adalah respons manusia terhadap ancaman atau bahaya. Setiap pengalaman kecemasan melibatkan persepsi bahaya dan pikiran tentang bahaya (Moss, n.d.). Nevid dkk. menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid et al., 2014). Menurut Gail W. Stuart, kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, dan berkaitan dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan (Stuart, 2013).
Dewasa ini, gangguan kecemasan telah menjadi masalah kesehatan mental global. Gangguan kecemasan juga membebankan biaya besar pada masyarakat.
Mengingat efek pribadi dan sosial yang merugikan dari gangguan kecemasan, beban
ekonomi dari kecemasan sangat besar, baik dalam beban biaya langsung layanan maupun biaya tidak langsung yang bersumber dari hilangnya produktivitas.
Kecemasan dalam satu penelitian di Amerika mengakibatkan sekitar 60,4 juta hari per tahun dalam penurunan produktivitas, yang setara dengan tingkat penurunan produktivitas yang terkait dengan pneumonia. Berdasarkan penelitian, beban tahunan di Amerika Serikat yang disebabkan oleh gangguan kecemasan mencapai 42 miliar dolar (Greenberg et al., 1999). Indonesia juga mencatat prevalensi gangguan jiwa yang mengkhawatirkan. Di tahun 2020 setidaknya 18.373 jiwa mengalami gangguan kecemasan, lebih dari 23.000 menderita depresi dan sekitar 1.193 jiwa melakukan percobaan bunuh diri (antaranews.com, 2021).
Kecemasan adalah hal yang lumrah dan normal, sebagai respons manusia terhadap ancaman dan kekhawatiran. Kecemasan bahkan bisa merupakan hal yang positif karena membuat manusia lebih berhati-hati dalam menjalankan hidupnya.
Contohnya, kecemasan mungkin membuat seseorang menjalani medical check-up karena khawatir akan kesehatannya. Contoh lain adalah seorang mahasiswa yang belajar sebelum menempuh ujian karena khawatir tidak mendapatkan hasil maksimal dalam ujian. Kecemasan menjadi masalah ketika dirasakan tidak proporsional, atau jauh lebih besar dari yang seharusnya, atau ketika kecemasan ini dirasakan tanpa adanya stimulus atau ancaman yang benar-benar terjadi. Respons kecemasan yang abnormal ini bisa menyebabkan tekanan terhadap kesehatan mental seseorang.
Respons abnormal ini dinamakan gangguan kecemasan atau anxiety disorder (Nevid et al., 2014).
Clark dan Beck menyebutkan beberapa gejala kecemasan, antara lain gejala fisiologis: jantung berdebar, sesak nafas, berkeringat, nyeri dada, menggigil, gemetar, mulut kering dan pingsan. Gejala afektif yaitu meliputi mudah tersinggung, gugup, gelisah dan tegang. Gejala berikutnya yaitu meliputi aspek kognitif seperti rasa takut tidak dapat menyelesaikan masalah, takut mendapatkan komentar dan umpan balik yang negatif, kurang konsentrasi dan fokus, serta sulit melakukan penalaran. Respons perilaku yang biasanya berkaitan dengan gangguan kecemasan adalah kecenderungan menghindari situasi yang mengancam, mencari perlindungan, dan kesulitan bicara (Clark & Beck, 2011).
Gail W. Stuart (2013) mengelompokkan gejala kecemasan dalam respons perilaku, kognitif, dan afektif.
Respons perilaku, di antaranya gelisah, ketegangan fisik, tremor atau gemetar, bicara dengan cepat, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, hiperventilasi, dan kewaspadaan yang berlebihan.
Respons kognitif di antaranya: perhatian yang mudah terganggu, konsentrasi yang buruk, kecenderungan melupakan sesuatu, hambatan berpikir, menurunnya jangkauan persepsi, menurunnya kreativitas dan produktivitas, mudah bingung, kewaspadaan yang berlebihan, kehilangan objektivitas, timbulnya perasaan takut kehilangan kontrol, ketakutan yang tidak wajar terhadap cedera atau kematian, meningkatnya frekuensi kilas balik, dan mengalami mimpi buruk.
Respons afektif di antaranya: mudah tersinggung, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada yang berlebihan, kengerian, kekhawatiran yang di luar kewajaran, rasa bersalah, dan rasa malu yang berlebihan.
Terdapat beberapa jenis gangguan kecemasan yang sulit untuk didiagnosis dan sulit dibedakan dari kondisi kesehatan mental lainnya (Baxter et al., 2014).
Gangguan kecemasan, atau bahkan hanya gejala kecemasan, dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup fungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan (Mendlowicz, 2000). Dalam sebuah studi metaanalitik dari 23 penelitian, Olatunji. Cisler dan Tolin mengemukakan bahwa penderita gangguan kecemasan mengalami penurunan kualitas hidup (quality of life) dibandingkan dengan populasi kontrol. Penurunan kualitas hidup ini ditemukan dalam seluruh jenis gangguan kecemasan (Olatunji et al., 2007).
Tidak ada jawaban jelas mengenai penyebab gangguan kecemasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah hal yang disinyalir menjadi faktor penyebab gangguan kecemasan. Tidak berbeda dengan gangguan kesehatan mental lainnya, gangguan kecemasan dapat disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor, di antaranya faktor biologis dan faktor psikologis. Pengalaman hidup yang berat seperti kejadian dalam hidup yang traumatis, masalah perkembangan anak, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, serta masalah kesehatan mental yang lain.
Kecemasan bisa berasal dari faktor eksternal dan internal seseorang. Ramaiah (dalam Nugraha, 2020) menjelaskan bahwa faktor eksternal antara lain lingkungan di mana kita tinggal yang memberi warna pola berpikir seseorang mengenai diri sendiri ataupun orang lain. Peristiwa ini disebabkan adanya peristiwa dan pengalaman yang kurang menyenangkan pada seseorang terhadap keluarga, teman, atau dengan teman kerja. Akibatnya seseorang tersebut merasa insecure terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Selanjutnya faktor internal adalah perasaan yang tidak diungkapkan dan di-repress. Kecemasan dapat terjadi jika seseorang kurang mampu menemukan solusi untuk perasaannya sendiri, terutama jika dirinya memendam perasaan marah atau frustrasi dalam tempo yang panjang. Faktor lainnya adalah hal- hal mengenai tubuh dan pikiran selalu saling terhubung dan mampu menimbulkan kecemasan.
Peristiwa ini biasa terjadi pada peristiwa-peristiwa dalam kehidupan seperti pada saat hamil, sewaktu remaja dan setelah pulih dari sebuah penyakit atau cedera. Setelah mengalami peristiwa-peristiwa tersebut kecemasan adalah hal yang lumrah terjadi.
4. Depresi dan kecemasan dalam Al Qur’an
Istilah yang terkait dengan kecemasan dan depresi telah banyak disebut dalam Al-Qur'an. Istilah kecemasan dan depresi juga disebutkan bersamaan dalam satu ayat di banyak tempat dalam Al Qur’an. Istilah yang terkait dengan kecemasan dan depresi disebutkan secara bersama dalam 12 ayat di dalam Al Qur’an. Di mana 6 ayat di antaranya terdapat dalam Surat Al Baqarah. Ayat-ayat tersebut adalah QS. 2: 38, 62, 112, 262, 274, dan 277, QS. 3: 170. QS. 5: 69. QS 6: 48. QS 7: 35, 49. Dan QS 10: 62. Banyaknya penyebutan kedua gangguan kesehatan mental ini secara bersama- sama menunjukkan perhatian Al Qur’an terhadap dua gangguan kesehatan mental ini.
Al Qur’an ingin menyampaikan bahwa kecemasan dan depresi merupakan emosi terkuat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Di samping itu, kecemasan dan depresi mewakili dua kutub waktu di mana kecemasan merupakan emosi negatif manusia yang terkait dengan masa yang akan datang, sedangkan depresi umumnya terkait dengan masa lalu.
Allah SWT berbicara tentang kecemasan (khauf) dalam bentuk kata benda dan berbicara tentang kesedihan (huzn) dalam bentuk kata kerja. Hal ini menunjukkan bahwa rasa takut dan cemas adalah respons manusia terhadap bahaya dan ancaman, serta merupakan sebuah reaksi bawah sadar. Karenanya rasa takut dan cemas yang normal tidak berada dalam kendali manusia. Karena itu, di dalam Al Qur’an ketakutan dan kecemasan banyak disebutkan menggunakan bentuk kata benda (khauf) Di lain pihak, kesedihan dan perasaan depresi merupakan tindakan sadar.
Satu orang bisa berduka dan yang lain mungkin tidak berduka dalam keadaan yang sama, oleh karena itu, itu datang dalam bentuk kata kerja (yahzan).
Selain itu, akibat yang ditimbulkan oleh rasa takut lebih besar daripada akibat yang disebabkan oleh kesedihan, dan itulah sebabnya Allah menghadirkan penyebutan rasa takut di atas penyebutan kesedihan. Penyebutan kata yang terkait dengan kecemasan dan ketakutan dalam Al Qur’an juga lebih banyak jika dibandingkan dengan kata yang terkait dengan kesedihan.
Al Qur’an menggunakan kata huzn dan berbagai derivasinya untuk menggambarkan kesedihan dan depresi. Kata huzn dalam Al Qur’an disebutkan dalam 42 tempat. Mayoritas kata huzn dalam Al Qur’an yang terdapat dalam Al Qur’an berbentuk fi’l mudhari’ bercorak negatif atau larangan, dan beberapa dalam bentuk isim atau kata benda (Abdul-Baqi, 1945). Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, seorang ulama abad ke-8 H mengatakan bahwa kata huzn dalam Al Qur’an seluruhnya dalam bentuk negatif (menidakkan) atau bentuk larangan (Ibnu-Qayyim, 1996), namun penulis menemukan lima ayat yang mengandung kata huzn dalam bentuk kata benda yang bukan dalam bentuk negatif dan larangan,1 dan satu ayat yang mengandung kata huzn dalam bentuk fi’l mudhari’, bukan dalam bentuk negatif dan larangan.2
Perasaan sedih dan depresi akan dirasakan oleh manusia berkaitan dengan sejumlah persoalan yang dihadapi atau menghampirinya. Dalam Al Qur’an disebutkan sejumlah faktor penyebab munculnya rasa sedih dan depresi dalam jiwa manusia, di antaranya adalah diusir dari tempat tinggal dan negeri kediaman, tidak merasakan kenikmatan hidup, ketidakmampuan menjaga kenyamanan tamu, tidak diterimanya dakwah, perpisahan dengan atau khawatir akan keselamatan anak, penghinaan dan perbuatan licik orang-orang kafir terhadap Al Qur’an, ditimpa bencana, tidak taat kepada perintah Rasul, kecemasan berkaitan dengan peristiwa hari pembalasan, ancaman azab neraka. rasa sakit menjelang melahirkan anak, perceraian, pembicaraan rahasia, teman-teman yang tidak mau berjihad di jalan-Nya, kesesatan, siksa dan dosa, orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak berbuat
1 QS Yusuf:84, 86, QS Fathir: 34, QS At-Taubah 92, QS Al-Qasas:8
2 QS Yusuf: 13
kebajikan, tidak memiliki harta dan kendaraan untuk dinafkahkan guna keperluan perang, dan kedurhakaan atau ketidaktaatan anak terhadap orang tua (Tampubolon, 2020).
Al Qur’an menggunakan kata khauf dan berbagai derivasinya untuk menggambarkan kecemasan dan ketakutan. Kata khauf dalam Al Qur’an disebutkan pada 124 tempat (Abdul-Baqi, 1945).
Kata Khauf berasal dari kata kha, waw dan fa’ yang merujuk kepada makna ketakutan dan keterkejutan. Raghib al-Ashfahani menyebutkan bahwa khauf memiliki arti antisipasi diri manusia terhadap bahaya atau hal yang tidak diinginkan dari tanda atau informasi yang diprediksi. Al-Ashfahani menganggap bahwa khauf itu bersifat naluriah, ia selalu mendampingi manusia kapan dan di mana saja berada.
Al Qur’an menggunakan kata khauf dengan berbagai derivasinya yang berarti takut kepada Allah sebanyak 14 kali. Di samping itu, kata khauf juga digunakan dengan makna ketakutan akan azab di dunia dan di akhirat sebanyak 28 kali.
5. Korelasi Antara Religiositas Dan Kesehatan Mental
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Identitas religius masyarakat Indonesia ini sejak lama ada dalam kehidupan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, bahkan sebelum menjadi negara-negara yang merdeka (Zulkarnain, 2017).
Agama merupakan faktor pendukung yang menunjang pemeliharaan kesehatan mental bagi pemeluk-pemeluknya. Abdel-Khalek menjelaskan bahwa religiositas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan mental dan tingkat religiositas yang tinggi adalah indikator tingginya kesehatan mental dan kebahagiaan seseorang (Abdel-Khalek, 2019). Ada korelasi positif antara religiositas dengan kesehatan mental dan kebahagiaan, dan korelasi negatif antara keberagamaan dan masalah kesehatan mental (Abdel-Khalek, 2011). Tiliouine dkk. mengatakan bahwa religiositas dan kesehatan mental mempunyai korelasi yang kuat (Tiliouine et al., 2009). Studi pada masyarakat Indonesia menunjukkan korelasi yang kuat antara religiositas dengan kesehatan mental dan kebahagiaan (Akhyar et al., 2019; Fitriani, 2016; Hamidah et al., 2019; Nasution & Fakhrurrozy, 2018; Saifuddin & Andriani, 2018). Di samping itu, sejumlah penelitian (Lucia & Kurniawan, 2017; Rachman et al., 2018; Risnawati et al., 2019; Suryaman et al., 2013) menunjukkan korelasi positif antara religiositas dan ketahanan atau kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich & Shatté, 2002).
Korelasi positif antara religiositas dan kesehatan mental dan ketahanan tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama Islam, akan tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang beragama lain (Daniele Mugnaini, 2015; Edara et al., 2021;
Foy et al., 2011; Schwalm et al., 2021).
Dalam agama Islam, aspek mental manusia mempunyai kedudukan yang penting dan mendapatkan perhatian. Di dalam terminologi Al Qur’an terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah mental. Di antaranya adalah nafs yang berarti jiwa, dan ‘aql yang berarti akal pikiran. Kata nafs dan berbagai derivasinya disebutkan di dalam Al Qur’an sebanyak 196 kali, sedangkan kata ‘aql dan
derivasinya disebutkan sebanyak 49 kali (Abdul-Baqi, 1945). Imam Al Ghazali menyebut akal manusia sebagai “karakteristik manusia yang paling mulia (al- Ghazali, n.d.).”
Islam mendudukkan kesehatan mental (hifz al ‘Aql) sebagai salah satu dari 5 maqashid utama yang merupakan ruh dari syari’at islam (maqashid syari’ah). Islam menjadikan hifz al ‘aql sebagai maqashid syari’ah yang ketiga, setelah hifz ad din (memelihara agama) dan hifz an nafs (memelihara nyawa dan kehidupan). Hal ini menunjukkan kepada kita sejauh mana Islam memandang kesehatan mental.
Memelihara agama adalah yang pertama; karena itulah tujuan penciptaan manusia.
Memelihara nyawa dan kehidupan adalah yang kedua; karena nyawa dan kehidupan adalah wadah yang memelihara badan, hati dan pikiran. Memelihara pikiran dan mental berada di tempat ketiga, karena akal pikiran adalah sarana untuk menerima ilmu dan memahami perintah dan larangan Allah.
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, kebenarannya bersifat hakiki dan tidak ada keraguan di dalamnya. Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai kitab suci yang berisi petunjuk dan hidayah bagi umat manusia. Di dalam Al Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan mental dan terapi gangguan kecemasan dan depresi sebagai sesuatu yang hendak dicapai oleh setiap manusia.
Muhammad Utsman Najati, berpendapat bahwa Al-Quran diturunkan untuk mengarahkan pikiran manusia, kecenderungan dan tingkah lakunya. Al Qur’an juga turun dengan tujuan memberi petunjuk pada manusia, mengarahkan manusia kepada yang lebih baik dan membekali manusia dengan pikiran-pikiran baru tentang tabiat manusia. Al-Quran berhasil membentuk kepribadian manusia yang utuh dan seimbang, sehingga manusia terhindar dari gejala-gejala terganggunya jiwa yang mengakibatkan terganggunya perilaku manusia tersebut.
Lebih lanjut, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, dan hidupmu sebelum kematianmu." Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Dunya (1995).
Memanfaatkan hidup sebelum mati bisa mengacu pada menjaga kesejahteraan dan kesehatan mental yang tinggi karena tanpa kesehatan mental yang optimal seseorang tidak dapat menyadari dan memenuhi potensinya. Itulah sebabnya menjaga kondisi mental yang baik juga dapat dianggap sebagai tindakan ibadah.
6. Terapi Gangguan Kecemasan Dan Depresi Dalam Al Qur’an
Al Qur’an Telah Memberikan Beberapa Terapi Yang Bisa Menjadi Solusi Dalam Menangani Gangguan Kecemasan Dan Depresi.
7. Terapi Zikir
Salah satu terapi gangguan kesehatan mental yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah berzikir mengingat Allah. Allah berfirman dalam QS Ar Ra’d: 28 “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Zikir mempengaruhi dinamika psikologis seseorang. Zikir dapat membuat hati menjadi tenang. Hati yang tenang berakibat kepada bersihnya pikiran dan sehatnya jasmani.
Zikir akan membawa pemikiran dan kondisi jiwa seseorang menjadi terarah dan seimbang (Sumarni, 2020). Dengan berzikir, seseorang akan merasakan kedekatan dirinya dengan Sang Pencipta, serta merasakan penjagaan perlindungan dari-Nya.
Hal ini lebih lanjut akan menimbulkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tenteram dan bahagia. Timbulnya perasaan-perasaan ini dalam diri seseorang dapat menjaga mental dan memelihara kesehatan jiwanya. Zikir merupakan terapi yang efektif dalam menangani gangguan kecemasan dan depresi.
Fitriani dan Supradewi (2019) melakukan penelitian mengenai terapi relaksasi zikir terhadap pasien kasus gangguan fobia, salah satu jenis gangguan kecemasan (anxiety). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti sampai pada kesimpulan bahwa terapi relaksasi Zikir dapat menurunkan kecemasan penderita fobia yang pada akhirnya menurunkan tingkat fobia pasien. Pada penelitian ini juga ditemukan penurunan gejala kecemasan sesudah mengikuti terapi. Salah satu subjek yang diteliti mengalami perubahan tingkat fobia dari berat menjadi sedang. Terdapat juga pasien yang mengalami penurunan tingkat fobia berat menjadi fobia ringan. Relaksasi yang disertai dengan Zikir mendorong munculnya rasa berserah diri pada Sang Pencipta, hilangnya perasaan sendiri (loneliness), dan munculnya pemikiran bahwa Allah akan selalu bersama kita. Perasaan-perasaan tersebut memperkuat kondisi nyaman yang ditimbulkan saat proses relaksasi, yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kecemasan.
8. Terapi Al Qur’an
Terapi dengan Al Qur’an maksudnya adalah menggunakan Al Qur’an sebagai media atau cara memberikan pelayanan penyembuhan pada gangguan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun psikis. Allah berfirman dalam Al Qur’an, “Hai manusia!
Telah datang nasihat dari Tuhanmu sekaligus sebagai obat bagi hati yang sakit, petunjuk serta rahmat bagi yang beriman.” QS. Yunus: 57. Terapi menggunakan Al- Qur’an dibagi menjadi dua cara yaitu dengan membaca dan menyimak bacaan Al Qur’an.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Mashitah & Lenggono (2020), mengenai pengobatan dengan pembacaan Al Qur’an dan dampaknya terhadap depresi pada pasien yang menjalani sesi pengobatan hemodialisis. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa dengan menerapkan bacaan Al-Qur'an kepada pasien selama perawatan, pasien menunjukkan penurunan yang signifikan dari tingkat depresi, mereka juga menunjukkan peningkatan kualitas spiritual hidup mereka. Menariknya, pembacaan Alquran selama perawatan medis tidak hanya mengurangi tingkat depresi tetapi juga memiliki pengurangan tingkat kecemasan yang efektif.
Lebih jauh, pembacaan dan pemaknaan Al Qur’an mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penurunan tingkat kecemasan dan depresi. Hal ini terjadi karena seseorang selain mendapatkan ketenangan dalam membaca Al-Qur’an yang
dilakukan berulang-ulang namun juga mengalami masukan kognitif dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca, dihafalkan, dan dimengerti arti dan maknanya sehingga memiliki pemahaman yang tepat dalam menilai permasalahan dan mendapatkan insight dari makna kandungan Al-Qur’an.
9. Terapi Doa
Doa mengandung kekuatan spiritual yang dapat meningkatkan rasa percaya diri dan optimisme, dua hal yang esensial untuk memelihara mental yang sehat. Metode doa dapat memelihara rasa optimis di dalam diri serta menjauhkan rasa pesimis dan putus asa. Lebih dari itu, doa memainkan peranan penting dalam penciptaan kesehatan mental dan semangat hidup. Doa mempunyai makna penyembuhan bagi stres dan gangguan kejiwaan. Doa juga mengandung manfaat untuk pencegahan terhadap terjadinya keguncangan jiwa dan gangguan kejiwaan. Lebih dari itu, doa mempunyai manfaat bagi pembinaan dan peningkatan semangat hidup. Atau dengan kata lain, doa mempunyai fungsi kuratif, preventif dan konstruktif bagi kesehatan mental (Samsidar, 2020).
Doa yang berkualitas tinggi akan menimbulkan di dalam jiwa pasien perasaan kehadiran Allah SWT., kedamaian, ketenangan, semangat hidup, sugesti dan motivasi yang positif, rasa optimis, dan rasa percaya diri. Semuanya ini merupakan unsur-unsur yang penting bagi penyembuhan gangguan kecemasan dan depresi.
Sedang bagi terapis doa yang berkualitas tinggi akan mempunyai efek yang sangat besar untuk membantu memelihara mental.
Berdoa dan mendengarkan doa-doa dapat menurunkan tingkat kecemasan secara signifikan. Pada sebuah penelitian, ditemukan bahwa terapi doa dapat menurunkan tingkat kecemasan. Skor kecemasan pada pasien hemodialisis sebelum dan sesudah mendengarkan doa mengalami penurunan yang signifikan (Alivian et al., 2019).
Kesimpulan
Kecemasan dan depresi merupakan dua gangguan kesehatan mental yang banyak menjangkiti masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Islam memandang bahwa kesehatan mental merupakan hal utama yang harus dijaga dan dipelihara demi kesejahteraan dan maslahat umat manusia. Oleh karena itu, menjaga kesehatan mental merupakan bagian dari ibadah. Al Qur’an memberikan solusi untuk memelihara mental dari gangguan kecemasan dan depresi, yaitu terapi zikir, terapi Al Qur’an dan terapi doa.
BIBLIOGRAFI
Abdel-Khalek, A. M. (2011). Islam And Mental Health: A Few Speculations. Mental
Health, Religion & Culture, 14(2), 87–92.
Https://Doi.Org/10.1080/13674676.2010.544867. Google Scholar
Abdel-Khalek, A. M. (2019). Religiosity And Well-Being. In V. Zeigler-Hill & T. K.
Shackelford (Eds.), Encyclopedia Of Personality And Individual Differences (Pp. 1–8).
Springer International Publishing. Https://Doi.Org/10.1007/978-3-319-28099-8_2335-1.
Google Scholar
Abdul-Baqi, M. F. (1945). Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazh Al-Qur’an Al-Karim. Dar Al-Kutub Al-Mishriyah. Google Scholar
Akhyar, M., Ifthiharfi, R., Wahyuni, V., Ardhani, M., Putri, V. Y., & Rafly, M. (2019).
Hubungan Religiusitas Dengan Subjective Well-Being Pada Lansia Di Jakarta. Mind Set: Jurnal Ilmiah Psikologi, 10(2), 7. Google Scholar
Al-Ghazali, A.-H. (N.D.). Al-Mustasfa Min ’Ilm Al-Ushul. Syarikat Al-Madinah Al- Munawwarah. Google Scholar
Alivian, G. N., Purnawan, I., & Setiyono, D. (2019). Efektifitas Mendengarkan Murottal Dan Doa Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Hemodialisis Di RSUD Wates.
6, 5. Google Scholar
Antaranews.Com. (2021, October 8). Antara News. Antara News.
Https://Www.Antaranews.Com/Berita/2444893/Kemenkes-Angka-Gangguan- Kecemasan-Naik-68-Persen-Selama-Pandemi. Google Scholar
Baasher, T. A. (2001). Islam And Mental Health. Eastern Mediterranean Health Journal, 7(3), 372–371. Google Scholar
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. (2018). Laporan Nasional RISKESDAS 2018 (P. 674). Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Http://Labdata.Litbang.Kemkes.Go.Id/Ccount/Click.Php?Id=19. Google Scholar
Baxter, A. J., Vos, T., Scott, K. M., Norman, R. E., Flaxman, A. D., Blore, J., &
Whiteford, H. A. (2014). The Regional Distribution Of Anxiety Disorders: Implications For The Global Burden Of Disease Study, 2010: The Regional Distribution Of Anxiety Disorders. International Journal Of Methods In Psychiatric Research, 23(4), 422–438.
Https://Doi.Org/10.1002/Mpr.1444. Google Scholar
Beck, A. T., Emery, G., & Greenberg, R. L. (1985). Anxiety Disorders And Phobias: A Cognitive Perspective ([15th Anniversary Ed.], Rev. Pbk. Ed). Basic Books. Google Scholar
Bulut, S., Hajiyousouf, I. I., & Nazir, T. (2021). Depression From A Different Perspective. Open Journal Of Depression, 10(04), 168–180.
Https://Doi.Org/10.4236/Ojd.2021.104011. Google Scholar
Clark, D. A., & Beck, A. T. (2011). Cognitive Therapy Of Anxiety Disorders: Science And Practice. Guilford Press. Google Scholar
Copeland, S., & Marsden, S. (2020). The Relationship Between Mental Health Problems And Terrorism (Knowledge Management Across The Four Counterterrorism
‘Ps’). Centre For Research And Evidence On Security Threats. Google Scholar
Daniele Mugnaini, S. L. (2015). Role Of Religion And Spirituality On Mental Health And Resilience: There Is Enough Evidence. International Journal Of Emergency Mental Health And Human Resilience, 17(3). Https://Doi.Org/10.4172/1522- 4821.1000273. Google Scholar
Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, Penyebab Dan Penanganannya. Journal An-Nafs:
Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 1–14. Https://Doi.Org/10.33367/Psi.V1i1.235.
Google Scholar
Edara, I. R., Del Castillo, F., Ching, G. S., & Del Castillo, C. D. (2021). Religiosity, Emotions, Resilience, And Wellness During The COVID-19 Pandemic: A Study Of Taiwanese University Students. International Journal Of Environmental Research And Public Health, 18(12), 6381. Https://Doi.Org/10.3390/Ijerph18126381. Google Scholar
Fitriani, A. (2016). PERAN RELIGIUSITAS DALAM MENINGKATKAN. Al-Adyan, XI(1), 24. Google Scholar
Fitriani, A., & Supradewi, R. (2019). Desensitisasi Sistematis Dengan Relaksasi Zikir Untuk Mengurangi Gejala Kecemasan Pada Kasus Gangguan Fobia. PHILANTHROPY:
Journal Of Psychology, 3(2), 75. Https://Doi.Org/10.26623/Philanthropy.V3i2.1689.
Google Scholar
Foy, D. W., Drescher, K. D., & Watson, P. J. (2011). Religious And Spiritual Factors In Resilience. In S. M. Southwick, B. Litz, D. Charney, & M. J. Friedman (Eds.), Resilience And Mental Health (Pp. 90–102). Cambridge University Press.
Https://Doi.Org/10.1017/CBO9780511994791.008. Google Scholar
Fuad, I. (2016). Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 31–50.
Https://Doi.Org/10.33367/Psi.V1i1.245. Google Scholar
Greenberg, P. E., Sisitsky, T., Kessler, R. C., Finkelstein, S. N., Berndt, E. R., Davidson, J. R. T., Ballenger, J. C., & Fyer, A. J. (1999). The Economic Burden Of Anxiety Disorders In The 1990s. The Journal Of Clinical Psychiatry, 60(7), 427–435.
Https://Doi.Org/10.4088/JCP.V60n0702. Google Scholar
Hamidah, T., Diponegoro, J., & Gamal, H. (2019). HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ANGGOTA SATPAMWAL DENMA MABES TNI. IKRA-ITH HUMANIORA : Jurnal Sosial Dan Humaniora, 3(2), 8. Google Scholar
Ibnu-Qayyim, M. Ibn A. B. (1996). Madarij Al-Salikin Bayna Manazil Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in (Vol. 1). Dar Al-Kutub Al-’Arabi. Google Scholar
Kessler, R. C., Chiu, W. T., Demler, O., & Walters, E. E. (2005). Prevalence, Severity, And Comorbidity Of 12-Month DSM-IV Disorders In The National Comorbidity Survey Replication. ARCH GEN PSYCHIATRY, 62, 12. Google Scholar
Lucia, R., & Kurniawan, J. E. (2017). Hubungan Antara Regiliusitas Dan Resiliensi Pada Karyawan. 11. Google Scholar
Mashitah, M. W., & Lenggono, K. A. (2020). Quran Recitation Therapy Reduces The Depression Levels Of Hemodialysis Patients. International Journal Of Research In Medical Sciences, 8(6), 2222. Https://Doi.Org/10.18203/2320-6012.Ijrms20202271.
Google Scholar
Mendlowicz, M. V. (2000). Quality Of Life In Individuals With Anxiety Disorders.
American Journal Of Psychiatry, 157(5), 669–682.
Https://Doi.Org/10.1176/Appi.Ajp.157.5.669. Google Scholar
Moss, D. (N.D.). PSYCHOLOGICAL PERSPECTIVES ANXIETY DISORDERS. 50.
Google Scholar
Nasution, D. E., & Fakhrurrozy, M. (2018). KONTRIBUSI RELIGIUSITAS TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PECANDU NARKOBA YANG SEDANG MENJALANI REHABILITASI DI BNN. Jurnal Psikologi, 11(2), 126–134. Https://Doi.Org/10.35760/Psi.2018.V11i2.2257. Google Scholar
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2014). Abnormal Psychology In A Changing World (Nineth Edition). Pearson. Google Scholar
Nugraha, A. D. (2020). Memahami Kecemasan: Perspektif Psikologi Islam. IJIP : Indonesian Journal Of Islamic Psychology, 2(1), 1–22.
Https://Doi.Org/10.18326/Ijip.V2i1.1-22 Google Scholar
Olatunji, B. O., Cisler, J. M., & Tolin, D. F. (2007). Quality Of Life In The Anxiety Disorders: A Meta-Analytic Review. Clinical Psychology Review, 27(5), 572–581.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Cpr.2007.01.015. Google Scholar
Pieper, J., & Van Uden, M. (2005). Religion And Coping In Mental Health Care.
BRILL. Https://Doi.Org/10.1163/9789401202954. Google Scholar
Rachman, M. P. N., Fahmi, I., & Hermawati, N. (2018). HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN RESILIENSI PADA SURVIVOR KANKER PAYUDARA. Jurnal Psikologi, 3, 11. Google Scholar
Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills For Overcoming Life’s Inevitable Obstacles (1st Ed). Broadway Books. Google Scholar
Risnawati, E., Arisandi, A., & Dawanti, R. (2019). Peran Religiusitas Dan Psychological Well-Being Terhadap Resiliensi Korban KDRT. Mind Set: Jurnal Ilmiah Psikologi, 10(2), 11. Google Scholar
Saifuddin, M., & Andriani, I. (2018). RELIGIUSITAS DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA WANITA YANG MENGGUNAKAN CADAR. Jurnal Psikologi, 11(2), 200–206. Https://Doi.Org/10.35760/Psi.2018.V11i2.2265. Google Scholar
Samsidar, S. (2020). DOA SEBAGAI METODE PENGOBATAN PSIKOTERAPI ISLAM. Al-Din: Jurnal Dakwah Dan Sosial Keagamaan, 6(2).
Https://Doi.Org/10.35673/Ajdsk.V6i2.1132. Google Scholar
Schwalm, F. D., Zandavalli, R. B., De Castro Filho, E. D., & Lucchetti, G. (2021). Is There A Relationship Between Spirituality/Religiosity And Resilience? A Systematic Review And Meta-Analysis Of Observational Studies. Journal Of Health Psychology, 135910532098453. Https://Doi.Org/10.1177/1359105320984537. Google Scholar
Stuart, G. W. (2013). Principles And Practice Of Psychiatric Nursing (10th Ed).
Elsevier Saunders. Google Scholar
Sumarni, S. (2020). Proses Penyembuhan Gejala Kejiwaan Berbasis Islamic Intervention Of Psychology. NALAR: Jurnal Peradaban Dan Pemikiran Islam, 3(2), 134–147. Https://Doi.Org/10.23971/Njppi.V3i2.1677. Google Scholar
Suryaman, M. A., Stanislaus, S., & Mabruri, M. I. (2013). PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP RESILIENSI PADA PASIEN REHABILITASI NARKOBA YAYASAN RUMAH DAMAI SEMARANG. 5. Google Scholar
Tampubolon, I. (2020). BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM: METODOLOGI MENGHILANGKAN KETAKUTAN DAN KESEDIHAN. Al-Muaddib :Jurnal Ilmu- Ilmu Sosial Dan Keislaman, 5(2). Google Scholar
Tiliouine, H., Cummins, R. A., & Davern, M. (2009). Islamic Religiosity, Subjective Well-Being, And Health. Mental Health, Religion & Culture, 12(1), 55–74.
Https://Doi.Org/10.1080/13674670802118099. Google Scholar
World Health Organization. (2004). Promoting Mental Health. World Health Organization.
Https://Public.Ebookcentral.Proquest.Com/Choice/Publicfullrecord.Aspx?P=4978588.
Google Scholar
World Health Organization. (2018, March 30). Mental Health: Strengthening Our Response. World Health Organization. Https://Www.Who.Int/News-Room/Fact- Sheets/Detail/Mental-Health-Strengthening-Our-Response. Google Scholar
Zulkarnain. (2017, November 11). Warga Negara Religius Sebagai Identitas Kewarganegaraan Di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III.
Konferensi Nasional Kewarganegaraan III, Yogyakarta.
Http://Eprints.Uad.Ac.Id/9756/1/37-44%20Zulkarnain.Pdf. Google Scholar
Copyright holder:
Ulfi Putra Sany (2022)
First publication right:
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
This article is licensed under: