MAKALAH MATA KULIAH GIZI DAN DIET KEBUTUHAN NUTRISI PADA
ANAK SEKOLAH DAN REMAJA
Dosen Pengampu:
Irine Christiani, S.ST, M.Kes.
NIP: 196409211988032002
Penyusun:
1. Adielia Mukti Pribawastuti (P27820724077) 2. Ayu Raniya Luthfiyah (P27820724082)
3. Masyravah Qalby (P27820724102 )
TINGKAT 1 REGULER B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS JENJANG SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA TAHUN AKADEMIK 2024-2025
PEMBAHASAN 1 USIA SEKOLAH
1.1 Pengertian Usia Sekolah
Anak usia sekolah merupakan masa akhir anak anak yang mayoritas berlangsung mulai usia enam tahun hingga dua belas tahun. Anak usia sekolah ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar, dan juga dimulainya sejarah yang baru dalam kehidupannya yang dapat mempengaruhi dan mengubah pengetahuan dan sikapnya (Nasution dalam Harahap, 2018). Selain itu, anak usia sekolah dasar merupakan kelompok yang rentan terhadap kecukupan gizi, sehingga harus terus dipantau untuk menghindari ketidakcukupan gizi.
Anak usia sekolah memiliki kebutuhan yang relatif lebih besar daripada anak dengan usia dibawahnya, karena pada masa ini pertumbuhan akan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Pada kebutuhan gizi anak laki laki dan perempuan juga berbeda, karena anak laki laki lebih banyak melakukan aktifitas fisik sehingga membutuhkan protein dan zat besi yang akan lebih banyak.
Usia ini disebut golongan anak sekolah yang biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas diluar rumah sehingga waktu makan sering lupa. Untuk menjaga kebutuhan tubuh dan supaya lebih mudah menerima pelajaran di sekolah maka asupan perlu diperhatikan. Makanan anak usia sekolah seperti makanan yang dikonsumsi orang dewasa. Dalam proses pertumbuhan, salah satunya dipengaruhi oleh faktor gizi.
1.2 Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi
Gizi merupakan salah satu faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang fisik, sistem saraf dan otak serta tingkat kecerdasan yang bersangkutan. Faktor-faktor lain yang memengaruhi tumbuh kembang anak beberapa diantaranya adalah sebagaimana diuraikan berikut.
1. Faktor Genetik Faktor genetik merupakan modal dasar dalam pencapaian hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetic yang terkandung didalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan.
Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang.
2. Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan
tercapainya potensi bawaan. Faktor lingkungan secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yakni prenatal dan postnatal.
a. Faktor lingkungan prenatal Faktor lingkungan pranatal adalah gizi ibu pada waktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeks, stress, imunitas, anoksi embrio.
b. Faktor lingkungan post-natal Lingkungan post-natal secara umum dibagi menjadi beberapa bagian :
1) Lingkungan biologis: terdiri atas ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, hormon-hormon seks dan sebagainya.
2) Faktor fisik: seperti cuaca , musim, keadaan geografi suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah, struktur bangunan, ventilasi, cahaya dan kepadatan hunian.
3) Faktor psikologis: yaitu stimulasi, motivasi belajar, ganjaran/ hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitas interaksi antara anak dan orang tua. Faktor keluarga dan adat istiadat: meliputi pekerjaan/pendapatan keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dan keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah/ibu, adat istiadat, norma-norma, tabu, agama, urbanisasi, kehidupan politik masyarakat
1.3 Kebutuhan Zat Gizi Anak Sekolah
Anak usia sekolah yaitu anak yang berusia 5-12 tahun. Anak sudah lebih aktif memilih makanan yang disukai. Kebutuhan energi lebih besar karena mereka lebih banyak melakukan aktifitas fisik, misalnya olahraga, bermain, atau membantu orang tua, kebutuhan gizi pada kelompok ini terutama untuk pertumbuhan dan aktivitas yang besar.
Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan 7-9 tahun, karena pertumbuhan lebih cepat, terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan biasanya. Anak laki-laki banyak melakukan aktivitas fisik sehingga membutuhkan energi lebih banyak. Sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai haid sehingga memerlukan protein dan zat besi yang lebih banyak.
Golongan anak ini disebut juga golongan anak sekolah yang biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas diluar rumah sehingga sering melupakan waktu makan.
Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan untuk menjaga ketahanan tubuh, dan supaya anak
lebih mudah menerima pelajaran. Golongan anak sekolah telah mempunyai daya tahan yang cukup terhadap berbagai penyakit.
Makanan anak sekolah sama seperti orang dewasa. Nafsu makan umumnya lebih baik daripada golongan anak kecil. Sebagian besar kelompok anak ini banyak mengonsumsi gula, coklat dan sebagainya sehingga banyak yang menderita karies gigi.
Bertambahnya berbagai ukuran tubuh pada proses tumbuh, salah satunya dipengaruhi oleh faktor gizi. Masukan gizi yang tepat, baik dalam jumlah maupun jenisnya berpengaruh terhadap proses tumbuh.
1. Protein
Protein dibutuhkan untuk membangun dan memelihara otot, darah, kulit, tulang dan jaringan serta organ-organ tubuh lain. Protein juga digunakan untuk menyediakan energi. Protein terbuat dari asam amino dan diantaranya ada asam amino yang tidak dapat dibuat dalam tubuh, oleh karenanya harus diperoleh dari makanan sehari hari. Asam amino demikian disebut dengan asam amino esensial. Pada anak, fungsi terpenting protein adalah untuk pertumbuhan.
Bila kekurangan protein berakibat pertumbuhan yang lambat dan tidak dapat mencapai kesehatan dan pertumbuhan yang normal. Kecukupan protein juga esensial untuk membangun antibodi sebagai pelindung dari penyakit infeksi. Untuk pertumbuhan yang optimal diperlukan masukan protein dalam jumlah yang cukup.
Konsumsi protein melebihi kebutuhan protein yang dianjurkan juga berdampak kurang baik, karena akan menyebabkan dehidrasi dan suhu badan sering naik.
2. Lemak
Lemak merupakan zat gizi esensial yang berfungsi untuk sumber energi, penyerapan beberapa vitamin dan memberikan rasa enak dan kepuasan terhadap makanan. Selain fungsi diatas, lemak juga sangat esensial untuk pertumbuhan, terutama untuk komponen membrane sel dan komponen sel otak. Lemak yang esensial untuk pertumbuhan anak disebut asam lemak linoleat dan asam lemak alpha linoleat.
3. Karbohidrat
Karbohidrat yang terdiri dari gula atau karbohidrat sederhana/monosakarida (glukosa, fruktosa dan galaktosa) atau disakarida (glukosa, laktosa dan maltosa), tepung, dan serat makanan merupakan sumber energi makanan. Tepung, glikogen dan serat makanan (selulosa, pektin) sebagai karbohidrat kompleks tidak bisa dicerna sehingga tidak memberikan energi, tetapi masih sangat penting dalam mencegah
penggunaan protein menjadi energi. Demikian juga kelebihan konsumsi karbohidrat akan disimpan didalam tubuh dalam bentuk glikogen atau lemak tubuh sehingga akan mengakibatkan kegemukan bahkan obesitas. Dengan demikian kebutuhan karbohidrat secara tidak langsung berperan dalam proses pertumbuhan.
4. Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada protein lemak dan karbohidrat, tetapi sangat esensial untuk tubuh. Keduanya mengatur keseimbangan kerja tubuh dan kesehatan secara keseluruhan. Beberapa mineral juga merupakan bagian dari berbagai jaringan tubuh.
1.4 Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Gambar 1.1: Tabel Kebutuhan Gizi berdasarkan Usia Anak (Kementerian Kesehatan RI,2019)
1.5 Permasalahan Gizi Usia Sekolah 1. Kekurangan Energi Protein (KEP)
KEP merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang terjadi akibat kurangnya asupan energi dan protein dalam makanan sehari-hari. Kondisi ini dapat menyebabkan anak mengalami pertumbuhan yang terhambat (stunting), berat badan yang tidak sesuai dengan usia (wasting), serta daya tahan tubuh yang lemah. Penyebab utama KEP pada anak usia sekolah adalah pola makan yang tidak seimbang, kondisi sosial-ekonomi rendah, serta kurangnya edukasi gizi di keluarga dan sekolah. Dampak jangka panjang dari KEP dapat menghambat perkembangan intelektual dan produktivitas anak di masa depan.
2. Obesitas pada Anak
Sebaliknya, obesitas menjadi masalah gizi yang semakin meningkat, terutama di perkotaan. Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan antara asupan energi yang tinggi dan aktivitas fisik yang rendah. Pola makan yang tinggi kalori, lemak, dan gula, serta kebiasaan kurang bergerak akibat penggunaan gadget berlebihan, menjadi faktor utama penyebab obesitas pada anak usia sekolah. Obesitas dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2, hipertensi, serta gangguan psikososial seperti rendahnya rasa percaya diri dan stigma sosial.
3. Gangguan Pola Makan
Gangguan pola makan seperti anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan binge eating disorder juga menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan pada anak usia sekolah, terutama remaja. Faktor psikologis, tekanan sosial, serta pengaruh media dapat menyebabkan anak memiliki persepsi tubuh yang tidak sehat dan mengadopsi kebiasaan makan yang berbahaya. Anak dengan gangguan pola makan sering mengalami defisiensi gizi, penurunan berat badan ekstrem, serta gangguan kesehatan mental yang dapat berujung pada komplikasi serius.
4. Kekurangan Mikronutrisi
Selain masalah makronutrisi, kekurangan mikronutrisi seperti zat besi, vitamin A, dan yodium juga banyak ditemukan pada anak usia sekolah. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia, yang berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan kelelahan. Defisiensi vitamin A dapat melemahkan sistem imun dan meningkatkan risiko infeksi. Sementara itu, kekurangan yodium dapat menghambat perkembangan kognitif anak. Penyebab utama kekurangan mikronutrisi adalah pola makan yang tidak bervariasi serta rendahnya konsumsi buah, sayur, dan sumber protein hewani.
1.6 Pola Makan Seimbang Usia Sekolah
Pola makan seimbang adalah pola makan yang mencakup semua kelompok makanan dalam jumlah yang tepat, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Setiap nutrisi memiliki fungsi spesifik yang sangat penting bagi tubuh.
Karbohidrat, yang terdapat pada nasi, roti, atau kentang, berfungsi sebagai sumber utama energi. Protein yang terkandung dalam daging, ikan, telur, serta kacang-kacangan, berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Lemak sehat, yang ditemukan pada alpukat, minyak zaitun, atau ikan berlemak, juga memberikan energi dan mendukung fungsi otak yang optimal.
Sementara itu, vitamin dan mineral, yang banyak ditemukan pada sayuran dan buah-buahan, berfungsi untuk menjaga sistem kekebalan tubuh, mendukung proses metabolisme, dan memelihara kesehatan kulit dan mata. Mengonsumsi berbagai macam makanan ini dengan proporsi yang seimbang akan memberikan anak-anak kebutuhan gizi yang optimal, sehingga mereka dapat berkembang dengan baik.
Pola makan yang sehat pada anak usia sekolah tidak hanya tentang memilih makanan yang tepat, tetapi juga tentang kapan dan bagaimana mereka makan. Mengatur jadwal makan yang teratur sangat penting untuk menjaga energi tetap stabil sepanjang hari. Anak-anak yang tidak sarapan akan lebih mudah merasa lelah dan tidak fokus di sekolah. Oleh karena itu, sarapan yang kaya akan serat, protein, dan karbohidrat sehat, seperti roti gandum dengan telur, atau buah-buahan dengan yogurt, dapat menjadi pilihan yang baik untuk memulai hari.
Selain sarapan, anak-anak juga perlu mendapatkan camilan sehat di antara waktu makan utama. Camilan sehat seperti buah-buahan, kacang-kacangan, atau yogurt akan memberikan tambahan energi dan membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil. Hindari memberi anak-anak camilan yang mengandung banyak gula atau makanan cepat saji yang tinggi lemak dan kalori kosong.
Makanan utama seperti makan siang dan malam harus tetap mengandung karbohidrat kompleks (seperti nasi merah atau pasta gandum), sumber protein yang baik (daging tanpa lemak, ikan, atau tempe), serta banyak sayuran yang kaya akan serat dan mikronutrien.
Dalam hal ini, keberagaman jenis makanan akan membantu anak mendapatkan beragam nutrisi yang mereka butuhkan.
Orang tua memiliki peran penting dalam memastikan anak-anak mereka mengonsumsi pola makan seimbang. Membiasakan anak makan bersama keluarga dapat menjadi momen yang sangat berharga untuk memperkenalkan kebiasaan makan sehat sejak dini. Orang tua bisa memberikan contoh yang baik dengan mengonsumsi makanan sehat dan menghindari makanan tidak sehat di depan anak. Selain itu, orang tua dapat melibatkan anak dalam proses memilih bahan makanan dan memasak di rumah, sehingga anak lebih tertarik untuk mencoba makanan sehat.
Selain itu, orang tua perlu mengedukasi anak tentang pentingnya makan makanan yang bergizi. Dengan memberikan penjelasan mengenai manfaat dari setiap jenis makanan yang mereka konsumsi, anak-anak akan lebih mengerti dan merasa termotivasi untuk menjaga pola makan yang sehat.
Pola makan seimbang sangat penting bagi anak-anak usia sekolah untuk mendukung tumbuh kembang mereka, baik dari sisi fisik maupun mental. Dengan memberikan berbagai
jenis makanan bergizi dalam jumlah yang tepat, anak-anak akan mendapatkan energi yang cukup, serta mendukung perkembangan otak dan tubuh mereka. Pola makan yang sehat juga berperan penting dalam menjaga daya tahan tubuh anak agar tidak mudah sakit. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk membimbing dan memberikan contoh kebiasaan makan yang baik, serta memastikan bahwa anak-anak mereka mendapatkan asupan gizi yang tepat.
Dengan pola makan yang seimbang, anak-anak dapat mencapai potensi terbaik mereka, baik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
2 KEBUTUHAN GIZI PADA ANAK REMAJA 2.1 Pengertian Remaja
Remaja adalah anak yang berusia 10-19 tahun. WHO mendefinisikan remaja sebagai suatu masa di mana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya (pubertas) sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Pada masa ini individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa. Selain itu, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial dan ekonomi yang penuh kepada orang tua menuju keadaan yang relatif lebih mandiri.
Widyastuti, Rahmawati dan Purnamaningrum, mengatakan bahwa remaja atau dalam bahasa inggris disebut adolescence, yang berasal dari bahasa latin yaitu
“adolescere” yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan sosial dan psikologis. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Masa remaja adalah suatu masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10 sampai dengan 19 tahun, dan ini adalah suatu periode masa pematangan organ reproduksi manusia, dan sering kali disebut masa pubertas. Masa remaja adalah periode peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Kurangnya pengetahuan mengenai pedoman gizi seimbang akan berdampak buruk bagi kesehatan dan akan menimbulkan berbagai masalah-masalah gizi, terutama di masa pertumbuhan yang membutuhkan asupan yang mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Menurut BKKBN, usia remaja adalah mereka yang berusia 10 sampai 24 tahun. Pada usia ini juga, aktivitas fisik yang mereka lakukan juga lebih tinggi dibanding kelompok umur lainnya.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Gizi Remaja
Masa remaja merupakan masa perubahan yang dramatis dalam diri seseorang.
Pertumbuhan pada usia anak-anak yang relatif terjadi dengan kecepatan yang sama, secara mendadak meningkat saat memasuki usia remaja. Usia remaja (10-18 tahun) merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab. Soekirman mengatakan dalam aksi pangan dan gizi nasional, penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyebab langsung; seperti makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak.
Penyakit gizi kurang tidak hanya disebabkan oleh makanan, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapatkan makanan yang baik, tetapi karena sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup baik, maka daya tahan tubuh anak akan melemah dan mudah terserang penyakit.
2. Penyebab tidak langsung; seperti ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.
3. Kebiasaan makan yang buruk
Kebiasaan makan yang buruk yang berpangkal pada kebiasaan makan keluarga yang juga tidak baik sudah tertanam sejak kecil akan terus terjadi pada usia remaja.
Mereka makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan berbagai zat gizi dan dampak tidak dipenuhinya
kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan.
Kim Melakukan penelitian di Korea, menemukan bahwa pola makan pada remaja mempengaruhi status gizi mereka. Penelitian ini mengelompokkan remaja pada tiga pola makan. Pertama, yang disebut dengan pola makan tradisional Korea, merupakan pola makan yang banyak mengkonsumsi Kimchi dan nasi, ikan dan rumput laut. Kedua, yang disebut pola makan barat, merupakan pola makan yang banyak mengkonsumsi tepung dan roti, hamburger, pizza, makanan ringan dan sereal, gula dan makanan manis. Ketiga, yang disebut pola makan modifikasi, merupakan
pola makan yang banyak mengkonsumsi mie, tetapi diselingi dengan kimchi dan nasi.
Ditemukan kejadian obesitas sentral paling tinggi pada pola makan barat (16,8%) dari pada pola makan tradisional Korea (9,76%) dan pola makan modifikasi (9,75%).
4. Pemahaman gizi yang keliru
Sayogo mengatakan bahwa tubuh yang langsing sering menjadi idaman bagi para remaja terutama wanita remaja. Hal itu sering menjadi penyebab masalah, karena untuk memelihara kelangsingan tubuh mereka menerapkan pengaturan pembatasan makanan secara keliru. Sehingga kebutuhan gizi mereka tak terpenuhi. Hanya makan sekali sehari atau makan makanan seadanya, tidak makan nasi merupakan penerapan prinsip pemeliharaan gizi yang keliru dan mendorong terjadinya gangguan gizi.
Sakamaki melakukan penelitian bahwa pelajar wanita di China memiliki keinginan yang besar untuk menjadi langsing (62,0%) dibandingkan dengan pelajar lelaki (47,4%). Demikian pula dengan studi sebelumnya yang dilakukan di Jepang, perubahan gaya hidup telah menyebabkan sebagian besar pelajar wanita memiliki keinginan untuk menjadi langsing, meskipun jumlah responden yang mengalami obesitas sangat sedikit pada studi tersebut. Di tahun 2005, mereka menemukan bahwa sebagian besar responden yang memiliki
IMT normal, ternyata menginginkan ukuran tubuh dengan IMT yang tergolong kurus (BMI: 18,4+ 3,4).
5. Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu
Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu saja menyebabkan kebutuhan gizi tak terpenuhi. Keadaan seperti itu biasanya terkait dengan “mode”
yang tengah marak dikalangan remaja. Di tahun 1960 an misalnya remaja-remaja di Amerika Serikat sangat menggandrungi makanan berupa hot dog dan minuman coca cola. Kebiasaan ini kemudian menjalar ke remaja-remaja di berbagai negara lain, termasuk di Indonesia.
6. Promosi yang berlebihan melalui media massa
Usia remaja merupakan usia di mana mereka sangat tertarik pada hal hal baru.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pengusaha makanan untuk mempromosikan produk mereka dengan cara yang sangat mempengaruhi remaja. Padahal, produk makanan tersebut bukanlah makanan yang sehat bila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan.
7. Masuknya produk-produk makanan baru yang berasal dari negara lain secara bebas mempengaruhi kebiasaan makan para remaja.
Jenis-jenis makanan siap santap (fast food) yang berasal dari negara barat seperti hot dog, pizza, hamburger, fried chicken dan french fries, dan berbagai jenis makanan berupa keripik (junk food) sering dianggap sebagai lambang kehidupan modern oleh para remaja. Padahal berbagai jenis fast food itu mengandung kadar lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi di samping kadar garam. Zat-zat gizi itu memicu terjadinya berbagai penyakit kardiovaskuler pada usia muda. Boutelle,, menemukan bahwa konsumsi fast food berhubungan dengan berat badan orang dewasa namun tidak pada remaja. Hal tersebut disebabkan karena remaja membutuhkan banyak kalori untuk aktivitasnya, sehingga fast food tidak mempengaruhi status gizi mereka untuk menjadi obesitas. Namun, konsumsi fast food bisa meningkatkan risiko bagi para remaja untuk menjadi obesitas pada saat dewasa kelak.
2.3 Kebutuhan Zat Gizi pada Usia Remaja
Masa remaja merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, baik secara fisik, kognitif, maupun emosional. Pada fase ini, kebutuhan zat gizi meningkat secara signifikan untuk mendukung berbagai perubahan yang terjadi dalam tubuh. Kebutuhan gizi remaja dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, yang dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai sumber energi dan bahan pembangun tubuh. Sementara itu, zat gizi mikro terdiri dari vitamin dan mineral, yang meskipun dibutuhkan dalam jumlah kecil, memiliki peran krusial dalam berbagai proses metabolisme dan fungsi tubuh. Berikut penjelasan rinci mengenai setiap zat gizi, manfaatnya, serta masalah yang timbul jika terjadi kekurangan.
1. Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi remaja, menyumbang sekitar 45-65%
dari total asupan kalori harian. Karbohidrat dipecah menjadi glukosa, yang digunakan sebagai bahan bakar untuk aktivitas fisik, fungsi otak, dan proses metabolisme lainnya.
Selain itu, karbohidrat juga berperan dalam mendukung pertumbuhan jaringan dan pemeliharaan fungsi tubuh. Kekurangan karbohidrat dapat menyebabkan tubuh terasa lemah, lesu, dan mudah lelah. Penurunan konsentrasi dan performa akademik juga dapat terjadi karena otak tidak mendapatkan pasokan glukosa yang cukup. Dalam jangka panjang, kekurangan karbohidrat dapat mengganggu metabolisme tubuh dan memengaruhi pertumbuhan remaja.
2. Protein dibutuhkan oleh remaja dalam jumlah sekitar 10-30% dari total asupan kalori harian, atau sekitar 0,8-1,2 gram per kilogram berat badan. Protein berfungsi sebagai bahan pembangun utama tubuh, yang digunakan untuk membentuk dan memperbaiki jaringan, termasuk otot, organ, kulit, dan rambut. Selain itu, protein juga diperlukan untuk sintesis enzim, hormon, dan antibodi yang mendukung berbagai fungsi tubuh. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, penurunan massa otot, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Pada remaja, kekurangan protein dapat menghambat pertumbuhan tinggi badan dan perkembangan organ-organ vital.
3. Lemak menyumbang sekitar 25-35% dari total asupan kalori harian dan berfungsi sebagai sumber energi yang padat. Lemak juga membantu penyerapan vitamin larut lemak, seperti vitamin A, D, E, dan K, serta mendukung perkembangan otak dan sistem saraf. Asam lemak esensial, seperti omega-3 dan omega-6, sangat penting untuk perkembangan kognitif dan kesehatan mental remaja. Kekurangan lemak dapat menyebabkan gangguan penyerapan vitamin larut lemak, penurunan fungsi kognitif, serta masalah kulit dan hormonal. Namun, penting untuk memilih sumber lemak yang sehat, seperti lemak tak jenuh, untuk menghindari risiko obesitas dan penyakit kardiovaskular.
4. Vitamin
Vitamin A berperan penting dalam menjaga kesehatan mata, sistem kekebalan tubuh, dan pertumbuhan sel. Vitamin A diperlukan untuk produksi rhodopsin, pigmen dalam retina yang membantu penglihatan dalam kondisi cahaya rendah. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan rabun senja, gangguan imunitas, dan kulit kering. Pada kasus yang parah, defisiensi vitamin A dapat meningkatkan risiko infeksi dan gangguan penglihatan.
Remaja dapat memenuhi kebutuhan vitamin A dengan mengonsumsi makanan seperti wortel, bayam, ubi jalar, dan hati.
Vitamin D membantu penyerapan kalsium dan fosfor, yang penting untuk kesehatan tulang dan gigi. Vitamin D diproduksi oleh tubuh ketika kulit terpapar sinar matahari, namun juga dapat diperoleh dari makanan seperti ikan berlemak, kuning telur, dan susu fortifikasi. Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan rakitis, yaitu pelunakan tulang yang menyebabkan deformitas tulang, serta meningkatkan risiko osteoporosis di kemudian hari.
Remaja membutuhkan asupan vitamin D yang cukup untuk mencapai puncak massa tulang, yang akan melindungi mereka dari risiko pengeroposan tulang di masa dewasa.
Vitamin B kompleks, termasuk B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), B9 (asam folat), dan B12 (kobalamin), berperan dalam mendukung metabolisme energi dan fungsi sistem saraf. Vitamin B kompleks membantu mengubah
makanan menjadi energi, serta mendukung produksi sel darah merah dan fungsi otak.
Kekurangan vitamin B kompleks dapat menyebabkan anemia, kelelahan, dan gangguan saraf. Remaja dapat memenuhi kebutuhan vitamin B kompleks melalui konsumsi biji-bijian, daging, telur, sayuran hijau, dan produk susu.
Vitamin C berperan dalam meningkatkan sistem imunitas dan membantu penyerapan zat besi. Vitamin C juga berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan skorbut, yang ditandai dengan gusi berdarah, lemah, dan mudah infeksi. Remaja dapat memenuhi kebutuhan vitamin C dengan mengonsumsi buah-buahan seperti jeruk, stroberi, kiwi, dan sayuran seperti brokoli dan paprika.
5. Mineral
Kalsium merupakan mineral penting untuk membangun dan memelihara kepadatan tulang dan gigi. Kalsium juga berperan dalam kontraksi otot, pembekuan darah, dan transmisi sinyal saraf. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan osteoporosis dan gangguan pertumbuhan tulang. Remaja membutuhkan asupan kalsium yang cukup untuk mencapai puncak massa tulang, yang akan melindungi mereka dari risiko pengeroposan tulang di masa dewasa. Sumber kalsium yang baik meliputi susu, keju, yoghurt, dan sayuran hijau.
Zat besi berperan penting dalam pembentukan hemoglobin, protein dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia defisiensi besi, yang ditandai dengan lemas, kelelahan, dan penurunan konsentrasi. Remaja perempuan, terutama yang sedang menstruasi, memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekurangan zat besi. Sumber zat besi yang baik meliputi daging merah, hati, kacang-kacangan, dan sayuran hijau.
Zinc atau seng berperan dalam mendukung sistem imun, penyembuhan luka, dan pertumbuhan. Zinc juga diperlukan untuk sintesis DNA dan pembelahan sel. Kekurangan zinc dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, rambut rontok, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Remaja dapat memenuhi kebutuhan zinc melalui konsumsi daging, seafood, biji-bijian, dan kacang-kacangan.
Yodium diperlukan untuk mendukung fungsi tiroid dan metabolisme tubuh. Yodium digunakan oleh kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid, yang mengatur metabolisme, pertumbuhan, dan perkembangan. Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok, yaitu pembengkakan kelenjar tiroid, serta hipotiroidisme, yang ditandai dengan penurunan metabolisme, kelelahan, dan penambahan berat badan. Remaja dapat
memenuhi kebutuhan yodium melalui konsumsi garam beryodium, seafood, dan produk susu.
2.4 Angka Kebutuhan Gizi (AKG)
Kelompok umur (tahun)
Berat badan
(kg)
Tinggi badan (cm)
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Air (ml)
Laki-laki
13-15 50 163 2400 70 80 350 34 2100
16-18 60 168 2650 75 85 400 37 2300
Perempuan
13-15 48 156 2050 65 70 300 29 2100
16-18 52 159 2100 65 70 300 29 2150
Tabel 1.1 Angka Kebutuhan Gizi Usia Remaja Karbohidrat, Energi, Protein, Lemak, Serat, dan Air
Kelompok umur (tahun)
Vit A (RE)
Vit D (mcg)
Vit E (mcg)
Vit K (mcg)
Vit B1 (mg)
Vit B2 (mg)
Vit B3 (mg)
Vit B5 (mg)
Vit B6 (mg)
Vit B9 (mg)
Vit B12 (mg)
Biotin (mcg)
Kolin (mg)
Vit C (mg) Laki-laki
13-15 600 15 15 55 1,2 1,3 16 5 1,3 400 4 25 550 75
16-18 700 15 15 55 1,2 1,3 16 5 1,3 400 4 30 550 90
Perempuan
13-15 600 15 15 55 1,1 1 14 5 1,2 400 4 25 400 65
16-18 600 15 15 55 1,1 1 14 5 1,2 400 4 30 425 75
Tabel Angka Kebutuhan Gizi Usia Remaja Vitamin
Kelompok umur (tahun)
Kals ium (mg)
Fosfor (mg)
Magn esium (mg)
Besi (mg)
Iodi um (mg)
Seng (mg)
Seleni um (mcg)
Man gan (mg)
Fluor (mg)
Kromi um (mcg)
Kali um (mg)
Natri um (mg)
Klorin (mg)
Temba ga (mcg) Laki-laki
13-15 1200 1250 225 11 150 11 30 2,2 2,5 36 4800 1500 2300 795
16-18 1200 1250 270 11 150 11 36 2,3 4 41 5300 1700 2500 890
Perempua n
13-15 1200 1250 220 15 150 9 24 1,6 2,4 27 4800 1500 2300 795
16-18 1200 1250 230 15 150 9 26 1,8 3 29 5000 1600 2400 890
Tabel Angka Kebutuhan Gizi Usia Remaja Mineral
2.5 Permasalahan Gizi Remaja 1. Obesitas
Masalah kesehatan pada remaja semakin meningkat dan menjadi perhatian serius, terutama bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan kesehatan generasi muda sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa, di mana gizi yang baik merupakan investasi penting bagi keberlanjutan negara. Salah satu permasalahan yang semakin sering ditemukan adalah obesitas atau kelebihan berat badan. Untuk mengatasi hal ini, Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai sosialisasi melalui program edukasi kesehatan dan gizi yang bertujuan untuk menciptakan generasi yang sehat, bijak, dan sukses.
Obesitas pada remaja sebagian besar disebabkan oleh pola makan yang kurang sehat. Berdasarkan data dari Global School Health Survey (2015), ditemukan bahwa 65,2% remaja tidak selalu sarapan pagi, 93,6% kurang mengonsumsi sayur dan buah berserat, serta 75,7% cenderung lebih sering mengonsumsi makanan yang tinggi kalori dan lemak. Selain itu, gaya hidup sedentari atau kurangnya aktivitas fisik juga menjadi faktor utama dalam peningkatan angka obesitas. Hanya 2,5% remaja yang aktif secara fisik dalam kesehariannya, sementara sebagian besar lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai atau duduk dalam waktu yang lama. Kombinasi antara pola makan yang buruk dan minimnya aktivitas fisik inilah yang meningkatkan
risiko obesitas dan berbagai penyakit tidak menular seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes, kanker, serta osteoporosis. Penyakit-penyakit ini tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga dapat menurunkan produktivitas serta harapan hidup masyarakat secara keseluruhan.
Obesitas dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu overweight atau kelebihan berat badan, dan obesitas yang merupakan kondisi lebih parah akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh. Saat ini, obesitas tidak lagi dianggap sebagai sekadar gejala, tetapi telah diakui sebagai penyakit yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius. Di Indonesia, jumlah remaja yang mengalami obesitas terus meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan perubahan pola hidup yang semakin tidak sehat.
Obesitas merupakan masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor, baik genetik maupun lingkungan. Meskipun faktor genetik memiliki peran, lingkungan tetap menjadi penyebab utama obesitas pada remaja. Pola makan yang kurang sehat, seperti rendahnya konsumsi sayur dan buah, serta tingginya konsumsi makanan yang digoreng, minuman manis, dan makanan cepat saji, menjadi faktor utama dalam peningkatan angka obesitas. Selain itu, lingkungan yang obesogenik, yaitu lingkungan yang menawarkan makanan tidak sehat dengan harga terjangkau dan dalam jumlah berlimpah, membuat pilihan untuk menjalani gaya hidup sehat menjadi semakin sulit.
Selain pola makan, perkembangan teknologi juga berkontribusi terhadap meningkatnya angka obesitas. Aktivitas fisik remaja semakin berkurang akibat ketergantungan pada perangkat digital seperti ponsel, komputer, dan televisi. Gaya hidup yang minim aktivitas fisik ini sering kali juga diterapkan dalam keluarga dan lingkungan sekolah, sehingga membentuk kebiasaan malas bergerak (mager) yang semakin meluas di kalangan remaja.
Obesitas tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga membawa berbagai konsekuensi negatif bagi kesehatan mental dan sosial. Anak-anak yang mengalami obesitas lebih rentan terhadap gangguan pernapasan seperti asma, mengalami pubertas lebih awal, serta memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker dan diabetes. Selain itu, obesitas juga dapat menyebabkan masalah psikologis seperti kecemasan, rendah diri, serta gangguan makan. Tidak jarang, anak dengan obesitas juga menjadi korban perundungan (bullying) oleh teman sebayanya, yang semakin memperburuk kondisi mental mereka.
Dampak obesitas tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat secara luas. Obesitas berkontribusi terhadap menurunnya angka harapan hidup, meningkatnya beban biaya kesehatan, serta menurunkan produktivitas di lingkungan kerja akibat meningkatnya kasus penyakit tidak menular.
Untuk mencegah obesitas, Kementerian Kesehatan menekankan pentingnya perubahan pola hidup sehat, termasuk memperbaiki kebiasaan makan dengan memperbanyak konsumsi sayur dan buah, mengurangi makanan tinggi lemak dan gula, serta mengontrol porsi makan. Selain itu, remaja dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik, menghindari stres, serta menjaga pola tidur yang cukup.
Kesadaran akan pentingnya gizi dan kesehatan dalam setiap tahap kehidupan perlu terus ditanamkan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.
Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak buruk obesitas dan langkah-langkah pencegahannya, diharapkan remaja dapat menerapkan gaya hidup yang lebih sehat. Dengan demikian, mereka tidak hanya terhindar dari berbagai penyakit kronis, tetapi juga dapat menjalani kehidupan yang lebih produktif dan berkualitas.
2. Anemia
Masalah gizi yang sering dihadapi oleh remaja di Indonesia tidak hanya terbatas pada obesitas, tetapi juga kekurangan gizi mikro, salah satunya adalah anemia. Anemia merupakan kondisi di mana kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah dari normal, sehingga kemampuan sel darah merah dalam mengangkut oksigen ke seluruh tubuh menjadi berkurang. Akibatnya, penderita anemia akan lebih mudah merasa lelah, lemas, dan kurang bertenaga. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi anemia pada anak sekolah dan remaja usia 15–24 tahun mencapai 32%, dengan angka kejadian lebih tinggi pada remaja perempuan dibandingkan laki-laki.
Anemia pada remaja dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang berhubungan dengan pola makan maupun kondisi kesehatan tertentu. Penyebab utama anemia adalah kekurangan zat besi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari.
Remaja yang memiliki pola makan tidak seimbang, seperti kurang mengonsumsi makanan yang kaya zat besi, lebih berisiko mengalami anemia. Zat besi berperan penting dalam pembentukan hemoglobin, sehingga jika asupan zat besi tidak mencukupi, produksi hemoglobin dalam tubuh juga akan menurun.
Selain pola makan, anemia juga dapat disebabkan oleh penyakit kronis yang mengganggu produksi sel darah merah. Penyakit seperti hipotiroidisme, infeksi kronis, atau gangguan pada ginjal dapat menyebabkan defisiensi eritropoetin, yaitu hormon yang berperan dalam produksi sel darah merah.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap anemia adalah infeksi parasit, seperti infeksi cacing tambang dan cacing gelang. Parasit ini dapat menyebabkan pendarahan dalam tubuh secara perlahan, yang pada akhirnya mengurangi jumlah sel darah merah. Oleh karena itu, konsumsi obat cacing secara rutin sangat dianjurkan untuk mencegah infeksi yang dapat menyebabkan anemia.
Pada remaja putri, menstruasi juga menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan anemia. Setiap bulan, tubuh kehilangan sejumlah darah selama periode menstruasi. Jika kehilangan darah ini tidak diimbangi dengan asupan zat besi yang cukup, maka jumlah hemoglobin dalam darah akan terus menurun, sehingga meningkatkan risiko anemia.
Selain itu, anemia juga dapat disebabkan oleh faktor genetik, seperti kelainan darah talasemia. Penderita talasemia mengalami gangguan produksi hemoglobin sehingga mereka membutuhkan transfusi darah secara rutin untuk menjaga kadar hemoglobin tetap normal. Prevalensi pembawa gen talasemia di Indonesia diperkirakan mencapai 3–8%, sehingga skrining genetik menjadi penting untuk mengetahui risiko kelainan ini sejak dini.
Anemia bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan remaja, termasuk konsentrasi belajar, kebugaran, dan produktivitas. Gejala utama anemia meliputi lemas, letih, lesu, dan kurang bergairah (4L). Gejala ini sering kali menyebabkan penurunan daya konsentrasi di sekolah, yang berdampak pada prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang memiliki kadar hemoglobin normal.
Selain itu, anemia juga dapat mengganggu perkembangan kognitif remaja.
Penelitian menunjukkan bahwa setiap penurunan 1 gram hemoglobin per liter darah dapat menyebabkan penurunan IQ sebesar 1,73 poin. Hal ini membuktikan bahwa anemia dapat berdampak langsung terhadap kemampuan berpikir dan memori jangka panjang.
Bagi remaja perempuan, dampak anemia dapat berlanjut hingga masa kehamilan di kemudian hari. Anemia pada ibu hamil meningkatkan risiko komplikasi seperti perdarahan saat persalinan, kelahiran prematur, dan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Kondisi ini dapat berdampak pada kesehatan bayi dan meningkatkan risiko stunting di masa pertumbuhan.
Dalam jangka panjang, anemia juga dapat berdampak pada tingkat produktivitas dan kesejahteraan ekonomi. Remaja yang mengalami anemia cenderung memiliki keterampilan kognitif yang lebih rendah, sehingga dapat memengaruhi peluang mereka dalam mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Studi menunjukkan bahwa anemia dapat berkontribusi terhadap rendahnya penghasilan seseorang di kemudian hari, karena berkurangnya kapasitas intelektual dan fisik.
Mengingat dampak anemia yang cukup serius, upaya pencegahan menjadi sangat penting. Salah satu cara utama untuk mencegah anemia adalah dengan meningkatkan konsumsi makanan yang kaya akan zat besi. Sumber zat besi terbaik berasal dari produk hewani seperti daging merah, hati ayam, dan ikan. Selain itu, zat besi juga bisa diperoleh dari sumber nabati seperti bayam, kacang-kacangan, dan biji-bijian, meskipun penyerapannya lebih rendah dibandingkan dengan zat besi dari hewani.
3. Stunting
Stunting atau kondisi pertumbuhan terhambat masih menjadi masalah gizi utama di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Banyak remaja yang tidak menyadari bahwa tinggi badan mereka lebih pendek dari standar pertumbuhan yang ditetapkan oleh WHO. Rata-rata, tinggi badan anak laki-laki di Indonesia lebih pendek sekitar 12,5 cm dibandingkan standar WHO, sementara anak perempuan lebih pendek sekitar 9,8 cm. Stunting tidak hanya berdampak pada penampilan fisik, tetapi juga memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan dan perkembangan kognitif seseorang.
Stunting dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dalam jangka panjang. Salah satu dampaknya adalah penurunan fungsi kognitif, yang berakibat pada kesulitan dalam belajar dan menurunnya prestasi akademik. Selain itu, gangguan pada sistem metabolisme akibat stunting meningkatkan risiko penyakit degeneratif di masa dewasa, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner, dan obesitas.
Selain berdampak pada kesehatan fisik dan kognitif, stunting juga berhubungan dengan gangguan perkembangan intelektual. Individu yang mengalami stunting sejak kecil cenderung memiliki perawakan pendek hingga dewasa, yang dapat memengaruhi tingkat kepercayaan diri serta peluang mereka dalam dunia kerja.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan pencegahan sejak dini melalui perawatan yang optimal sebelum kehamilan, pemberian ASI eksklusif, serta pengendalian penyakit menular yang dapat menghambat pertumbuhan anak.
Stunting pada remaja merupakan dampak jangka panjang dari konsumsi makanan yang kurang bergizi serta faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan optimal. Asupan makanan yang berkualitas rendah dalam jangka waktu lama, ditambah dengan seringnya terkena penyakit menular, menjadi penyebab utama kondisi ini. Selain itu, faktor lingkungan seperti sanitasi yang buruk juga turut memengaruhi status gizi anak dan remaja.
Kekurangan zat gizi mikro, terutama zat besi (Fe), merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap stunting. Zat besi berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tubuh, termasuk pertumbuhan linear yang menentukan tinggi badan seseorang. Kekurangan zat besi pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan, yang kemudian berlanjut hingga masa remaja.
Stunting memiliki dampak yang lebih besar pada remaja putri, terutama dalam hal kesehatan reproduksi. Remaja putri yang mengalami stunting cenderung memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi saat kehamilan dan persalinan di masa depan. Selain itu, mereka juga lebih rentan terhadap obesitas akibat perubahan metabolisme yang terjadi sebagai dampak dari pertumbuhan yang terhambat.
Dari segi perkembangan, stunting dapat mengurangi kapasitas belajar dan produktivitas kerja. Individu yang mengalami stunting cenderung memiliki daya tahan tubuh yang lebih rendah, sehingga lebih mudah lelah dan kurang mampu bekerja secara optimal. Hal ini dapat berdampak pada peluang ekonomi mereka di masa depan, karena tingkat keterampilan dan produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tumbuh dengan optimal.
Mencegah stunting harus dimulai sejak dini, bahkan sebelum seorang anak lahir. Perawatan pra-kehamilan sangat penting untuk memastikan calon ibu memiliki status gizi yang baik sebelum mengandung. Selama masa kehamilan, ibu hamil harus
mendapatkan asupan gizi yang cukup, terutama zat besi, asam folat, dan protein, guna mendukung pertumbuhan janin yang optimal.
Setelah bayi lahir, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama sangat dianjurkan, diikuti dengan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang bergizi seimbang. Selama masa kanak-kanak dan remaja, pola makan yang sehat dan bergizi harus terus dijaga agar anak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Selain aspek gizi, kebersihan dan sanitasi lingkungan juga harus diperhatikan untuk mencegah infeksi yang dapat menghambat pertumbuhan anak. Program edukasi tentang pola makan sehat dan pentingnya gizi yang cukup juga perlu ditingkatkan di sekolah dan masyarakat agar kesadaran akan pentingnya mencegah stunting semakin meningkat.
2.6 Pola Makan Seimbang Remaja
Pola makan seimbang terdiri dari beberapa komponen utama yang harus dipenuhi oleh tubuh, yaitu karbohidrat, protein, lemak sehat, vitamin, mineral, dan air. Setiap komponen ini memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung fungsi tubuh, terutama bagi remaja yang memiliki aktivitas tinggi.
1. Karbohidrat
Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi tubuh. Makanan yang mengandung karbohidrat seperti nasi, roti, kentang, dan gandum, memberikan energi yang dibutuhkan untuk aktivitas fisik dan mental. Bagi remaja, karbohidrat kompleks seperti nasi merah, roti gandum, dan oat lebih dianjurkan karena mengandung serat yang baik untuk pencernaan dan memberikan rasa kenyang lebih lama.
2. Protein
Protein berperan penting dalam membangun dan memperbaiki jaringan tubuh, serta mendukung sistem kekebalan tubuh. Sumber protein yang baik meliputi daging tanpa lemak, ikan, telur, kacang-kacangan, dan produk susu. Untuk remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan, asupan protein yang cukup sangat penting agar perkembangan otot dan tulang berjalan dengan baik.
3. Lemak Sehat
Lemak sehat juga penting untuk tubuh, terutama untuk membantu penyerapan vitamin dan mendukung fungsi otak. Lemak sehat dapat ditemukan pada makanan seperti alpukat, kacang-kacangan, ikan berlemak seperti salmon, dan minyak zaitun. Meskipun lemak
penting, remaja sebaiknya menghindari lemak jenuh dan trans yang terdapat pada makanan cepat saji dan makanan olahan.
4. Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral memiliki peran vital dalam menjaga fungsi tubuh dan mendukung sistem metabolisme. Sayuran hijau, buah-buahan, susu, dan produk olahan susu merupakan sumber utama vitamin dan mineral, seperti vitamin A, C, D, serta kalsium dan zat besi. Pada masa remaja, kalsium sangat penting untuk pertumbuhan tulang yang sehat, sedangkan zat besi diperlukan untuk mencegah anemia.
5. Air
Air adalah komponen yang sering terabaikan, padahal ia sangat penting untuk menjaga hidrasi tubuh. Tubuh remaja membutuhkan banyak air untuk mendukung metabolisme, menjaga suhu tubuh, dan memastikan organ-organ berfungsi dengan baik.
Remaja sebaiknya meminum air putih minimal 8 gelas sehari, terutama setelah berolahraga atau beraktivitas fisik.
Menerapkan pola makan seimbang dalam kehidupan sehari-hari tidaklah sulit, namun membutuhkan kesadaran dan kebiasaan yang baik. Remaja sering kali tergoda dengan makanan cepat saji atau camilan manis yang kurang bergizi. Untuk itu, penting bagi remaja untuk belajar memilih makanan yang sehat dan mengatur porsinya dengan bijak.
Sebagai contoh, sarapan yang bergizi akan memberi energi yang dibutuhkan untuk memulai hari. Sarapan dapat terdiri dari sumber karbohidrat seperti roti gandum, protein dari telur, dan buah-buahan sebagai sumber vitamin. Di waktu makan siang dan malam, penting untuk memasukkan semua kelompok makanan: karbohidrat, protein, lemak sehat, serta sayuran atau buah sebagai pelengkap.
Camilan sehat seperti yogurt, kacang-kacangan, atau buah segar juga dapat menjadi pilihan yang baik untuk menghindari makanan olahan yang tinggi gula dan garam. Selain itu, remaja juga sebaiknya menghindari kebiasaan makan terlalu malam dan mengatur waktu makan agar tetap teratur.
Pola makan seimbang bagi remaja juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, terutama keluarga dan teman-teman. Orang tua memiliki peran besar dalam membimbing remaja untuk membuat pilihan makanan yang sehat, serta memberikan contoh pola makan yang baik di rumah. Lingkungan sekolah dan teman-teman juga mempengaruhi kebiasaan makan, sehingga penting untuk menciptakan budaya makan yang sehat di lingkungan tersebut.
Pola makan seimbang sangat penting bagi remaja untuk mendukung pertumbuhan tubuh, meningkatkan konsentrasi, dan menjaga kesehatan secara keseluruhan. Dengan mengonsumsi makanan bergizi dari semua kelompok makanan, remaja dapat tumbuh dengan optimal, memiliki energi yang cukup, dan terhindar dari berbagai masalah kesehatan. Pola makan yang sehat tidak hanya memengaruhi fisik, tetapi juga mental dan kebiasaan hidup yang baik di masa depan. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya pola makan seimbang harus dibangun sejak dini, dimulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2.7 Dampak Kekurangan Makro Nutrien dan Mikro Nutrien Dampak Kekurangan Makronutrien
1. Kekurangan Karbohidrat:
Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi tubuh, terutama otak dan otot.
Kekurangan karbohidrat dapat menyebabkan:
➔ Kelelahan dan penurunan energi: Tanpa karbohidrat, tubuh akan kesulitan mendapatkan energi yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari.
➔ Penurunan fungsi otak: Otak sangat bergantung pada glukosa (hasil pencernaan karbohidrat) untuk berfungsi dengan baik. Kekurangan karbohidrat dapat mengganggu konsentrasi, memori, dan kemampuan belajar.
➔ Penyakit metabolik: Kekurangan karbohidrat jangka panjang dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme tubuh, yang berisiko memicu gangguan metabolik seperti ketosis.
2. Kekurangan Protein
Protein diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan sel-sel tubuh, dan fungsi sistem kekebalan tubuh. Kekurangan protein dapat menyebabkan:
➔ Pertumbuhan terhambat: Pada anak-anak dan remaja, kekurangan protein dapat menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan tubuh.
➔ Penurunan massa otot: Protein penting untuk membangun dan mempertahankan otot.
Kekurangan protein menyebabkan penurunan massa otot dan kelemahan fisik.
➔ Gangguan sistem kekebalan tubuh: Protein juga berperan dalam produksi antibodi.
Kekurangan protein dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
➔ Edema (pembengkakan): Kekurangan protein dapat menyebabkan penurunan kadar albumin dalam darah, yang dapat mengakibatkan penumpukan cairan dan pembengkakan.
3. Kekurangan Lemak:
Lemak sehat berfungsi untuk menyediakan energi cadangan, penyerapan vitamin, dan melindungi organ tubuh. Kekurangan lemak dapat menyebabkan:
➔ Penurunan fungsi otak: Lemak sehat, terutama asam lemak omega-3, sangat penting untuk fungsi otak dan sistem saraf. Kekurangan lemak dapat memengaruhi perkembangan otak dan menyebabkan gangguan konsentrasi dan memori.
➔ Gangguan penyerapan vitamin: Vitamin A, D, E, dan K adalah vitamin yang larut dalam lemak. Tanpa lemak, tubuh kesulitan menyerap vitamin-vitamin ini, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin.
➔ Kulit kering dan rambut rontok: Kekurangan lemak dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan rambut mudah rontok, karena lemak berfungsi menjaga kelembapan kulit dan folikel rambut.
Dampak Kekurangan Mikronutrien 1. Kekurangan Vitamin A:
Vitamin A penting untuk kesehatan mata, sistem kekebalan tubuh, dan pertumbuhan sel. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan:
➔ Kebutaan malam: Kekurangan vitamin A dapat mempengaruhi kemampuan mata untuk melihat dalam cahaya rendah atau malam hari.
➔ Infeksi yang lebih sering: Vitamin A berperan dalam menjaga kekebalan tubuh.
Kekurangan dapat meningkatkan risiko infeksi, terutama pada anak-anak.
➔ Gangguan pertumbuhan: Pada anak-anak, kekurangan vitamin A dapat memperlambat pertumbuhan dan perkembangan.
2. Kekurangan Vitamin C:
Vitamin C berperan dalam menjaga kesehatan kulit, pembuluh darah, dan fungsi sistem kekebalan tubuh. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan:
➔ Skorbut: Penyakit ini ditandai dengan pendarahan gusi, luka yang sulit sembuh, dan penurunan energi.
➔ Sistem kekebalan tubuh lemah: Kekurangan vitamin C dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
➔ Masalah kulit: Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan mudah memar.
3. Kekurangan Vitamin D:
Vitamin D diperlukan untuk penyerapan kalsium dan kesehatan tulang. Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan:
➔ Rakhitis (pada anak-anak): Penyakit ini menyebabkan tulang menjadi rapuh dan deformasi tulang, seperti kaki yang melengkung.
➔ Osteoporosis (pada orang dewasa): Pada orang dewasa, kekurangan vitamin D dapat menyebabkan penurunan massa tulang dan meningkatkan risiko patah tulang.
➔ Gangguan sistem kekebalan tubuh: Vitamin D juga berperan dalam meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, sehingga kekurangannya dapat meningkatkan kerentanannya terhadap infeksi.
4. Kekurangan Zat Besi:
Zat besi penting dalam pembentukan hemoglobin untuk transportasi oksigen dalam darah. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan:
➔ Anemia defisiensi besi: Kekurangan zat besi menyebabkan tubuh kesulitan memproduksi sel darah merah yang sehat, yang menyebabkan gejala seperti kelelahan, pusing, dan sesak napas.
➔ Penurunan daya tahan tubuh: Kekurangan zat besi dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh, membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi.
5. Kekurangan Kalsium:
Kalsium sangat penting untuk kesehatan tulang dan gigi. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan:
➔ Osteoporosis: Kekurangan kalsium dalam jangka panjang dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh dan rentan patah.
➔ Gangguan fungsi otot dan saraf: Kalsium juga berperan dalam kontraksi otot dan transmisi impuls saraf. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan kram otot dan gangguan pada sistem saraf.
6. Kekurangan Yodium:
Yodium dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid yang mengatur metabolisme tubuh.
Kekurangan yodium dapat menyebabkan:
➔ Gondok: Pembengkakan kelenjar tiroid akibat kekurangan yodium.
➔ Gangguan perkembangan mental: Pada anak-anak, kekurangan yodium dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan kognitif dan fisik.
➔ Hipotiroidisme: Kekurangan yodium dapat menyebabkan penurunan fungsi tiroid, yang mengarah pada kelelahan, peningkatan berat badan, dan penurunan suhu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Poltekkes Yogyakarta. BAB II Tinjauan Pustaka. Retrieved from https://eprints.poltekkesjogja.ac.id/8369/4/4.%20Chapter%202.pdf, Diakses pada tanggal 11 Februari 2025
Ernawati, N., Gloria Doloksaribu Taruli Rohana Sinaga, L., Tyas Triatmaja Mayer Derold Panjaitan, N., Prasetyorini Emi Inayah Sari Siregar, H., & Muliana Wenas, D. (2022).
Ilmu Gizi dan Diet. Yayasan Kita Menulis,.
Mardalena, I. (2021). DASAR-DASAR ILMU GIZI. Pustaka Baru Press.
Redoxon, (2019). Tabel kebutuhan gizi berdasarkan usia. Redoxon Indonesia.
Februhartanty, J., Ermayani, E., Rachman, P, H., et al. 2019. Gizi dan Kesehatan Remaja. Jakarta: SEAMEO RECFON.
Rasmaniar, Rofiqoh, Kristianto, Y., et al. 2023. Kesehatan dan Gizi Remaja. Yayasan Kita Menulis.
Wiradnyani, L, A, A., Pramesthi, I, L., Raiyan, M., et al. 2019. Gizi dan Kesehatan Anak Usia Sekolah Dasar. Jakarta: SEAMEO RECFON.