• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Belajar a

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Hasil Belajar a"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka 1. Hasil Belajar

a. Hakikat Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi murid, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2014:3).

Hamalik (2015:159) berpendapat bahwa hasil belajar menunjuk pada prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar itu merupakan indikator adanya dan derajat perubahan tingkah laku murid. Menurut Nawawi dalam Susanto (2015:5) hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi tertentu.

Hasil belajar murid adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar (Susanto, 2015:5). Selanjutnya, Susanto menyatakan anak yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.

Berdasarkan definisi hasil belajar yang telah dikemukakan para ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh murid

7

(2)

setelah mengikuti kegiatan belajar berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil tes setelah menjalani proses pembelajaran.

Menurut Fathurrohman dan Sutikno (Susanto, 2015:13) keberhasilan atau kegagalan dalam proses belajar mengajar merupakan sebuah ukuran atas proses pembelajaran. Apabila merujuk pada rumusan operasional keberhasilan belajar, maka belajar dikatakan berhasil apabila diikuti ciri-ciri:

1) Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok.

2) Perilaku yang digariskan dalam Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) telah dicapai oleh murid baik secara individual maupun kelompok.

3) Terjadinya proses pemahaman materi yang secara sekuensial (sequential) mengantarkan materi tahap berikutnya.

Menurut Depdikbud dalam Trianto (2019:341) setiap murid dikatakan tuntas belajarnya (ketuntasan individu) jika proporsi jawaban benar murid, dan suatu kelas dikatakan tuntas belajarnya (ketuntasan klasikal) jika dalam kelas tersebut terdapat murid yang telah tuntas belajarnya.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Menurut Daryanto dan Rahardjo (2012:28) secara umum hasil belajar murid dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor-faktor yang ada dalam diri murid dan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berada di luar diri murid. Yang tergolong faktor internal ialah:

(3)

1) Faktor fisiologis atau jasmani individu baik bersifat bawaan maupun yang diperoleh dengan melihat, mendengar, struktur tubuh, cacat tubuh dan sebagainya.

2) Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun keturunan, yang meliputi:

a) Faktor intelektual terdiri atas

(1) Faktor potensial, yaitu intelegensi dan bakat.

(2) Faktor aktual yaitu kecakapan nyata dan prestasi.

b) Faktor non intelektual yaitu komponen-komponen kepribadian tertentu seperti sikap, minat, kebiasaan, motivasi, kebutuhan, konsep diri, penyesuaian diri, emosional dan sebagainya.

c) Faktor kematangan baik fisik maupun psikis. Sedangkan yang tergolong faktor eksternal ialah:

1) Faktor sosial yeng terdiri atas: faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah, faktor lingkungan masyarakat, faktor kelompok.

2) Faktor budaya seperti: adat istiadat, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian dan sebagainya.

3) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim dan sebagainya.

4) Faktor spiritual atau lingkungan keagamaan.

(4)

2. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar a. Pengertian Pembelajaran Matematika

Hingga saat ini belum ada kesepakatan bulat diantara para matematikawan tentang apa yang disebut dengan matematika itu. Dalam suatu literasi, Fathani (2016:17) mengatakan “untuk mendeskripsikan definisi matematika, para matematikawan belum pernah mencapai satu titik puncak kesepakatan yang sempurna”. Lebih lanjut dikatakan oleh Fathani (2016) terkait beragamnya makna dari definisi matematika yang dideskripsikan berbeda oleh kalangan para ahli mungkin disebabkan oleh pribadi (ilmu) matematika itu sendiri, dimana matematika termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian sangat luas, sehingga masing- masing ahli bebas mengemukakan pendapatnya tentang matematika berdasarkan sudut pandang, kemampuan, pemahaman dan pengalamannya masing-masing. Oleh sebab itu, matematika tidak akan pernah selesai untuk didiskusikan dan dibahas maupun diperdebatkan.

Penjelasan yang berhubungan dengan apa dan bagaimana sebenarnya matematika itu akan terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan kebutuhan manusia serta laju perubahan zaman. Sehingga untuk dapat memahami hakikat definisi dari matematika itu, kita dapat memerhatikan pengertian istilah matematika dari beberapa pendeskripsian yang dikemukakan oleh para ahli berikut.

Dienes (Fathani, 2016:18) mengatakan “matematika adalah ilmu seni kreatif.

Oleh karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni”.

(5)

Kitcher (Fathani, 2016) secara lebih luas memandang matematika sebagai the science of pattern. Dan pemaknaan matematika secara eksplisit juga didefinisikan oleh Bourne (Fathani, 2016:19):

Matematika sebagai konstruktivisme sosial dengan penekanannya pada knowning how yaitu pelajar dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing that yang dianut oleh kaum absolute, dimana pelajar dipandang sebagai makhluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga tujuan.

Adapun Sujono (Fathani, 2016:19) mengartikan “matematika sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan”. Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disusun oleh Hasan, dkk (2012:723), “matematika didefinisikan sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan”.

Namun, jika pemaknaan definisi matematika itu diarahkan pada konsep pendidikan masa kini, maka definisi matematika menurut Susanto (2015:183) dapat diartikan sebagai “salah satu bidang studi yang ada pada semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan matematika diajarkan di taman kanak-kanak secara informal”.

Berpijak pada berbagai uraian definisi matematika yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan suatu definisi matematika sebagai cara bernalar sekaligus sebagai suatu pengetahuan yang memiliki pola berpikir deduktif dalam

(6)

artian suatu teori atau pernyataan dalam matematika dapat diterima kebenarannya apabila telah dibuktikan secara umum.

Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal, dimana matematika merupakan suatu pengetahuan sekaligus menjadi salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar secara logik yang dapat diajarkan di berbagai jenjang pendidikan. Karenanya, berbicara masalah pembelajaran matematika dapat berarti sebagai suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru dalam mengembangkan kreativitas berpikir murid sehingga meningkat kemampuan berpikir dan bernalarnya serta dapat meningkatkan kemampuan mengonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika yang dipelajarinya.

Susanto (2015:187) mengatakan:

Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan. Kegiatan tersebut adalah belajar dan mengajar. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara murid dengan guru, antara murid dengan murid dan antara murid dengan lingkungan di saat pembelajaran matematika sedang berlangsung.

Sebagai upaya untuk mengarahkan murid untuk mencapai tujuan belajar matematikanya secara optimal, guru menempati posisi kunci dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan serta guru harus mampu menempatkan dirinya secara dinamis dan fleksibel, baik sebagai informan, transformator, organizer serta evaluator bagi terwujudnya kegiatan belajar matematika murid yang dinamis dan inovatif.

(7)

b. Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Secara umum, tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah agar murid mampu dan terampil dalam mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar yang berhubungan dengan masalah matematika. Dan secara khusus, tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar, sebagaimana yang disebutkan oleh Depdiknas (Susanto, 2015:190), sebagai berikut.

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritme.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

e. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Berkenaan dengan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa inti pengajaran matematika di sekolah dasar pada dasarnya diarahkan pada pengembangan kompetensi murid agar dapat:

1) Melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian beserta hal-hal yang berkaitan dengan operasi hitung campuran termasuk yang melibatkan pecahan.

2) Menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas dan volume.

3) Menentukan sifat simetri, kesebangunan dan sistem koordinat.

(8)

4) Menggunakan pengukuran satuan, kesetaraan antar satuan dan penaksiran pengukuran.

5) Menentukan dan menafsirkan data sederhana seperti: ukuran tinggi, rendah, rata- rata, modus, proses mengumpulkan data dan penyajiannya.

6) Memecahkan masalah, melakukan penalaran dan mengomunikasikan gagasan secara matematis.

3. Materi Ajar Pecahan

1) Pecahan merupakan bilangan untuk menyatakan suatu bagian dari bagian ke seluruhan. Contoh:

potong semangka dari 4 potong semangka dinyatakan sebagai pecahan

2) Bilangan pecahan dituliskan , dengan a sebagai pembilang dan b sebagai penyebut.

3) Cara membaca pecahan, contoh: dibaca satu perempat, dibaca dua perlima.

4) Nilai pecahan dapat disajikan dalam bentuk gambar yang diarsir.

Contoh:

(9)

5) Pada garis bilangan, pecahan yang letaknya di sebelah kanan nilainya lebih besar. Sebaliknya pecahan yang letaknya di sebelah kiri nilainya lebih besar.

Pecahan yang berada pada satu garis tegak nilainya sama besar. Contoh:

4. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

a. Pengertian Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Johnson (2012:12) menjelaskan bahwa pendekatan pembelajaran CTL adalah suatu strategis pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan murid secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong murid untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Dari konsep di atas ada tiga hal yang harus dipahami yakni (1) CTL menekankan kepada proses keterlibatan murid untuk dapat menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar murid hanya menerima pelajaran, tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. (2) CTL mendorong agar murid dapat menemukan hubungan antara materi dengan situasi kehidupan nyata, artinya murid dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. (3) CTL mendorong murid untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan nyata, artinya CTL bukan hanya mengharapkan

(10)

murid dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Deporter (2012:24) mengemukakan, bahwa setiap murid mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Perbedaan tersebut dinamakan sebagai unsure modalitas belajar. Perbedaan tersebut dinamakan sebagai unsure modalitas belajar. Menurutnya ada tiga tipe gaya belajar murid, yaitu tipe visual, auditorial, dan kinestesis. Tipe visual adalah gaya belajar dengan cara melihat, artinya murid akan lebih cepat belajar dengan cara menggunakan indera penglihatannya. Tipe auditorial adalah tipe belajar dengan cara menggunakan alat pendengarannya, sedangkan tipe kinestesis adalah tipe belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh.

Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia murid, artinya guru perlu menyesuaikan gaya belajar terhadap gaya belajar murid, artinya guru perlu menyesuaikan gaya belajar terhadap gaya belajar murid. Sehubungan dengan hal itu, menurut Hadi (2014: 103) bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan CTL sebagai berikut.

a. Murid dalam pembelajaran konstektual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka.

(11)

Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau "penguasa"

yang memaksakan kehendak melainkan guru adalah pembimbing murid agar mereka bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.

b. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh tantangan. Kegemaran anak-anak adalah mencoba hal-hal yang dianggap aneh dan baru. Oleh karena itulah belajar bagi mereka adalah mencoba memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian, guru berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh murid.

b. Karakteristik Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Johnson (2012:22), mengemukakan terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL).

1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada activating knowledge, artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh murid adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

2) Pembelajaran yang konstektual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru acquiring knowledge. Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.

(12)

3) Pemahaman pengetahuan understanding knowledge, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.

4) Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut applying knowledge, artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan murid, sehingga tampak perubahan perilaku murid.

5) Melakukan refleksi reflecting knowledge terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik dan penyempurnaan strategi.

Peneliti berpendapat, bahwa pembelajaran/pengajaran kontekstual dapat dikatakan proses pendidikan yang membantu murid untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi, sosial maupun cultural sehingga murid memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan/ditransfer dari satu permasalahan ke permasalahan lain.

c. Komponen-komponen Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Muslich (2017:2) mengemukakan bahwa komponen-komponen pendekatan CTL meliputi: (1) Kontruktivisme, (2) Inkuiri, (3) Bertanya (Questioning), (4)

(13)

Masyarakat belajar (Learning Community), (5) Pemodelan (Modeling), (6) Refleksi (Reflection), dan (7) Penilaian nyata (Authentic Assement).

Komponen-komponen pendekatan CTL di atas, secara rinci akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kontruktivisme

Merupakan proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif murid berdasarkan pengalaman.

2. Inkuiri

Proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah hasil dari mengingat, tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.

3. Bertanya (Questioning)

Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir.

Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, tetapi memancing agar murid dapat menemukan sendiri. Karena itu, peran bertanya sangat penting.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendiri, tetapi

(14)

membutuhkan bantuan orang lain. Kerja sama saling memberikan dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar learning community dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.

5. Pemodelan (Modeling)

Pemodelan merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap murid. Misalnya, guru memberi contoh bagaimana mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing. Proses modeling tidak terbatas dari guru saja, tetapi dapat juga guru memanfaatkan murid yang dianggap memiliki kemampuan.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif murid yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.

7. Penilaian nyata (Authentic Assement)

Merupakan proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan murid. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahuai apakah murid benar-benar belajar atau tidak.

(15)

d. Model Pembelajaran Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Depdiknas (2016), pembelajaran berbasis kontekstual terdiri atas tiga model pembelajaran yaitu sintaks model pembelajaran DI (Direct Instruction), CL (Cooperative Learning), dan PBI (Problem Based Instruction) yang dijabarkan sebagai berikut:

1. Sintaks pembelajaran langsung/DI (Direct Instruction) Dengan fase pembelajarannya sebagai berikut

Fase 1: Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan murid Fase 2 Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan Fase 3 Membimbing pelatihan

Fase 4 Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik Fase 5 Memberikan kesempatan untuk bertanya

2. Sintaks pembelajaran CL (Cooperative Learning) Dengan fase pembelajarannya sebagai berikut : Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi murid Fase 2 Menyajikan informasi

Fase 3 Mengorganisasikan murid ke dalam kelompok-kelompok belajar Fase 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Fase 5 Evaluasi

Fase 6 Memberikan penghargaan

3. Sintaks pembelajaran berdasarkan masalah/FBI (Problem Base Instruction) Dengan fase pembelajarannya sebagai berikut :

(16)

Fase 1 Orientasi murid kepada masalah Fase 2 Mengorganisasikan murid untuk belajar

Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Berhubungan dengan penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran penulis memodifikasi suatu model pembelajaran dalam meningkatkan hasil belajar matematika murid dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual yakni sebagai berikut :

Tabel 2.1. Pembelajaran Kontekstual dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika

Tahapan Kegiatan Guru

Tahap 1 :

Orientasi murid kepada masalah

1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.

2. Menjelaskan perangkat yang dibutuhkan.

3. Memotivasi murid agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

Tahap 2 :

Mengelola pengetahuan awal murid terhadap masalah.

1. Guru mendorong murid untuk mengemukakan pengetahuan awal yang dimilikinya terhadap masalah, kemudian pengetahuan awal murid tersebut dijadikan acuan untuk menyelidikinya 2. Guru memotivasi murid dalam membangun

pengetahuan murid dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan awal.

(Konstruktivisme)

3. Guru mengemukakan pertanyaan yang mengacu pada pengembangan kreativitas berfikir murid yang berhubungan dengan masalah dengan

mengaitkan antar masalah dengan kenyataan yang ada dilingkungan murid. (questioning)

4. Guru mendorong murid untuk mengemukakan ide atau gagasan terhadap pemecahan masalah yang

(17)

Sumber: Muslich (2017:5) B. Penelitian yang Relevan

Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Indriana Puswitasari (2018) dengan judul “Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pada Murid Kelas V SD Bandar Pacitan”. Peningkatan prestasi belajar murid tersebut dicapai dengan mengoptimalkan perangkat pembelajaran dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) itu sendiri. Persamaannya terletak pada model yang digunakan yaitu sama-sama menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan variabel yang di gunakan sama-sama yaitu

akan dilakukan Tahap 3 :

Mengorganisasikan, serta membimbing penyelidikan individual dan kelompok

1. Membimbing murid secara individu maupun dalam kelompok-kelompok belajar dalam mengatasi masalah. (learning community) 2. Guru membimbing murid untuk mengumpulkan

informasi yang sesuai melalui observasi dan eksperimen dengan mengaitkan antara masalah dengan konteks keseharian murid sehingga dari mengamati murid dapat memahami masalah tersebut (inquiri)

Tahap 4 :

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

1. Guru membantu murid melakukan refleksi terhadap proses pemecahan masalah yang dilakukan. (refleksi)

2. Guru mengukur dan mengevaluasi penyelidikan murid dan proses-proses yang mereka gunakan.

(authentic assessment) Tahap 5 :

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu murid merencanakan dan

menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model baik secara individual maupun kelompok terhadap proses pemecahan masalah yang telah dilakukan. (pemodelan)

(18)

meningkatkan hasil belajar sedangkan perbedaannya terletak pada kelas dan lokasi sekolah yang digunakan dalam penelitian ini.

2. Cahya Khaerani (2011) “Pengaruh pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Terhadap hasil belajar Matematika Siswa Kelas V SD Muhammadiyah 4 Tangerang. tidak ada peningkatan hasil belajar matematika peserta didik di kelas eksperimen, tetapi ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar matematika peserta didik kelas eksperimen dengan kelas kontrol, jika pengetahuan awal peserta didik dikendalikan secara statistic. Persamaannya terletak pada model yang digunakan yaitu sama-sama menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan variabel yang di gunakan sama-sama yaitu meningkatkan hasil belajar sedangkan perbedaannya terletak pada kelas dan lokasi sekolah yang digunakan dalam penelitian ini.

3. Pundhirela Kisnawaty (2013) “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Murid Kelas IV SD Inpres Tinggi Mae Kabupaten Gowa”, yang hasilnya menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan hasil belajar matematika peserta didik dan juga dapat motivasi belajar matematika peserta didik kelas IV semester 1 di SD Inpres Tinggi Mae Kabupaten Gowa.

Persamaannya terletak pada model yang digunakan yaitu sama-sama menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan variabel yang di gunakan sama-sama yaitu meningkatkan hasil belajar sedangkan

(19)

perbedaannya terletak pada kelas dan lokasi sekolah yang digunakan dalam penelitian ini.

Dari beberapa hasil penelitian di atas, pada dasarnya memiliki kesamaan yang merujuk pada pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Namun, perbedaan hanya terletak pada kelas dan tempat penelitian yang berbeda.

C. Kerangka Pikir

Hasil belajar matematika adalah hasil belajar yang dicapai murid setelah mengikuti proses pembelajara matematika berupa seperangkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar yang berguna bagi murid untuk kehidupan sosialnya baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang.

Untuk meningkatkan hasil belajar matematika murid, dalam pembelajarannya harus menarik sehingga murid termotivasi untuk belajar. Diperlukan model pembelajaran interaktif dimana guru lebih banyak memberikan peran kepada murid sebagai subjek belajar. Guru merancang proses belajar mengajar yang melibatkan murid secara integratif dan komprehensif pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga tercapai hasil belajar. Agar hasil belajar matematika belajar meningkat diperlukan situasi, cara dan strategi pembelajaran yang tepat untuk melibatkan murid secara aktif baik pikiran, pendengaran, penglihatan, dan psikomotor dalam proses belajar mengajar. Adapun pembelajaran yang tepat untuk melibatkan murid secara totalitas adalah pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teching Learning (CTL).

(20)

Pembelajarn dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata murid dan mendorong murid membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

Perlunya pendekatan pembelajaran kontekstual didasarkan pada kenyataan- kenyataan bahwa 1) belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi murid mengkonstruksi atau menyusun pengetahuan di benaknya sendiri, 2) anak belajar dari apa yang dicatat sendiri dalam pikiran pola-pola bermakna dari informasi baru yang ditangkapnya, 3) pengetahuan yang dimiliki seseorang terorganisasi dan mencerminkan pemahaman mendalam tentang suatu persoalan, 4) pengetahuan tidak dapat dipisah-pisah menjadi kepingan-kepingan fakta atau pernyataan yang berdiri sendiri satu sama lain, tetapi merupakan suatu kebulatan yang terkait dengan situasi, 5) seseorang mempunyai tingkatan, kedalaman, atau keluasan yang berbeda dalam menyikapi suatu hal baru dan 6) seseorang mempunyai kecenderungan untuk menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan dia akan menggeluti apa yang berguna itu. Oleh karena itu, upaya untuk menggunakan pendekatan kontekstual dapat membantu guru dalam mengajarkan materi pelajarannya. Secara skematik, kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut:

(21)

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir C. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis tindakan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Jika pendekatan Contextual Teaching and Learning diterapkan, maka hasil belajar matematika pada murid kelas III SDN Pajjaiang Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar dapat meningkat”.

Kondisi Awal

Guru:

Cara penyajian materi yang kurang menarik, hanya berceramah tanpa melibatkan murid dalam PBM.

Murid Pasif:

Hasil belajar matematika rendah

Menerapkan Pendekatan Contextual Teching

Learning (CTL)

Kondisi akhir Tindakan

Diharapkan Hasil Belajar Matematika

Meningkat

Siklus I

Siklus II

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan cara mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia