Teks Ceramah Agama Islam tentang “Takziyah”
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala.
Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Dalam hidup, setiap manusia pasti pernah mengalami yang namanya musibah. Baik itu musibah besar maupun musibah kecil. Hal ini yang biasanya membuat manusia sadar akan kekuasaan Allah swt, dan mengakui bahwa manusia tak lain hanyalah makhluk lemah dan segala takdirnya pun telah digariskan oleh Allah SWT. Salah satu dari bentuk mu’amalah yang dapat dilakukan saat kerabat kita mengalami musibah adalah takziyah. Atau biasa disebut melayat.
Kiranya perlu dijelaskan kembali bagaimana hakikat takziyah, bagaimana pula tujuan dan keutamaannya. Jika tidak, takziyah hanya akan menjadi tradisi masyarakat yang sepi dari nilai- nilai islami dan tujuan sesungguhnya.
Kata “takziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u, yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.
Sedangkan dalam terminologi ilmu fikih, “takziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya.
Kaitan dengan takziyah, Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar ab-Nawawiyyah juga mendefinisikan:
ةلمتشم اهنإف ،ةبحتسم يهو ،هتبيصم نّوهيو ،هنزح فّفخيو ،تيملا بحاص يّلسي ام ركذو ،ريبصتلا يه ةيزعتلا نأ ملعاو ام نسحأ اذهو ،(ىَوْقّتلاو ّرِبلا ىلع اوُنواعَتَو) :ىلاعت ا لوق يف ًاضيأ ةلخاد يهو ،ركنملا نع يهنلاو ،فورعملاب رملا ىلع ةيزعتلا يف هب ّلدتسُي.
Artinya: “Ketahuilah, takziyah hakikatnya adalah tashabbur (mengajak sabar), menyampaikan hal-hal yang dapat menghibur keluarga orang meninggal, meringankan kesedihannya, dan memudahkan urusan musibahnya.
Hukum takziyah sendiri adalah sunnah. Ia mercakup urusan amar makruf dan nahi.
Takziyah dasarnya adalah saling menolong antar sesama muslim dalam kebaikan dan ketakwaan, Dari definisi an-Nawawi di atas dapat ditarik beberapa poin sekaligus tujuan dari takziyah. Pertama, hukum takziah adalah sunnah alias dianjurkan. Hukum ini tentu harus dibedakan dengan mengurus jenazah yang hukumnya fardhu kifayah. Artinya, walau jenazah sudah ada yang mengurus, takziyah tetap disunnahkan. Sebagaimana firman berikut:
ِناوْدُعْلاَو ِمْثِ ْلا ىَلَع اوُنَواعَت لَو ىوْقّتلاَو ّرِبْلا ىَلَع اوُنَواعَتَو
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, (QS. Al-Maidah [al-Maidah [5]: 2).
Tolong-menolong, termasuk takziyah, juga didasari oleh hadis Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
هيخأ ن ْوَع يف ُدْبَعلا َناك ام ِدْبَعلا ِنْوَع يِف ُاَو
Artinya: Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya, (HR. Abu Dawud).
Jadi, Takziyah bukan sekadar menengok atau melayat orang yang meninggal, melainkan juga mendorong keluarga yang ditinggalkan untuk bersabar, berteguh hati, dan menerima musibah kematian orang terdekatnya. Takziyah bertujuan untuk menghibur dan membesarkan hati keluarga si mayit dan diharapkan mampu mengurangi kesedihan dan meringankan musibah keluarga yang ditinggalkan. Takziyah juga mencakup amar makruf dan nahi. Sementara amar
makruf-nahi didasari oleh ayat, Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang- orang yang beruntung, (QS. Ali ‘Imran [3]: 104). Atas dasar itu, takziah hendaknya tidak
mengabaikan dua hal tersebut. Sehingga, perbuatan yang dianggap tidak pantas, bahkan mungkar tak semestinya ada pada saat bertakziah.
Adab takziyah yang pertama dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan ridha Allah swt. Kemudian,
Berpakaian sopan dan menutup aurat
Bertingkah laku dan berperilaku sopan
Memberi bantuan kepada keluarga jenazah, baik bantuan moril maupun material
Memberikan nasihat kepada keluarga jenazah agar tabah, sabar dan meningkatkan iman kepada Allah swt
Mengikuti salat jenazah dan mendoakannya agar mendapatkan ampunan dari allah dari segala dosanya
Ikut mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman untuk menyaksikan penguburannya
Apa saja keutamaan dari Takziyah?
Adapun keutamaan bertakziyah dapat kita lihat dalam beberapa hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, antara lain hadis yang diriwayatkan Abdullah ibn Mas‘ud berikut:
ِهِرْجَأ ُلْثِم ُهَلَف ًاباَصُم ىّزَع ْنَم
Artinya: “Siapa saja yang bertakziyah kepada orang yang terkena musibah, maka dia akan mendapat pahala seperti orang yang mendapat musibah tersebut,” (HR. at-Tirmidzi dan al- Baihaqi).
Kata Abu Barzah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
ِةّنَجلا يف ًاد ْرُب َيِسُك ىَلْكَث ىّزَع ْنَم
Artinya: Siapa saja yang bertakziah kepada orang yang kehilangan putranya, maka dia akan diberikan pakaian keagungan di surga,” (HR. at-Tirmidzi).
Dalam riwayat ‘Abdullah ibn ‘Umar, disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapati putrinya Siti Fathimah radhiyallahu anha keluar rumah, lantas ditanya, “Wahai Fathimah, apa yang membuatmu keluar rumah?” Siti Fathimah menjawab, “Aku mendatangi keluarga si mayit ini, kemudian memohonkan rahmat untuk mayit mereka, sekaligus menghibur mereka.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai). Berdasarkan hadits ini, juga dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum perempuan juga diperbolehkan bertakziah selama mampu menjaga batasan sehingga terhindar dari fitnah dan dosa-dosa yang lain.
Sementara ‘Amr ibn Hazm meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ِةَمايِقلا َم ْوَي ِةَماَرَكلا ِلَلُح ْنِم ّلَجَو ّزَع ُ ّا ُهاسَك ّلِإ ِهِتَبْيِصُمِب ُهاخأ يّزَعُي ٍنِم ْؤُم ْنِم ام
Artinya: Tidaklah seorang mukmin bertakziah sudaranya yang ditimpa musibah kecuali Allah akan mengenakan pakaian kemuliaan pada hari Kiamat. (Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Hikmah Takziyah di samping pahala juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
Antara lain meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat, memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah dan berharap pahala dari Allah SWT, memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah dan menyerahkannya kepada Allah.
Sunnahnya takziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh bertakziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya.
Apakah diperbolehkan Takziyah kepada Orang Kafir?
Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir
dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini.
Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang takziyah sama dengan iyadah (menengok atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat: Pertama, menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram. Dalil yang mereka pergunakan ialah:
"Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit." (HR Muslim).
Dalam hal ini, takziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka. Kedua, membolehkan takziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut: "Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi SAW. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah
menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata, 'Masuklah ke dalam Islam.' Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata, 'Patuhilah (perkataan) Abul Qasim!' Maka anak itu pun masuk Islam. Setelah itu Nabi SAW keluar seraya berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka." (HR Bukhari).
Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan—menurut dugaan yang rajih—misalnya mengharapkannya masuk
Islam. Wallahua’lam.
Bagaimana ucapan saat bertakziyah?
Takziyah juga bertujuan untuk mendoakan dan memohon ampunan bagi si mayit.
Sebagaimana diketahui, terdapat sejumlah riwayat yang memuat tentang doa-doa khusus bagi mayit, baik yang dibaca dalam shalat jenazah maupun di luar shalat jenazah. Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan tidak
menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika bertakziyah.
Ibnu Qudamah berpendapat, “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam takziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah melayat seseorang dan mengucapkan 'rahimakallahu wa ajaraka' (semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala)." (HR Tirmidzi).
Menurut Imam Nawawi, yang paling baik untuk diucapkan ketika takziyah adalah apa yang diucapkan oleh Nabi SAW kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi kabar kematian seseorang. Beliau bersabda kepada utusan itu, "Kembalilah kepadanya
dan katakanlah kepadanya 'sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepada-Nya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisi-Nya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah." (HR Muslim).
Menurut Mazhab Syafi’iyah, mendoaakan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan, “Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan
memberimu pelipur yang baik.” Tetapi ada juga yang berpendapat berdoa dengan doa apa saja.
Berkumpul dan membaca Al-Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi SAW; baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan. Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang disyariatkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukan masing-masing.