• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI AREA TERDAMPAK KEJADIAN BENCANA HIDROMETEOROLOGIS KEKERINGAN MENGGUNAKAN STANDARDIZED PRECIPITATION INDEX (SPI)

N/A
N/A
Dustin Edward

Academic year: 2024

Membagikan "IDENTIFIKASI AREA TERDAMPAK KEJADIAN BENCANA HIDROMETEOROLOGIS KEKERINGAN MENGGUNAKAN STANDARDIZED PRECIPITATION INDEX (SPI) "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BANDUNG INSTITUTE OF TECHNOLOGY 2021 GEODESY AND GEOMATICS ENGINEERING

IDENTIFIKASI AREA TERDAMPAK KEJADIAN BENCANA HIDROMETEOROLOGIS KEKERINGAN MENGGUNAKAN STANDARDIZED PRECIPITATION

INDEX (SPI)

Dustin Edward Sipahutar (15120073)

1. Introduction

1.1 Background (10)

Pemantauan kekeringan sangat penting dalam pengelolaan sumber daya air dan memitigasi dampak kelangkaan air karena kejadian kekeringan berkepanjangan dapat menimbulkan masalah ketahanan air dan pangan yang signifikan, dan dapat menyebabkan risiko ekonomi dan tantangan keuangan, terutama bagi negara berkembang (Godfray, Beddington, & Crute, 2010). Kekeringan secara umum diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu kekeringan meteorologis (defisit curah hujan), kekeringan pertanian (defisit kelembaban tanah), kekeringan hidrologis (defisit limpasan, air tanah, atau total penyimpanan air), dan kekeringan sosio-ekonomi (dengan mempertimbangkan ketersediaan, kebutuhan, dan respons sosial) (Wilhite, 2005). Semua jenis kekeringan dapat dikaitkan dengan defisit curah hujan yang berkelanjutan. Namun, elemen-elemen yang berbeda dari siklus hidrologi memberikan respon yang berbeda terhadap kejadian kekeringan.

Secara historis, kekeringan telah dipantau menggunakan pengamatan titik di lapangan atau grid interpolasi, namun banyak area yang digunakan untuk produksi pertanian tidak terinstrumentasi dengan baik (mis. stasiun iklim per 5.000 km2) untuk menyediakan

pengamatan curah hujan berbasis stasiun darat. ). Di banyak wilayah lain, pengamatan yang tersedia yang tersedia tidak cukup untuk menangkap variabilitas spasial - temporal dari variabel-variabel terkait kekeringan seperti curah hujan (Easterling, 2013).

Penggunaan data penginderaan jauh untuk mengukur curah hujan menawarkan beberapa manfaat dan kelebihan (Levizzani, 2019), seperti :

1. Cakupan Global: Penginderaan jauh sangat penting untuk mengkarakterisasi curah hujan di wilayah lautan yang luas dan wilayah daratan yang terpencil di mana alat pengukur hujan tradisional tidak tersedia.

2. Pengukuran Berkelanjutan dan Berulang: Penginderaan jauh memungkinkan pengukuran nilai curah hujan secara terus menerus dan berulang, memberikan informasi yang berharga untuk memahami pola dan tren curah hujan

Gambar 1. Data Presipitasi dari Citra Satelit CHIRPS (Bai, Shi, & Li, 2018)

(2)

3. Resolusi Spasial dan Temporal yang Lebih Baik: Teknik penginderaan jauh, termasuk penginderaan jauh pasif dan aktif, menawarkan resolusi spasial dan temporal yang lebih baik untuk menangkap variabilitas curah hujan dalam skala waktu yang berbeda, mulai dari kurang dari satu hari hingga lebih dari satu tahun

4. Integrasi dengan Pengamatan Lain: Data penginderaan jauh dapat diintegrasikan dengan pengamatan lain, seperti radar berbasis darat dan pengukuran satelit, untuk meningkatkan akurasi dan keandalan estimasi curah hujan

5. Pemantauan Kekeringan: Pengamatan penginderaan jauh telah digunakan untuk memantau variabel terkait kekeringan, memberikan wawasan tentang perkembangan dan dampak kekeringan

Manfaat-manfaat ini menggarisbawahi pentingnya data penginderaan jauh dalam memajukan pemahaman kita mengenai pola curah hujan, terutama di wilayah dengan pengamatan darat yang terbatas. Dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, para peneliti dapat memperoleh wawasan yang berharga mengenai dinamika curah hujan dan berkontribusi terhadap peningkatan pengelolaan sumber daya air dan prakiraan cuaca.

1.2 Purpose (5)

1. Mengidentifikasi area dan waktu terjadinya kekeringan berdasarkan data curah hujan lalu melihat tingkat keparahannya menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI).

2.

Mengorelasikan kejadian kekeringan dengan parameter lain yang memiliki kemungkinan untuk terdampak seperti indeks vegetasi melalui NDVI.

3. Methodology

2.1 Prior Studies (5)

Salah satu studi sebelumnya yang menggunakan data yang berasal dari penginderaan jauh dari CHIRPS untuk menghitung Indeks Curah Hujan Terstandardisasi (SPI) untuk mendeteksi kekeringan adalah studi yang dilakukan di wilayah barat laut Bangladesh.

Studi ini menggunakan penginderaan jauh multispektral untuk mengevaluasi kekeringan dan dinamika vegetasi dan menemukan bahwa SPI yang dihitung dari data penginderaan jauh merupakan indikator kekeringan yang dapat diandalkan. Studi ini menunjukkan potensi data yang berasal dari penginderaan jauh untuk memantau kejadian hidrometeorologi seperti kekeringan, terutama di daerah dengan pengamatan berbasis lapangan yang terbatas. Dataset CHIRPS, yang menggabungkan data satelit dan stasiun, menyediakan sumber daya yang dapat diandalkan dan terkini untuk memantau kekeringan melalui analisis tren dan pemantauan kekeringan musiman. Resolusi yang tinggi, disagregasi harian, dan ketersediaan yang hampir seketika membuatnya cocok untuk pemodelan hidrologi dan sistem peringatan dini kekeringan. Studi-studi ini menunjukkan potensi data yang berasal dari penginderaan jauh untuk menghitung SPI dan mendeteksi kejadian kekeringan, menyoroti pentingnya teknologi penginderaan jauh dalam memajukan pemahaman kita mengenai pola curah hujan dan berkontribusi pada peningkatan pengelolaan sumber daya air dan prakiraan cuaca (AghaKouchak, Farahmand, &

Melton, 2015).

(3)

Script Google Earth Engine : Data Presipitasi :

https://code.earthengine.google.com/e9b8377b3bc84162a23329edae5660c4

Perhitungan Standardized Precipitation Index :

https://code.earthengine.google.com/7329aefe6640093add986baa01f035b8

Enhanced Vegetation Index :

https://code.earthengine.google.com/f203a4a54dea06ebcfe9b119d2e07dd4

Minimum 1 Reference / Citation .

2.2 Data (10)

No Data Source Data

Type

Year Resolution / scale 1. CHIRPS Daily:

Climate Hazards Group InfraRed Precipitation With

Station Data (Version 2.0 Final)

University of California, Santa

Barbara

Raster 1981 - 2023

5566 m

2. MOD13A1.061 Terra Vegetation

Indices 16-Day Global 500m

NASA LP DAAC at the USGS EROS Center

Raster 2000 - 2023

500 m

2.3 Method ( 30 )

Indeks kekeringan berbasis curah hujan yang umum digunakan adalah Indeks Curah Hujan Terstandarisasi (Standardized Precipitation Index/SPI), yang direkomendasikan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) sebagai ukuran global kekeringan meteorologis (McKee, Doesken, & Kleist, The relationship of drought frequency and duration to time scales, 1993). SPI adalah indeks yang digunakan secara luas untuk mengkarakterisasi kekeringan meteorologis di berbagai rentang waktu. SPI dihitung dari catatan curah hujan historis di stasiun cuaca, membandingkan akumulasi curah hujan selama suatu periode dengan periode yang sama di seluruh catatan historis stasiun. Indeks ini mewakili probabilitas menerima setidaknya jumlah curah hujan yang diamati selama periode waktu tersebut, dengan nilai SPI berdasarkan distribusi gamma. Nilai SPI yang positif menunjukkan kondisi basah, dan nilai negatif menunjukkan kondisi kering. Kekuatan utama dari SPI adalah bahwa datanya dapat dibandingkan antara wilayah iklim yang berbeda, karena SPI mengkomunikasikan seberapa

(4)

anomali jumlah curah hujan, bukan hanya penyimpangan dari curah hujan normal. (National Center for Atmospheric Research, 2023). SPI mengukur curah hujan yang diamati sebagai penyimpangan standar dari fungsi distribusi probabilitas yang dipilih yang memodelkan data curah hujan mentah. Data mentah ini biasanya disesuaikan dengan distribusi gamma atau Pearson Tipe III, kemudian ditransformasikan ke distribusi normal. Nilai SPI dapat diinterpretasikan sebagai jumlah deviasi standar dimana anomali yang diamati menyimpang dari rata-rata jangka panjang. SPI dapat dibuat untuk periode mulai dari 1 hingga 36 bulan dengan menggunakan data input bulanan (Fuchs, 2012).

SPI adalah deviasi z-score dari rata-rata dalam satuan deviasi standar, yang dihitung dari nilai curah hujan CHIRPS untuk setiap lokasi piksel pada periode komposit untuk setiap tahun selama periode referensi tertentu. Persamaan di bawah ini menunjukkan perhitungan umum SPI. Dimana SPIijk adalah nilai z untuk piksel i selama periode waktu j untuk tahun k, Pijk adalah nilai curah hujan untuk piksel i selama periode waktu j untuk tahun k, Pij adalah nilai rata-rata piksel i selama periode waktu j selama n tahun, dan σij adalah deviasi standar piksel i selama periode waktu j selama n tahun. Karena data curah hujan biasanya tidak terdistribusi secara normal, terutama untuk jangka waktu 12 bulan atau kurang, maka perlu dilakukan transformasi. Data tersebut biasanya disesuaikan dengan fungsi gamma (World Meteorological Organization, 2012).

Tabel 1. Klasifikasi Nilai Standardized Precipitation Index

(McKee, Nolan, & Kleist, Drought monitoring with multiple time scales, 1995)

Nilai SPI Kelas Probabilitas Kejadian

≥ 2.00 Extreme Wet 2.3%

1.50 ≤ 𝑆𝑃𝐼 ≤ 2.00 Severe Wet 4.4%

1.00 ≤ 𝑆𝑃𝐼 ≤ 1.50 Moderate Wet 9.2%

-1.00 ≤ 𝑆𝑃𝐼 ≤ 1.00 Near Normal 68.2%

-1.50 ≤ 𝑆𝑃𝐼 ≤ -1.00 Moderate Dry 9.2%

-2.00≤ 𝑆𝑃𝐼 ≤ -1.50 Severe Dry 4.4%

𝑆𝑃𝐼 ≤ -2.00 Extreme Dry 2.3%

(5)

Gambar 2. Diagram Alir Proses Pengerjaaan

(6)

4. Discussion and Discussion (35)

3.1 Result 1

Tabel 2. Perbandingan Temporal Curah Hujan di Jawa Barat

Januari 2023 Februari 2023 Maret 2023

April 2023 Mei 2023 Juni 2023

Juli 2023 Agustus 2023 September 2023

Oktober 2023

(7)

Harus diidentifikasi terlebih dahulu, periode waktu di mana terjadi kekeringan, hal ini dilakukan dengan melihat data curah hujan (mm/hari) pada area di Jawa Barat melalui pengamatan citra satelit dan stasiun di darat yang tersedia dalam set data CHIRPS Daily. Seperti yang ditampilkan pada tabel 2, didapatkan bahwa pada bulan Mei sampai September 2023, curah hujan di Jawa Barat lebih rendah apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya di awal tahun 2023.

Pada Gambar 2, ditampilkan bahwa, mulai memasuki bulan Juni 2023, telah terjadi penurunan rata-rata curah hujan di Jawa Barat, dengan satu outlier pada akhir bulan Juni, di mana tercatat curah hujan yang sangat tinggi pada periode waktu yang sangat singkat.

3.2 Result 2

Gambar 4. Standardized Precipitation Index September – Oktober 2023 Gambar 3. Grafik Curah Hujan di Jawa Barat Periode Januari – November 2023

(8)

Gambar 4 menunjukkan peta dari perhitungan SPI untuk wilayah Jawa Barat, berdasarkan legenda gradien warna yang memanjang dari "Sangat Kering" hingga "Sangat Basah", yang disesuaikan dengan ketentuan pada 1. Perlu diperhatikan bahwa SPI adalah metrik yang biasa digunakan untuk mengukur kekeringan meteorologis di suatu rentang waktu, dalam kasus ini, berdasarkan data presiptiasi yang ditampilkan pada tabel 2, diambil periode pengamatan untuk SPI pada rentang 1 September – Oktober 2023. Hasil visualisasi dari nilai SPI menunjukkan spektrum kondisi kering dengan tidak adanya nilai ekstrem, yang menandakan bahwa wilayah tersebut tidak mengalami kekeringan yang berlebihan selama periode yang dinilai.

Skrip yang digunakan untuk analisis ini dikonfigurasikan untuk menghitung SPI dengan menggunakan data CHIRPS, dengan catatan yang dimulai pada tahun 1981. Hal ini memudahkan evaluasi jangka panjang terhadap anomali curah hujan. Secara khusus, skrip ini dirancang untuk menghitung SPI selama "rentang waktu" enam bulan, dengan demikian menganalisis data curah hujan setengah tahun terhadap catatan historis untuk menentukan anomali. Mengenai keterbatasan data, script dan kemampuan dari Google Earth Engine saat ini menunjukkan bahwa nilai SPI bersifat estimasi, dengan asumsi bahwa data curah hujan terdistribusi normal. Sedangkan, pada perhitungan yang ideal, seharusnya data curah hujan akan lebih akurat diwakili oleh distribusi gamma, yang tidak didukung oleh kemampuan GEE. Secara ringkas, analisis peta menunjukkan bahwa wilayah tersebut mengalami kondisi yang lebih kering daripada kondisi normal, namun tidak sampai pada tingkat yang ekstrim.

3.3 Result 3

Gambar 5. Perbandingan Enhanced Vegetation Index (Kiri untuk Periode Kekeringan & Kanan pada Periode Normal)

(9)

Dilakukan perbandingan dari dua data raster untuk Enhanced Vegetation Index (EVI), secara visual, ditampilkan bahwa pada periode pengamatan di mana curah hujan adalah normal (periode Februari 2023), nilai EVI yang didapatkan lebih tinggi daripada periode pngamatan ketika curah hujan dianggap sangat minim (September 2023). Melalui perhitungan sederhana pada raster calculator, dilakukan pengurangan dari nilai EVI yang ada pada kedua set data raster.

Persamaan tersebut memiliki tujuan untuk menampilkan, apabila nilai hasil pengurangan pada set data raster EVI pada saat kejadian kekeringan adalah negatif, menandakan bahwa terdapat penurunan nilai nilai EVI atau apabila dinilai secara kualitatif, penurunan dari tingkat kesehatan &

keberadaan vegetasi di area tersebut. Gambar 6 menunjukkan bahwa, bersamaan dengan terjadinya kejadian kekeringan, maka nilai kualitatif dari indeks vegetasi di area tersebut juga mengalami penurunan.

Gambar 6. Perubahan EVI di Jawa Barat

Gambar 7. Fungsi Perhitungan Raster Calculator

(10)

5. Conclusion (5)

1.

Berdasarkan pengamatan dari data presipitasi melalui data CHIRPS pada tabel 2, ditemukan bahwa wilayah Jawa Barat mengalami tingkat curah hujan yang sangat minimal pada periode Juli - Oktober 2023, sehingga untuk penentuan tingkat keparahannya secara kualitatif, digunakan perhitungan Standardized Precipitation Index (SPI). Pada periode September 2023, ditemukan bahwa terjadi fenomena kekeringan moderat seperti yang ditampilkan pada gambar 4.

2.

Fenomena kekeringan ini berdampak pada kualitas dari vegetasi di Provinsi Jawa Barat, seperti yang ditampilkan pada gambar 6, ditunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai Enhanced Vegetation Index (EVI) apabila dibandingkan dengan periode pengamatan bulan Januari 2023.

(11)

Referensi

AghaKouchak, A., Farahmand, A., & Melton, F. (2015). Remote sensing of drought: Progress, challenges and opportunities. Reviews of Geophysics, 452-480.

Bai, L., Shi, C., & Li, L. (2018). Accuracy of CHIRPS Satellite-Rainfall Products over Mainland China. Remote Sensing, 362.

Easterling, D. (2013). Global data sets for analysis of climate extremes. Extremes Changing Climate, 347–361.

Fuchs, B. (2012). Using the Standardized Precipitation Index (SPI) and the Standardized

Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI). Caribbean Drought Workshop. Nebraska:

National Drought Mitigation Center.

Godfray, C. J., Beddington, J. R., & Crute, I. R. (2010). Food security: the challenge of feeding 9 billion people. Science, 812.

Levizzani, V. (2019). Satellite Remote Sensing of Precipitation and the Terrestrial Water Cycle in a Changing Climate. Remote Sensing, 2301.

McKee, T., Doesken, N., & Kleist, J. (1993). The relationship of drought frequency and duration to time scales. Conference of Applied Climatology, 179–184.

McKee, T., Nolan, J., & Kleist, J. (1995). Drought monitoring with multiple time scales. Ninth Conf. on Applied Climatology (pp. 233-236). Dallas: Amer. Meteor. Soc.

National Center for Atmospheric Research. (2023). NCAR Climate Data Guide. From Standardized Precipitation Index (SPI): https://climatedataguide.ucar.edu/climate-data/standardized- precipitation-index-spi

Wilhite, D. A. (2005). Drought and Water Crises: Science. Technology, and Management Issues, 432.

World Meteorological Organization. (2012). Standardized Precipitation Index User Guide.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang pertama dilakukan adalah perhitungan hujan wilayah untuk menghitung indeks kekeringan dan ketajaman kekeringan SPI historis dan untuk input data

Dari grafik dapat diketahui pada Pos Tinjumoyo dengan data hujan 6 bulanan bahwa selama tahun 1994-2011 terdapat 4 tahun yakni Tahun 1994, 1997, 2006, dan 2007 yang mengalami

Berdasarkan hasil perhitungan luas wilayah pertanian yang termasuk pada masing-masing kelas bahaya bencana kekeringan menunjukkan bahwa 43% dari seluruh kawasan pertanian

Penelitian menggunakan bahan sebagai berikut: (1) bongkahan, sampel tanah kering ctka Ø 0,5 mm dan Ø 2 mm untuk analisis sifat fisika dan kimia tanah, (2) data curah hujan

Analisis tingkat kekeringan dan kebasahan dengan menggunakan indeks SPI untuk akumulasi curah hujan tiga bulanan Oktober - Desember 2016 di wilayah Kep.. Bangka Belitung

Kekeringan ekstrim (golongan amat sangat kering) terluas terjadi pada bulan Setember-November 1997 di 39% wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan pola membulat serta mengelilingi

Berdasarkan grafik nilai SPI tersebut dapat disimpulkan bahwa indeks kekeringan setiap stasiun hujan hampir sama atau perbedaannya tidak signifikan, dimana tidak

Dari tiap periode defisit didapatkan bahwa kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997 dengan tingkat ke- keringan amat sangat kering. Kecamatan yang mengalami