Indonesia dalam Pusaran Disrupsi Global
Editor:
Yanuardi Syukur Andi Ismira
Marwan
Indonesia dalam Pusaran Disrupsi Global
©2022 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
ISBN 978-623-313-454-5 ISBN 978-623-313-455-2 (PDF) xvii, 322 halaman; 14 x 21 cm
Penulis : Yuri O. Thamrin, dkk
Editor : Putra Fajar, Dian Anggraeni Penata Letak : Andhika Wira Utama N Desain Sampul : Diva Nursyandita
Penerbit Perpusnas Press Anggota IKAPI
Jl. Salemba Raya No.28a Jakarta Surel: [email protected]
Laman: https://press.perpusnas.go.id
Hak cipta dilindungi undang-undang ada pada Penulis Hak penerbitan ada pada Penerbit
Daftar Isi
Endorsement ...vii Sambutan Dubes Bunyan Saptomo ...xi Pengantar Tim Editor ...xv Bagian 1: Diplomasi Indonesia di Tengah Disrupsi Global Pertarungan Geopolitik Amerika-Tiongkok: Bagaimana Menghindari “Perangkap Thucydides”?
--Dubes Yuri O. Thamrin ... 3 Diplomasi Indonesia Di Afghanistan
--Dubes Mohamad Asruchin ... 9 Diplomasi Perjuangan dan ASEAN di dalam Politik Luar Negeri Indonesia
--Ryantori ... 21 Hybrid Diplomacy: Keniscayaan Kombinasi Komunikasi Transnasional Indonesia
--M. Ghozali Moenawar ... 31 Diplomasi dan Kepemimpinan RI di Organisasi Kerja sama Islam (OKI)
--A.M. Sidqi ... 43 Politik Keamanan (Sekuritisasi) Indonesia Hadapi Ancaman di Laut Natuna Utara
--Ramdhan Muhaimin ... 55 ASEAN RCEP sebagai Moda Strategis Penguatan
Diplomasi Ekonomi Indonesia
Peran Paradiplomacy dalam Merespons Penyebaran Covid-19 di Indonesia
--Laode Muhamad Fathun ... 79 Diplomasi Vaksin Indonesia di Era Pandemi Covid-19 --Marwan ... 93 Optimalisasi Perlindungan Hak-Hak Pengungsi di Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19
--Agus Nilmada Azmi) ... 101 Bagian 2: Diplomasi Wasathiyyatul Islam sebagai Solusi Problematika Radikalisme dan Terorisme
Dari Indonesia untuk Dunia: Breakdown Konsep Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin
--Moeflich H. Hart ... 119 Moderasi Islam: Jalan Tengah Atasi Radikalisme dan Solusi untuk Bangsa dan Dunia Global
--Nasrullah Nurdin ... 129 Menyikapi Program Moderasi Secara Moderat
--Jeje Zaenudin ... 139 Konsepsi Islam Wasathiyah Sebagai Solusi: Peran NU dalam Mewujudkan Islam Damai Bagi Indonesia dan Dunia
--Ahmad Baedowi ... 147 Mewujudkan Al-Madinah Al-Fadilah dalam Naungan Washatiyah Al-Islam melalui Nilai-Nilai Pancasila --Sayyid Muhammad Yusuf Aidid ... 155
Peran Diplomasi MUI dalam Menyelesaikan Konflik Internasional: Studi Kasus Negosiasi Damai Ulama Afghanistan dan Taliban
--Pizaro ... 161 Kondisi Indonesia dalam Pusaran Belenggu Terorisme Global
--Fitratul Akbar ... 169 Ideologi Transnasional Radikal di Indonesia dalam Perspektif Globalisasi
--Hermawati Putri Dian Insani ... 181 Strategi Implementasi Islam Wasathiyyah: Upaya
Pencegahan Radikalisme Di Lembaga Pendidikan
--Khalilurrahman ... 193 Islamophobia dan Solusinya Di Eropa
--Dubes Yuri O. Thamrin ... 201 Bagian 3: Diplomasi Kebudayaan sebagai Kontribusi bagi Peradaban
AIMEP (Australia - Indonesia Muslim Exchange Program) sebagai Media Diplomasi Budaya:
Mempertegas Identitas, Kesepahaman, Keterhubungan dan Kerja sama Antar Tokoh Muslim Australia-Indonesia --Siti Nur Hidayati ... 211 Diplomasi Budaya: Kemiripan Isi Chuci dengan
Kepercayaan Orang Makassar Pra-Islam
--Batari Oja ... 217 Kontribusi Pesantren dalam Diplomasi Kebudayaan Indonesia
--Much Hasan Darojat ... 227
Islam Indonesia Sebagai Jembatan Diplomasi Budaya di Negeri Persia
--Purkon Hidayat ... 237 Ketahanan Nasional Berbasis Kearifan Lokal dalam Menghadapi Dinamika Globalisasi
--Prihandono Wibowo, Renitha Dwi Hapsari ... 247 Seni, Kota dan Diplomasi Budaya
--Zulkhair Burhan ... 259 You Are Son of this Region!: Beberapa Soal pada
Kontribusi Ilmuwan Indonesia di Luar Negeri
(Arief Wicaksono) ... 271 Globalisasi dan Eksistensi Pendidikan Tinggi
(Sudarnoto Abdul Hakim) ... 281 Biodata Penulis dan Editor ...299
Endorsement
I
ndonesia memiliki posisi strategis dalam geopolitik global.Sejak lahir bangsa ini berperan besar dalam percaturan dunia meliputi aspek politik, ekonomi, keamanan, budaya, dan sosial. Buku ini memberikan gambaran peran besar diplomasi Indonesia dalam mengatasi berbagai konflik global dan isu- isu strategis. Gagasan dan pemikiran dalam buku ini menjadi referensi dalam kebijakan-kebijakan diplomasi Indonesia ke depan.
Guntur Subagja, Ketua Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia
Era disrupsi menjadi hal yang menakutkan ketika suatu negara tidak bisa bertranformasi, semakin kuatnya cengkraman dominasi negara maju serasa menyesakan bagi negara berkembang. Sebagai negara besar, Indonesia menjadi negara harapan yang bisa membawa perubahan bagi keseimbangan
“transaksi ekonomi global”. Buku ini tentunya menyajikan Berbagai tulisan yang menarik baik penjelasan mengenai kebijakan Indonesia dalam upaya melakukan tranformasi dan menjadi pusat pertumbuhan dunia, begitu juga pembahasan lain yang ditulis secara apik oleh para penulisnya. Sehingga bisa saya simpulkan bahwa buku ini melahirkan optimisme, kita adalah bangsa besar yang mampu menghadapi disrupsi global dan berkontribusi dalam mewujudkan keadilan peradaban.
Selamat atas terbitnya buku “Indonesia dalam pusaran disrupsi global” insya Allah membawa manfaat dan berkah untuk bangsa Indonesia.
Dr. Asep Kamaluddin Nashir, S.Ag, M.Si. Ketua Umum Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)
Diplomasi dalam relasi antar bangsa mutlak diperlukan sebagai bagian dari memperkuat hubungan kenegaraan dan bahkan dunia. Buku Indonesia dalam Pusaran Disrupsi Global merupakan salah satu terobosan dalam mewadahi pemikiran- pemikiran anak bangsa dalam upaya mengatasi konflik.
Persembahan karya terkait diplomasi di Indonesia, Islam dalam konsep diplomasi dan diplomasi budaya patut untuk ditelaah untuk memperkaya khasanah ilmu hubungan antar bangsa.
Kantor Urusan Internasional Universitas Khairun, menyambut dan turut berbangga hati atas dibuatnya buku ini. Semoga kita semua memperoleh ilmu dan kebermanfaatannya.
Roswita M. Aboe, MA, Kepala Kantor Urusan Internasional Universitas Khairun, Ternate.
Kita sebagai bagian dari masyarakat Internasional, menyadari bahwa Diplomasi itu sangat beragam dan keberagaman tersebut berhasil diringkas dengan baik dalam buku ini. Sangat cocok untuk membuka cakrawala pembaca terhadap kontribusi Indonesia untuk Dunia khususnya dalam dunia Islam di bidang diplomasi.
Dr. Heri Herdiawanto, M.Si, Dekan FISIP Universitas Al Azhar Indonesia
Buku Indonesia Dalam Pusaran Disrupsi Global merupakan sekumpulan tulisan, ide, dan analisa tentang kotribusi Indonesia terhadap dunia internasional. Para penulis menyuguhkan bukti pencapaian Indonesia dalam menghadapi tantangan dan problematika global serta kontribusi budaya dan nilai ke-Indonesiaan bagi peradaban dunia. Lebih dari itu, buku ini membagikan semangat bahwa Indonesia telah memberikan kontribusi yang luar biasa dan harus terus menjadi pelaku utama yang memberikan manfaat kebaikan kepada dunia.
Duna Izfanna M.Ed, Ph.D, Ketua STAI Darunnajah
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia dan jumlah Muslim terbanyak di dunia dan bergabung dalam OKI, sudah semestinya menggunakan kesempatan itu untuk berdiplomasi di tingkat dunia. Buku ini menyajikan tulisan-tulisan yang sangat bagus untuk dibaca dan dijadikan referensi apalagi terkait dengan diplomasi Indonesia yang juga turut berperan di tengah perubahan dunia dengan bentuk Wasatiyyatul Islam ataupun kebudayaannya. Buku inj cocok dijadikan bacaan di tengah kondisi masa kini.
Mutammimal Husna, S.Pd.I. M.Pd.I, Ketua Prodi Pendidikan Agama Islam, Institut Parahikma Indonesia
Di tengah tumpukan buku-buku yang terkait dengan kajian hubungan internasional, menemukan buku yang di judulnya tercantum nama Indonesia sungguh sebuah kerinduan tersendiri, mengingat sangat minimnya kajian tentang kiprah Indonesia di dunia internasional. Terbitnya buku dengan judul Indonesia dalam Pusaran Disrupsi Global ini jelas sangat mengobati kerinduan tersebut. Di tambah, dengan penekanan
pada kajian Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia yang juga dibalut dengan kajian ke-Islam-an serta dibahas tidak hanya oleh para akademisi namun juga oleh para duta besar dan jurnalis, buku ini akan memperkaya khasanah kajian tentang Indonesia sebagai subyek, bukan obyek, di dunia internasional.
Sungguh sebuah kebanggaan Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) bisa turut berkolaborasi dalam penyusunan buku ini. Semoga bisa memberikan sumbangsih bagi perkembangan dunia akademik.
Fadra, Ph.D. Ketua Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
Sambutan Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama
Internasional MUI Pusat
A
ssalamu ‘Alaikum Wr.wb.Kami menyambut baik terbitnya buku Indonesia dalam Pusaran Disrupsi Global ini. Buku yang memuat berbagai tulisan mengenai Diplomasi Indonesia, baik yang dilakukan oleh Pemerintah RI (first track diplomacy) maupun non-pemerintah (second track diplomacy) ini menarik untuk dibaca, terutama bagi kami yang pernah terlibat dalam first track diplomacy selama lebih dari 30 tahun, maupun second track diplomacy di ormas Islam setelah pensiun dari pemerintah.
Memasuki abad 21 kita tidak menyaksikan dunia yang semakin damai di bawah dominasi peradaban Barat sebagaimana diharapkan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History. Tetapi di awal abad 21 ini kita malah menyaksikan banyak konflik akibat benturan antar peradaban sebagaimana diramalkan oleh Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations. Benturan antar peradaban tersebut terlihat jelas antara peradaban Barat vs Islam, Barat vs Sinic/China, Barat vs Rusia/Ortodok, Islam vs China, Islam vs Ortodoks, Islam vs Hindu, China vs Hindu, Islam vs Budha, dll. Konflik antar peradaban itu semakin dipertajam oleh kemajuan teknologi informasi yang semakin mempermudah penyebaran konflik sampai ke tingkat akar rumput.
Dari banyak konflik antar peradaban tersebut yang paling menonjol di awal abad 21 ini adalah konflik antara Barat vs Islam dan Barat vs China, karena konflik terjadi dalam skala luas.
Konflik Barat vs Islam yang puncaknya berupa Serangan WTC di New York AS tahun 2001 dan dibalas oleh Amerika dengan perang melawan terorisme serta serangan ke Afghanistan, Iraq, dll, berdampak luas di seluruh dunia. Menghadapi meningkatnya konflik Barat vs Islam tersebut, Menlu Hassan Wirajuda meluncurkan inisiatif Diplomasi Islam Moderat (Wasatiyatul Islam) dalam upaya untuk meredam konflik agar tidak semakin meluas. Dalam beberapa tahun terakhir terlihat bahwa konflik Barat vs Islam mulai makin mereda, namun dampaknya masih terasa hingga saat ini yaitu berupa Islamophobia di seluruh dunia.
Sejalan dengan meredanya konflik Barat vs Islam, dalam beberapa tahun terakhir kita menyaksikan meningkatnya konflik Barat vs China, yang disebabkan oleh semakin menguatnya pengaruh China bukan hanya di kawasan Indo- Pasifik, tapi juga di seluruh dunia. Meningkatnya konflik Barat vs China ini terlihat dari perang ekonomi antara Amerika vs China, peningkatan kehadiran militer kedua negara di Laut China Selatan, serta upaya Amerika untuk membentuk Aliansi militer dengan Jepang, Australia, India, dan Inggris untuk membendung perluasan pengaruh China tersebut. Menanggapi peningkatan konflik Barat vs China di sekitar Indonesia (Kawasan Indo-Pasifik) tersebut, Menlu Marty Natalegawa meluncurkan konsep Indo-Pasific yang disebutnya sebagai “Dinamic Equilibrium”. Konsep ini pada intinya merupakan diplomasi moderat yang inclusive di tengah semakin memanasnya konflik Barat vs China. Konsep ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh Menlu Retno Marsudi menjadi kebijakan luar negeri RI, dan kemudian disetujui menjadi kebijakan ASEAN.
Diantara penulis di buku ini yang kami kenal secara pribadi adalah Dubes Yuri Thamrin dan Dubes Asruchin yang merupakan teman lama kami selama mengabdi di Kementerian Luar Negeri. Selain itu juga ada Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, yang juga kami kenal secara pribadi karena beliau adalah pimpinan MUI yang membawahi bidang Hubungan Luar Negeri. Sedangkan diantara tulisan yang menarik perhatian kami adalah tulisan mengenai Peran MUI dalam Penyelesaian Konflik Afghanistan oleh Sdr. Pizaro, mengingat saat ini kami mengabdi di MUI.
Pada kesempatan ini kami sampaikan apresiasi kepada tim Editor, Sdr. Yanuardi Syukur dkk, yang telah bekerja keras untuk membikin buku ini terwujud, menarik dan enak dibaca.
Sdr. Yanuardi Syukur juga saya kenal secara pribadi karena beliau adalah kolega kami sama-sama mengabdi di MUI sejak setahun yang lalu. Selain menarik dan enak dibaca, buku ini juga memuat banyak informasi dan Analisa terkait dengan Diplomasi RI di awal abad 21 ini. Dengan demikian buku ini bermanfaat dan perlu dibaca tidak hanya oleh para pelaku diplomasi baik di pemerintah maupun non-pemerintah, tapi juga oleh para dosen dan mahasiswa yang minat dalam studi hubungan internasional.
Wassalamu ‘Alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 14 Januari 2022
Dubes Bunyan Saptomo
Pengantar Tim Editor
“
Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang,” demikian peribahasa populer saat membahas politik global. Bahasa latinnya: Si vis pacem, para bellum. Sejauh ini tidak diketahui persis siapa yang ciptakan peribahasa ini, tapi banyak yang yakin bahwa peribahasa ini dikutip dari penulis militer Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus: Igitur qui desiderat pacem, praeparet bellum. Sumber lain menyebut, ini pokok peribahasa ini telah ditemukan pada Undang-undang VIII (Νόμοι 4) Plato 347 SM dan Epaminondas 5 Cornelius Nepos. Kemudian muncul dari perkataan Flavius Vegetius Renatus sekitar tahun 400 M di dalam kata pengantar De re military, “Qui desiderat pacem, bellum praeparat“ yang artinya “Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.”Jika melihat timeline sejarah, manusia tidak pernah lepas dari perang. Pembedanya adalah pada besar dan kecilnya.
Perang antar negara terjadi tidak hanya di dunia kuno tapi juga di dunia modern. Seakan-akan manusia memang tidak lepas dari perang, atau bisa disebut makhluk perang, mengikut peribahasa di atas. Dalam skala yang lebih kecil, manusia juga berperang dengan lingkungan terdekat, bahkan dengan dirinya sendiri.
Buku ini tidak berbicara khusus tentang perang, akan tetapi melihat bagaimana diplomasi Indonesia di luar negeri dipraktikkan dalam disrupsi global. Di dalamnya tidak hanya
membahas bagaimana kiprah Indonesia akan tetapi juga membahas analisis terkini terkait dinamika global yang terjadi, khususnya soal perang AS-China—mewakili rivalitas ruling star dan raising star. Rivalitas tersebut tidaklah sederhana, bahkan mengutip Dubes Yuri O. Thamrin, hal itu membawa kita pada suasana kebatinan yang mencekam, “the decade of living dangerously.” Berdasarkan analisis yang ada, kita mendapatkan perspektif baru terkait apa yang sedang terjadi di luar. Analisis beberapa duta besar, diplomat, dosen dan peneliti memperkaya studi terkait ‘kontribusi politik luar negeri Indonesia’.
Buku ini diterbitkan atas kolaborasi Center for Global Studies (CGS) Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia dengan Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI Pusat, Center for Strategic Policy Studies (CSPS) SKSG UI, Perkumpulan Dosen Indonesia Semesta (DIS), STAI Darunnajah, FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia, Prodi Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jakarta, Prodi Hubungan Internasional Universitas Sulawesi Barat, Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Prodi Agama Islam Institut Parahikma Indonesia (IPI) Makassar, Kantor Urusan Internasional Universitas Khairun, Forum Alumni AIMEP, Dewan Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).
Kolaborasi ini kami buat mengingat saat ini kita hidup di zaman kolaborasi yang menuntut sinergi antarkomponen.
Atas terbitnya buku ini, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh kolega yang bermitra dalam kolaborasi ini, para penulis yang berkontribusi dengan gagasan cerdasnya
serta penerbit Perpusnas Press yang sudi menerbitkan buku ini.
Terkhusus kepada Dubes Bunyan Saptomo yang memberikan kata sambutan kami haturkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi. Demikian, semoga bermanfaat untuk kita semua.
Jakarta, Januari 2022 Tim Editor Yanuardi Syukur, Andi Ismira, Marwan
Bagian 1
Diplomasi Indonesia di Tengah
Disrupsi Global
Pertarungan Geopolitik Amerika- Tiongkok: Bagaimana Menghindari
“Perangkap Thucydides”?
Dubes Yuri O. Thamrin
B
oleh jadi “kunci” bagi masa depan dunia terletak di masa lalu. Universitas Harvard saat ini mengembangkan disiplin Applied History atau “Sejarah Terapan” (Graham Allison, 2017).Intinya: bagaimana memahami beragam tantangan, peluang dan opsi yang ada pada masa kini melalui analogi, preseden dan kajian sejarah. Bahkan, kini ada usulan agar Presiden Amerika Serikat (AS) dapat membentuk suatu “Dewan Penasehat yang terdiri dari akhli-akhli sejarah” (Council of Historical Advisers) yang perannya setara dengan “Dewan Penasehat Ekonomi”
(Council of Economic Advisers).
Sejatinya, dari perspektif sejarah, pertarungan geopolitik AS-Tiongkok pada saat ini memiliki banyak preseden di masa lalu. Sebagai contoh, dalam 500 tahun terakhir terdapat 16 kasus persaingan geopolitik antara rising power dan ruling power dengan 75% diantaranya (12 kasus) berakhir dengan peperangan (Graham Allison, 2017). Pecahnya peperangan
inilah indikasi nyata dari terjebaknya negara-negara kompetitor geopolitik tersebut ke dalam “perangkap Thucydides”.
Pertanyaannya, apakah Amerika dan Tiongkok akan jatuh ke dalam “perangkap Thucydides”? Apakah akan terjadi peperangan diantara keduanya? Apa yang harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan itu?
Jenderal dan Sejarawan
Thucydides (460-404 SM) adalah seorang jenderal dan sekaligus sejarawan. Ia hidup 2500 tahun yang lalu di masa Yunani kuno.
Kegagalannya mempertahankan kota Amphipolis dari serangan pasukan Sparta menyebabkannya diadili, dipecat dan bahkan dibuang dari Kota Athena. Selama masa pembuangan itu, Thucydides menulis 8 jilid buku Sejarah Perang Peloponnesos yang merupakan karya klasik yang hingga kini tetap menjadi rujukan dalam disiplin Hubungan Internasional, khususnya dari perspektif teori dan juga etika (vide Dialog Melia).
Sebetulnya apa yang disampaikan Thucydides sangat sederhana yakni mengenai kebangkitan Athena sebagai kekuatan baru (rising power) dan ketakutan Sparta (ruling power) akan hal itu. Kemudian terjadi dinamika berbahaya ketika Athena sebagai kekuatan baru mencoba mengambil alih kepemimpinan dari Sparta sebagai kekuatan yang berkuasa.
Selanjutnya, terdapat juga kegagalan manajemen hubungan diantara keduanya sehingga menyebabkan pecahnya perang.
Fakta sejarah ini kemudian disebut sebagai “Perangkap Thucydides”.
Perkembangan Kekuatan China
Secara kasat mata, saat ini terdapat perubahan distribusi kekuatan di dunia di mana China bertambah kuat dan AS relatif menurun (Hugh White, 2017). Kebangkitan China ini jelas berpengaruh pada sistem internasional yang didominasi AS.
Akibatnya, Amerika kini menganggap Tiongkok sebagai lawan dan “pesaing strategis”.
Pricewaterhouse Cooper meramalkan bahwa pada 2030 ekonomi China akan 40% lebih besar dari pada ekonomi Amerika. Pada 2040, ekonomi China akan tiga kali lebih besar dari ekonomi AS.
Ada satu fakta menarik, sesuai statistik, ekonomi China pernah tumbuh impresif sebesar US$ 2 trilyun hanya dalam tempo 2 tahun, yakni dari US$ 8,6 Trily un pada 2012 menjadi US $ 10,6 trilyun pada 2014 (Graham Allison, 2017). Sejatinya, pertumbuhan China itu setara dengan seluruh ekonomi India pada 2014 sebesar US$ 2 trilyun. Luar biasa!
Dari sisi militer, kekuatan China pun mulai menyusul AS.
Sesuai testimoni Admiral Phil Davidson (Panglima US Indo- Pacific Command) di Kongres AS pada Maret 2021, Angkatan Laut China kini 4-5 kali lebih besar dari kekuatan laut AS di kawasan Pasifik Barat. Dengan kata lain, China dapat merebut Taiwan dengan kekuatan senjata pada tahun 2027, ketika Tiongkok menuntaskan program modernisasi militernya.
Dalam berbagai “war games” yang dilakukannya, US Navy mengalami kekalahan jika mencoba lakukan intervensi untuk membela Taiwan dari invasi China (the Economist, 1 Mei 2021).
Selanjutnya, di bidang infrastruktur, China pun menunjukan “international leadership” melalui program Belt and Road Initiative. Sementara itu, Tiongkok tampak semakin
percaya diri karena berhasil atasi krisis pandemi Covid-19 dengan baik dan ekonominya pun kini kembali tumbuh positif ketika sebagian besar negara-negara di dunia masih terpuruk.
Berbekal aneka kesuksesan ini, para pemimpin China mencanangkan tiga target spesifik bagi Tiongkok (Graham Allison, 2017), yakni: (i) menjadi kekuatan dominan pada 2025 menyangkut 10 teknologi unggulan seperti Artificial Intelligence (AI), Robot dan Driverless car; (ii) menjadi innovation leader pada 2035 di seluruh jenis teknologi canggih; dan (iii) menjadi negara
“nomor 1” di dunia pada 2049 --- ketika China merayakan hari jadi ke-100, dengan kekuatan militer yang mampu bertempur dan memenangkan perang.
Mencegah Perang
Memperhatikan “perangkap Thucydides,” perang antara AS dan Tiongkok “bisa saja terjadi”, namun bukan berarti “pasti terjadi”--- war is likely but not inevitable!
Untuk mengelola kemungkinan ini, empat hal perlu ditempuh (Graham Allison, 2017) (Kevin Ruud, 2021).
Pertama, perlu dilakukan langkah “eksternalisasi.” Artinya, AS dan Tiongkok secara bersama perlu mengantisipasi terjadinya situasi krisis di beberapa hot spots seperti Selat Taiwan, Laut China Timur (Senkaku/Diaoyu), Laut China Selatan (kepulauan Spratlys) dan Semenanjung Korea. Dalam kaitan ini, kedua belah pihak perlu menyepakati cara-cara praktis untuk cegah accidents, lakukan de-eskalasi jika krisis pecah serta untuk cegah kemungkinan mereka “terseret” ke dalam perang.
Kedua, perlu pula ditempuh pendekatan rivalry-partnership.
Artinya, AS dan Tiongkok berperan sebagai pesaing, namun sekaligus juga sebagai mitra. Dalam keseharian kita, Samsung dan Apple telah memainkan peran rivalry partnership ini
dengan baik. Di satu sisi, Samsung dan Apple bersaing ketat dalam penjualan smartphones; namun Samsung pun adalah pemasok terbesar komponen-komponen elektronik canggih untuk Apple. Dengan kata lain, AS dan China pun harus mampu bekerjasama, meskipun mereka bersaing ketat di berbagai bidang untuk perbesar pengaruh strategis, ideologi dan ekonomi masing-masing. Kerja sama tersebut dapat dilakukan untuk isu-isu di mana ada kepentingan bersama seperti climate change, penanganan bencana alam dan juga penanggulangan pandemi Covid-19.
Ketiga, AS dan Tiongkok perlu pula menerapkan visi Presiden Kennedy tentang “the world safe for diversity”. Visi ini dilontarkan Kennedy pasca Krisis Kuba pada 1961 yang nyaris menyeret dunia ke dalam perang nuklir. Dengan kata lain, walaupun berbeda ideologi, ambisi strategis dan kepentingan nasional, AS dan Tiongkok harus sanggup hidup bersama secara proper dan decent.
Keempat, AS dan Tiongkok harus kembangkan new rules of the road -- semacam “aturan main baru” untuk menstabilkan hubungan mereka, berdasarkan prinsip timbal-balik dan “trust but verify”.
Beberapa komponen dari “aturan main baru” tersebut, antara lain, (i) AS dan Tiongkok sepakat tidak lakukan serangan siber terhadap insfrastruktur vital masing-masing; (ii) keduanya tahan diri dari provokasi: AS, misalnya, tidak kirim high level visit ke Taipei (sesuai prinsip “satu China”) dan Tiongkok pun tahan diri dari provocative military exercizes di Selat Taiwan;
(iii) Tiongkok hentikan militerisasi di Laut China Selatan dan hormati Freedom of Navigation; (iv) kedua pihak tetap buka akses pasar bagi produk masing-masing; (v) lakukan kolaborasi terkait isu-isu strategis seperti Climate Change dan denuklirisasi
semenanjung Korea untuk perkuat “common trust”; dan (vi) kembangkan “confidence building measures” di kawasan Indo- Pasifik seperti, misalnya, misi bersama penanganan bencana alam atau misi distribusi vaksin Covid-19.
Prospek Ke Depan
Pertarungan AS dan Tiongkok jelas merupakan salah satu faktor penentu Abad ke-21. Namun, tidak bisa dipastikan apa hasil akhirnya. Yang jelas pertarungan geopolitik di antara kedua raksasa itu mulai memasuki tahapan decisive mengingat pada penghujung dekade 2020-an ini ekonomi China akan melewati Amerika. The decade of living dangerously mungkin tepat untuk menggambarkan suasana kebatinan pada dekade ini. Kita harapkan AS dan Tiongkok tidak jatuh dalam
“perangkap Thucydides”. Karena itu, masyarakat internasional perlu mendesak AS dan Tiongkok untuk bersikap arif dan bertanggung jawab dan agar mereka tidak membahayakan keamanan internasional, perdamaian dunia dan keselamatan umat manusia. (*)
Diplomasi Indonesia Di Afghanistan
Dubes Mohamad Asruchin
A
pa yang terbersit di benak kita tatkala mendengar kata Afghanistan? Taliban, Al-Qaida, mujahidin, konflik, perang, kemiskinan, kekacauan, opium, tentara Amerika, pasukan NATO, failed state, negara rawan. Semua anggapan itu memang dapat kita jumpai di Afghanistan. Dalam daftar “World Happiness Indeks 2020” yang dikeluarkan oleh UN Sustainable Development Solutions Network, Afghanistan menempati urutan terbawah dari semua negara di dunia. Kondisi kebatinan sosial masyarakat semacam ini banyak dipengaruhi oleh tingginya tingkat kekerasan yang mengancam keamanan dan ketertiban suatu negara.Setelah absen selama 12 tahun, kegiatan diplomatik RI di Afghanistan resmi diaktifkan kembali pada awal tahun 2004.
Saat itu ibukota Kabul luluh-lantak berupa puing-puing yang menjadi saksi bisu kejamnya peperangan. Kehancuran kota Kabul bukan diakibatkan oleh pendudukan Uni Soviet (kini Rusia) selama 10 tahun dari 1979 sampai 1989, tetapi lebih diakibatkan oleh Perang Saudara antara para Panglima Perang
Mujahidin yang saling berebut kekuasaan pasca mundurnya tentara pendudukan Uni Soviet dari Afghanistan.
Setelah Perang Saudara memperebutkan kekuasaan antara para warlord atau pemimpin Mujahidin berlangsung tanpa henti selama 3 (tiga) tahun, pada tahun 1995 sepertiga kota Kabul hancur dan lebih dari 25 ribu penduduknya, kebanyakan warga sipil, terbunuh. Pada saat itulah kelompok mujahidin dari etnis Pashtun pimpinan Mullah Muhammad Omar dari Provinsi Kandahar muncul sebagai penyelamat. Kelompok ini yang terkenal dengan nama ‘Taliban’, berarti ‘murid’ dalam bahasa Pashtun, bertekad untuk menegakkan stabilitas dan keamanan masyarakat dalam negara Islamic Emitrate of Afghanistan.
Invasi Amerika Serikat
Dengan dalih untuk menangkap Osama Bin Laden yang dianggap sebagai dalang serangan teror Twin Tower di New York pada tanggal 11 September 2001, Presiden AS George W.
Bush dengan semboyan ‘whether you are with us with the enemy’, mulai memerintahkan pemboman di kota Kandahar, markas kekuatan kelompok Taliban serta mengerahkan pasukan darat menyerbu Kabul dalam menggulingkan pemerintahan Taliban yang menolak untuk menyerahkan Osama Bin Laden. Premis klise yang menyatakan bahwa Afghanistan adalah “kuburan bagi kekuatan mana pun yang ingin menguasainya” dihadapi juga oleh AS. Setelah 20 tahun menopang pemerintahan boneka, Paman Sam harus hengkang dari Afghanistan.
Setelah dilantik sebagai Presiden AS ke-46, Joe Biden mengumumkan akan melakukan penarikan seluruh pasukannya dari Afghanistan paling lambat tanggal 11 September 2021. Di Kongres AS, terdapat pro-kontra terhadap rencana penarikan seluruh pasukan AS dari Afghanistan. Sebagian anggota
Kongres menyambut baik rencana tersebut untuk menunjukkan keberhasilan menjalankan kebijakan counter-terrorism serta perlunya merancang kembali skala prioritas kepentingan AS di kancah global. Sebagian lainnya menyampaikan kekhawatirannya bahwa penarikan tentara AS dari Afghanistan tanpa didasari dengan ‘Peace Agreement’ antara pemerintah Afghanistan dengan kelompok Taliban dapat menimbulkan bencana.
Demikian juga tanpa adanya dukungan militer dari finansial, pemerintah Afghanistan akan ambruk. Sejauh ini pemerintah Kabul masih mengandalkan 80% biaya operasional tahunan pemerintahannya dari bantuan AS dan donatur lain. Sejumlah sumber menyatakan bahwa milisi Taliban telah melakukan penyerangan terhadap tentara dan polisi Afghanistan di wilayah-wilayah yang telah ditargetkan untuk dikuasai guna meningkatkan leverage dalam proses negosiasinya dengan pemerintah Afghanistan. Selain itu praktik-praktik korupsi yang marak dalam pemerintahan Afghanistan ikut memperkuat klaim Taliban sebagai pihak yang lebih legitimate untuk menjalankan pemerintahan.
Masalah Afghanistan terlalu kompleks untuk ditangani hanya oleh satu negara. Dalam menjalankan operasi militer maupun kemanusiannya di Afghanistan, AS selalu bertindak bersama negara-negara lain baik dalam konteks bilateral maupun digalang melalui badan/organisasi internasional.
Ketika melancarkan kampanye pemboman dengan kode
‘Operation Enduring Freedom’ di wilayah pertahanan Taliban di Kandahar awal Oktober 2001, pasukan AS dibantu Inggris.
Sementara itu keterlibatan komunitas internasional dalam masalah Afghanistan terlihat dari seringnya penyelenggaran
Konferensi Internasional di berbagai kota besar dunia untuk mencari terobosan penyelesaian tentang Afghanistan.
Selama 20 tahun berada di Afghanistan, pemerintah AS telah mengalokasikan anggaran sebesar US$ 144 milyar ke Afghanistan. Adapun biaya yang dikeluarkan untuk operasi militer termasuk kegiatan memelihara keamanan regional serta dukungan kepada Angkatan Bersenjata Afghanistan hampir menembus angka US$ 825 milyar. Dengan beberapa penyesuaian, bantuan negara donor yang selama ini disalurkan melalui Afghanistan Reconstruction Trust Fund (ARTF) maupun World Bank’s International Development Association (IDA), justru sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya kekacauan dan bahkan gagalnya Afghanistan sebagai suatu negara berdaulat.
Dalam buku The Grand Chessboard tulisan Zbigniew Brzezinski, Afghanistan dan Asia Tengah disebut memiliki a geopolitical pivot, yaitu posisi yang mempunyai nilai geostrategis tinggi. Era Great Game abad ke-19 Afghanistan telah diperebutkan oleh Kerajaan Inggris dan Kekaisaran Rusia.
AS dan Rusia memainkan New Great Game di Afghanistan pada era Cold War sepanjang tahun 1980-an. Hengkangnya AS dari Afghanistan tentu segera diikuti dengan perebutan pengaruh di Afghanistan antara Rusia, China, Iran, India dan Pakistan.
AS tentunya tidak akan meninggalkan sama sekali Afghanistan, namun tidak lagi melalui bentuk militer melainkan melalui meja diplomasi.
Taliban Memenangi Pertempuran
Berbagai pihak termasuk para pejabat pemerintah Amerika Serikat memang telah memperkirakan bahwa tentara pemerintah Afghanistan tidak akan mampu menahan milisi
Taliban memasuki ibukota Kabul, namun mereka ternyata menyerah terlalu cepat pada tanggal 15 Agustus 2021 sungguh di luar perhitungan para pengamat geostrategis-militer internasional maupun pejabat AS serta negara-negara Eropa anggota NATO, maupun para pengamat dunia internasional.
Milisi Taliban memang memasuki Kabul praktis tanpa perlawanan, tanpa perlu menembakkan satu peluru pun. Di pihak lain, dengan alasan menghindari petumpahan darah, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani terbang melarikan diri ke Dubai, UAE.
Episode great game mulai pentas kembali antara super power dalam memperebutkan Afghanistan dengan geostrategis serta menyimpan sumber mineral penting. Sebelum Kabul jatuh, pemimpin politik senior Taliban Abdul Ghani Baradar telah diterima oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri RRC Wang Yi di Tianjin, China. Adapun Rusia telah menjalin hubungan dengan Taliban di tataran diplomatik.
Kementerian Luar Negeri Rusia, sebulan sebelum ambruknya pemerintah Afghanistan, telah menjadi tuan rumah delegasi Taliban dengan juru runding pemerintah Afghanistan, Abdullah.
Kedua negara, Rusia dan China juga tetap mempertahankan Kedutaan Besar mereka beroperasi di Kabul.
Finger-pointing saling menyalahkan berlangsung setelah tentara AS ditarik dari Kabul disusul dengan terjadinya tragedi kemanusiaan korban jiwa akibat ribuan warga Afghanistan berebutan naik pesawat militer AS keluar dari Afghanistan.
Presiden AS Joe Biden mempertanggungjawabkan keputusan untuk mengakhiri keberadaan pasukan AS di Afghanistan.
Dalam pidatonya di Gedung Putih pada tanggal 16 Agustus 2021, Presiden Biden menyatakan bahwa misi AS di Afghanistan bukanlah untuk membangun suatu negara, melainkan untuk
Sebenarnya yang dilakukan oleh Joe Biden adalah melaksanakan kehendak mayoritas rakyat AS maupun yang diusulkan oleh bipartisan anggota Kongres AS. Warga AS sudah mengirim pesan kuatnya agar tentara AS keluar dari Afghanistan.
Hal ini sesuai dengan janji Joe Biden yang disampaikan dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2020 untuk mengakhiri perang tanpa ujung di Afghanistan. Isyarat penarikan tentara AS dari Afghanistan juga telah dikemukakan secara terbuka oleh dua pendahulu Presiden Joe Biden, yaitu Barack Obama dan Donald Trump. Bahkan pada akhir Februari 2020 juru runding Presiden Trump, Zalmay Khalilzad dan mitranya dari Taliban Abdul Ghani Baradar telah menyepakati pengunduran tentara AS dari Afghanistan pada akhir April 2021.
Mudahnya Taliban menundukkan pasukan pemerintah Afghan National Defence Security Forces (ANDSF) dan menguasai satu-persatu wilayah Afghanistan telah membingungkan berbagai pihak dan sekaligus mendorong mereka untuk mencari penyebabnya. Beberapa penyebab rapuhnya ANDSF antara lain adalah: maraknya korupsi di jajaran komandan, adanya daftar ghost soldiers – tentara fiktif, gaji tentara sering tidak dibayar. Personil ANDSF tidak memiliki sentimen ideologi atau kebangsaan yang kuat dan tingginya ketidakpercayaan mereka terhadap pemimpin negara/pemerintahan.
Pengakhiran keberadaan tentara AS di Afghanistan, selain karena jenuh dan misi utamanya ‘war on global terror’ telah dianggap selesai, juga untuk bisa lebih fokus pada teater baru yang lebih besar, di Laut China Selatan, Selat Taiwan dan di kawasan Indo-Pasifik dalam membatasi pengaruh dan manuver China. Sebaliknya China akan dapat memanfaatkan momentum ini untuk menghidupkan kembali proyek investasinya di bidang pertambangan juga akan dilakukan konektivitas program Belt
and Road Initiative (BRI) pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan sarana ekonomi pada jalur China Pakistan Economic Corridor (CPEC).
Kondisi Geopolitik Regional
Ketika pada bulan September 2021 Taliban sudah menguasai 100 persen wilayah Afghanistan setelah perlawanan kelompok National Resistance Forces (NRF) di Lembah Panjshir pimpinan Ahmad Masood berhasil dipatahkan. Para penentang Taliban terus berkampanye bahwa Taliban adalah kumpulan teroris, tidak berperikemanusiaan, tidak toleran terhadap kelompok- kelompok lain serta akan sangat represif terhadap kaum wanita dan minoritas. Sebaliknya para pendukung dan kelompok yang netral berargumen bahwa para pemimpin Taliban sekarang telah belajar dari kesalahan maupun kekurangan pemerintahan Taliban jilid satu (1996-2001) serta beradaptasi terhadap lingkungan sekitar maupun internasional.
Dua tugas utama yang mendesak untuk dilakukan oleh para pemimpin Taliban adalah menjaga stabilitas sosial-politik serta memutar kembali roda ekomomi dan bisnis. Tercapainya stabilitas sospol akan menumbuhkan ketentraman masyarakat yang kondusif terhadap kehidupan sosial-ekonomi di dalam negeri serta menarik minat negara lain untuk melakukan hubungan ekonomi-pedagangan serta investasi. Perbedaan taktik dan strategi antara berbagai faksi yang mudah diatasi ketika masih bergerilya melawan kekuatan militer asing, kini menjadi lebih rumit dan sulit dikompromikan. Yang paling santer adalah pertentangan antara faksi pragmatis di bawah Abdul Ghani Baradar dan kelompok garis keras jaringan Haqqani.
Tantangan internal berikutnya berasal dari kelompok NRF (National Resistance Forces), pasukan perlawanan yang merupakan koalisi dari kelompok etnis minoritas Tajik, Uzbek, Hazara (beraliran Syiah) dan bekas tentara pemerintah lama.
Yang lebih serius adalah menghadapi kelompok teroris ISKP (Islamic State in Khorasan Province). Sejak Taliban memasuki Kabul Agustus 2021, ISKP telah melakukan tindakan teror di berbagai wilayah Afghanistan. Setelah bom bunuh diri di Bandara Kabul yang membunuh 180 orang, mereka juga menebar teror di dua kota besar Jalalabad dan Mazar-i-Sharif.
Sebagai komitmen Taliban untuk tidak mengizinkan wilayah Afghanistan menjadi basis kelompok teroris internasional, Taliban menjauhkan diri dari jaringan Al- Qaida. Janji yang diucapkan Jubir Zabihullah Mujahid bahwa pemerintah Taliban berbeda dengan rezim Taliban sebelumnya (1996-2001) juga dimaksudkan untuk mencegah eksodus besar-besaran kaum terpelajar dan profesional Afghanistan yang sangat dibutuhkan Taliban di pemerintahan. Sebaliknya ketidakpastian Afghanistan digunakan sebagai alasan utama mereka mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain.
Menlu AS Antony Blinken menyatakan bahwa legitimasi dan dukungan internasional untuk Taliban sangat tergantung pada keseriusannya untuk menjalankan komitmenya, terutama dalam memerangi terorisme, melarang wilayahnya menjadi basis teroris, menegakkan HAM, membentuk pemerintahan inklusif, dan meniadakan balas dendam. Sebagai catatan bahwa AS telah membekukan dana Afghanistan sebesar US$ 9.5 milyar sejak Taliban mengambil-alih kekuasaan di Kabul. Sementara IMF menahan dana sebesar US$ 460 juta dan EU menunda dana darurat US$ 1 milyar untuk Afghanistan.
Menlu Pakistan Shah Mehmood Qureshi dalam wawancara dengan wartawan AP mengatakan agar dunia internasional lebih realistis, sabar dan melakukan kontak dengan Taliban, jangan sebaliknya malahan mengisolasinya. Masyarakat internasional harus realistis untuk menyiapkan alternatif dan sejumlah pilihan jalan keluar dalam berhubungan dengan Taliban. Qureshi menyentil AS dan EU karena di satu pihak mengumpulkan dana untuk menanggulangi krisis kemanusiaan, tetapi di pihak lain menahan dana milik Afghanistan. Negara di Asia Tengah dan Selatan sangat berkepentingan untuk terciptanya stabilitas di Afghanistan, karena Afghanistan yang tidak stabil akan berdampak langsung dengan membanjirnya pengungsi ke wilayah mereka.
Peran Indonesia
Posisi Indonesia menghadapi perkembangan di Afghanistan telah disampaikan oleh Dirjen Asia Pasifik & Afrika Abdul Kadir Jailani. Dalam keterangan pers tanggal 15 Agustus 2021 dijelaskan bahwa pemerintah Indonesia mengharapkan penyelesaian politik bisa dilakukan melalui ‘Afghan-owned, Afghan-led principle’. Diharapkan juga bahwa perdamaian di Afghanistan dapat diakui masyarakat Afghanistan maupun dunia internasional. Pemerintah Indonesia sejauh ini telah melakukan komunikasi dengan semua pihak di Afghanistan termasuk perwakilan PBB dan perwakilan diplomat asing.
Di sela-sela kunjungan Menlu RI Retno Marsudi ke Doha, Qatar tanggal 26 Agustus 2021, telah dimanfaatkan pertemuan dengan Perwakilan Kantor Politik Taliban di Doha. Pada pertemuan tersebut Menlu menyampaikan agar dapat dibentuk pemerintahan Afghanistan yang inklusif, penghormatan terhadap hak-hak perempuan, serta memastikan Afghanistan
tidak menjadi basis berkembang-biaknya organisasi maupun kelompok teroris manapun. Menlu Retno sejatinya hanya menekankan komitmen Taliban sendiri terhadap 3 (tiga) hal pokok yang menjadi perhatian dan sekaligus keprihatinan masyarakat terhadap pemerintahan Taliban jilid pertama tahun 1996-2001.
Sementara itu mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menilai Taliban menguasai Kabul dan kota-kota utama di Afghanistan dengan jalan damai tanpa pertumpahan darah.
Namun kini masih menjadi pertanyaan apakah Taliban dapat mengelola pemerintahan dengan baik. Pemerintah Indonesia akan menjalin hubungan diplomatik dengan siapa pun yang berkuasa di Afghanistan, termasuk dengan Taliban. Ketika menjabat sebagai Wakil Presiden RI, tahun 2019 Jusuf Kalla pernah mengundang Taliban ke Indonesia untuk melihat penerapan Islam moderat dalam kehidupan sosial-masyarakat di negara berpenduduk mayoritas Islam.
Sidang Darurat OIC (Organisation of Islamic Cooperation) - OKI di Islamabad, Pakistan tanggal 19 Desember 2021, khusus membahas krisis kemanusiaan yang terjadi di Afghanistan, selain dihadiri oleh para Menlu dan Wamenlu dari 57 negara anggotanya juga hadir perwakilan dari AS, Rusia, China dan Uni Eropa. Menlu Pakistan Shah Mehmood Qureshi mengatakan bahwa meskipun pertemuan ini bukan merupakan bentuk pengakuan resmi pemerintah Taliban, namun mengabaikan Afghanistan dalam kondisi seperti sekarang akan menjadi kesalahan bersejarah karena akan memperburuk krisis kemanusiaan dan memicu eksodus pengungsi baru.
Sementara itu Menlu RI Retno Marsudi dalam keterangan pers secara virtual seusai pertemuan tersebut menyerukan agar organisasi OKI mengambil langkah konkrit guna membantu
rakyat Afghanistan. Pertemuan OKI ini merupakan momentum yang baik untuk menangani 3 (tiga) isu sebagai satu kesatuan, yaitu: memobilisasi dukungan dan sumber daya untuk menangani krisis kemanusiaan yang semakin memburuk;
perlunya membuat peta jalan tentang upaya Taliban memenuhi komitmennya, yakni membentuk pemerintahan inklusif dan menghormati HAM termasuk hak perempuan; serta OKI dapat berperan sebagai jembatan dengan negara-negara donor.
Dalam merealisasikan komitmen membantu rakyat Afghanistan, pemerintah Indonesia pada tanggal 9 Januari 2022 telah memberangkatkan dua pesawat menuju Kabul yang mengangkut bantuan kemanusiaan berupa kebutuhan pangan dan nutrisi untuk rakyat Afghanistan yang saat ini separuh penduduknya atau sekitar 23 juta orang dilanda kelaparan, termasuk 3 juta anak Afghanistan terancam akan mengalami malnutrisi. Menurut Menlu Retno Marsudi Indonesia terus berupaya memperkuat dan berkontribusi dalam diplomasi kemanusiaan, yang memprioritaskan ‘safety and wellbeing’, yaitu keselamatan dan kesejahteraan rakyat Afghanistan.
Selain bantuan kemanusiaan jangka pendek, Indonesia juga sedang mempersiapkan bantuan jangka panjang di bidang pendidikan dan peningkatan kapasitas SDM, terutama untuk kaum perempuan Afghanistan. Dalam kaitan ini, Indonesia akan membahas soal kerja sama pendidikan dan pemberdayaan perempuan dengan pemerintah Qatar dan perwakilan dari Afghanistan. Peran Indonesia dalam memberikan pelatihan dan peningkatan capacity building rakyat Afghanistan sejauh ini sudah berjalan dengan baik, tanpa membedakan kelompok apa yang berkuasa di Kabul. Selain itu, Indonesia juga menjadi satu- satunya negara anggota OKI yang bisa diterima oleh semua faksi dan kelompok di Afghanistan, termasuk Taliban. (*)
Diplomasi Perjuangan dan ASEAN di dalam Politik
Luar Negeri Indonesia
Ryantori
Diplomasi Perjuangan
Soeharto, Presiden Republik Indonesia di era Orde Lama, pernah mencanangkan sebuah gagasan mengenai perlunya diplomasi perjuangan—yaitu suatu gaya diplomasi yang dibekali keteguhan prinsip dan pendirian, ketegasan dalam sikap dan gigih dalam upaya namun luwes dan rasional dalam pendekatan—pada rapat kerja yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri RI pada bulan Maret 1977 (Kusumaatmadja, 1983). Diplomasi perjuangan adalah keuletan dan kelincahan dalam memperjuangkan aspirasi, cita-cita, dan kepentingan nasional. Diplomasi perjuangan mengharuskan para diplomat agar tidak hanya mengikatkan diri pada kebiasaan-kebiasaan resmi, dan keprotokolan saja, melainkan harus dapat menemukan dan mengembangkan cara-cara lain yang efektif. Untuk itu diperlukan sebuah bentuk diplomasi
yang aktif. Semuanya itu bersumber pada kepercayaan terhadap diri sendiri. Dengan kata lain dalam perwujudan operasionalnya, melalui diplomasi perjuangan ini, Politik Luar Negeri Indonesia perlu selalu dan terus-menerus menyesuaikan diri terhadap berbagai perkembangan dan perubahan yang terkadang sangat mendasar yang terjadi di lingkungan internasional.
Ciri-ciri khusus diplomasi perjuangan adalah sebagai berikut:
1. Harus mendukung secara aktif pelaksanaan pembangunan di segala bidang;
2. Membina persahabatan dengan sebanyak mungkin bangsa di dunia;
3. Ditujukan untuk kepentingan nasional Politik Luar Negeri Indonesia (PLNI)
Tujuan pokok PLNI adalah menegaskan kemerdekaan, perdamaian, serta keadilan di dunia melalui pembangunan bangsa-bangsa, pembinaan persahabatan, dan kerja sama internasional tanpa membeda-bedakan sistem politik, ekonomi, sosial budaya masing-masing negara (Embassyof Indonesia, 2021). Hal ini didasarkan pada dua dasar pokok, yaitu: (1) Kepentingan nasional yang diperhitungkan secara realistis dan (2) Kenyataan-kenyataan yang terdapat di dunia internasional agar dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan Indonesia dalam penciptaan tatanan masyarakat, bangsa, dan dunia yang baru.
Sasaran umum dari PLNI adalah melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif berdasarkan prinsip hidup berdampingan secara damai dalam hubungan bilateral, regional, dan global untuk kepentingan nasional
Sasaran khusus dari PLNI mencakup hal-hal sebagai berikut (Sabir, 1987):
a. Hubungan luar negeri merupakan kegiatan antarbangsa baik regional maupun global melalui berbagai forum bilateral dan multilateral yang diartikan kepada kepentingan nasional yang dilandasi oleh prinsip- prinsip bebas aktif;
b. Hubungan luar negeri dikembangkan untuk meningkatkan persahabatan dan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun global sesuai dengan kepentingan nasional;
c. Peranan Indonesia dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah dunia khususnya yang mengancam perdamaian dunia dan yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan terus ditingkatkan memalui tahapan dan langkah yang konstruktif dan konsisten yang dilandasi oleh semangat Dasa Sila Bandung;
d. Perkembangan, perubahan, dan gejolak dunia terus diikuti dengan seksama agar secara dini dapat diperkirakan terjadinya masalah yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan yang menghambat pembangunan nasional dan pencapaian tujuan nasional agar dapat diambil langkah yang tepat dan cepat untuk mengatasinya;
e. Peranan Indonesia di dunia internasional dalam membina dan mempererat persahabatan dan kerja sama yang saling menguntungkan antarbangsa terus diperluas dan ditingkatkan;
f. Perjuangan menegakkan tatanan dunia baru, termasuk tata ekonomi dunia baru berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian dan keadilan terus ditingkatkan melalui upaya penggalangan dan pemupukan solidaritas dan kesatuan sikap serta kerjasama diantara negara berkembang melalui forum internasional seperti PBB, ASEAN, GNB, OKI, dan lain-lain serta meningkatkan peran Indonesia dalam upaya restrukturisasi, revitalisasi, dan demokratisasi PBB;
g. Langkah bersama antarnegara berkembang untuk mempercepat terwujudnya perjanjian perdagangan internasional dan meniadakan hambatan serta pembatasan yang dilakukan oleh negara-negara industri maju terhadap ekspor dari negara-negara berkembang dan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan teknik antarnegara berkembang terus dilanjutkan dalam rangka mewujudkan tata ekonomi dan tata informasi dan komunikasi dunia baru;
h. Kerja sama antarnegara anggota ASEAN baik antarpemerintah maupun antarmasyarakat terutama di bidang ekonomi, sosial-budaya, iptek terus ditingkatkan dalam rangka memperkukuh ketahan nasional masing-masing negara anggota serta memperkuat ketahanan regional menuju terwujudnya kawasan Asia Tenggara yang damai, bebas, netral, sejahtera, dan bebas senjata nuklir. Lebih jauh dari itu, hubungan dan kerja sama di kawasan Asia Pasifik perlu terus ditingkatkan.
Berdasarkan kepentingan nasional, maka politik luar negeri Indonesia harus menunjang usaha pembangunan ekonomi sebagai prioritas dalam rangka pembangunan nasional secara total. Untuk mencapai peningkatan taraf kehidupan bangsa Indonesia perlu diwujudkan kestabilan dan keamanan politik
dan ekonomi bersamaan dengan kerja sama yang efektif dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan negara- negara tetangga, serta negara-negara lainnya. Pelaksanaan PLNI yang demikian diharapkan akan dapat meningkatkan ketahanan nasional sebuah negara.
Konsep ketahahan nasional tidak hanya menitikberatkan pada politik kekuatan (power politics) yang sangat bergantung pada kekuatan militer sendiri, melainkan lebih mengedepankan pentingnya konsultasi dan saling menghormati dalam hubungan antarnegara dengan menghindari ancaman atau penggunaan kekerasan (the renunciation of threat or the use of force) (Sabir, 1987). Oleh karena, itulah di dalam pelaksanaan politik luar negerinya Indonesia mengenal apa yang disebut sebagai concentric circles yang merupakan sebuah alat bantu untuk melihat skala prioritas dalam melakukan hubungan dengan luar negeri berdasarkan kedekatan wilayah. Berdasarkan concentric circles tersebut maka wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah terdekat dan terpenting yang Indonesia harus terlebih dahulu dekati agar konsep ketahanan nasional tadi dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pada masa Orde baru hingga saat ini, ASEAN memiliki posisi yang strategis di dalam politik luar negeri Indonesia.
ASEAN dalam PLNI
ASEAN berdiri berdasarkan Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967. Sebelumnya di kawasan ini juga ada pengelompokan sejenis seperti ASA (The Association of Southeast Asia) dan MAPHILINDO (Malaysia, Philipina dan Indonesia). ASA didirikan pada bulan Juli 1961 terdiri dari Malaysia, Philipina dan Thailand untuk memulai kerja sama yang aktif dan saling menguntungkan terhadap masalah-masalah yang menyentuh
kepentingan bersama dalam konteks ekonomi, sosial, budaya, teknis, ilmu pengetahuan, dan masalah administrasi. Pada tahun 1963, pada saat memuncaknya konflik antara Philipina- Malaysia-Indonesia mengenai Sabah, kepala pemerintahan dari ketiga negara sepakat untuk bertemu di Manila dan setuju untuk bekerjasama dalam konteks keamanan, pembangunan ekonomi, dan sosial budaya dalam kerangka MAPHILINDO (Dirjen Kerja Sama ASEAN, 2007).
Setelah kejatuhan Soekarno, rejim Orde Baru di Indonesia, khususnya menteri luar negeri Adam Malik mempunyai kesempatan terbaik untuk memngambil kesempatan yang besar dalam penciptaan kesepakatan yang lebih luas di antara negara- negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN dalam kebijakan luar negeri Indonesia salah satunya ditujukan sebagai sebuah langkah penting dalam strategi untuk merehabilitasi perekonomian Indonesia semenjak 1966-1967 adalah penekanan yang diberikan untuk mengangkat kerja sama kawasan dengan para tetangganya, yang diformalkan dengan pembentukan ASEAN.
Pembentukan ASEAN merupakan sebuah kesuksesan dalam hal perubahan visi Soeharto yang pada bulan Agustus 1966 telah mengemukakan visi “Asia Tenggara yang bekerjasama” (a co-operating Southeast Asia) yang akan menjadi basis terkuat untuk menghadapi imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun dan darimana pun mereka datang. Pada tanggal 4 April 1966 Menlu Adam Malik menadaskan bahwa politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada peningkatan kerja sama ekonomi dan keuangan dengan negara-negara lain selama kerja sama tersebut tidak membahayakan kepentingan Indonesia (Anwar, 1994).
Kebijakan PLNI mengenai ASEAN pertama-tama dilandaskan atas TAP MPRS no. XII/MPRS/1965 yang di
dalamnya terkandung tujuan untuk membentuk persahabatan dengan semua negara di dunia dan terutama dengan negara- negara Asia dengan pedoman perjuangan politik luar negeri yang diantaranya didasarkan atas prinsip bahwa masalah Asia hendaknya dipecahkan oleh bangsa Asia sendiri secara Asia dan kerja sama regional. Dalam rangka perumusan politik luar negeri RI untuk tahun 1970-an, ASEAN diharapkan akan dapat memberikan sumbangan dalam perwujudan stabilitas yang menyeluruh di dalam wilayah Asia Tenggara pada khususnya dan Asia Pasifik pada umumnya (Dirjen Kerja Sama ASEAN, 2007).
Terlihat bahwa sejak awal isu ASEAN ini telah menempati posisi yang strategis di rumusan kebijakan PLNI karena tidak hanya semata-mata di lingkup kawasan Asia Tenggara saja namun juga berimbas pada perkembangan serta kestabilan di kawasan Asia Pasifik. Dan terbukti, belakangan muncul sebuah kerja sama di kawasan ini semacam Asia Pacific Economic Forum (APEC). ASEAN menganut prinsip tidak melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri negara-negara anggotanya.
Namun, Indonesia melalui semangat diplomasi perjuangan dapat mendorong ASEAN dalam berperan untuk membantu membendung konflik yang melibatkan antar anggotanya seperti krisis Sabah antara Malaysia dengan Philipina, krisis Indonesia dengan Singapura akibat digantungnya dua anggota Marinir Indonesia di singapura akibat dituduh sebagai mata- mata pada tahun 1968, serta yang terkini terkait dengan masalah pengungsi Rohingya di Myanmar serta isu ancaman keamanan di Laut Cina Selatan.
Berikut ini adalah beberapa pernyatan penting penegas pentingnya ASEAN di dalam politik luar negeri Indonesia:
1. Adam Malik selaku Wapres dan Menlu RI pada sidang Menlu ASEAN IV di Manila, Maret 1971, menyatakan bahwa ASEAN adalah soko guru (corner stone) PLNI dalam artian ASEAN merupakan suatu organisasi yang fleksibel yang dapat meningkatkan kerja sama ekonomi negara- negara di Asia tanpa memandang perbedaan sistem politik mereka (Anwar, 1994).
2. Di dalam pedoman PLNI mengenai ASEAN, TAP no. IV/
MPR/1973 tentang GBHN masalah hubungan luar negeri telah menetapkan bahwa dalam rangka terus melaksanakan PLNI yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi, maka perlu diambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang memungkinkan memungkinkan negara-negara di kawasan tersebut untuk menetukan hari depannya sendiri melalui peningkatan ketahahan nasional mereka masing-masing dan dengan memperkuat wadah dan kerja sama antarnegara anggota PBB di kawasan Asia Tenggara (Dirjen Kerja Sama ASEAN, 2007).
3. Pada 6 Agustus 1981, Presiden Soeharto menyatakan bahwa salah satu tujuan penting PLNI adalah terus memperkokoh ASEAN. Melalui kerja sama, setiap negara anggotanya dapat meningkatkan ketahanan nasional masing-masing yang secara keseluruhan akan memperkuat ketahanan regional. Melalui ketahanan regional tersebut dapat diwujudkan masa depan wilayah menjadi wilayah yang damai, bebas, dan netral (Anwar, 1994).
4. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di KTT Asean ke-23 tahun 2013 menekankan pembentukan ASEAN Community yang salah satu pilarnya, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dapat terealisasi pada 2015 (Pradana, 2013).
5. Pada KTT ASEAN ke-36 tahun 2020, Menlu RI Retno Marsudi menyampaikan pesan dari Presiden Joko Widodo agar ASEAN menjadi penjaga kawasan agar tidak menjadi arena pertarungan kekuasaan dari negara-negara besar serta ASEAN harus menjadi subyek, bukan menjadi obyek, di dalam perpolitikan global (Setkab, 2020). (*)
Referensi
Anwar, Dewi Fortuna. (1994). Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism,. Jakarta: Sinar Harapan.
Dirjen Kerja Sama ASEAN. (2007). ASEAN Selayang Pandang.
Jakarta: Kementerian Luar Negeri RI.
EmbassyofIndonesia. (2021). Indonesia’s Foreign Policy/
The Principles of the Foreign Policy. https://www.
embassyofindonesia.org/foreign-policy/
Kusumaatmadja, Mochtar. (1983). Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini. Bandung: Penerbit Alumni.
Pradana, Rio Sandy. (2013). KTT Asean: Presiden SBY Tekankan 4 Hal Utama. https://ekonomi.bisnis.com/
read/20131009/12/168171/ktt-asean-presiden-sby- tekankan-4-hal-utama
Sabir, M. (1987). Politik Bebas Aktif. Jakarta: CV H. Masagung Setkab. (2020). President Jokowi Highlights Importance of
ASEAN Countries Cooperation. https://setkab.go.id/
en/president-jokowi-highlights-importance-of-asean- countries- cooperation/
Hybrid Diplomacy: Keniscayaan Kombinasi Komunikasi Transnasional Indonesia
M. Ghozali Moenawar
Pendahuluan
Di masa-masa awal pandemi Covid-19 menyasar berbagai belahan dunia, Corneliu Bjola seorang Profesor Diplomatic Studies, dari University of Oxford, pernah memprediksi bahwa masa kini dan masa depan adalah era diplomasi hybrid, terutama setelah menyusul pembatasan Covid-19. Bjola juga menegaskan diplomasi hybrid telah dipaksa secara elegan untuk beradaptasi dengan virtualitas public sphere. Di dunia internasional virtualitas sudah hidup berdampingan dengan diplomasi tatap muka konvensional. Spekulasi yang berkembang, memang banyak pekerjaan yang dilakukan secara online mengingat aksesibilitas yang mudah sehingga dapat meminimalisir sumber daya yang terlibat. Hal in berjalan beriringan pada event-event multilateral setiap negara, yang mula-mula diawali negosiasi atau kegiatan diplomatik lainnya.
Pendekatan hybrid juga akan menjadi alat yang valid bagi diplomasi bilateral, semisal penandatangan kesepahaman, dan sesi foto dalam kunjungan tingkat tinggi yang sebelumnya disepakati secara online. Kekuatan “fenomena deglobalisasi”
ini yang kemudian dibedah oleh Profesor J.L. Manfredi, dari Georgetown University, USA, yang menyebut diplomasi publik akan berdiri dengan memanfaatkan digitalisasi yang sekarang telah menuai manfaat menjangkau khalayak lebih luas.
Fenomena ini bisa dilihat dari target semula, memajukan dialog dengan masyarakat sipil, melibatkan praktisi internasional dalam pertukaran virtual dan menarik publik asing secara online.
Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan 190 negara di dunia melalui 132 perwakilan di 96 negara, yang terbagi menjadi 24 zona waktu. Dengan demikian, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI sesungguhnya bekerja 24 jam sehari, tujuh hari sepekan. Direktorat Penerangan dan Layanan Media dan Direktorat Publik Diplomasi adalah unit kunci dalam diplomasi digital di Kemenlu RI. Dalam catatan Digital Diplomacy Review (2017), perkembangan terakhir menunjukkan bahwa hampir semua Kedutaan Besar Indonesia memiliki akun media sosial sendiri, misalnya Twitter dan Facebook. Pada tingkat dasar, akun online tersebut setidaknya berfungsi sebagai representasi online dari kepentingan nasional Indonesia di negara asing.
Berdasarkan peringkat Twiplomacy, akun twitter Kemenlu RI menempati posisi keempat sebagai pemerintah yang paling dapat diandalkan. Kemenlu sangat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung diplomasi Indonesia. Pada tahun 1996, situs web Kemenlu diluncurkan, yang kemudian dikembangkan pada tahun 2008 dan memasuki versi 2.0 pada tahun 2016. Media sosial sebagai sarana
komunikasi dan penyebaran informasi telah dimanfaatkan dengan baik oleh Kemenlu sejak 2010. Dibandingkan dengan kementerian luar negeri lainnya di beberapa negara lain praktik diplomasi Kemenlu RI cukup moderat. Kemenlu RI mengklaim memiliki situs web yang lebih baik daripada yang lain (www.
kemlu.go.id).
Memahami Hybrid Diplomacy
Secara epistemologi, hybrid diplomacy sebagai neologisme yang didisain untuk mewadahi kombinasi komunikasi digital atau virtualitas dan diplomasi tatap muka. Hal ini sebagai perpaduan antara diplomasi tradisional dan diplomasi inovatif (www.diplomaticourier.com). Meski konsep ini mengundang perdebatan tentang apakah dan bagaimana kedua pola diplomasi ini berjalan secara berdampingan, namun tuntutan praktik di lapangan adalah sebuah keniscayaan. Sementara penerapan diplomasi yang dikembangkan oleh Kemenlu RI, dalam merespon tingginya tantangan kepentingan nasional, khususnya dalam pengendalian pandemi Covid-19 bertumpu pada akselerasi diplomasi digital dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Diplomasi digital memainkan peran penting politik luar negeri, termasuk peran internet atau teknologi baru (Madu, L. 2018).
Kebijakan diplomasi digital Indonesia dan implementasinya dapat disaksikan melalui situs website dan perangkat media sosial lainnya, yang menggambarkan komitmen kuat dalam penggunaan diplomasi digital untuk mengatur segala urusan luar negeri di era daring (https://kemlu.go.id/portal/id).
Diplomasi digital telah memperlihatkan berbagai keuntungan seperti komunikasi langsung dan interaktif dengan pihak asing.
Meski demikian, diplomasi digital Indonesia masih menghadapi
berbagai permasalahan erat kaitannya dengan penggunaan internet oleh aktor negara dan non-negara, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini tidak jarang menjadi hambatan bagi jalannya diplomasi yang elegan (Madu, L. 2018). Seiring dengan risiko meningkatnya digitalisasi urusan internasional yang membawa dampak, bahkan dapat memunculkan ketidaksetaraan hubugan antar negara.
Beberapa pemangku kepentingan akan dirugikan dengan kurangnya penguasaan teknologi, sumber daya, literasi dan keterampilan digital. Alih-alih kekhawatiran tidak terjaminnya kerahasiaan dan keamanan secara online. Di lain pihak hadirnya hybrid treats juga tidak bisa terhindarkan sebagai bentuk konflik asimetris yang tidak jarang berkembang menjadi hybrid war.
Sekalipun hybrid war yang diintrodusir oleh Hoffman (2007) hingga saat ini dipahami secara berbeda oleh banyak pihak.
Tetapi fenomena ini dapat digunakan untuk menggambarkan kemungkinan adanya perang kombinasi atau ancaman nyata di masa kini dan masa depan. Tulisan ini berargumen bahwa selain penggunaan diplomasi digital yang menentukan kapabilitas Kemenlu RI dan diplomatnya dalam menghadapi berbagai tantangan hubungan internasional, Kemenlu dalam komunkasi transnasional yang penuh ketidakpastian dihadapkan pada keniscayaan kombinasi diplomasi digital dan tradisonal hybrid diplomacy secara proporsional.
Perkembangan Hybrid Diplomacy
Hybrid dapat diartikan sebagai anything derived from heterogeneous sources, or composed of elements of different or incongruous kinds: (https://www.dictionary.com) Sedangkan diplomacy berasal dari bahasa Prancis, dan dari bahasa Yunani kuno diplōma, terdiri dari diplo, yang berarti “dilipat menjadi
dua,” dan akhiran -ma, yang berarti “sebuah objek” (https://
www.britannica.com), Diplomacy dapat dipahami sebagai seni negosiasi, hubungan berbagai aktor dalam hubungan internasional yang diselenggarakan secara bilateral atau multilateral. Sementara konsep hybrid diplomacy sering dikenal dengan Track One and a Half Diplomacy (1.5).
Schiller (2019) mendefinisikan track 1.5 sebagai, “Interaksi atau negosiasi terbuka atau terselubung, yang disetujui secara diam-diam oleh suatu pemimpin negara, pemerintah, LSM atau LSM internasional untuk mencapai tujuan yang saling menguntungkan di mana jalur diplomasi lain dibatasi, yang pada awalnya dimediasi oleh aktor swasta yang memungkinkan untuk mencapai kematangan solusi. Sekaligus sebagai pelopor untuk memastikan jalannya diplomasi (Schiller, 2019).
Beberapa akademisi percaya track 1.5 diplomasi sebagai hybrid diplomacy karena penunjukan awal dapat dipicu baik oleh aktor khas track 1 atau track 2 atau menjadi jembatan antara track 1 dan track 2. Namun ada banyak bukti bahwa track 1.5 sudah berkembag sendiri. sebagai pendahulu kedua track lainnya. Hal ini memungkinkan diplomat track 1.5 untuk mengambil peran dari jalur mana pun jika diperlukan dan menggunakan alat dari jalur mana pun. (Schiller, 2019).
Hybrid diplomacy belakangan dipahami sebagai perpaduan antara diplomasi tradisional dan diplomasi inovatif. Hal ini mencakup kolaborasi antara aktor negara dan non-negara dalam jarngan diplomasi yang melibatkan diplomat tradisional atau pemerintah, termasuk masyarakat sipil dan LSM, bisnis, organisasi internasional, dan aktor lainnya. Hybrid diplomacy menyoroti berbagai hibridisasi di bidang diplomatik, demikian pula praktik diplomatik yang menggabungkan komunikasi di ruang fisik dan media sosial, yang menangani masalah
perselisihan, atau menengahi interaksi budaya yang berbeda.
Hybrid diplomacy juga mencermati berbagai hibridisasi praktik diplomatik, seiring dengan saluran diplomatik tradisional.
Pengalaman Italia menarik untuk dicermati. Marchetti (2017) menyatakan terjalinnya sinergi intens antara kebijakan pemerintah Italia dan organisasi masyarakat sipil. Praktik hybrid diplomacy dikembangkan melalui kepemimpinan yang berada di tangan organisasi masyarakat sipil, sementara di pihak lain pemerintah memainkan peran utama. Dalam beberapa kasus, kerjsama pengelolaan kepemimpinan oleh para aktor telah mampu merumuskan strategi inovatif dari apa yang disebut dengan performa hybrid diplomacy (Marchetti 2017).
Abduazimov, M. (2021) memberikan catatan tentang konsep hybrid diplomacy dengan mengingatkan bahwa transisi ke rangkaian aktivitas online tidak berarti mengganti diplomasi tradisional yang selalu ada landasan yang mendasari praktiknya diplomatik. Memang diplomasi online akan memiliki aksentuasinya sendiri, di mana agenda lobi dan negosiasi akan efektif bila dibahas secara digital. Namun topik-topik tertentu tidak mungkin selalu dalam format online. Oleh karena itu, berdasarkan jenis komunikasi ini, dimugkinkan pembagian bidang kegiatan antara diplomasi online dan offline. (lihat Gambar 1)
Sumber: Abduazimov, M. 2021
Praktik Hybrid Diplomacy
Revolusi teknologi dengan hadirnya internet of things (IoT), menjadikan realitas ruang menjadi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) atau meniscayakan kombinasi dari keduanya: realitas -campuran. Ruang hybrid merupakan ruang yang tak terhindarkan, sehingga setiap aktor dalam hubungan internasional harus menggunakan platform digital. Dalam ruang ini, aktor diplomasi atau hubungan internasional, baik dari segi hubungan antar negara, hubungan antar lembaga non pemerintah, antar individu bergabung dan terhubung dalam suatu sistem jaringan teknologi, komunikasi, dan konten.
Secara otomatis konsep diplomasi dan hubungan internasional bertransformasi mejadi hybrid doplomacy.
Meski praktik hybrid diplomacy kurang disukai oleh berbagai lembaga atau organisasi yang melaksanakan politik luar negeri, karena beberapa risiko atau hambatan komunikasi (Purwasito
& Kartinawati, 2020). Namun, pengalaman pandemi Covid-19, membawa pelajaran penting betapa keniscayaan hubungan bilateral dan multilateral secara hybrid tampak lebih praktis.
Hal ini berkaitan dengan kemudahan komunikasi transnasional, terutama kemampuan hybrid diplomacy dalam mengatasi jarak, masalah akomodasi dan transportasi. Ketika pandemi Covid-19 melanda dengan ganas, para diplomat Indonesia dan diplomat di seluruh dunia dipaksa untuk beralih secara massal ke alat digital, yang secara tidak sengaja terjadi katalisasi diplomasi digital yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Diplomasi tidak hanya beradaptasi, namun juga memanfaatkan dinamika dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi sebagai prioritas pemecahan masalah akibat Covid-19. Terlepas dari keterbatasan awal, digitalisasi terbukti menjadi sarana yang tepat untuk memfasilitasi interaksi, baik
itu di bawah naungan WHO, G20 atau forum Internasional lainnya.
Sepanjang proses dari adaptasi hingga adopsi, pandemi memberikan banyak pelajaran kepada para diplomat. Di lain pihak diplomasi publik menawarkan lapangan yang sangat subur untuk format virtual. Komunikasi baru ini praktiknya lebih masif, baik dalam hal mempromosikan diplomasi ide atau kegiatan, serta sebagai sarana untuk berbagi informasi.
Facebook, Youtube, Twitter, LinkedIn sering digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi dengan publik global. Jadi diplomat dan aktor non-negara dipaksa untuk memasuki ruang hybrid.
Sementara era new normal mengintegrasikan jaringan diplomasi melalui ruang hybrid ini. Sekalipun situasi ini sering menghadapi hambatan budaya, terutama dalam bentuk sikap dan perilaku konservatif dan normatif yang telah lama dilakukan, hal ini normal karena kita menghadapi kondisi yang tiba-tiba harus melakukan praktik yang baru dengan bekerja dari rumah atau bekerja dari kantor. Diplomasi tradisional tidak mungkin ditinggalkan. Oleh karena itu, dua praktik diplomasi, baik online maupun offline, tetap harus diterapkan.
Maka di masa depan, pertemuan secara hybrid diyakini akan menjadi media umum untuk diplomasi. Pertemuan hybrid ini dapat mengambil banyak bentuk, memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk memperluas keterlibatan dengan berbagai aktor internasional. Selain pertimbangan teknis, pertemuan perlu dirancang dan difasilitasi untuk memperhatikan ketidaksetaraan yang melekat antara hadirin secara langsung dan online. Ini termasuk zona waktu yang berbeda, rentang perhatian online dan rasa kehilangan pertukaran inform