• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intelektual Pesantren Di Balik Tradisi Salat Tarawih Cepat; Kajian Living Sunnah di Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Blitar

N/A
N/A
CHOLID MA'ARIF

Academic year: 2023

Membagikan "Intelektual Pesantren Di Balik Tradisi Salat Tarawih Cepat; Kajian Living Sunnah di Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Blitar "

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Intelektual Pesantren Di Balik Tradisi Salat Tarawih Cepat;

Kajian Living Sunnah di Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Blitar

Cholid Ma’arif Universitas Darul ‘Ulum cholidmaarif@gmail.com Keywords:

Fast-Tarawih;

living Qur'an;

sociology of knowledge;

Pondok Mantenan

Abstract

This paper aims to reveal the reception, behavior and meaning behind the phenomenon of fast tarawih prayer congregations during the month of Ramadan at the Mambaul Hikam Islamic boarding school or familiarly called Pondok Mantenan. The uniqueness of the fast tarawih prayer is the unusual speed of movement, namely by moving at lightning speed from one prayer pillar to another for twenty rak'ahs in just approximately ten minutes. The phenomenon that is the object of this research occurred in the environment of Islamic boarding school in Mantenan hamlet, Sukorejo village, Udanawu sub-district, Blitar district and has become news material in the community and on digital media which is repeated every time in the holy month of Ramadan for Muslims in Indonesia. The research method used is qualitative research. Data collection was carried out by means of observation, in- depth interviews as well as library-research. To analyze related phenomena, researchers used the study of the living Quran with the approach of Karl Mannheim's theory of the sociology of knowledge. The results of this research refer to behavioral aspects which show that practice Fast tarawih is the practice of verses related to the virtues of Ramadan qiyam and evening prayers as well as hadiths about lightening congregations as well as about the virtues of reciting the Koran over sunnah prayers. Meanwhile, in the aspect of meaning, there are three kinds of meaning contained in social actions, namely objective, expressive and documentary meaning. shows that fast tarawih has become a means of obedience to the Islamic boarding school congregation and the trust of local community congregations so that it has become a widespread phenomenon. The expressive meaning leads to activities to enliven the sunnah of the nights of Ramadan as well as the pragmatic desire for time efficiency to pursue further activities. Meanwhile, the meaning of documentary contains aspects of maintaining traditions that have been passed down from generation to generation as part of a comprehensive culture.

Kata Kunci :

Tarawih kilat;

living Qur’an;

sosiologi pengetahuan;

Pondok Mantenan

Abstrak

Tulisan ini bertujuan mengungkap resepsi, perilaku, dan makna di balik fenomena jamaah salat tarawih yang dilakukan secara cepat selama bulan Ramadan di pondok pesantren Mambaul Hikam atau akrab disebut Pondok Mantenan. Keunikan salat tarawih kilat adalah kecepatan gerakannya yang dilakukan secara tidak lazim, yaitu dengan gerak secepat kilat dari rukun salat satu ke rukun salat lainnya sebanyak dua puluh rakaat hanya dalam durasi kurang lebih sepuluh menit. Fenomena yang menjadi objek penelitian ini terjadi di lingkungan pondok pesantren di dusun Mantenan desa Sukorejo kecamatan Udanawu kabupaten Blitar dan menjadi bahan pemberitaan di masyakat dan media digital yang berulang tiap dalam suasana bulan suci Ramadan bagi umat Muslim di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam sekaligus kajian pustaka. Untuk menganalisis fenomena terkait peneliti menggunakan studi living Quran dengan pendekatan teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim. Hasil penelitian ini mengacu pada aspek perilaku yang menunjukkan bahwa praktik tarawih cepat merupakan pengamalan dari ayat terkait keutamaan qiyam Ramadan dan salat malam serta hadis tentang meringankan jamaah makmum juga tentang keutamaan mengaji daripada salat sunnah. Sedangkan pada aspek makna terdapat tiga macam makna yang terkandung dalam tindakan sosialnya yaitu makna obyektif, ekspresif dan dokumenter. Makna obyektif menunjukkan tarawih kilat menjadi sarana kepatuhan jamaah santri dan kepercayaan jamaah warga sekitar sehingga menjadi fenomena yang menggejala. Makna ekspresif mengarah pada aktifitas meramaikan kesunnahan malam bulan Ramadan juga kehendak pragmatis efisiensi waktu untuk mengejar aktifitas lanjutan. Sedangkan makna dokumenter mengandung aspek pemeliharaan tradisi yang dilakukan secara turun temurun sebagai bagian dari kebudayaan yang menyeluruh.

(2)

PENDAHULUAN

Alquran merupakan sumber inspirasi aktif sekaligus pasif1 paling penting bagi umat Islam terutama dalam melaksanakan peribadatan baik secara tersurat maupun tersirat.

Secara teknis, ia dibantu dengan seperangkat ilmu tafsir sebagai basis metodis juga sumber hadis Nabi sebagai basis penjelasan terperinci atas wahyu Kalam Tuhan yang sebagiannya masih abstrak. Dalam praktiknya, peribadatan masyarakat Muslim di suatu ruang dan waktu tertentu dipaksa bersentuhan dengan aspek sejarah, budaya, dan tradisi warga lokal.

Hal tersebut berlangsung dengan tidak menghilangkan unsur utama aspek ritual agama yang meliputi rukun, syarat, dan ketentuan khusus yang telah diwariskan para Nabi2 dan disepakati oleh para ulama. Uniknya, fenomena perpaduan antara aspek agama dan budaya tersebut melahirkan ciri khas yang hanya terjadi di suatu lokal tertentu dan tidak didapati nuansa khususnya di kebanyakan tempat.

Salah satu keunikan aspek ibadah kilat sebagaimana digambarkan di atas dapat ditemui pada pelaksanaan salat tarawih di Pondok Mantenan Blitar. Peristiwa tersebut mampu menarik perhatian masyarakat public karena dilakukan dengan skala kecepatan yang berbeda daripada umumnya. Jika pada mayoritas tempat dilaksanakan dengan durasi normal antar 20-30 menit untuk 20 rakaat, maka di tempat tertentu tarawih cepat bisa dilakukan hanya dalam 10 menit saja dan bahkan lebih singkat lagi dengan jumlah rakaat yang sama. Terlebih fenomena tersebut hanya dapat ditemui pada tiga tempat, yaitu suatu daerah di Jawa Barat dan dua lainnya di Jawa Timur,3 yaitu Pesantren Baitussalam di kecamatan Pagu, Kediri dan di Pesantren Mambaul Hikam di dusun Wonorejo yang berbatasan dengan dusun Mantenan, desa Slemanan, kecamatan Udanawu, Blitar, atau akrab disebut Pondok Mantenan.

Dalam kasus studi di Pondok Mantenan dapat dilacak kaitan antara resepsi teks dan praktik tarawih cepat. Salah satu diantaranya terdapat pada dalil perintah Alquran tentang kewajiban puasa dan menghidupkan malam pada bulan suci Ramadan. Keumuman dalil mengenai anjuran menghidupkan malam Ramadhan itu kemudian di-takhshish (dikhususkan) oleh para ulama menjadi dalil anjuran melaksanakan salat tarawih.4 Hal tersebut dikarenakan tidak dalil eksplisit mengenai tarawih sehingga dikhususkan dari dalil umum mengenai menghidupkan malam Ramadhan dengan melaksanakan salat malam (al-lail).5 Salah satunya adalah QS. Adz-Dzariyat ayat 17. Salat malam sendiri umumnya terdiri dari banyak kesunnahan ibadah yang tidak bermakna tunggal dan dapat dilaksanakan tiap malam. Yaitu terdiri dari salat witir, salat tahajud, salat rawatib, dan lain sebagainya. Pada saat yang sama ketika dilaksanakan pada waktu bulan Ramadhan, frasa

“salat al-lail” merujuk secara khusus pada salat tarawih sebagai kesunnahan yang

1 Ahmad Rafiq, Living Qur’an Teks, Praktik, dan Idealitas Dalam Performasi Al-Qur’an (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2020), viii

2 Mun’im Sirry, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal (Yogyakarta: Suka Press,2018), 22.

3 Kompas TV Kediri. Salat tarawih kilat 23 rakaat hanya 10 menit! (dikutip 05 April 2023). Available from:

https://www.kompas.tv/article/391859/salat-tarawih-kilat-23-rakaat-hanya-10-menit

4 Ahmad Zarkasih, Lc., Sejarah Tarawih. Penerbit Rumah Fiqih Publishing: Jakarta, 2009. 12.

5 Abdullah b. Ibrahim, Risalah Ramadhan: Fadhail, Khasais, Ahkam, Fawaid, Adab, Fatawa, Tawjihat. ---:

Madinah 1994. 23.

(3)

dianjurkan dan lazim dilakukan secara berjamaah beriringan setelah pelaksanaan salat Isya’.

Hubungan antara sumber teks tersebut dengan fenomena praktik yang berlangsung di Pondok Mantenan dapat diamati melalui sudut pandang studi living Quran. Dalam hal praktik tarawih kilat, dalil teks tersebut menjadi acuan penting untuk melihat bagaimana suatu komunitas memproduksi penafsiran dan pemahamannya terhadap teks-teks sehingga menjadi dasar tindakan keagamaan sebagai bentuk ketaatan terhadap Tuhan dalam menjalani hidup sehari-hari6 atau dalam konteks ini melahirkan praktik tarawih kilat. Seperti misal sangat mungkin praktik secara kilat dilakukan dengan menisbatkan pada spirit menghidupkan malam Ramadan atau sekedar kreasi ritual sosial. Fenomena dan motif demikian disadari atau tidak berdampak terhadap perilaku dan preferensi masyarakat untuk bagaimana sedapatnya memilih melaksanakan salat tarawih dengan semangat, nyaman, namun juga tidak terlalu lama meninggalkan kediaman mereka atau aktifitas non ibadah lainnya.

Beberapa gambaran tersebut melatari peneliti untuk menganalisa lebih jauh fenomena sosial jamaah tarawih kilat di masjid Pondok Mantenan Blitar pada pertengahan April 2023 atau bertepatan dengan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan 1444 Hijriah.

Yaitu terkait apa dan bagaimana permasalahan resepsi, motif, dan makna tarawih kilat bagi komunitas jamaah di Pondok Mantenan sebagai rumusan pertanyaan penelitian yang dilakukan. Secara sosiologis, hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh terkait makna dan resepsi sosial jamaah terhadap teks yang melandasi praktik salat tarawih kilat. Bahwa terdapat relasi yang saling berkelindan secara utuh antara keterkaitan realitas sosial dengan hasil pemaknaan Alquran.7

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam dusun Mantenan desa Slemanan Kabupaten Blitar. Objek penelitiannya adalah fenomena salat tarawih yang dilaksanakan di masjid lingkup pesantren. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif berbasis riset Pustaka sekaligus lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam dalam pengambilan datanya. Penelitian kualitatif sendiri lebih bersifat artistic dan interpretative terhadap data.8 Dalam proses tersebut juga ditinjaukan pada sumber Pustaka yang otoritatif untuk membaca kecenderungan resepsi al-Qur’an dan Hadits. Pembacaan hasil data dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim. Selanjutnya data tersebut diolah dan dideskripsikan sesuai dengan satuan- satuan, kemudian dilakukan kategorisasi. Setelah itu kemudian dilakukan penafsiran- penafsiran terhadap data yang telah terorganisasi.

Adapun tahapan penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan observasi permulaan sebagai tindakan penemuan masalah; Kedua, mendiskusikan aspek tekstualitas terkait; Ketiga, melakukan wawancara dan riset lapangan kepada para tokoh terkait berikut jamaahnya; Keempat, melakukan olah data dan analisis terpadu; Kelima, melakukan observasi ulang sebagai langkah tringulasi penelitian. Cara ini

6 Waryono Abdul Ghafur, Living Qur’an; Alqur’an Dalam Bingkai Ormas Islam. Yogyakarta; Lembaga Ladang Kata, 2016. 2.

7 Ahmad Ubaydi Hasbillah. Ilmu Living Quran Hadis: Ontology, Epistemology, dan Aksiologi. Banten: Maktabah Darus Sunnah, 2021. 98.

8 Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif-Kualitatif dan RD” (cet-ke-2), (Bandung: Alfabeta, 2020), 16.

(4)

digunakan untuk menguji kesahihan data yang diambil di lapangan dengan membandingkannya dengan sumber lain9. Dalam hal pentingnya triangulasi data, penelitian observasi yang cermat mensyaratkan usaha untuk secara disiplin dan teratur mengisi suatu buku catatan harian dengan maksud untuk mengevaluasi diri sendiri sebagai peneliti.10

Adapun analisis terpadu dimaksud dilakukan secara interpretasi-intersubjektif.11 Artinya, interpretator dalam hubungan ini adalah peneliti menjadi bagian dari Masyarakat sebagaimana adanya dengan membawa ide warga maupun kelompok. Jadi bukan semata- mata sebagai kualitas subjektif dalam teori kontemporer. Hal ini karena data penelitian kualitatif berbentuk kata-kata yang dikumpulkan baik melalui wawancara, observasi, dokumen, rekaman, dan atau catatan tertulis.12

Hasil yang didapati dari penelitian ini diharapkan mampu mengungkap aspek penerimaan, motif, dan makna yang tersembunyi di balik fenomena salat tarawih kilat secara analisis deskriptif terhadap variable bebas dan variable terikat penelitian.13 Sehingga mampu memberikan manfaat kepada khalayak publik dalam memberikan gambaran positif mengenai perilaku ibadah yang dianggap berbeda pada level kecepatan gerakannya. Secara khusus diharapkan mampu berdampak pada komunitas Pondok Mantenan Blitar dan masyarakat sekitar. Juga secara umum kepada masyarakat luas demi tegaknya nilai moderasi dalam beragama dan berbangsa sehingga tidak menimbulkan persepsi liar di alam keberagaman dalam beragama.

Telah banyak penelitian mengenai fenomena living Quran yang dilakukan namun dengan objek riset yang saling membedai minimal jika dilihat dari al-Qur’an dalam salat tarawih. Sedikit diantaranya adalah penelitian Living Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Klinterejo-Mojokerto”14 yang hampir memiliki kesamaan lokus dengan riset oleh Milchah Fikri Ulya15 yang sama-sama menyoroti penerimaan suatu komunitas dalam mempraktekkan khataman Alqur’an keseluruhannya dalam rangkaian ritual salat tarawih.

Perbedaannya, jika riset pertama khataman dalam tarawih bermakna meraih faedah spiritual bagi aktornya, sedangkan penelitian yang ini menjadikan praktik tarawih sebagai wadah mengasah ketrampilan hafalan Alquran agar sekaligus bernilai ibadah. Praktik khataman Alquran dalam salat tarawih faktanya banyak dilakukan oleh beberapa komunitas khususnya di pondok pesantren.16 Hal ini setidaknya juga dapat ditemui pada

9 Lexy J. Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitatif”-edisi revisi, (Bandung: PT. Rosdakarya Remaja, 2021), 330.

10 Koentjaraningrat, “Sejarah Teori Antropologi I”, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1987), 166.

11 Nyoman Kutha Ratna, “Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya”, cet-II (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2016), 308.

12 Nyoman Kutha Ratna, “Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya”, 309.

13 John W. Creswell, “Research Design: Pendekatan Metode, Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran (edisi ke-IV)”, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2016), 218.

14 Alvita Eka Rahmah Adrika Fithrotul Aini, “Pemaknaan Jamaah terhadap Khataman Al-Qur’an dalam Shalat Tarawih; Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Klinterejo-Mojokerto. MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Edisi: Juli-Desember, Vol. 6, No. 2, 2021 DOI: 10.24090/maghza.v6i2.4575. 247.

15Milchah Fikri Ulya, “Student Reception To Khataman Al Qur'an In Tarawih Prayer: Study Of Living Qur'an In PPTQ SS Proto” (Tidak terbit). Diambil dari:file:///C:/Users/user/Downloads/Milchah%20Fiki%20Ulya%203119 049%20UAS%20LQ%20Inggris.pdf pada 19 Agustus 2023.

(5)

hasil kajian oleh Nika Ayu Eka Purwanti di Jepara,17 Moh. Syarihuddin di Jakarta Timur,18 dan banyak lainnya.

Sedangkan jika spesifik pada obyek riset di Pondok Mantenan dapat ditemui kajian terdahulu diantaranya dalam penelitian Rosna Binta Nur Awalin19 dan Muh. Rikza Taufieq.20 Perbedaan keduanya terletak pada sudut pandang penelitian yang digunakan satu sama lain. Adapun Rosna yang berasal dari prodi menggunakan perspektik organisasi keagamaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk mendapatkan pandangan hukum fikihnya. Secara sistem sosial, riset yang memfokuskan pada penajaman perbedaan ini rawan memberikan konflik ideologis diantara kedua ormas Islam terbesar ini.21 Sedangkan Rikza yang berasal dari Fakultas Adab dan Humaniora menggunakan analisis kesejarahannya. Dengan demikian belum didapati penelitian yang serius khusus membahas aspek living Qur’an dalam fenomena salat tarawih kilat di Pondok Mantenan Udanawu Blitar.

PEMBAHASAN

Sejarah dan Dinamika Tarawih Kilat Di Pondok Mantenan

Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam yang terletak di dusun Mantenan Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua yang terletak di wilayah perbatasan arah barat-utara kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri. Pondok pesantren sendiri, menurut Badiou, adalah sebuah kejadian (atau berupa lembaga Pendidikan Islam) yang tiap elemen dan variasinya bertautan dengan masa lalu22 sebagai bagian dari peradaban dan kebudayaan. Berdasarkan letak geografisnya tersebut, dan sebagaimana menjadi tradisi penyebutan Masyarakat local, ia lebih dikenal akrab dengan sebutan “Pondok Mantenan”. Disebut lembaga pendidikan tertua karena berdasar lacakan sejarah ia didirikan oleh KH. Abdul Ghofur, seorang santri alim asal desa Blangkahpakis di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur,23 yang menjadi putra menantu H. Ibrahim, seorang kaya dermawan di Udanawu, Blitar pada tahun 1907 M.

16 Salah satunya dapat ditemui dalam tradisi di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Lihat;

https://www.nu.or.id/daerah/tradisi-khataman-al-quran-pada-shalat-tarawih-di-almunawwir krapyak- HMtro. Diakses pada tanggal 19 Agustus 2023.

17 Nia Ayu Eka Purwanti. “Tradisi Khataman Al-Qur’an Dalam Shalat Tarawih di Pondok Pesantren Putri Darussa’adah: Living Qur’an Di Darussa’adah Bugel Kedung Jepara”. Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus, 2021.

18 Moh. Syarihuddin. “Tradisi Khataman Al-Quran Dalam Shalat Tarawih Di Masyarakat Perkotaan Studi Living Quran Pada Jamaah Masjid Al-Mawardiyah Pisangan Timur Pulogadung Jakarta Timur”. Tesis. Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta. 2019.

19 Rosna Binta Nur Awalin. “Tradisi Shalat Tarawih Kilat di Pondok Pesantren Mambaul Hikam Desa Mantenan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar: Studi Persepsi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Blitar”. Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, 2019.

20 Muh. Rikza Taufieq, “Tradisi Shalat Tarawih Cepat di Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar”. Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2020.

21 Nasikun, “Sistem Sosial Indonesia”, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), 78.

22 Aguk Irawan MN, “Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara; Dari Era Sriwijaya Sampai Pesantren Tebuireng dan Ploso”,(Tangerang Selatan: Pustaka Iiman, 2018), 7.

23 Dokumentasi ceramah KH. Dliya’uddin Azzamzamiy dalam acara Reuni Keluarga Besar KH Abdul Ghofur di desa Bakung, Udanawu, Blitar pada tanggal 21 Agustus 2022.

(6)

Bermula dari keprihatinannya terhadap aspek keagamaan masyarakat di wilayah tempat tinggal mertuanya, ia mulai mendirikan langgar (musala atau tempat ibadah skala kecil) pada tahun kedua setelah menikah atau tahun 1909. Di tengah upayanya tersebut, ia juga melakukan kegiatan dakwah sederhana kepada masyarakat awam dengan cara berkeliling dari satu pintu ke pintu rumah lain untuk mengenalkan ajaran agama Islam secara lebih mendalam. Seiring dengan respon positif dari warga sekitar, pada tahun 1911 ia mendirikan madrasah dan pondokan dengan enam kamar dan diberi nama “Nahdlotul Thullab” sebagai tempat tinggal para santri jauh untuk menuntut ilmu sambil mukim.

Seiring dengan perkembangan yang pesat, beberapa santri senior mengusulkan untuk didirikan madrasah dengan tetap mempertahankan sistem pondok pesantren sebagai wadah mereka membantu mengembangkan dakwah dan Pendidikan yang dirintis beliau. Sehingga pada tahun 1920 berdirilah Lembaga madrasah di bawah Pondok Pesantren Nahdlotut Thullab. Dalam sejarahnya, madrasah tersebut secara sah terdaftar dalam administrasi pemerintah pada tahun 1939 lalu beralih menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) pada tahun 1960. Menariknya, pada beberapa tahun sebelumnya yaitu tahun 1948 atau tiga tahun setelah kemerdekaan, nama pesantren berubah menjadi Mamba’ul Hikam atas usulan salah satu putra pendiri, yaitu KH. Ahmad Zubaidi bin Abdul Ghofur atau ayah dari pengasuh pesantren saat ini. Empat tahun setelah, tahun 1952, KH.

Abdul Ghofur wafat dan perjuangannya dilanjutkan oleh para penerusnya hingga kini.

Selain sebagai pusat Pendidikan agama Islam dengan metode klasikal, Pondok Mantenan juga dikenal sering mengadakan kegiatan rutin yang melibatkan banyak jamaah warga luar seperti rutinan majelis tarekat Qadiriyah wa an-Naqsabandiyah al-Kholidiyah al-Mujaddadiyah24 yang dipimpin langsung KH. Dliya’uddin az-Zamzami, cucu pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam. Dalam skala yang lebih luas, tentu rutinan ibadah salat Jumat warga sekitar juga dipusatkan di masjid lingkup pondok.

Sedangkan dalam tempo setahun sekali dalam satu bulan penuh pelaksanaan tarawih merupakan rutinitas yang paling banyak diminati Masyarakat luas bahkan dalam skala wilayah kabupaten. Hal itu dikarenakan pelaksanaan salat tarawih di Pondok Mantenan disertai dengan kekhasannya yaitu tradisi tarawih cepat atau kilat.

Berbeda dengan lazimnya pelaksanaan salat tarawih dengan cara yang khidmat, tenang, dan durasi yang menjadi pakem umum, terlebih bilangan rakaat yang tidak sedikit.

Kisaran satu jam adalah waktu ideal yang dibutuhkan oleh momentum salat isyak dan tarawih jika disertai dengan laku wiridan, doa, apalagi ditambah jeda acara ceramah kultum sebagaimana berlaku di masjid perkotaan di bulan Ramadan. Uniknya, walaupun Pondok Mantenan melakukan ritus tarawih cepat yang berbeda dengan kelaziman kecepatan pada umumnya selama bertahun-tahun, itu tidak lantas menimbulkan konflik di masyarakat. Hal ini membuktikan adanya peran pesantren sebagai lembaga yang otonom, monopolitis, demokratis, sekaligus mengayomi.25 Secara syariat, salat tarawih adalah salat sunnah dengan banyak rakaat tertentu secara berulang-ulang yang dilaksanakan pada

24 Romzan Fauzi, “Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah di Slemanan Kabupaten Blitar”. Jurnal Analisa volume XV, Nomor 01, Januari-April 2008. 36.

25 Nasikun, “Sistem Sosial Indonesia”, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), 27.

(7)

malam hari di bulan Ramadhan.26 Sedangkan salat tarawih kilat yang diketahui publik terkini merupakan salah satu ritual ibadah sunnah yang diawali dengan niat dan diakhiri dengan salam secara berulang-ulang dan gerakan cepat dalam jumlah antara 8-20 rakaat di tiap malam bulan suci Ramadan bagi umat Islam.

Dalam suasana tersebut lokasi pondok dipenuhi dengan parkir kendaraan roda dua yang penuh sesak. Kondisi demikian hampir sama ramainya saat perhelatan haul dan pengajian akbar di tempat yang sama di waktu yang berbeda. Jamaah dalam masjid pun berjubel hingga halaman depan yang semuanya laki-laki baik dari kalangan santri maupun warga sekitar. Satu kesamaan yang menarik dalam pantauan adalah rata-rata jamaah merupakan usia remaja dan pemuda yang tentu memiliki tenaga dan semangat prima dalam mengikuti gerak tarawih kilat. Bagi mereka tarawih kilat memiliki dalih dan motif makna tersendiri yang tidak seluruhnya dipahami oleh sebagian masyarakat luar daerah.

Fenomena ini terjaga salah satunya dianggap sebagai upaya pelestarian tradisi sebagaimana yang pernah dirintis oleh pendiri pesantren awal pertama kali yaitu KH.

Abdul Ghofur. Konteks yang melatarinya salah satunya adalah sebagai Langkah dakwah terhadap Masyarakat desa yang mayoritas menjadi petani agar mau diajak mendirikan salat tarawih dan jauh dari kesan menghabiskan waktu dan kesempatan mereka untuk beribadah dengan banyak rakat. Konstruksi pengetahuan maupun perubahan sosial yang menyertai berlangsungnya tradisi tarawih kilat sejak awal sejarahnya hingga masih terpelihara hingga kini.

Living Qur’an Dalam Bingkai Sosiologi Pengetahuan

Dalam perspektif subyek penelitian, living al-Qur’an dapat disebut perspektif kolaboratif antara penelitian tafsir dan penelitian humaniora. Jika subyek penelitian tafsir didasarkan pada penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari sudut pandang teks dikaitkan dengan penafsirannya, maka penelitian humaniora bekerja berdasarkan fenomena yang substantial, konseptual, dan filosofis yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi dan berbudaya.27 Asumsi tersebut dilandaskan pada definisi living al-Qur’an yang minimalnya mengandung tiga konsep dasar yaitu: Pertama; konotasi teologis muslim yang berusaha menghidupkan al-Qur’an dengan cara menggali penafsirannya lalu menjadikannya sebagai dasar amal atau praktik. Kedua; aspek sosio-antropologis dari al- Qur’an yang hidup sehingga menjadikan penafsiran teks sebagai bagian dari keseluruhan tindakan manusia dan menampakkan hidupnya kitab suci.28 Dalam hal ini, living Qur’an diposisikan sebagai sudut pandang atau perspektif terhadap suatu fenomena social keagamaan yang dihidupkan oleh individu atau komunitas, dan tidak dijadikan sebagai sebuah teori atau metodologi.

Dapat dikatakan bahwa proses demikian merupakan upaya melihat al-Qur’an dan hadis pada Masyarakat dengan bentuk benda, fenomena, nyata, dan mewujud dalam

26 Abu al-Harits ‘Ali, al-Masabih fi Salat at-Tarawih li al-Imam al-Suyuthi. (Oman: Dal al-Qabas, 1976), 14;

Yahya Zainul Muarif. The Analysis Of Islamic Law In The Number Of Raka’ah In The Tarawih Prayer. Jurnal JPH, Volume 9, Nomor 3, December 2022;

27 Nashruddin Baidan & Erwati Aziz, “Metodologi Khusus Penelitian Tafsir” (Yogyakarta; Penerbit Pustaka Pelajar, 2016), 17-21.

28 Ahmad Rafiq (ed.), “Living Qur’an: Teks, Praktik, dan Idealitas Dalam Performasi Al-Qur’an”., vi-vii.

(8)

perilaku, bukan lagi berupa teks.29 Keterkaitan antara al-Qur’an dan hadis dalam menilai sebuah fenomena sebagai obyek merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak terpisahkan.

Sebab tindakan seorang muslim sebagai manusia secara teologis sepenuhnya selalu disandarkan pada kedua sumber agama Islam tersebut.

Dalam penelitian cenderung menggunakan pengertian kedua tersebut, yaitu mengacu pada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan al-Qur’an sebagai kitab acuannya dengan mengikuti apa-apa yang diperintahkan dalam alQur’an dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya, sehingga masyarakat tersebut seperti “al- Qur’an yang hidup,” al-Qur’an yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam hal ini, Shri Ahima Putra menggaris bawahi bahwa kita tidak mempunyai contoh konkret dari masyarakat semacam ini, dan mungkin juga masyarakat semacam ini belum pernah ada, karena dalam masyarakat Islam yang manapun selalu saja terdapat bentuk-bentuk kehidupan, pola-pola perilaku, tindakan dan aktivitas yang tidak berdasarkan al-Qur’an.30 Sebagian akademisi, termasuk hemat penulis, lebih akrab dengan istilah living as-sunnah khusus untuk menyebut living hadis dan sebutan living Islam untuk menggabungkan elaborasi baik dari al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.

Lebih lanjut, Heddy menambahkan definisi ketiga, bahwa living al-Qur’an juga dapat berarti bahwa al-Qur’an bukanlah hanya sebuah kitab, tetapi sebuah “kitab yang hidup,”

yaitu yang perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari begitu terasa dan nyata, serta beranekaragam, tergantung pada bidang kehidupannya. Perwujudan al-Qur’an dalam kegiatan ekonomi misalnya, tentu akan berbeda dengan perwujudan al-Qur’an dalam kegiatan politik atau dalam kehidupan keluarga.31 Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya adalah perwujudan kaligrafi ayat, maupun bentuk dekorasi masjid yang menampilkan keindahan ukiran. Symbol, dan makna-maknanya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, living Qur’an membutuhkan seperangkat keilmuan humaniora sebagai basis pendekatan seperti sosiologi, antropologi, dan analisis ilmu social- humaniora lainnya.32 Dalam hal ini, peneliti mengambil pendekatan teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim untuk menganalisis fenomena salat tarawih kilat di Pondok Mantenan. Kesesuaian teori ini menggunakan studi living Qur’an untuk menyasar perilaku manusia yang didukung dengan informasi penjelasan tekstual dari hadis, tafsir, dan pendapat ulama klasik. Selanjutnya bertindak sebagai pisau analisis yaitu teori sosiologi pengetahuan Karl Mannheim yang meneropong objek material penelitian ini ke dalam tiga aspek, yaitu: aspek objektif, ekspresif, dan dokumenter.

Karl Mannheim menyatakan bahwa tindakan manusia dibentuk oleh dua dimensi:perilaku (behaviour) dan makna (meaning).33 Oleh karena itu, ketika memahami tindakan sosial, seorang ilmuan harus mendalami dan mengkaji perilaku eksternal dan

29 Ahmad Ubaydi Hasbillah. Ilmu Living Quran Hadis: Ontology, Epistemology, dan Aksiologi. viii.

30 Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi”, Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012, 236.

31 Heddy, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi”, 237.

32 Ahmad Farhan, “Living Qur’an Sebagai Metode Alternatif Dalam Studi Islam”. Jurnal l-Afkar Vol. 6 Nomor II, Juli- Desember2017. 88.

33 Oki Dwi Rahmanto. Pembacaan Hizib Ghozali Di Pondok Luqmaniyyah Yogyakarta Perspektif Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim. Living Islam; Journal of Islamic Discourses, vol. 3, no. 1 (Juni 2020)

(9)

makna perilaku. Karl Mannheim membedakan antara tiga macam makna yang terkandung dalam tindakan sosial yaitu makna obyektif, ekspresif dan dokumenter. Makna obyektif adalah makna yang ditentukan oleh konteks sosial dimana Tindakan itu berlangsung.

Makna ekspresif adalah makna yang ditunjukan oleh aktor (perilaku tindakan), makna dokumenter yaitu makna yang tersirat atau tersembunyi, sehingga aktor (perilaku suatu tindakan) tersebut, tidak sepenuhnya menyadari bahwa suatu aspek yang diekspresikan menunjukan kepada kebudayaan secara menyeluruh.

Karl Mannheim dikenal sebagai tokoh yang menguasai wacana-wacana pokok dalam upaya pencerahan politik melalui pendekatan sosiologi pengetahuan secara reflektif pada akhir abad ke-20. Dalam refleksi teoritisnya, pemikiran sosiologi tidak bisa lepas dari ambivalensi proses tatanan rasional yang menjadi sasarannya. Hal itu dipahami sebagai bagian integral dari kontrol sipil yang bertujuan untuk umat manusia dan dicapai melalui pengetahuan kolektif yang metodis, kritis terhadap internal, dan transformasi diri.

Sehingga mampu mengubah hubungan sosial agar berfungsi dan selaras dengan pengetahuan itu tersebut. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa pencerahan dan sosiologi adalah dua hal yang lahir bersamaan. Karena itu teori sosiologi diwarnai oleh sebuah keyakinan bahwa faktor rasional saja tidak cukup.34 Melainkan juga melibatkan penelitian lapangan berbasis empiris.

Karl Mannheim lahir di Budapest pada tahun 1893. Ia memperoleh gelar dalam bidang filsafat di universitas kota tersebut dengan tesis tentang struktur epistemologi. Pada tahun 1919, setelah runtuhnya dua rezim revolusioner pascaperang di Hongaria, Mannheim menetap di Jerman.35 Karier intelektualnya dipengaruhi oleh konsepsi Hegel tentang semangat objektif. Sebagai Hegelian cum sejarawan, ia percaya bahwa setiap masyarakat dan zaman memiliki budaya intelektual sendiri. Bahwa di balik setiap karya yang muncul tidak dilahirkan dari ruang yang kosong.36

Dalam studi Islam, teori sosiologi pengetahuan Mannheim akan dapat membantu dalam memahami lahirnya beragam pemikiran keagamaan, meski berangkat dari sumber normatif yang sama (Alquran dan Hadis). Melalui pendekatan sosiologi pengetahuan ini, perbedaan pendapat dan pemikiran keagamaan dapat dipahami sebagai implikasi dari perbedaan ‘setting social’ yang melatarinya. Sosiologi pengetahuan selanjutnya berusaha untuk menyoroti pertanyaan tentang bagaimana kepentingan dan tujuan tertentu suatu kelompok sosial dalam menemukan ekspresi dalam teori, doktrin tertentu, dan gerakan intelektual. Karena hal terpenting untuk memahami masyarakat mana pun adalah pengakuan yang didistribusikan ke berbagai jenis pengetahuan dan elemen yang sesuai dengan sumber daya ,masyarakat, khususnya budaya unik masing-masing.37 Kajian living al-Qur’an di sini kemudian memang lebih dekat dengan kajian-kajian ilmu sosial-budaya seperti antropologi dan sosiologi, sehingga peneliti tidak lagi mempersoalkan kebenaran

34 David Ketler & Volker Meja, “Karl Mannheim And The Crisis of Liberalisme Secret Of These New Times”, (New Jersey: Transaction Publisher, 1995), 1.

35 David Ketler & Volker Meja, “Karl Mannheim And The Crisis of Liberalisme Secret Of These New Times”, 3.

36 Edward Shills, "Ideology and Utopia by Karl Mannheim”, Daedalus, Vol. 103, No. 1, Twentieth-Century Classics Revisited, 1974), 84. (The MIT Press on behalf of American Academy of Arts & Sciences.

https://www.jstor.org/stable/20024190)

37 Karl Mannheim, ”Ideology and Utopia An Introduction to the Sociology of Knowledge”, (London: Rputledge &

Kegan Paul, Ltd 1954), xxx.

(10)

sebuah tafsir atau perlakuan terhadap al-Qur’an, karena tujuan penelitian ini bukanlah

‘mengadili’ atau ‘menilai’ sebuah pemaknaan dan pengejawantahannya dalam kehidupan, tetapi memahami, memaparkan dan menjelaskan gejala-gejala tersebut sebaik-baiknya.38 Inilah yang menjadi titik penting pembeda riset ini dengan penelitian terdahulu dengan objek yang sama, yaitu praktik salat tarawih di Pondok Mantenan.

Sebelum meninggal pada tanggal 9 Januari 1947, Mannheim meninggalkan beberapa karya penting yang telah diterbitkan. Diantaranya adalah: Structures of Thinking;

Conservatism. A Contribution to the Sociology of Knowledge; Ideologie und Utopie; Man and Society in an Age of Reconstruction; Ideology and Utopia; Freedom, Power, and Democratic Planning; Sociology as Political Education; dan From Karl Mannheim.39 Dengan banyak karyanya tersebut ia dikenal memiliki empat kajian utama, yaitu: sosiologi pengetahuan, konsep ideologi, sosiologi politik, dan kehidupan sosial. Sosiologi pengetahuan merupakan studi terhadap pemikiran manusia yang berkaitan dengan konteks sosial yang mempengaruhinya dan kesan gagasan-gagasan besar terhadap kemanusiaan. Aspek inilah yang akan menjadi sudut pandang penelitian dalam tulisan ini.

Fenomena Tarawih Kilat di Mantenan: Pemaparan Data

Seperti diketahui bahwa praktik salat tarawih merupakan salah satu ibadah sunnah yang masyhur dilakukan pada tiap malam bulan suci Ramadan oleh umat Muslim sedunia.

Ia menjadi pelengkap ibadah puasa wajib yang dilakukan sama lamanya dalam setahun dalam hal ‘qiyam’ Ramadhan dan meningkatkan ketakwaan.40 Secara asal bahasa, “tarawih”

berarti “menyenangkan”. Sehingga dalam pelaksanaannya diistilahkan dengan gerakan salat dengan banyak rakaat dan terdapat jeda istirahat diantara rakaat tertentu di dalamnya.41 Kata kunci “menyenangkan” dan “istirahat” agaknya dimaknai secara berbeda dalam pelaksanaan salat tarawih kilat di Pondok Mantenan. Karena praktik salat tarawih lazim dan mudah dilakukan gerakannya secara berjamaah oleh semua kalangan muslim lintas usia secara masal baik di masjid, musola, maupun perkantoran.

Pelacakan kehujjahan salat tarawih dapat dilacak keumuman dalilnya salah satunya dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah: 186 yang berkaitan dengan kewajiban bulan Ramadhan.

Konteks waktu Ramadhan ini kemudian menuju pengkhususan pertama dengan QS. Adz- Dzariyat ayat 17 yang berbunyi: (Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam). Tafsir ayat ini menerangkan tentang sifat-sifat orang yang takwa, yaitu sedikit sekali tidur pada waktu malam karena mengisi waktu dengan salat malam. Dipilihnya waktu malam karena dapat merasa tenang dan penuh dengan kerinduan, dan dalam munajatnya kepada Allah sengaja memilih waktu yang sunyi dari gangguan makhluk lain seperti dua orang pengantin baru dalam menumpahkan isi hati kepada kesayangannya, tentu memilih tempat dan waktu yang nyaman dan aman, bebas dari gangguan siapa pun dalam mengadakan hubungan khidmat

38 Heddy, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi”, 251.

39 Hamka, Sosiologi Pengetahuan: Telaah atas Pemikiran Karl Mannheim, dalam “Scolae: Journal of Pedagogy”

Volume 3, Number 1, 2020: 78.

40 Mochamad Syaifuddin, “Imam Tarawih Dan Kuliah Tujuh Menit Masjid Jami’ Al-Mubarok Wangkal Krembung Sidoarjo”, Scholastica: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Volume 3, Nomor 2, November 2021; e- ISSN: 2686-6234. 131.

41 Burhanuddin A. Gani, “Pemahaman Hadis Seputar Shalat Tarawih Di Kalangan Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama”, Jurnal Al-Mu‘ashirah Vol. 13, No. 2, Juli 2016, 159.

(11)

dan mahabbah dengan Tuhan Yang Mahakuasa, satu-satunya penguasa yang dapat memenuhi segala harapan.42 Salat malam sendiri terdapat tiga pengertian yaitu salat witir, salat tahajud, dan salat tarawih yang khusus dilaksanakan di bulan Ramadan.

Dalam konteks salat malam tersebut, penelusuran tarawih oleh Syekh al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’atul Mafatih Syarhu Misykatul Mashabih kemudian berkembang dalam istilah "qiyam al Ramadhan" (menghidupkan atau mendirikan ibadah Ramadhan) yang sebenarnya juga masih umum, yaitu meliputi salat tarawih, witir, dan tahajjud yang dilaksanakan pada malam bulan Ramadhan.43 Pun demikian, dalam penelaahan Imam al- Suyuthi, pembahasan berbagai hadits dengan kata kunci “qiyam al-Ramadhan” merujuk pada salat tarawih.44 Hadist pokok yang dimaksud memiliki arti berikut:45

Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”(HR. Bukhari no. 2008 dan Muslim no. 174).

Jika diperhatikan dengan seksama dan keterkaitan makna yang mendalam. dapat disimpulkan bahwa kedua dalil baik ayat al-Qur’an maupun hadits tersebut memiliki maqsad (tujuan)46 yang sama, yaitu agar seorang muslim lebih tekun mendekatkan diri kepada Allah swt. Lebih khusus lagi, jika maqsad ayat menunjuk pada keutamaan ibadah waktu malam, sedangkan maqsad sunnah mengarah pada eksistensi Ramadhan dan ibadah tarawih termasuk di dalamnya.

Dalam kasus salat tarawih kilat di Pondok Mantenan, ditemukan landasan hadits lain yang menjadi pendukung tambahan bagi terpeliharanya praktik tarawih kilat. Hadits tersebut berkaitan dengan anjuran bagi imam untuk meringankan makmum saat berjamaah yang artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dia berkata, ini adalah sesuatu yang diceritakan Abu Hurairah ra kepada kami, dari Muhammad, Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, maka dia menyebutkan beberapa hadits darinya, dan Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila salah seorang di antara kalian mendirikan shalat mengimami manusia, hendaklah dia meringankan shalat tersebut, karena di antara mereka ada orang tua dan lemah. Dan apabila dia shalat sendirian, hendaklah dia memanjangkan shalatnya sebagaimana yang dia kehendaki." (Hadits Shahih Muslim No. 715 - Kitab Shalat)

Hal tersebut diakui oleh pengasuh Pondok Mantenan, KH. Dliya’uddin Azzamzamiy, dalam sebuah wawancara yang mengatakan bahwa selain melanjutkan tradisi yang sudah dimulai oleh pendiri pesantren, ia juga melandaskan bentuk tarawih kilat dengan salah

42 https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/51?from=1&to=60 diakses pada tanggal 25 Agustus 2023.

43 Abdul Wahid, Membungkam Perdebatan Seputar Tarawih 11 Versus 23 Rakaat, (Malang: Penerbit The Wahid Center, 2018), 28.

44 -_____________, “Al-Maśābi Fī alāh al-Tarāwī Li al-Imam al-Suyuthi ”, (Oman: Dar al-Qabas, 1986), 14-39.

45 Abu Abdillah Muhammad bin Nashr bin Al-Hajjaj al-Marwazi. “Mukhtashar Qiyamullail”, (Pakistan: Hadits Akademi, 1988), 213.

46 Cholid Ma’arif, “Maqasid Al-Qur’an Al-Ghazali Dalam Kitab Siraj at- alibin Karya Syekh Ihsan al-Jampesi”, Jurnal QOF, Vol. 4, No. 1, 2020, 58.

(12)

satu hadis di atas.47 Informasi ini sebagaimana tersebar banyak di berbagai portal media online, kanal Youtube, maupun riset penelitian terdahulu. Namun, berdasarkan pelacakan penulis, terdapat versi lain terkait sejarah tarawih cepat di pondok Mantenan. Salah satunya dinyatakan oleh KH. Abdul Aziz atau akrab dipanggi Kiai Ajik (46 tahun),48 salah satu pengasuh Pondok Mantenan dari zuriyah alm. Kiai Abdullah, yang menyatakan:

Sebenarnya ada dua versi yang beredar geh niku setunggale Mbah Yai Abdulloh ingkang milai tradisi tarawih cepat. Malah mbah Yai Abdullah dulu natos matur datang jamaah pas pengaosan niku mekaten: ‘bilih tarawih cepat meniko amargi mengejar waktu agar banyak tersisa untuk segera dimulai pengajian kitab pasan (kilatan Ramadan). Waktu itu ngaji pasan bisa sampai jelang sahur atau jam 2 dini hari. Maleh beliau natos ngutip setunggale hadits bilih derek ngaos ilmu niku langkung utama tinimbang salat sunnah”, jelasnya.

Interpretasi Sejarah yang berbeda seperti ini sangat mungkin terjadi dikarenakan perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola piker, dan lain-lain yang mempengaruhi interpretasinya.49 Dalam hal ini, Nyai Sehingga menjadi tugas peneliti untuk mampu mendudukan interpretasi berada diantara verifikasi dan eksposisi sejarah.

Informasi terkait dikuatkan dengan fakta Sejarah bahwa pada masa generasi kedua Pondok Mantenan, khususnya sekitar tahun 1970-an, praktik tarawih cepat berlangsung di dua titik utama dalam satu lokasi pondok,. Yaitu: di masjid pondok seperti sekarang yang dipimpin oleh KH. Zubaidi dan di dalem timur yang diimami oleh K. Abdullah. Dalam kondisi tersebut, putri sulung alm. K. Abdullah, Nyai Fatimatuzzahro (60 tahun)50, memberi kesaksian dengan mengatakan:

“Jamaah tarawih pimpinan Kiai Abdullah ini lebih sangat cepat daripada di masjid, sehingga dulu orangnya lebih ramai dan lebih banyak yang di dalem sini meluber sampai teras dan halaman memanjang ke utara. Krono bubar tarweh e disik mriki saking kondang cepet e”, jelasnya.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa dalam praktik salat tarawih kilat tidak ada hal yang melanggar syariat Islam, baik itu dalam aspek syarat maupun rakaatnya. Untuk itu ia menjelaskan Sebagian tata cara dan tips yang sesuai aturan agama mengenai pelaksanaan tarawih cepat. Diantaranya adalah: mempercepat bacaan surah setelah Fatihah, melaksanakan tuma’ninah dengan durasi yang paling singkat yaitu sesuai bacaan tasbih praktis, membaca tasyahud saat duduk tahiyat akhir dengan mengambil versi bacaan yang paling pendek, dan lain sebagainya.

Keterangan tersebut diperkuat oleh Agus Ahmad Salimi (39 tahun)51 atau akrab dipanggil Gus Amik, yang menyatakan bahwa kecepatan dalam salat apalagi tarawih itu sudah diatur ketentuannya dalam minimal empat kitab madzhab fikih. Jadi sebagai alumni

47 Rosna Binta Nur Awalin. “Tradisi Shalat Tarawih Kilat di Pondok Pesantren Mambaul Hikam Desa Mantenan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar:, 44.

48 Wawancara pada tanggal 12 September 2023 di kediamannya kompleks Pondok Mantenan.

49 Suhartono W. Pranoto, “Teori dan Metodologi Sejarah”, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2010), 55.

50 Wawancara pada tanggal 10 September 2023 di kediamannya Dusun Wonorejo desa Slemanan, Udanawu, Blitar.

51 Wawancara pada tanggal 12 September 2023 di kediamannya kompleks Pondok Mantenan.

(13)

santri Pondok Langitan yang pernah mondok selama sembilan tahun ia berani menjamin sahnya salat cepat. Terlebih ia sendiri mengakui sangat menikmati dan bisa khusyuk saat mengikuti tarawih cepat di Pondok Mantenan tiap sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

“Karena tiap 20 hari sebelumnya saya selalu ngaji keliling musola kampung sekitar untuk ngaji ya sebelumnya tetep saya imami tarawih cepat di Masyarakat sekitar.

Setelahnya, yaitu di 10 hari terakhir Ramadhan saya selalu menyempatkan ikut jamaah tarawih cepat di masjid dan bisa khusyuk menikmati”, tegasnya menguatkan.

Di lain kesempatan, penulis juga memintai keterangan tiga orang warga sekitar lingkup pondok yang juga masih ‘zurriyah’ (keturunan) dari keluarga besar pendiri pesantren Mantenan.52 Diantaranya adalah Agus Mamak (41 tahun) yang menganggap fenomena tarawih kilat sebagai sebuah kelaziman dan adat yang dulu berjalan dengan konsisten. Ia menambahkan bahwa jamaah tarawih cepat di Mantenan kini lebih didominasi oleh kalangan kaum pria dan remaja yang datang berbondong-bondong bahkan dari luar daerah. Ia menjelaskan sebagai berikut:

Sebenarnya pondok mriki berada di wilayah dusun Wonorejo desa Slemanan persisnya sejak kemerdekaan RI. Padahal jauh sebelum itu pesantren ini dibangun oleh Mbah Abdul Ghofur dibantu masyarakat warga dusun Mantenan. Sampai sekarang hampir semua masjid dan musola di sekitaran Mantenan warganya melaksanakan tarawih cepat di tempat masing-masing. Bahkan sampai ada rombongan dari Kandat, Srengat, Sambi (red; nama kecamatan sekitar lokasi). Jadi sejarahnya hingga kini dikenal dengan sebutan Pondok Mantenan yang walaupun secara administrasi dusun Mantenan berada di sisi gerbang besar pondok ke arah utara”.

Kemudian kesaksian datar juga disampaikan oleh Agus Lukman (36 tahun) yang menekankan pada pengalaman pertamanya sebagai menantu pendatang dan hanya pernah sekali mengikuti gerakan tarawih dengan mengatakan:

“Kalau saya pribadi lebih nyaman dengan model tarawih sedang. Ya sebenarnya tidak ada masalah dengan amaliah tersebut. Hanya factor tidak terbiasa saja dengan ritme cepat”, akunya.

Diajukan dengan pertanyaan serupa, dua narasumber yang berada di luar lingkungan Pondok namun masih kerabat dari pendiri memberikan respon yang kurang lebih sama.

Seperti H. Achmad Syuhada’ (58 tahun)53, pengajar sekaligus putra menantu alm. Kiai Abdullah bin Abdul Ghofur, mengatakan:

Nek cepet e podo, seng gak podo mung jumlahe ketok lluwih akeh saiki. Opo maneh saiki akeh langgar kampung sekitar yang adakan praktik tarweh cepat juga. Dadi ket biyen gak ono masalah juga gak dimasalahne wong, lagi iki ae dibritakne” jelasnya.

Berlanjut pada seorang narasumber lain dari unsur warga alumni, Choirul Anam (57 tahun),54 menceritakan perbedaan lain dari fenomena tarawih kilat di Pondok Mantenan.

52 Wawancara pada tanggal 10 September 2023 di lokasi yang sama namun dengan tempat dan waktu yang berbeda.

53 Wawancara pada tanggal 11 September 2023 di rumah desa Temenggungan, Udanawu, Kabupaten Blitar.

54 Wawancara pada tanggal 02 September 2023 di Desa Gambar, Wonodadi, Blitar.

(14)

Menurutnya, perbedaan Nampak dari aspek rentang zaman dulu dan kini. Bahwa prosesi tarawih cepat masa sekarang lebih cepat daripada saat ‘nyantri’ di Pondok Mantenan sekitar tahun 80-an dan juga lebih ramai sesak sekarang.

Demikian gambaran singkat praktik tarawih cepat di Pondok Mantenan terjadi sebagai proses pengumpulan informasi sebanyak mungkin dari para partisipan.

Selanjutnya penulis membentuknya menjadi kategori, pola, teori tertentu atau generalisasi untuk diperbandingkan dengan pengalaman atau literatur yang ada.55

Pemaknaan Tarawih Kilat: Dari Kontestasi Resepsi Hingga Tradisi

Sudah menjadi karakter dalam riset bahwa dari keseluruhan data yang terkumpul di lapangan, baik primer maupun sekunder, mungkin hanya sebagian kecil yang menjadi perhatian, yaitu data yang memang benar-benar relevan dengan tujuan penelitian.56 Sehingga dalam hal ini, tidak semua hasil wawancara ditampilkan pada bagian pemaparan data dengan ketentuan informasi tersebut di dalamnya belum ditemukan pada sumber lain.

Salat tarawih cepat di Pondok Mantenan berhasil menarik perhatian khalayak public terlebih sebagaimana viral di dunia internet khususnya pada musim bulan suci Ramadhan bagi umat muslim. Dalam perspektif living Qur’an, berdasar lacakan penulis ditemukan bahwa tidak ada pijakan yang kokoh khusus mengenai ritual tarawih. Karena sebagaimana diketahui dalam proses sejarah awal terbentuknya salat tarawih merupakan kreasi para shahabat khulafaurrasyidin setelah mengetahui perilaku Nabinya, Muhammad saw, di malam bulan Ramadhan secara tidak penuh saat masih hidup. Pola perilaku Nabi tersebut juga mempengaruhi pemberlakuan hukum tasyri’ tarawih sebagai ibadah yang sunnah muakkad (sunnah yang dikuatkan). Historitas tersebut dapat dipahami mengingat tidak ada dalil ekplisit yang menyebutkan secara jelas status hukum tarawih.

Berdasar logika ini kemudian para ulama menjadikan ayat al-Qur’an tertentu sebagai dalil umum untuk dikhususkan bagi eksistensi tarawih. Minimalnya terdapat dua kandungan ayat yang mengarah pada pentingnya tarawih. Pertama; ayat-ayat yang berkenaan dengan semangat menghidupkan Ramadhan termasuk di dalamnya soal kewajiban puasa dan zakat. Kedua; ayat-ayat yang berkenaan dengan pentingnya seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah di waktu yang sangat intim dalam kehidupan manusia, yaitu waktu malam. Kombinasi dari maqsad kedua karakter ayat ini mengantarkan pada semangat menghidupkan malam Ramadhan dalam bentuk ‘qiyam Ramadhan’.

Secara lebih eksplisit, pembahasan tarawih banyak didapati pada skala hadits atau sunnah sebagai sumber kedua agama Islam. Pada bagian paparan data sebelumnya, hadits dimaksud harus diakui masih berkenaan dengan keutamaan salat malam dalam pengertian umum, yaitu meliputi: salat tahajud, salat witir, dan salat tarawih. Pengkhususan kandungan hadits kemudian mengerucut pada aspek teknis dengan satu pengertian bahwa apabila yang dimaksud adalah salat malam di bulan Ramadan, maka dalil tersebut otomatis

55 John W. Creswell, “Research Design: Pendekatan Metode, Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran (edisi ke-IV)”, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2016), 87.

56 Nyoman Kutha Ratna, “Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya”, cet-II (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2016), 146.

(15)

merujuk pada anjuran salat tarawih yang derajat hukumnya ‘sunnah muakkadah’. Hadis lainnya yang berkaitan dengan salat tarawih kemudian lebih banyak menyoal riwayat jumlah rakat tarawih yang berbeda-beda pandangan.

Dalam konteks tarawih cepat di Pondok Mantenan, diketahui terdapat dua hadits yang dipakai sebagai pijakan tekstualis-historis atas praktik tarawih kilat yang dilakukan secara turun temurun hingga generasi ketiganya saat ini. Pertama; kandungan hadits tersebut bersinggungan dengan anjuran kepada imam (pemimpin) salat jamaah agar meringankan salatnya saat memimpin makmum. Frasa ‘meringankan salat’ ini biasanya ditafsirkan lebih pada hal teknis dalam salat, seperti: memperindah suara bacaan imam, membaca surat-surat pendek setelah Fatihah dalam salat, dan lain sebagainya yang kesemua ihwal teknis tersebut tidak melanggar ketentuan syariat, yaitu dalam artian tetap dalam koridor memenuhi syarat dan rukun wajib salat. Kedua; hadits tentang keutamaan belajar dalam majelis ilmu daripada salat sunnah. Sehingga dari paduan pemahaman tersebut, dari kedua versi sejarah asal mula tarawih cepat, dapat diketahui faktor penarik terjadinya tarawih cepat adalah untuk menyegerakan kegiatan pengajian pasan bakda tarawih dengan waktu semaksimal mungkin. Sekaligus faktor pendorongnya adalah memfasilitasi jamaah kalangan pekerja dan remaja dari luar pondok yang menyukasi praktik tarawih kilat yang lebih cepat selesai daripada praktik tarawih di tempat lain secara umum.

Hal tersebut menegaskan bahwa dalam struktur masyarakat Mantenan dan sekitarnya ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu kesatuan sosial berdasar perbedaan horizontal sekaligus vertikal.57 Praktik tarawih mampu mengeratkan identifikasi atas ideologi ahlussunnah wal jama’ah an-nahdliyah sekaligus menyatukan berbagai kelas sosial sebagai kesatuan jamaah dari berbagai struktut kelas masyarakat. Sehingga merujuk pada fungsi sosial atas fenomena dan proses penelitian ini, dapat dianalisis dengan kerangka teori sosiologi pengetahuan. Dalam riset kualitatif, teori ini berperan sebagai perspektif bagi penelitian dan terkadang pula justru dihasilkan selama penelitian berlangsung.58 Sosio-analisa sebagai istilah lain dari sosiologi pengetahuan merupakan studi dokumenter biografi atau autobiografi tokoh yang memperhatikan keterkaitan dengan pemikiran tokoh yang dilahirkannya.59 Interpretasi konseptualnya dapat dijelaskan walaupun pada tiap aspek mengandung porsi yang berbeda. Karena dalam gejala-gejala tingkah laku dan perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, mereka juga mencoba mencari unsur persamaan yang dapat dipakai sebagai asas-asas generalisasi dalam analisa induktif yang selanjutnya dapat dirumuskan sebagai kaidah-kaidah sosial.60 Variabelnya terdiri dari konteks sosial dan pengalaman pribadi yang dalam penelitian diterjemahkan sebagai resepsi dan makna yang berarti.

Dalam hal fenomena tarawih kilat, tindakan tersebut meliputi konsep pandangan rasional sebagaimana dibangun oleh Mannheim yang dianggap koeksensif dengan ideologi dan keyakinan jamaah tarawih cepat, yaitu:

57 Nasikun, “Sistem Sosial Indonesia”,, 34.

58 John W. Creswell, “Research Design: Pendekatan Metode, Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran, xii.

59 Hamka, Sosiologi Pengetahuan: Telaah atas Pemikiran Karl Mannheim, 81.

60 Koentjaraningrat, “Sejarah Teori Antropologi I”, 14.

(16)

a) Diterima secara luas. Dapat dilihat pada praktik tarawih cepat yang dapat diterima secara luas dengan baik oleh masyarakat sebagaimana sering disaksikan oleh Ning Kunny (34 tahun)61, menceritakan bahwa sejak masa kecilnya ia sudah mendapati minimalnya ada empat titik tarawih cepat di Pondok Mantenan. Yaitu di masjid induk, pondok pasulukan, dalem Mbah Yai Abdullah, dan pondok putri.

Dulu di masjid tidak seramai ini, ya paleng full sampe teras serambi masjid, kalua sekarang kan bisa sampai halaman gelar tikar”, tambahnya.

b) Elemen-elemen yang terhubung sistematis. Dalam konteks ini terlaksananya tarawih kilat tidak lepas dari elemen-elemen yang saling mendukung dan terjalin baik secara langsung maupun tidak langsung. Muhammad Zamzami (34 tahun), guru ngaji sekaligus warga Bitar yang pernah ikut salat tarawih cepat berpendapat bahwa praktik tersebut pasti ada cantolan hadisnya sebagai basis pengamalan dalam ibadah tersebut dengan mengatakan:

“Ya pasti adalah kaitannya, apalagi sekelas ulama pesantren yang memimpin.

Buktinya saya sendiri bisa nyaman mengikuti praktik tersebut”, ungkapnya.

c) Penting bagi skema konseptual para agen. Bahwa tarawih kilat memberikan gambaran stigma kepada masyarakat sekitar dan jamaah terhubung bahwa perilaku tersebut merupakan kekhasan tersendiri dari Pondok Mantenan yang menjadi skema konseptual para agennya. Hal ini sebagaiman disampaikan oleh KH. Abdul Aziz dan Agus Muhamamd Salimi bahwa banyak pesantren atau masjid di Ringinagung Pare Kediri hingga Senori Tuban telah dan ingin ikut jamaah tarawih cepat di Mantenan sekedar hendak mengadaptasikannya di daerah masing-masing.

d) Sangat mempengaruhi perilaku agen. Perilaku agen dalam hal ini adalah para jamaah baik kalangan santri maupun warga sekitar dipaksa mengkondisikan jadwal individunya baik sebelum atau sesudah tarawih kilat dilakukan. Diantaranya sebagaimana dituturkan oleh Agus Muhammad Salim dan Arwan Rifai yang mengurangi porsi makan berbuka puasa demi mampu mengikuti tarawih dengan khidmat dan cepat serta memaksimalkan kegiatan atau rutinitas malam hari seusai tarawih.

e) Menjadi pertanyaan sentral metafisika dan kehidupan manusia secara umum. Aspek tersebut menjadi acuan pandangan rasional bagi Mannheim. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas responden yang sepakat bahwa hakikat pelaksanaan tarawih cepat adalah kembali pada aspek spiritual keagamaan sebagai bagian dari persoalan persiapan kehidupan setelah mati yaitu akhirat. Langkah ini menjadikan praktik sosial agama sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan penuh keyakinan bahwa amal manusia akan berbalas pahala.

Pemetaan konseptual awal tersebut dilanjutkan dengan pendekatan sosiologi pengetahuan Karl Mannheim yang membagi tindakan manusia ke dalam dua bagian, yaitu:

perilaku dan makna. Pada tataran perilaku, fenomena tarawih kilat di Pondok Mantenan merupakan pengamalan dari QS. Al-Baqarah 183 mengenai keutamaan puasa bulan Ramadan, lalu ditopang dengan QS. Adz-Dzariyat: 17. Lebih lanjut, imam tarawih kilat

61 Wawancara pada 09 September 2023 di kediaman orang tuanya dalam kompleks Pondok Mantenan.

(17)

mendasarkan perilakunya berdasar dua hadits tentang perintah meringankan jamaah makmumnya saat memimpin salat dan hadits terkait keutamaan belajar dalam suatu majelis ilu lebih utama daripada salat sunnah. Dalam hal ini ditemukan korelasi Tindakan jamaah tarawih cepat merupakan upaya menghidupkan dan mengkontekstualisasikan anjuran meramaikan malam Ramadhan sekaligus dengan cara yang paling ringan yaitu salat tarawih cepat demi mencapai tujuan pendidikan pesantren yaitu lebih mengutamakan kegiatan belajar mengajar agama.

Kerangka berpikir ini dapat dikonfirmasi dengan pengakuan beberapa jamaah yang terdiri dari santri dan warga alumni. Arwan Rifa’i (36 tahun)62 yang pernah mondok sejak tahun 2003 hingga 2011. Dalam penuturannya ia menyaksikan saat KH. Dliyauddin Azzamzami pernah berpesan kepada para santri agar kelak walaupun di pondok sudah ditradisikan tarawih cepat hendaknya jangan terus dipraktikkan di lingkungan daerah masing-masing karena semua disesuaikan dengan kondisi atau kesepakatan jamaah Masyarakat sekitar. Lebih lanjut ia teringat kemanfaatan tarawih cepat hingga kini sebagaimana pernah dikisahkan oleh pengasuh bahwa kalangan pegawai toko atau penjaga malam di sekitar Kediri Selatan, seperti daerah Pasar Sambi, Srengat, maupun Kandat seringkali pilih tarawih di Mantenan karena kecepatannya tersebut.

Lain lagi dengan kesaksian Kang Abdi (23 tahun)63 yang sebagai warga sekitar Karesidenan sekaligus dzuriyah pernah beberapa kali mengikuti tarawih kilat. Dalam kesaksiannya ia mengatakan:

“Nek mungguh kulo boten sreg dengan model tarawih cepat karena walaupun syarat rukun terpenuhi, namun dalam pengalaman dan amatan saya banyak jamaah pendatang yang tidak bisa mengikuti gerak cepat imam. Sehingga dikhawatirkan jamaah yang belum adaptasi terpaksa ikuti gerak cepat imam dengan mengabaikan syarat rukunnya sendiri”

Lebih lanjut ia tidak menampik adanya hadits anjuran mempermudah jamaah makmum walaupun menurutnya factor menjaga tradisi lebih dominan dalam praktik tarwih cepat.

Dalam hal ini ia mengatakan:

“Kalau soal tradisi bagi saya patut dievaluasi ulang karena ia bukan harga mati. Lain halnya dengan posisi dalil yang berada di atas tradisi”, tegasnya.

Dalam pembacaan penulis, argumen tersebut tidak sepenuhnya tepat karena dalam pandangan sosiologi pengetahuan Karl Mannheim menempatkan keseluruhan pendapat tersebut menjadi tiga makna sebagai diulas pada pembahasan di awal bahwa terdapat korelasi antara pengetahuan atau keyakinan dan masyarakat64. Ketiga makna tersebut adalah:

Pertama; makna obyektif yang merupakan upaya Mannheim dalam berpendapat bahwa baik kelas maupun generasi sama-sama menerima kesatuan mereka pertama-tama dari fakta obyektif 'sosial lokasi'.65 Menurutnya, pengalaman yang nampak biasa

62 Wawancara pada tanggal 12 September 2023 di kediamannya desa Ringinrejo, Kecamatan Sambi, Kabupaten Kediri.

63 Wawancara pada tanggal 08 September 2023.

64 Brian Longhurst, “Karl Mannheim and the Contemporary Sociology of Knowledge”, (London; The Macmillan Press, Ltd, 1989), x.

65 Brian Longhurst, “Karl Mannheim and the Contemporary Sociology of Knowledge., 68.

(18)

sebenarnya mampu menyatukan spirit, yang pada suatu waktu datang dari luar dan diungkapkan, secara apa adanya sehingga menjadi obyektif untuk berkembang di semua dimensi. Dengan demikian memberi nilai setiap peristiwa dengan imanen dan intrinsik.66 Adapun makna obyektif bagi jamaah tarawih cepat adalah bentuk kepatuhan kepada syariat atau dalam arti khusus mengikuti model yang berlaku dimana ia berada. Dalam hal sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Mubarok Romadhoni (22 tahun) dan Tri Wahyudi (22 tahun), dua santri Pondok Mantenan asal Lampung, bahwa praktik tarawih cepat yang mereka ikuti merupakan bentuk tabarukan pada leluhur Pondok yang merintis tradisi tersebut.67

Kedua; makna ekpresif merupakan perspektif yang berhasil menjadikan suatu ideologi untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya sebuah situasi (Ausdrucksideologie).68 Ide-ide yang diungkapkan oleh subjek dengan demikian dianggap sebagai fungsi keberadaannya. Ia ditafsirkan dalam jangkauan situasi kehidupan orang yang mengekpresikannya. Hal ini menandakan bahwa karakter spesifik dan situasi kehidupan subjek mempengaruhi pendapat, persepsi, dan interpretasinya.69 Dalam konteks tarawih kilat jamaah mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari umat muslim ahlussunnah wal jama’ah yang menganut salah satu dari mazhab empat. Lebih khusus, mereka menilai praktik tersebut merupakan upaya untuk meramaikan bulan Ramadhan dalam bingkai syiar Islam.70

Ketiga, makna dokumenter. Porsi ini memberikan gambaran lebih jelas terhadap praktik tarawih kilat yaitu menjaga tradisi. Dalam beberapa wawancara, santri maupun alumni Pondok Mantenan mengungkap bahwa maksud dari pelaksanaan tarawih cepat adalah menjaga tradisi yang sudah dirintis oleh masyayikh pendahulu Pondok Mantenan.

Hal ini menegaskan bahwa fenomena tersebut akan terjamin keberlangsungannya walau di masa nanti karena ia merupakan bagian dari karakter khas Pondok Mantenan.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat diketahui kesimpulan dalam penelitian ini

diantaranya adalah: Pertama; perilaku tarawih cepat di Pondok Mantenan diinspirasi dari sebuah hadits tentang perintah bagi imam untuk membuat ringan salat jamaahnya dengan makmum. Porsi ini tentu tidak lebih besar dari dalih pelaku tarawih cepat yang lebih mendasarkan pada argumen menjaga tradisi pendiri Pondok Mantenan yang bermula dari konteks dakwah masyarakat abangan pada masa awal serta maksimalisasi waktu pengajian pasan agar disegerakan pada masa belakangan. Kedua; dalam tataran praktik tarawih cepat tidak ada norma agama /fikih maupun syariat yang dilanggar karena sebagaimana

diketahui pelaku merupakan tokoh agama yang dipercaya kredibilitas keilmuan agamanya secara turun temurun oleh masyarakat maupun otoritas keagamaan setempat. Praktik tersebut secara teknik dimulai dari pelafalan niat yang disingkat dengan mengambil

66 Karl Mannheim, ”Ideology and Utopia An Introduction to the Sociology of Knowledge”, 212.

67 Wawancara pada 16 September 2023.

68 David Karley, “Karl Mannheim and The Crisis of Liberalisme,”,. 100.

69 Karl Mannheim, ”Ideology and Utopia An Introduction to the Sociology of Knowledge”, 50.

70 Wawancara terhadap Agus Muhammad Salimi (39 tahun) di kompleks Pondok Mantenan pada 12 September 2023.

Referensi

Dokumen terkait

Najmuddin, “Resepsi Kegiatan Tahfiz Kajian Living Qur`an di SDIT Nur Hidayah, Surakarta”, Skripsi, IAIN Surakarta, 2018, Tidak diterbitkan t.d Rizkiyah, Fathiyatur, “Komunikasi

PIMPINAN RANTING PAGAR NUSA KYAI AGENG GRIBIG KECAMATAN KEDUNGKANDANG No : 07/SR/PS.PN/K.A.GRIBIG/XI/2023 Lamp : - Hal : Rekomendasi Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Toha