National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 607
ITIKAD BAIK PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN DALAM PERJANJIAN PENGIRIMAN BARANG
John Mei Pakpahan1), Suhendro1), Indra Afrita1)
1)
Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Lancang Kuning, Indonesia Email: [email protected]
Abstract: The formulation of the problem in this research is as follows: How is the Good Faith of Business Actor Against Consumer Loss in the Goods Delivery Agreement, How is the Legal Consequence of Good Faith of Business Actor on Consumer Loss in the Goods Delivery Agreement. The method used is normative legal research. Based on the results of research on the Good Faith of Business Actors against Consumer Losses in the Goods Delivery Agreement, that there is a loss in the delivery of these goods is the responsibility of the delivery service, because of the obligation to the owner of the goods that entrusted it to be sent, so that in the event of damage, destruction, or loss of the goods entrusted to it , the carrier must be responsible for it. However, sometimes the delivery service does not want to be responsible for certain reasons. The legal consequence is that consumers have the right to demand compensation from business actors if they receive services that are not in accordance with what was agreed upon, causing losses for them. Consumer actions in claiming compensation to business actors are regulated in Article 4 of the Consumer Protection Act.
Keywords: Good Faith, Loss, Delivery of Goods
Abstrak: Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut Bagaimana Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang, Bagaimana Akibat Hukum Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang. Metode yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang bahwa adanya kerugian dalam pengiriman barang ini menjadi tanggungjawab dari jasa pengiriman, karena kewajiban terhadap pemilik barang yang menitipinya untuk dikirimkan, sehingga apabila terjadi kerusakan, musnah, ataupun hilangnya barang yang dititipikan tersebut, pengangkut harus mempertanggungjawabkannya. Namun terkadang pihak jasa pengiriman barang tidak mau bertanggung jawab dengan alasan-alasan tertentu. Akibat hukumnya bahwa konsumen memiliki hak dalam menuntut ganti kerugian dari pelaku usaha apabila mendapatkan pelayanan tidak sesuai dengan yang disepakati sehingga menyebabkan kerugian baginya. Tindakan konsumen dalam melakukan klaim ganti rugi kepada pelaku usaha tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Kata Kunci: Itikad Baik, Kerugian, Pengiriman Barang
Pendahuluan
Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana telah ditemukan Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata mengani asas itikad baik, yang berbunyi
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam perjanjian jual beli online atau
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 608
internet pun harus dilakukan dengan itikad baik, agar seluruh rangkaian proses jual beli berjalan lancar dan tidak merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli tersebut.1Sedangkan pihak konsumen menerima barang yang mengandung unsur kerusakan maka pihak konsumen dapat meminta tanggung jawab kepada pihak distributor/pelaku usaha, sesuai dengan Pasal 1505 KUHPerdata. Produk juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 11 huruf (b) dengan menggunakan istilah cacat tersembunyi dan dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3) dengan menggunakan istilah cacat atau bekas. Selain itu, Pasal 19 ayat (1) Undang- Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha yaitu “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Dengan adanya barang dari pasar global maka kita juga harus lebih jeli dan teliti dalam memilih serta menggunakan barang tersebut. Dalam Pasal 1504 KUHPerdata telah diatur kepentingan konsumen yang dirugikan akibat dari membeli barang yang mempunyai kerusakan.Pengaturan tentang kerusakan barang dalam Pasal 8 ayat (2) UUPK bahwa:
“Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”.
Jadi ketika terdapat pelaku usaha yang memperdagangkan usahanya ternyata ada kerusakan barang menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini dikarenakan konsumen tidak mendapatkan informasi secara lengkap sehingga barang yang dibeli ternyata ada kerusakan barang.2Perlindungan konsumen bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban produsen dan konsumen, serta bagaimana melindungi hak tersebut dan memenuhi kewajiban tersebut sesuai Pasal 4 dan Pasal 5Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Namun dibalik kemudahan yang diberikan oleh penyedia jasa ekspedisi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa ada kendala-kendala yang dialami selama proses pengiriman yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Salah satu peristiwa merugikan yang kerap terjadi yaitu barang kiriman sampai di tujuan dengan kondisi rusak atau diterima dalam kondisi tidak utuh sesuai pada saat barang tersebut dikirimkan. Mengacu pada Pasal 7 huruf F Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka perusahaan jasa ekspedisi memiliki tanggung jawab atas kejadian rusaknya barang milik konsumen saat proses pengiriman yang dilaksanaka. Dengan adanya peristiwa tersebut pengguna jasa akan dirugikan karena pihaknya telah membayarkan sejumlah uang untuk mendapatkan pelayanan yang diinginkan yaitu agar barang kiriman sampai ditujuan dengan kondisi utuh seperti saat barang dikirimkan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut: Bagaimana Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang?. Bagaimana Akibat Hukum Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang?.
Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan penulis bersifat normatif, yaitu penelitian yang berdasarkan pada kaidah hukum yang berlaku, dalam hal ini penelitian dilakukan terhadap dalam Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang. Pendekatan penelitian yang digunakan untuk menjawab
1 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan IV, (Jakarta: Intermasa, 2009), hlm. 5.
2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Cet III, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 7.
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 609
permasalahan penelitian adalah Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Data yang telah dianalisis dan dideskriptifkan selanjutnya disimpulkan dengan metode induktif. Penarikan kesimpulan menggunakan logika berpikir deduktif, yaitu penalaran (hukum) yang berlaku umum pada kasus individual dan konkrit (persoalan hukum faktual yang konkrit) yang dihadapi. Dimana dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori.Hasil dan Pembahasan
1. Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang
Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian. Iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur bahwa: “Persetujuan-persetujuan (perjanjian) harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”
Menurut undang-undang sejalan saat ditutupnya perjanjian, risiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.3Sebaliknya jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian juga barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali.
Jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini bersifat obligatoir, yanq artinya bahwa perjanjian jual be1i baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya atau dengan perkataan lain bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum memisahkan hak milik.
Kegiatan pengiriman secara tidak langsung sering kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, dari kebanyakan pihak produsen sendiri tidak mampu untuk menangani masalah pengiriman tanpa dibantu oleh beberapa penyedia jasa pengiriman itu sendiri. Untuk mengatasi permasalahan tersebut produsen tentunya membutuhkan mitra bisnis atau pelayanan jasa yang mumpuni untuk menangani penyaluran pengiriman yang baik agar produk dan jasa yang diberikan dapat dengan cepat dirasakan dampaknya oleh konsumen selaku target pasar dari produsen itu sendiri.4Pelayanan jasa pengiriman barang
3 Sudaryo Soimin, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 94- 95.
4 Suryanto, Mikael Hang, Sistem Operasional Manajemen Distribusi, (Jakarta: Grasindo, 2016), hlm. 42.
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 610
adalah suatu badan usaha yang bergerak dalam bidang bisnis pengiriman barang, adapun jalur dalam pengiriman barang tersebut melalui jalur darat, jalur udara, atau jalur laut dan memberikan pelayanan yang secara efektif dan efisien guna memenuhi kepuasan pelanggan yang akan mengirimkan barangnya. Dalam prosedur pengiriman barang pelaku jasa pengiriman mempunyai peraturan atau prosedur yang berbeda-beda ada yang mempermudahkan dalam hal pengiriman barang, namun ada juga yang memberlakukan peraturan yang sangat ketat tergantung dari pelayanan yang ditawarkan oleh perusahaan itu sendiri. Berikut cara pelayanan kerja dari kegiatan jasa pengiriman barang secara umum meliputi barang atau produk yang akan dikirim, pengemasan barang atau packing, Administrasi dokumen pengiriman, dan moda transportasiPasal 7 huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan kewajiban dari pelaku usaha adalah memberikan ganti kerugian yang timbul akibat pemanfaatan jasa yang diperdagangkan. Pasal 19 menjelaskan lebih rinci bahwa perusahaan jasa ekspedisi diwajibkan memberikan ganti kerugian atas kerusakan pada barang kiriman milik konsumen dalam bentuk sejumlah uang sesuai dengan harga barang atau mengganti dengan barang yang setara. Berikut contoh kasus terhadap kerugian konsumen dalam perjanjian pengiriman barang ini adalah sebagai berikut Kasus perkara Putusan Pengadilan Putusan PN BEKASI Nomor 295/Pdt.Sus.BPSK/2020/PN Bks antara PT. CITRA VAN TITIPAN KILAT (TIKI), selanjutnya disebut sebagai PEMOHON KEBERATAN dahulu sebagai Tergugat selaku Pelaku Usaha; LAWAN: ALVARENDRA ATAYA ANAS, dalam hal ini memberikan kuasa kepada MUHAMMAD ANAS RA., M.Si., NIK.:
7309080606860001 selaku wali/orang tua dari Alvarendra Ataya Anas, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON KEBERATAN dahulu PENGGUGAT/KONSUMEN;
bahwa kasus di atas terjadi saat warga Makassaryang menjual makanan kering, mendapatkan pembeli dari Bekasi. pada Januari 2020. Kemudian mengirimkan paket makanan kering itu menggunakan perusahaan penyedia jasa pengiriman. Namun, paket sampai ke pembeli terlambat atau setidak-tidaknya meleset dari perhitungan waktu sampainya barang. Pada 6 Juli 2021, BPSK memutuskan perusahaan penyedia jasa pengiriman telah bersalah dalam melakukan pelayanan terhadap konsumen. Oleh karena itu, BPSK menjatuhkan sanksi administrasi ke perusahaan penyedia jasa pengiriman sebesar Rp 200 juta dan pidana denda Rp 150 juta. Putusan BPSK itu kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Bekasi pada 15 September 2020. Perusahaan penyedia jasa pengiriman tidak terima dan mengajukan kasasi. Mengabulkan permohonan Pemohon Keberatan/Penggugat untuk sebagian. Menyatakan pihak Tergugat bersalah dalam melakukan pelayanan terhadap Konsumen. Menetapkan sanksi administrasi kepada Pemohon Kasasi/Pemohon Keberatan/Pelaku Usaha sebesar Rp 1 juta.
Perlindungan konsumen bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban produsen dan konsumen, serta bagaimana melindungi hak tersebut dan memenuhi kewajiban tersebut. Pengaturan hak dan kewajiban serta larangan atas produk dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi ekspansi dan ekonomi secara umum, sehingga terjalin hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen. Pasal 4 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memuat tentang hak-hak dasar konsumen dan kewajiban konsumen berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pemenuhan hak dan kewajiban hendaknya dilaksanakan dengan iktikad yang baik. Akan tetapi, apabila di kemudian hari terjadi kendala, yang merupakan kejadian keterlambatan pengiriman barang, maka pihak konsumen telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk memperoleh penggantian ganti rugi dari pelaku usaha. Proses penyelesaian sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen akan diselesaikan menurut ketentuan yang berlaku.
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 611
Apabila diperlukan, maka dapat melibatkan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) sebagai penengah antara pelaku usaha dengan konsumen. Meski demikian, pengadilan menjadi solusi terakhir apabila penyelesaian melalui non litigasi tidak menemui kesepakatan.Jadi walaupun tidak diatur dalam suatu perjanjian yang bersifat kontraktual, namun terjadi transaksi pembelian barang atau jasa dan disini konsumen merasa dirugikan, maka konsumen berhak menuntut pelaku usaha yang mengabaikan hak-hak konsumen. Mengingat perusahaan pengiriman barang bergerak dalam bidang jasa, maka faktor penting yang patut diperhatikan adalah kepercayaan pengguna jasa, dimana mereka menggunakan jasa perusahaan tersebut karena mereka percaya bahwa barang atau kiriman yang mereka kirim melalui jasa perusahaan tersebut akan sampai dengan selamat di tempat tujuan. Jasa pengirim masih harus memenuhi kewajiban terhadap pemilik barang yang menitipinya untuk dikirimkan, sehingga apabila terjadi kerusakan, musnah, ataupun hilangnya barang yang dititipikan tersebut, pengangkut harus mempertanggungjawabkannya. Tanggung jawab pengangkut terhadap kehilangan atau rusaknya barang yang dititipkan digudang akibat menunggu barang disalurkan berdasarkan hukum penitipan (the law of bailment).5Hal ini membuat pengguna jasa pengiriman barang tersebut merasa dirugikan. Adapun bentuk pelayanan yang merugikan itu adalah barang yang terlambat datang ke tempat tujuan, rusak, atau hilang dikarenakan adanya faktor manusia (human error) dan faktor alam (force majeure).6 Dengan dirugikannya konsumen atau pengguna jasa pengiriman barang, hal ini mengakibatkan konsumen atau pengguna jasa pengiriman barang tersebut menuntut pertanggungjawaban terhadap jasa pengiriman barang. Namun terkadang pihak jasa pengiriman barang tidak mau bertanggung jawab dengan alasan-alasan tertentu.
2. Akibat Hukum Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang
Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada ‘kesengajaan sebagai bentuk kesalahan’ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. Pengertian perjanjian untuk Pengiriman barang dapat dilihat dalam Pasal 1601 KUHPerdata yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah.” Pasal 1601 huruf b KUHPerdata menentukan bahwa pengiriman barang adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkannya, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Hasil yang dikehendaki oleh perusahaan jasa pengiriman barang adalah layanan pengiriman barang yang baik kepada konsumen dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dan konsumen berkewajiban untuk membayar harga pengangkutan barang tersebut sebagai Pengiriman barang sesuai dengan kontrak perjanjian yang telah disepakati bersama.
Dasar pertanggungjawaban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi disebutkan secara tegas dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen
5 Toto T. Suriaatmadja, Pengangkutan Kargo Udara: Tanggungjawab Pengangkut dalam Dimensi Hukum Udara Nasional dan Internasional, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 17.
6 Fida Amira dan M. Hudi Asrori S, Tanggung Jawab Pengiriman Barang Ekspedisi Atas Kehilangan Dan/Atau Kerusakan Barang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang POS (Studi Kasus di Kantor Pos Solo), Privat Law, Vol. IV No. 1, Januari-Juni 2016, hlm 118.
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 612
akibat mengkonsumsi barang dan/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Kerugian yang dapat dituntut dari pelaku usaha menurut Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdiri dari kerugian atas mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, yaitu segala kerugian berupa kurangnya manfaat barang dan atau jasa dikarenakan tidak berfungsi penuh barang dan atau jasa tersebut. Besarnya ganti kerugian dan wujud penggantian kerugian, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, petunjuk mengenai besar ganti kerugian yang dapat dituntut dari pelaku usaha adalah kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa.Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pedoman tentang jumlah, bentuk atau wujud dari ganti kerugian yaitu pengembalian uang; atau penggantian barang dan/atau jasa yang setara nilainya;
atau pemberian santunan; sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku Dalam sebuah perbuatan atau hubungan hukum yang dilakukan subyek hukum pasti akan menimbulkan tanggung jawab hukum, maka dengan adanya tanggung jawab hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi subyek hukum. Pengaturan hak dan kewajiban serta larangan atas produk dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi ekspansi dan ekonomi secara umum, sehingga terjalin hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen.
Pelaku usaha memikul tanggung jawab hukum atas cacat tersembunyi pada barang yang mereka jual, sebagaimana diatur dalam Pasal 1508 dan Pasal 1509 KUHPerdata yang antara lain menjelaskan bahwa pelaku usaha wajib mengembalikan uang sejumlah harga barang yang dibeli oleh konsumen. Karena di UUPK, pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha. UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang atau jasa tersebut dirancang ataupun diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Bersumber dari adanya itikad baik dari pelaku usaha, maka pelaku usaha akan melakukan kewajiban-kewajiban yang lainnya, seperti memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, memberlakukan atau melayani konsumen dengan benar, menjamin mutu barang/ atau jasa yang diproduksi, dan lain sebagainya. Dalam memberikan perlindungan hukum tidak hanya ditujukan kepada konsumen, akan tetapi juga harus diperhatikan kewajiban dari konsumen yang merupakan hak bagi pelaku usaha sehingga tidak merugikan pelaku usaha.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan jelas menuliskan tujuannya, yaitu meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan /atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, dan meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Tindakan konsumen dalam melakukan klaim ganti rugi kepada pelaku usaha tersebut diatur dalam Pasal 4 UUPK yang menjabarkan tentang hak-hak yang diperoleh oleh pihak konsumen, dalam huruf h
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 613
dijelaskan bahwa konsumen berhak diberikan ganti rugi jika sebuah jasa yang diberikan tidak sesuai dengan hal yang sudah diperjanjikan atau tidak sebagaimana mestinya.Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis antara lain: Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang bahwa adanya kerugian dalam pengiriman barang ini menjadi tanggungjawab dari jasa pengiriman, karena kewajiban terhadap pemilik barang yang menitipinya untuk dikirimkan, sehingga apabila terjadi kerusakan, musnah, ataupun hilangnya barang yang dititipikan tersebut, pengangkut harus mempertanggungjawabkannya. Adapun bentuk pelayanan yang merugikan itu adalah barang yang terlambat datang ke tempat tujuan, rusak, atau hilang dikarenakan adanya faktor manusia (human error) dan faktor alam (force majeure). Dengan dirugikannya konsumen atau pengguna jasa pengiriman barang, hal ini mengakibatkan konsumen atau pengguna jasa pengiriman barang tersebut menuntut pertanggungjawaban terhadap jasa pengiriman barang. Namun terkadang pihak jasa pengiriman barang tidak mau bertanggung jawab dengan alasan-alasan tertentu. Akibat Hukum Itikad Baik Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Dalam Perjanjian Pengiriman Barang bahwa konsumen memiliki hak dalam menuntut ganti kerugian dari pelaku usaha apabila mendapatkan pelayanan tidak sesuai dengan yang disepakati sehingga menyebabkan kerugian baginya. Tindakan konsumen dalam melakukan klaim ganti rugi kepada pelaku usaha tersebut diatur dalam Pasal 4 Undnag-Undang Perlindungan Konsumen.
Daftar Pustaka
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia.
Bernadeth Filia Witiyas, dengan judul Tesis “Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Hilangnya Paket Dalam Jasa Layanan Pengiriman Barang Melalui PT JNE Wilayah Tangerang”, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, 2021.
C.S.T. Kansil, 2010, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: : Pradnya Paramitha.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan III, Jakarta:
Sinar Grafika.
Hermawan Lumba, dengan judul Tesis “Pertanggungjawaban Perusahaan Ekspeditur Kepada Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Program Magister Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2014.
Irma Garwan, dengan judul Tesis “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Pengiriman Barang Atas Kehilangan Barang Yang Dikirimkan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Program Magister Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan Karawang, 2021.
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Khairandy, Ridwan, 2003, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Pasca Sarjana FH-UI.
Munir Fuadi, 2010, Hukum Kontrak (dari sudut pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 614
Ridwan Khairandy, 2011, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta:Pascasarjana Universitas Indonesia.
Siti Ismijati Jenie, “Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 11 Juni 2015.
Subekti, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan IV, Jakarta: Intermasa.
Suryanto, Mikael Hang, 2016, Sistem Operasional Manajemen Distribusi, Jakarta:
Grasindo.
Sutan Remy Sjahdeini, 2013, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana.
Wiryono Prodjodikoro, 2006, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur.
Zaeni Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.