4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pendahuluan
Kuesioner disebarkan pada 21 proyek konstruksi bangunan tinggi di kota Surabaya (Lampiran 1) yang sedang dalam proses pembangunan pada tahap struktur. Kuesioner ditujukan kepada para pekerja konstruksi, pekerja konstruksi yang dimaksud adalah pekerja pengelasan, pengecoran, pembesian, pemasangan dinding, pemasangan kayu/bekisting dan finishing.
Sebelum proses penyebaran kuesioner, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah bertemu dengan PM (Project Manager) yang bertujuan untuk menjelaskan mengenai isi proposal dari penelitian.
Pendampingan kepada para responden sering dilakukan, karena mayoritas responden adalah pekerja konstruksi dengan latar belakang pendidikan yang rendah. Pendampingan dilakukan agar hasil dari kuesioner sesuai dengan yang diharapkan. Pendampingan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mendampingi responden pada saat proses pengisian kuesioner dan menginformasikan kepada responden apabila ada sesuatu hal yang kurang bisa dipahami dan tidak dimengerti.
Sebelum penyebaran kuesioner, uji validitas dan reliabilitas dilakukan untuk mengukur hasil jawaban kuesioner apakah valid dan reliabel sebagai indikator dalam pengukuran sebuah variabel. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada 10 orang sampel pekerja konstruksi, setelah jawaban indikator dinyatakan valid dan reliabel, maka penyebaran kuesioner mulai dilakukan.
Total kuesioner yang diterima oleh semua proyek sebanyak 420 kuesioner, sedangkan yang kembali sebanyak 209 kuesioner, dari jumlah tersebut sudah dapat memenuhi syarat minimal sampel yang seharusnya yaitu 100 sampel. Dari penyebaran kuesioner, ada kuesioner yang ditolak sebanyak 211 kuesioner.
Penolakan dikarenakan proyek tidak berkenan terkait dengan keterbatasan waktu serta kondisi lapangan yang sedang tidak dapat diakses oleh pihak luar. Dari 209 kuesioner yang kembali, Sebanyak 12 kuesioner tidak diolah karena tidak memenuhi kualifikasi dan sisa sebanyak 197 kuesioner yang diolah. Sehingga total pekerja yang telah disurvey sebanyak 219 pekerja.
Hasil analisa data dari kuesioner akan digunakan untuk menganalisa karakteristik kecelakaan kerja konstruksi berdasarkan demografi data umum responden dan mengetahui besar pengaruh tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman terhadap kecelakaan kerja konstruksi dengan metode regresi logistik biner.
4.2. Data Umum Responden
Data umum responden didapatkan dari penyebaran kuesioner yang berisi mengenai identitas responden seperti umur, pengalaman bekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan status pernikahan.
4.2.1. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Umur Tabel 4.1. Umur
Umur Jumlah Persentase (%)
20-30 Tahun 92 47
31-40 Tahun 76 39
41-50 Tahun 21 11
51-60 Tahun 8 4
Total 197 100
Gambar 4.1. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Umur
Gambar di atas menunjukkan persentase dari setiap kelompok umur responden penelitian. Berdasarkan Gambar 4.1 di atas dapat diketahui bahwa mayoritas umur responden adalah 20 hingga 40 tahun.
Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah responden dari kelompok umur yang tertinggi adalah pada kelompok umur 20-30 tahun dengan jumlah 92
responden atau sekitar 47% dari total responden penelitian. Kelompok umur tertinggi kedua adalah kelompok umur 31-40 tahun dengan jumlah 76 responden atau sebesar 39% dari total responden penelitian. Kelompok umur dengan jumlah tertinggi selanjutnya adalah kelompok umur 41-50 tahun dengan jumlah 21 responden atau sebesar 11% dari total responden. Kelompok umur 51-60 tahun merupakan kelompok umur dengan persentase terkecil yakni dengan jumlah 8 responden atau sekitar 4% dari total responden penelitian.
4.2.2. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja Tabel 4.2. Pengalaman Kerja
Pengalaman Kerja Jumlah Persentase (%)
0-5 Tahun 64 32
6-10 Tahun 44 22
11-15 Tahun 47 24
16-20 Tahun 20 10
21-25 Tahun 22 11
Total 197 100
Gambar 4.2. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja
Dari Gambar 4.2 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas pengalaman kerja responden penelitian adalah 0-5 tahun dengan jumlah 64 responden dan persentase sebesar 33% dari banyaknya responden penelitian. Selanjutnya, kelompok pengalaman kerja dengan persentase tertinggi kedua adalah 11-15 tahun dengan jumlah 47 responden dan persentase sebesar 24% dari banyaknya responden penelitian. Kelompok pengalaman kerja tertinggi ketiga adalah 6-10
tahun dengan jumlah 44 responden dan persentase 22% dari banyaknya responden penelitian. Selanjutnya, kelompok pengalaman kerja 21-25 tahun dengan jumlah 22 responden dan persentase sebesar 11% dari banyaknya responden penelitian.
Kemudian kelompok pengalaman kerja 16-20 tahun memiliki persentase yang hampir sama dengan kelompok pengalaman kerja 21-25 tahun, yakni dengan jumlah 20 responden dan persentase sebesar 10% dari banyaknya responden penelitian.
4.2.3. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tabel 4.3. Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
Pembesian 44 18
Pengecoran 55 22
Pengelasan 35 14
Pekerjaan Dinding 37 15
Pekerjaan Kayu 49 20
Lain-lain 26 11
Total 246 100
Gambar 4.3. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Pada penelitian ini terdapat 6 jenis pekerjaan yang diteliti yakni pembesian, pengecoran, pengelasan, pekerjaan dinding, pekerjaan kayu dan pekerjaan lain-lain yang mayoritasnya adalah pekerjaan finishing seperti pengecatan, pemasangan keramik dll.
Terdapat beberapa responden yang melakukan lebih dari 1 jenis pekerjaan.
Dari Gambar 4.3 di atas dapat dilihat bahwa jenis pekerjaan pengecoran merupakan jenis pekerjaan dengan persentase tertinggi yakni sebesar 55 responden atau sebesar 22%. Selanjutnya pekerjaan kayu sebesar 20%, pekerjaan pembesian sebesar 18%, pekerjaan dinding sebesar 15%, pekerjaan pengelasan sebesar 14% dan pekerjaan lain-lain sebesar 11%.
4.2.4. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.4. Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Pria 196 99
Wanita 1 1
Total 197 100
Hasil dari pengumpulan data responden, menunjukkan bahwa hampir semua responden penelitian adalah pekerja konstruksi dengan jenis kelamin laki- laki yakni dengan frekuensi 196 responden dari 197 responden penelitian, hanya terdapat 1 responden dengan jenis kelamin perempuan.
4.2.5. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Status Pernikahan Tabel 4.5. Status Pernikahan
Status Pernikahan Jumlah Persentase (%)
Lajang 65 33
Menikah 116 59
Cerai 16 8
Total 197 100
Terdapat 3 kategori status pernikahan yakni lajang, menikah dan cerai.
Status pernikahan menikah merupakan status pernikahan mayoritas yang terdiri dari 116 responden atau sebesar 59%. Responden dengan status pernikahan lajang terdiri dari 65 responden atau sebesar 33%. Terdapat 16 responden atau sebesar 8% dari banyaknya responden dengan status pernikahan cerai.
4.2.6. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Tabel 4.6. Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase (%)
SD 54 27
SMP 97 49
SMA 41 21
Lain-lain 5 3
Total 197 100
Gambar 4.5. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir SMP dengan frekuensi 97 responden atau sebesar 49%.
Pendidikan dengan frekuensi tertinggi kedua adalah SD yakni dengan frekuesni 54 responden atau dengan persentase 27%. Pendidikan dengan frekuensi tertinggi ketiga adalah SMA yakni dengan frekuesni 41 responden atau dengan persentase 21%. Terdapat juga responden dengan pendidikan terakhir lain-lain yakni dengan frekuensi 5 responden atau sebesar 3 % dari 197 responden penelitian.
4.2.7. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Kejadian Kecelakaan Kerja Konstruksi
Tabel 4.7. Kejadian Kecelakaan Kerja
Kejadian Kecelakaan Kerja Jumlah Persentase (%)
Tidak Pernah 80 41
Pernah 117 59
Total 197 100
Gambar 4.6. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Kejadian Kecelakaan Kerja
Berdasarkan Gambar 4.6 pada hasil Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Kejadian Kecelakaan Kerja Konstruksi, terlihat bahwa responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan responden yang tidak pernah mengalami kecelakaan.
Terdapat sebanyak 117 responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja dan 80 responden lainnya tidak pernah mengalami kecelakaan kerja dengan nilai persentase sebanyak 59% untuk responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja dan 41% untuk responden yang tidak pernah mengalami kecelakaan kerja.
29%
2%3%
27%
12%
12%
6% 9%
Terpotong, tertusuk, tertimpa, tertabrak, terkena lemparan Menabrak benda tajam, menabrak mesin
Terjebak, Tersangkut, Terjepit Jatuh dari tangga, Jatuh dari Scafolding, Jatuh dari lantai atas Tergelincir, Terpeleset, Meluncur, Tersandung Keseleo, Terpelintir akibat menarik / memikul benda Tersetrum/tersengat listrik Terbakar, terkena percikan api
4.2.8. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kecelakaan Kerja Konstruksi
Tabel 4.8. Jenis Kecelakaan Kerja
Jenis Kecelakaan Kerja Jumlah Persentase (%) Terpotong, tertusuk, tertimpa, tertabrak, terkena lemparan 56 29
Menabrak benda tajam, menabrak mesin 3 2
Terjebak, Tersangkut, Terjepit 5 3
Jatuh dari tangga / Scafolding / lantai atas 52 27 Tergelincir, Terpeleset, Meluncur, Tersandung 24 13 Keseleo, Terpelintir akibat menarik / memikul benda 24 13
Tersetrum/tersengat listrik 17 9
Terbakar, terkena percikan api 11 6
Total 192 100
Gambar 4.7. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kecelakaan Kerja
Gambar 4.7 menunjukkan distribusi jenis kecelakaan kerja yang pernah dialami responden. Dari 117 responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja, terdapat beberapa responden yang pernah mengalami lebih dari satu jenis kecelakaan kerja.
Jenis kecelakaan kerja yang paling sering terjadi adalah terpotong, tertusuk, tertimpa, tertabrak, dan terkena lemparan dengan frekuensi kejadian sebesar 56 kejadian dan persentase sebesar 29%.
Jenis kecelakaan kerja dengan frekuensi tertinggi kedua yakni jatuh dari tangga, jatuh dari scaffolding dan jatuh dari lantai atas dengan frekuensi 52 kejadian dan persentase sebesar 27%. Selanjutnya, jenis kecelakaan yang sering terjadi adalah tergelincir, terpeleset, meluncur, tersandung dan keseleo, terpelintir akibat menarik/memikul beban masing-masing dengan frekuensi 24 kejadian dan persentase sebesar 13%.
Selanjutnya adalah jenis kejadian kerja tersetrum/tersengat listik dengan frekuensi 17 kejadian, terbakar/terkena percikan api dengan frekuensi 11 kejadian, terjebak, tersangkut, terjepit dengan frekuensi 5 kejadian dan 3 kejadian untuk jenis kecelakaan kerja menabrak benda tajam/menabrak mesin dengan masing- masing memiliki bobot persentase sebesar 9%, 6%. 3% dan 2%.
4.3. Analisis Kecelakaan Kerja Konstruksi Berdasarkan Data Umum Responden
Analisis pada sub-bab ini menjelaskan jumlah dan persentase mengenai responden “yang pernah mengalami kecelakaan kerja” berdasarkan data umum responden seperti umur, pengalaman bekerja, jenis pekerjaan, pendidikan terakhir, status pernikahan dan jenis kecelakaan yang dialami beserta analisis yang telah didapatkan pada teori kecelakaan kerja. Dari 197 kuesioner, 117 responden mengalami kecelakaan dan 80 responden tidak pernah mengalami kecelakaan.
Dari hasil analisis kecelakaan kerja konstruksi berdasarkan data umum responden, maka dapat dilihat kondisi lapangan secara nyata dengan teori sebagai bahan dasar untuk memperkuat dan mendukung kondisi yang terjadi.
4.3.1. Karakteristik Kecelakaan Kerja Konstruksi Berdasarkan Umur Tabel 4.9. Kecelakaan Kerja Berdasar Umur
Umur Jumlah Persentase (%)
20-30 Tahun 52 44
31-40 Tahun 45 38
41-50 Tahun 15 13
51-60 Tahun 5 4
Total 117 100
Tabel 4.9 di atas menunjukkan persentase dari setiap kelompok umur responden penelitian. Dapat diketahui bahwa mayoritas umur responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja adalah 20-30 tahun yakni dengan persentase 44%. Kelompok umur tertinggi kedua yang pernah mengalami kecelakaan kerja adalah kelompok umur 31- 40 tahun dengan persentase sebesar 39% dari total responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja. Kelompok umur dengan persentase tertinggi selanjutnya adalah kelompok umur 41-50 tahun dengan persentase 13% dari total responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja.
Kelompok umur 51-60 tahun merupakan kelompok umur dengan persentase terkecil yakni sebesar 4% dari total responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja konstruksi.
Analisis data dari hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa umur mempunyai pengaruh penting dalam menimbulkan kecelakaan akibat kerja.
Golongan umur muda mempunyai kecenderungan untuk mendapatkan kecelakaan lebih tinggi dibandingkan usia tua, karena mereka mempunyai kecepatan reaksi lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja usia tua. Kecepatan reaksi yang dimaksud adalah performa dalam melakukan suatu pekerjaan, mayoritas pekerja dengan umur yang sudah tua melakukan pekerjaan lebih hati – hati dan tidak tergesa – gesa, sedangkan pekerja usia muda cenderung ceroboh, tergesa – gesa dan lebih gesit dikarenakan faktor umur yang masih produktif.
Dalam jenis pekerjaan tertentu, pekerja muda juga merupakan golongan pekerja dengan kasus kecelakaan kerja yang tinggi akibat kecerobohan atau kelalaian mereka terhadap pekerjaan yang dihadapinya, dalam kata lain diakibatkan karena sifat gegabah dan macho pada usia produktif mereka.
Umur juga merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja dalam aspek kebiasaan, perilaku dan pola pikir seseorang untuk melakukan ataupun mengerjakan sesuatu. Sehingga tentu sangat berbeda bagaimana pekerja usia muda dan pekerja usia tua dalam melakukan pekerjaan.
4.3.2. Karakteristik Kecelakaan Kerja Konstruksi Berdasarkan Pengalaman Kerja Tabel 4.10. Kecelakaan Kerja Berdasar Pengalaman Kerja
Pengalaman Kerja Jumlah Persentase (%)
0-5 Tahun 44 38
6-10 Tahun 37 32
11-15 Tahun 21 18
16-20 Tahun 11 9
21-25 Tahun 4 3
Total 117 100
Dari Tabel 4.10 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas pengalaman kerja responden penelitian yang pernah mengalami kecelakaan kerja adalah 0-5 tahun dengan persentase sebesar 38%. Selanjutnya, kelompok pengalaman kerja dengan persentase tertinggi kedua adalah 6-10 tahun dengan persentase sebesar 32% dari banyaknya responden penelitian yang pernah mengalami kecelakaan kerja.
Kelompok pengalaman kerja tertinggi ketiga adalah 11-15 tahun dengan persentase 18% dari banyaknya responden penelitian yang pernah mengalami kecelakaan kerja. Selanjutnya, kelompok pengalaman kerja 21-25 tahun dan 16-20 tahun memiliki persentase yang hampir sama yakni masing-masing 8% dan 9%
dari banyaknya responden penelitian yang pernah mengalami kecelakaan kerja.
Dari hasil diatas, dapat dianalisis bahwa pengalaman bekerja sangat ditentukan oleh lamanya seseorang bekerja. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak pengalaman yang dia dapatkan selama dia bekerja.
Pengalaman kerja juga mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja, karena dari pengalaman yang dia dapatkan maka akan semakin banyak pengetahuan mengenai hal-hal penting mengenai pekerjaan pada dunia konstruksi. Dari pengetahuan yang didapat, maka seseorang jadi lebih hati-hati dan mengetahui apa saja hambatan dan gambaran mengenai pekerjaan mereka. Sehingga mereka tahu apa yang seharusnya mereka kerjakan dan apa yang mereka harus hindari.
Kurang pengetahuan, kurang pengalaman, kurang orientasi dan kurang latihan dapat mengakibatkan pekerja susah memahami pekerjaan yang harus dilakukan, karena mereka tidak mengetahui cara mengerjakan atau
mengoperasikan peralatan dengan benar dan aman, sehingga dapat terjadi kesalahan perhitungan dan juga kecelakaan kerja.
4.3.3. Karakteristik Kecelakaan Kerja Konstruksi Berdasarkan Status Pernikahan Tabel 4.11. Kecelakaan Kerja Berdasar Status Pernikahan
Status Pernikahan Jumlah Persentase (%)
Lajang 42 36
Menikah 67 57
Cerai 8 7
Total 117 100
Terdapat 3 kategori status pernikahan yakni lajang, menikah dan cerai.
Status pernikahan menikah merupakan status pernikahan mayoritas responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja yakni dengan persentase sebesar 57%.
Responden dengan status pernikahan lajang memiliki persentase sebesar 36% dari seluruh responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja. Terdapat sebesar 7%
dari banyaknya responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja dengan status pernikahan cerai.
Hasil analisis pada data diatas menyimpulkan bahwa pekerja dengan status menikah lebih banyak mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan pekerja dengan status lajang ataupun cerai. Hal ini disebabkan karena pernikahan memberikan dampak seseorang untuk berfikir lebih banyak dan tidak lagi berfikir untuk dirinya sendiri saja melainkan berfikir mengenai pasangan, anak, kehidupan rumah tangga, masalah ekonomi, biaya sekolah, biaya makan, dan masalah kehidupan yang kompleks.
Akibat beban pikiran yang banyak dan tanggung jawab yang besar, membuat seseorang tidak fokus dan terpecah perhatiannya. Sehingga banyak kasus kecelakaan yang melibatkan para pekerja yang berstatus telah menikah dibandingkan dengan pekerja dengan status masih lajang, karena beban pikiran dan tanggung jawab mereka tidak begitu berat seperti beban pikiran yang dialami oleh seseorang yang telah menikah.
4.3.4. Karakteristik Kecelakaan Kerja Konstruksi Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tabel 4.12. Kecelakaan Kerja Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
Pembesian 31 21
Pengecoran 34 23
Pengelasan 22 15
Pekerjaan Dinding 21 14
Pekerjaan Kayu 27 18
Lain-lain 14 9
Pada penelitian ini terdapat 6 jenis pekerjaan yang diteliti yakni pembesian, pengecoran, pengelasan, pekerjaan dinding, pekerjaan kayu dan lain- lain. Terdapat beberapa responden yang melakukan lebih dari 1 jenis pekerjaan.
Dari Tabel 4.12 di atas dapat dilihat bahwa jenis pekerjaan pengecoran merupakan jenis pekerjaan dengan persentase tertinggi untuk responden yang pernah mengalami kecelekaan kerja yakni sebesar 23%. Selanjutnya adalah pekerjaan pembesian dengan persentase sebesar 21%. Jenis pekerjaan kayu atau bekisting memiliki persentase 18%. Jenis pekerjaan pengelasan dan pekerjaan dinding memiliki persentase yang hampir sama yakni berturut-turut 15% dan 14%. Jenis pekerjaan lain-lain adalah jenis pekerjaan yang memiliki persentase terkecil yakni 9% dari seluruh responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja.
Analisis data dari hasil pengalaman kerja terhadap jenis pekerjaan konstruksi adalah adalah, pekerja dengan tugas pekerjaan pada bidang struktur lebih cenderung mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan pekerjaan dinding ataupun lain-lain seperti pengecatan, pemasangan keramik dll (finishing).
Hal ini dikarenakan pekerjaan struktur memiliki resiko bahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan finishing. Pada umumnya pekerjaan konstruksi khususnya pekerjaan struktur dilakukan pada ketinggian, ruangan terbuka dan terpapar langsung dengan udara luar sehingga perubahan cuaca secara otomatis akan merubah kondisi lingkungan kerja (Hinze,1997). Pekerjaan struktur memiliki resiko distraksi atau pengalihan sangat banyak dibandingkan dengan pekerjaan
4.3.5. Karakteristik Kecelakaan Kerja Konstruksi Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Tabel 4.13. Kecelakaan Kerja Berdasar Pendidikan Terakhir Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase (%)
SD 38 32
SMP 49 42
SMA 27 23
Lain-lain 3 3
Total 117 100
Dari Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja memiliki pendidikan terakhir SMP dengan persentase sebesar 42%. Pendidikan dengan persentase tertinggi kedua untuk responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja adalah SD yakni dengan persentase 32%. Pendidikan dengan persentase tertinggi ketiga untuk responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja adalah SMA yakni dengan persentase 23%. Terdapat juga responden dengan pendidikan terakhir lain-lain yakni dengan persentase sebesar 3% dari 117 responden penelitian yang pernah mengalami kecelakaan kerja. Pendidikan lain-lain yang dimaksud adalah para responden yang tidak bersekolah ataupun yang tidak lulus sekolah.
Hasil analisis data kecelakaan berdasarkan pendidikan terakhir adalah, bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan seseorang mempengaruhi cara berpikir dalam menghadapi pekerjaan, demikian juga dalam menerima pelatihan kerja baik praktek maupun teori, termasuk diantaranya cara pencegahan ataupun cara menghindari terjadinya kecelakaan kerja.
Jenjang pendidikan juga dapat mempengaruhi sudut pandang orang dalam berfikir dan menerima berbagai hal baru yang harus dipelajari. Apabila pekerja memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka banyak hal-hal yang terjadi seperti bekerja diluar kendali dan acuh tak acuh terhadap pelatihan maupun peraturan yang ada, karena mereka tidak terbiasa dan tidak terlatih dalam hal tersebut. Pola pikir pekerja dengan pendidikan rendah mayoritas cenderung tidak logis, karena mereka tidak terbiasa memahami sesuatu dengan cara menganalisis.
4.3.6. Karakteristik Kecelakaan Kerja Konstruksi Berdasarkan Jenis Kecelakaan Tabel 4.14. Kecelakaan Kerja Berdasar Jenis Kecelakaan Kerja
Jenis Kecelakaan Kerja Jumlah Persentase (%) Terpotong, tertusuk, tertimpa, tertabrak, terkena lemparan 56 29
Menabrak benda tajam, menabrak mesin 3 2
Terjebak, Tersangkut, Terjepit 5 3
Jatuh dari tangga, Jatuh dari Scafolding, Jatuh dari lantai atas 52 27
Tergelincir, Terpeleset, Meluncur, Tersandung 24 13
Keseleo, Terpelintir akibat menarik / memikul benda 24 13
Tersetrum/tersengat listrik 17 9
Terbakar, terkena percikan api 11 6
Tabel 4.14 menunjukkan distribusi jenis kecelakaan kerja yang pernah dialami responden. Dari seluruh responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja, terdapat beberapa responden yang pernah mengalami lebih dari satu jenis kecelakaan kerja. Jenis kecelakaan kerja yang paling sering terjadi adalah terpotong, tertusuk, tertimpa, tertabrak, dan terkena lemparan dengan persentase kejadian sebesar 29%. Jenis kecelakaan kerja dengan persentase tertinggi kedua yakni jatuh dari tangga, jatuh dari scaffolding dan jatuh dari lantai atas dengan persentase 27%. Selanjutnya, jenis kecelakaan yang sering terjadi adalah tergelincir, terpeleset, meluncur, tersandung dan keseleo, terpelintir akibat menarik/memikul beban masing-masing dengan persentase 12%. Selanjutnya adalah jenis kejadian kerja tersetrum/tersengat listik dengan persentase 9%, terbakar/terkena percikan api dengan persentase 6%, terjebak, tersangkut, terjepit dengan persentase 3% dan 2% kecelakaan untuk jenis kecelakaan kerja menbarka benda tajam/menabrak mesin.
Hasil analisis data kecelakaan kerja berdasarkan jenis kecelakaan tertinggi adalah Terpotong, tertusuk, tertimpa, tertabrak, terkena lemparan. Hal ini disebabkan karena kecelakaan kerja dapat disusun menurut kelompok pengolahan bahan, mesin penggerak dan keterlibatan anggota tubuh dalam melakukan pekerjaan. Semua kecelakaan yang terjadi pada pekerja tidak jauh dari bagaimana pekerja itu melakukan pekerjaannya, seperti bagaimana metode dan lingkungan kerjanya. Pada pekerjaan konstruksi di sebuah proyek, semua proses pekerjaan
mayoritas dilakukan manual dengan tangan dan bantuan dengan alat ataupun mesin, sehingga sudah pasti human error terjadi selama proses pekerjaan berlangsung.
Dalam proyek konstruksi, pemotongan besi biasa dilakukan pada tempat fabrikasi dan dengan menggunakan mesin pemotong, selain itu banyak pekerja yang bertindak gegabah mengingat tingkat pendidikan cenderung rendah sehingga banyak pekerjaan yang dilakukan diluar ketentuan yang seharusnya. Dari berbagai ulasan tersebut, maka jenis kecelakaan yang terjadi dapat dikaitkan dari sisi kondisi dan hubungan langsung pekerja dengan sumber bahayanya.
4.4. Hasil Uji Validitas
Korelasi Pearson Product Moment digunakan untuk mengukur validitas pada hasil jawaban kuesioner yang menunjukkan kedalaman pengukuran suatu alat ukur dengan uji korelasi. Jika korelasi Pearson Product Moment antara masing-masing pernyataan dengan skor total menghasilkan nilai signifikan < 0,05 (α = 5%), maka item pernyataaan dinyatakan valid. Tabel 4.15 sampai Tabel 4.16 adalah hasil dari uji validitas melalui Software SPSS.
Tabel 4.15. Uji Validitas Variabel Unsafe Action
Koefisien Korelasi Pearson
1 Bertindak gegabah, ceroboh, mudah gugup dan tidak hati-hati dalam bekerja 0,847 0,002 Valid 2 Memakai alat keselamatan kerja tanpa mengikuti ketentuan (tidak lengkap) 0,744 0,014 Valid 3 Melepas alat keselamatan kerja / tidak memakai alat keselamatan sama sekali 0,915 0,000 Valid
4 Tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja 0,800 0,005 Valid
5 Bercanda dengan pekerja lain saat sedang bekerja 0,805 0,005 Valid
6 Bekerja dengan menggunakan peralatan yang rusak 0,899 0,000 Valid
7 Percaya diri pada saat bekerja 0,894 0,000 Valid
8 Suka tantangan dan tidak takut akan bahaya 0,879 0,001 Valid
9 Susah menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru 0,819 0,004 Valid
10 Meletakkan peralatan kerja di sembarangan tempat 0,742 0,014 Valid
11 Bekerja sembrono karena tidak diawasi oleh pihak proyek 0,705 0,023 Valid
12 Berada dilokasi yang dilarang (lokasi bahaya) 0,710 0,021 Valid
13 Tertekan untuk segera menyelesaikan pekerjaan 0,842 0,002 Valid
14 Melakukan pekerjan dengan cara yang berbahaya demi terselesaikan-nya tugas 0,931 0,000 Valid
15 Mengangkat beban dengan posisi tubuh yang tidak tepat 0,832 0,003 Valid
16 Melakukan pekerjaan diluar kemampuan, keahlian dan pengalaman 0,772 0,009 Valid 17 Bingung mengenai pekerjaan yang ditugaskan karena susah memahami cara kerja 0,752 0,012 Valid 18 Tertimpa bahaya saat melakukan pekerjaan diluar ketentuan dan aturan 0,817 0,004 Valid 19 Stress karena masalah pribadi (kesehatan, keluarga, keuangan, kematian, pertikaian) 0,913 0,000 Valid
20 Bekerja dengan kondisi lelah 0,839 0,002 Valid
21 Bekerja dengan perasaan khawatir 0,751 0,012 Valid
22 Waktu tidur kurang 0,779 0,008 Valid
23 Merokok di lingkungan proyek 0,821 0,004 Valid
24 Peminum alkohol / minuman keras 0,864 0,001 Valid
25 Bekerja dibawah pengaruh obat-obatan 0,897 0,000 Valid
NO. Item Pertanyaan Indikator Unsafe Act Sig. Keterangan
Koefisien Korelasi Pearson
1 Menjalankan mesin / menggunakan alat tidak sesuai prosedur karena instruksi kurang jelas 0,922 0,000 Valid 2 Gagal untuk melaksanakan prosedur kerja karena tidak ada instruksi dari proyek 0,942 0,000 Valid 3 Peralatan dan perkakas kerja dalam keadaan rusak / tidak layak pakai 0,911 0,000 Valid
4 Alat keselamatan kerja dalam keadaan rusak / tidak layak pakai 0,861 0,001 Valid
5 Alat keselamatan kerja tidak disediakan oleh proyek 0,901 0,000 Valid
6 Proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja 0,802 0,005 Valid
7 Pelatihan dan peraturan keselamatan kerja susah dimengerti 0,712 0,021 Valid
8 Proyek tidak mengharuskan dan mewajibkan anda untuk memakai alat keselamatan 0,836 0,003 Valid
9 Hubungan komunikasi dengan manajemen proyek tidak baik 0,809 0,005 Valid
10 Adanya peraturan kerja / larangan-larangan yang tidak jelas 0,960 0,000 Valid
11 Manajemen proyek tidak memberikan instruksi mengenai pemakaian alat keselamatan 0,895 0,000 Valid
12 Kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai keselamatan kerja 0,673 0,033 Valid
13 Penempatan kerja tidak sesuai dengan keahlian / pengalaman selama bekerja di proyek 0,931 0,000 Valid
14 Keadaan lingkungan kerja terlalu berisik / bising 0,901 0,000 Valid
15 Perkakas peralatan kerja tergeletak sembarangan 0,895 0,000 Valid
16 Penempatan mesin (molen, las, pemotong) ditempatkan pada posisi yang berbahaya 0,902 0,000 Valid 17 Pencahayaan di lingkungan proyek tidak nyaman (redup, terlalu silau, gelap) 0,880 0,001 Valid
18 Temperatur / suhu udara dilapangan terlalu panas 0,923 0,000 Valid
19 Peralatan listrik, material bangunan, scafolding dalam keadaan rusak 0,958 0,000 Valid
20 Tidak ada peringatan maupun tanda bahaya di lingkungan proyek 0,669 0,035 Valid
21 Pekerjaan tetap dilakukan apabila kondisi lapangan tidak mendukung (hujan, angin kencang) 0,957 0,000 Valid
22 Pengawas proyek tidak mengawasi dan mengkontrol kerja anda 0,882 0,001 Valid
23 Kondisi bahaya terkait dengan model bangunan tidak dijelaskan oleh manajemen proyek 0,677 0,031 Valid 24 Bonus tidak diberikan saat dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan sangat baik 0,677 0,031 Valid
25 Merasa tertekan karena terlalu banyak tuntutan dari atasan 0,892 0,001 Valid
NO. Item Pertanyaan Indikator Unsafe Condition Sig. Keterangan
Berdasarkan Tabel 4.15, Variabel Unsafe Action memiliki 25 pertanyaan yang dibuat oleh peneliti dengan nomor pertanyaan 1 sampai 25. Terlihat bahwa nilai signifikansi (Sig.) dari 25 pertanyaan tersebut lebih kecil dari 0,05 (α = 5%), sehingga dapat disimpulkan bahwa semua item pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel Unsafe Action adalah valid.
Tabel 4.16. Uji Validitas Variabel Unsafe Condition
Berdasarkan Tabel 4.16, Variabel Unsafe Condition memiliki 25 pertanyaan yang dibuat oleh peneliti dengan nomor pertanyaan 1 sampai dengan 25. Terlihat bahwa nilai signifikansi (Sig.) dari 25 pertanyaan tersebut lebih dari 0,05 (α=5%) sehingga dapat disimpulkan bahwa semua item pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel Unsafe Condition adalah valid.
4.5. Hasil Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas adalah sebagai alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari suatu variabel. Kuesioner dikatakan reliable jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2011:47). Pada penelitian ini, pengujian reliabilitas menggunakan kriteria Cronbach Alpha (α) akan terbukti reliable apabila nilai Cronbach Alpha (α) > 0,6.
Tabel 4.17. Uji Reliabilitas Unsafe Act dan Unsafe Condition Variabel Cronbach Alpha
Unsafe Action 0.979 Unsafe Condition 0.984
Dapat dilihat dalam Tabel 4.17 bahwa variabel yang ada dalam penelitian ini yaitu Variabel Unsafe Action dan Unsafe Condition, semuanya memiliki nilai Cronbach Alpha lebih dari 0,6. Nilai Cronbach Alpha Variabel Unsafe Action adalah 0,979 dan nilai Cronbach Alpha Variabel Unsafe Condition adalah 0,984.
Karena kedua variabel memiliki nilai Cronbach Alpha lebih dari 0,6 maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel penelitian adalah reliable.
4.6. Analisis Regresi Logistik Biner
Analisis regresi logistik digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel terikat atau dependent (Y) berupa data nominal dengan variabel bebas atau independent (X) berupa data berskala interval (Hosmer dan Lemeshow, 1989).
Hasil uji model menunjukkan bahwa benar adanya Unsafe act (X1) dan Unsafe condition (X2) merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian kecelakaan kerja pada pekerja konstruksi. Oleh karena itu, dapat dilakukan pemodelan regresi logistik biner pada seluruh responden penelitian. Analisis regresi logistik dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel kecelakaan kerja konstruksi sebagai Y dengan Tindakan Tidak Aman (Unsafe Act) sebagai X1
dan Kondisi Tidak Aman (Unsafe Condition) sebagai X2. Variabel terikat atau dependent berupa data nominal yang hanya mempunyai dua kategori saja, yaitu kategori yang menyatakan mengalami kecelakaan (Y=1) dan tidak mengalami kecelakaan (Y=0), sedangkan variabel bebas atau independent berupa data berskala interval atau kategori, dengan gradasi nilai dari sangat positif sampai sangat negatif. Output yang dihasilkan adalah sebagai berikut.
4.6.1. Omnibus Tests of Model Coefficients
Tabel 4.18. Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig.
Model 23.734 2 0.000
Omnibus test merupakan pengujian dalam regresi logistik biner yang bertujuan untuk menguji apakah penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model atau tidak. Dengan kata lain, pegujian ini digunakan untuk menguji apakah model dapat dinyatakan fit atau tidak. Berdasarkan Tabel 4.18 di atas dapat diketahui bahwa nilai Sig. yang dihasilkan adalah sebesar 0,000. Nilai ini lebih kecil dari taraf signifikansi α=0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan variabel independen, dalam hal ini Tindakan Tidak Aman (Unsafe Act) sebagai X1 dan Kondisi Tidak Aman (Unsafe Condition) sebagai X2 dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model atau model dinyatakan fit. Dengan kata lain variabel tindakan tidak aman (Unsafe Act) dan kondisi tidak aman (Unsafe Condition) dalam penelitian ini benar memberikan pengaruh terhadap kejadian kecelakaan kerja konstruksi.
4.6.2. Uji Wald
Uji Wald dilakukan untuk mengetahui besar pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dan Uji Wald dalam penelitian ini juga menghasilkan sebuah model persamaan yang digunakan dalam memprediksi kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh faktor tindakan tidak aman (Unsafe Act) dan faktor kondisi tidak aman (Unsafe Condition). Besarnya pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat dilihat dari nilai exp(B) yang dihasilkan. Berikut adalah output yang dihasilkan:
Tabel 4.19. Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
X1 0.160 0.029 3.861 1 0.000 1.174
X2 0.109 0.015 2.977 1 0.000 1.115
Constant -12.145 9.793 18.217 1 0.000 0.000
Berdasarkan Tabel 4.19 di atas dapat diketahui bahwa semua variabel independen memiliki nilai sig. lebih kecil dari taraf signifikansi α=0,05. Nilai sig.
yang dihasilkan untuk variabel Tindakan Tidak Aman (Unsafe Act) sebagai X1
adalah sebesar 0,000dan nilai sig. yang dihasilkan untuk variabel Kondisi Tidak Aman (Unsafe Condition) sebagai X2 adalah sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kejadian kecelakaan kerja pekerja konstruksi.
Besarnya pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat dilihat dari nilai exp(B) yang dihasilkan. Nilai exp(B) untuk variabel Tindakan Tidak Aman (X1) adalah sebesar 1,174, artinya orang yang sering melakukan tindakan tidak aman memiliki resiko 1,174 kali lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan orang yang jarang melakukan tindakan tidak aman. Nilai B yang dihasilkan untuk variabel ini adalah 0,160. Karena nilai B yang dihasilkan positif maka dapat diketahui bahwa pengaruh tindakan tidak aman terhadap kejadian kecelakaan kerja adalah positif, artinya semakin tinggi tindakan tidak aman yang dilakukan pekerja maka semakin tinggi pula kejadian kecelakaan pekerja.
Selanjutnya, Nilai exp(B) untuk variabel Kondisi Tidak Aman (X2)adalah sebesar 1,115, artinya orang dengan kondisi tidak aman tinggi memiliki resiko 1,115 kali lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan orang dengan kondisi tidak aman rendah. Nilai B yang dihasilkan positif maka dapat diketahui bahwa pengaruh kondisi tidak aman terhadap kejadian kecelakaan kerja adalah positif, artinya semakin tinggi kondisi tidak aman pekerja maka semakin tinggi pula kejadian kecelakaan kerja.
Faktor yang dominan mempengaruhi kejadian kecelakaan kerja pekerja konstruksi adalah Unsafe Act (X1) karena nilai resiko yang diberikan lebih besar dibandingkan dengan faktor Unsafe Condition (X2). Hal tersebut dapat dilihat dari nilai exp(B). Model regresi logistik yang dihasilkan dari tabel uji wald adalah:
Y =
4.6.3. Nagelkerke R Square
Untuk mengetahui seberapa besar kemampuan 2 (dua) variabel independen (X1 dan X2) tersebut dalam menjelaskan variabel dependen (Y) maka dapat dilihat nilai Nagelkerke R Square pada table 4.20 berikut:
Tabel 4.20. Model Summary Unsafe Act and Unsafe Condition Step -2 Log likelihood Nagelkerke R Square
1 28.717a 0.637
Nilai Nagelkerke R Square menunjukkan seberapa besar kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Berdasarkan Tabel 4.20 di atas dapat diketahui bahwa nilai Nagelkerke R Square yang dihasilkan untuk variabel Unsafe act (X1) dan Unsafe condition (X2) adalah sebesar 0,637 yang berarti bahwa variabel Unsafe Act (X1) dan Unsafe Condition (X2) dapat menjelaskan kejadian kecelakaan kerja konstruksi sebesar 63,7%.
4.7. Uji Ketepatan Model
Uji ketepatan model pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah benar bahwa persamaan model yang didapat telah tepat memprediksi kecelakaan kerja dalam penelitian ini. Untuk mengetahui hal tersebut maka dilakukan uji ketepatan model dengan mengambil 10 sampel secara random.
Selanjutnya model regresi logistik biner yang telah didapatkan di atas diujikan kepada 10 sampel responden dan dilakukan prediksi kejadian kecelakaan kerja dengan memasukkan nilai variabel independen yang telah diketahui kedalam model.
Nilai dari variabel Unsafe Act (X1) dan Unsafe Condition (X2) merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian kecelakaan kerja (Y), dimana apabila kategori Y dibawah 0,5 diprediksi tidak terjadi kecelakaan kerja pada responden dan kategori Y diatas 0,5 diprediksi terjadi kecelakaan kerja pada responden.
Hasil prediksi kejadian kecelakaan kerja pada 10 responden sampel digambarkan dengan tabel ketepatan klasifikasi sebagai berikut:
Tabel 4.21. Ketepatan Klasifikasi
Observed
Predicted
Kejadian_Kecelakaan Percentage Correct Tidak
Kecelakaan Kecelakaan Kejadian_Kecelakaan
Tidak
Kecelakaan 2 2 50
Kecelakaan 0 6 100
Overall Percentage 75
Berdasarkan Tabel 4.21 di atas dapat diketahui bahwa dari 4 responden yang tidak mengalami kecelakaan kerja dan terprediksi benar tidak mengalami kecelakaan kerja adalah sebanyak 2 orang atau sebesar 50% sedangkan 2 responden lainnya terprediksi mengalami kecelakaan kerja. Sementara dari 6 responden yang mengalami kecelakaan kerja, semua responden tersebut benar 100% mengalami kecelakaan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa dari 10 responden yang dipilih secara random, terdapat 8 responden dengan nilai prediksi kejadian kecelakaan kerjanya sesuai dengan kejadian kecelakaan kerja observasi, dengan kata lain ketepatan klasifikasi yang dihasilkan adalah 75%.
Artinya, model regresi logistik yang digunakan mampu menebak dengan benar 75% kondisi yang terjadi, kondisi yang dimaksud dalam hal ini adalah kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh faktor Unsafe Act dan faktor Unsafe Condition. Hasil ini membuktikan bahwa, benar adanya bahwa Unsafe Act dan Unsafe Condition merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian kecelakaan kerja pada pekerja konstruksi.
4.8. Uji Mean Indikator Tindakan Tidak Aman dan Kondisi Tidak Aman Uji Mean dilakukan pada data kuesioner pada bagian C dan D yang memuat mengenai indikator Tindakan Tidak Aman (X1) dan Kondisi Tidak Aman (X2).
Indikator memiliki nilai berupa skala frekuensi dari satu (1) sampai empat (4) dengan range kategori pada Tabel 4.22.
Tabel 4.22. Range Kategori Dalam Penilaian Mean Range Kategori
0-1 Tidak Pernah 1-2 Jarang 2-3 Sering 3-4 Selalu
Tujuan dari perhitungan ini untuk mencari nilai Mean pada tiap indikator yang diperoleh dari nilai rata-rata tiap responden untuk masing-masing indikator.
Hasil perhitungan Mean ini digunakan dalam mencari gambaran umum untuk menunjukkan nilai frekuensi dari tiap indikator Tindakan Tidak Aman (X1) dan Kondisi Tidak Aman (X2). Dari hasil tersebut, dapat diketahui frekuensi pekerja yang melakukan tindakan tidak aman dan frekuensi kondisi tidak aman yang terjadi pada proyek konstruksi. Sehingga, para kontraktor maupun manajemen mengerti tindakan tidak aman mana saja yang sering dilakukan oleh pekerja, sehingga dapat dilakukan pengawasan yang lebih.
Sedangkan tujuan perhitungan Mean untuk kondisi tidak aman adalah, kontraktor maupun manajemen mengetahui kondisi tidak aman apa saja yang sering terjadi di proyek, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan evaluasi. Hasil perhitungan nilai Mean (Lampiran 4) dari semua indikator untuk tiap variabel menunjukkan nilai frekuensi yang fluktuatif.
Hasil perhitungan dilakukan secara keseluruhan pada semua pekerja yang mengalami ataupun tidak mengalami kecelakaan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan Mean pada pekerja yang mengalami kecelakaan dan yang tidak mengalami kecelakaan. Hasil analisis Mean akan disertakan grafik berupa diagram batang, hal ini bertujuan agar nilai frekuensi tertinggi dan terendah pada indikator dalam variabel Tindakan Tidak Aman (X1) dan Kondisi Tidak Aman (X2) dapat terlihat jelas.
4.8.1. Mean Nilai Frekuensi Pada Indikator Tindakan Tidak Aman (X1) Tabel 4.23. Mean Indikator Tindakan Tidak Aman
Semua Responden Responden Responden Kecelakaan Tidak Kecelakaan 1 Bertindak gegabah, ceroboh, mudah gugup dan tidak hati-hati dalam bekerja 2.03 2.10 1.93 2 Tidak lengkap memakai alat keselamatan kerja (tidak mengikuti ketentuan) 3.14 3.18 3.08 3 Melepas alat keselamatan kerja / tidak memakai alat keselamatan sama sekali 2.32 2.45 2.13
4 Tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja 2.94 3.01 2.85
5 Bercanda dengan pekerja lain saat sedang bekerja 2.62 2.58 2.68
6 Tetap bekerja walaupun dengan menggunakan peralatan yang rusak 2.14 2.20 2.05
7 Tidak menghiraukan bahaya pada lingkungan kerja karena percaya diri sehingga bahaya diabaikan 2.05 2.13 1.93 8 Melakukan tindakan berbahaya di lingkungan kerja dan tidak takut akan bahaya 2.10 2.18 1.99 9 Bekerja tidak totalitas karena susah menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru 2.19 2.26 2.09
10 Meletakkan peralatan kerja di sembarangan tempat 2.06 2.09 2.00
11 Bekerja sembrono karena tidak diawasi oleh pihak proyek 2.32 2.28 2.38
12 Berada dilokasi yang telah dilarang (lokasi bahaya) 2.20 2.15 2.28
13 Bekerja tidak sesuai prosedur karena tertekan untuk segera menyelesaikan pekerjaan 2.84 2.94 2.70 14 Melakukan pekerjaan dengan cara yang berbahaya demi terselesaikan-nya tugas 2.53 2.52 2.55
15 Mengangkat beban dengan posisi tubuh yang tidak tepat 1.82 1.88 1.73
16 Melakukan pekerjaan diluar kemampuan, keahlian dan pengalaman 2.18 2.22 2.11
17 Bekerja dengan cara yang salah karena susah memahami mengenai cara kerja yang ditugaskan 2.15 2.13 2.19 18 Melakukan pekerjaan diluar ketentuan dan aturan sehingga tertimpa bahaya 2.29 2.27 2.33 19 Membawa masalah pribadi pada saat bekerja, sehingga bekerja dalam keadaaan stress/tertekan 2.81 2.80 2.81
20 Bekerja dengan kondisi lelah 2.52 2.50 2.55
21 Bekerja dengan perasaan khawatir 2.06 2.03 2.10
22 Waktu tidur kurang 2.81 2.70 2.96
23 Merokok di lingkungan proyek 2.58 2.83 2.23
24 Peminum alkohol / minuman keras 1.59 1.62 1.56
25 Bekerja dibawah pengaruh obat-obatan 1.37 1.39 1.34
2.31 2.34 2.26
Mean NO. INDIKATOR TINDAKAN TIDAK AMAN (Unsafe Act)
Gambar 4.8. Diagram Nilai Indikator Tindakan Tidak Aman
Dari hasil perhitungan nilai Mean (Tabel 4.23), semua indikator tindakan tidak aman menunjukkan nilai yang lebih besar dari 1 (Tidak Pernah) yang artinya pekerja tidak pernah tidak melakukan tindakan tidak aman. Total semua Mean dari tindakan tidak aman bernilai diatas 2 (dua). Artinya, tindakan tidak aman sering dilakukan oleh semua pekerja, baik yang pernah maupun tidak pernah mengalami kecelakaan.
a) Mean Tindakan Tidak Aman Pada Semua Responden
Mean tertinggi pada semua responden terdapat pada indikator nomor 2 yaitu memakai alat keselamatan kerja tanpa mengikuti ketentuan (tidak lengkap) dengan Mean sebesar 3.15, yang artinya rata-rata para pekerja selalu memakai alat keselamatan kerja tanpa mengikuti ketentuan (tidak lengkap).
Dari hal ini, dapat kita analisis bahwa rata-rata para pekerja selalu tidak memakai alat keselamatan dengan lengkap, sedangkan alat keselamatan adalah merupakan program suatu proyek dalam menjaga keamanan dan keselamatan pekerja selama proyek berlangsung.
Kemudian Mean tertinggi ke-dua terdapat pada indikator nomor 4 yaitu tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja dengan Mean sebesar 2.96, yang artinya para pekerja sering tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja.
Analisis dari hasil ini adalah, para pekerja pada proyek konstruksi memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka cenderung tidak faham dan merasa bahwa hal itu tidak penting untuk mereka. Para pekerja hanya mengandalkan berbagai pengalaman dan mengandalkan diri sendiri untuk menghindari bahaya tanpa harus mengikuti kegiatan pelatihan yang mungkin dirasa tidak membantu dan tidak berdampak besar bagi keselamatan mereka.
Mean tertinggi selanjutnya terdapat pada indikator nomor 22, 13 dan 19 dengan masing – masing Mean yang hampir sama yaitu 2.92, 2.91, dan 2.90, artinya pekerja sering mengalami waktu tidur kurang, tertekan untuk segera menyelesaikan pekerjaan dan stress karena masalah pribadi (kesehatan, keluarga, keuangan, kematian, pertikaian). Hal ini sangat menuju kearah psikologis seseorang dan dapat mempengaruhi pikiran maupun perilaku seseorang dalam berfikir dan bertindak. Pekerjaan konstruksi sudah terbukti memiliki resiko yang tinggi dalam hal kecelakaan kerja, apabila pekerja konstruksi bekerja dengan psikologis yang tidak baik, maka peluang untuk terjadi kecelakaan semakin besar.
b) Mean Tindakan Tidak Aman Pada Responden Yang Kecelakaan
Mean tertinggi pada responden yang mengalami kecelakaan terdapat pada indikator nomor 2 yaitu memakai alat keselamatan kerja tanpa mengikuti ketentuan (tidak lengkap) dengan Mean sebesar 3.18, yang artinya rata-rata para
pekerja selalu memakai alat keselamatan kerja tanpa mengikuti ketentuan (tidak lengkap).
Hasil pada responden yang mengalami kecelakaan sama dengan keseluruhan responden, sehingga dapat diartikan bahwa para pekerja proyek yang mengalami kecelakaan tidak mendukung dengan baik program keselamatan yang diterapkan pada proyek konstruksi.
Kemudian Mean tertinggi ke-dua terdapat pada indikator nomor 4 yaitu tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja dengan Mean sebesar 3.01, yang artinya para pekerja selalu tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja.
Hasil pada responden yang mengalami kecelakaan sama dengan keseluruhan responden, maka dengan selalu tidak mengikuti pelatihan maka pekerja mayoritas tidak mau menaati prosedur dan keselamatan proyek.
Mean tertinggi selanjutnya terdapat pada indikator 13 dengan Mean sebesar 2.94, artinya pekerja sering tertekan untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Pekerjaan konstruksi merupakan pekerjaan dengan beban kerja yang berat, sehingga pekerja akan ingin segera pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat. Dari hal ini, maka banyak pekerja yang melakukan alternatif cepat dalam menyelesaikan tugasnya, contohnya seperti melakukan cara kerja yang tidak sesuai dengan keamanan kerja.
c) Mean Tindakan Tidak Aman Pada Responden Yang Tidak Kecelakaan
Mean tertinggi pada responden yang tidak mengalami kecelakaan terdapat pada indikator nomor 2 yaitu memakai alat keselamatan kerja tanpa mengikuti ketentuan (tidak lengkap) dengan Mean sebesar 3.08, yang artinya rata-rata para pekerja selalu memakai alat keselamatan kerja tanpa mengikuti ketentuan (tidak lengkap). Dapat dilihat pada hasil sebelumnya, responden yang tidak kecelakaan juga melakukan hal yang sama dalam hal ini, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak memakai alat keselamatan dengan lengkap merupakan budaya pada pekerja di proyek konstruksi.
Kemudian Mean tertinggi selanjutnya terdapat pada indikator nomor 22 yaitu pekerja sering mengalami waktu tidur kurang dengan Mean sebesar 2.96.
Hal ini dapat dijelaskan karena pekerja konstruksi merupakan pekerja dengan jam
kerja yang tidak 8 jam kerja, dalam artian pekerja konstruksi sering menjalani jam lembur. Sedangkan pekerjaan yang dilakukan pada proyek sangat berat dan berhubungan langsung dengan kondisi terbuka, sehingga kondisi tubuh akan terasa diforsir dengan adanya pekerjaan yang berat tertambah dengan jam kerja yang mayoritas dilakukan lembur. Maka apabila pekerja memiliki jam tidur yang kurang, maka hal ini dapat mempengaruhi performa dan kondisi mereka dalam bekerja.
Mean tertinggi selanjutnya terdapat pada indikator nomor 4 yaitu tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja dengan Mean sebesar 2.85, yang artinya para pekerja sering tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja. Analisis dari hal ini adalah, semua responden dalam hal ini pekerja yang mengalami ataupun tidak mengalami kecelakaan, tidak mengikuti pelatihan keselamatan kerja. Hanya saja nilai Mean yang dihasilkan dari responden yang tidak mengalami kecelakaan lebih rendah dibandingkan dengan Mean responden yang mengalami kecelakan.
4.8.2. Mean Nilai Frekuensi Pada Indikator Kondisi Tidak Aman (X2) Tabel 4.24. Mean Indikator Kondisi Tidak Aman
Semua Responden Responden Responden Kecelakaan Tidak Kecelakaan
1 Tidak ada instruksi mengenai pengoperasian alat/mesin 1.96 1.97 1.95
2 Tidak ada instruksi mengenai prosedur kerja 1.86 1.62 2.20
3 Peralatan dan perkakas kerja dalam keadaan rusak / tidak layak pakai 2.11 2.13 2.08
4 Alat keselamatan kerja dalam keadaan rusak / tidak layak pakai 1.98 1.91 2.10
5 Alat keselamatan kerja tidak disediakan oleh proyek 2.43 2.44 2.41
6 Proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja 2.80 2.80 2.79
7 Pelatihan dan peraturan keselamatan kerja susah dimengerti 2.53 2.49 2.59
8 Proyek tidak mengharuskan dan mewajibkan anda untuk memakai alat keselamatan 2.62 2.60 2.66
9 Hubungan komunikasi dengan manajemen proyek tidak baik 1.84 1.80 1.89
10 Adanya peraturan kerja dan larangan-larangan yang tidak jelas 1.98 1.97 2.00
11 Proyek tidak memberikan instruksi mengenai pemakaian alat keselamatan 2.53 2.49 2.59 12 Proyek kurang mengetahui pengetahuan dan informasi mengenai keselamatan kerja 2.55 2.50 2.64 13 Penempatan kerja tidak sesuai dengan keahlian / pengalaman selama bekerja di proyek 2.15 2.18 2.11
14 Keadaan lingkungan kerja terlalu berisik / bising 2.48 2.50 2.45
15 Perkakas peralatan kerja tergeletak sembarangan 2.14 2.15 2.13
16 Penempatan mesin (molen, las, pemotong) diletakkan pada posisi yang berbahaya 1.89 1.91 1.88 17 Pencahayaan di lingkungan proyek tidak nyaman (redup, terlalu silau, gelap) 2.32 2.23 2.46
18 Temperatur / suhu udara dilapangan terlalu panas 2.43 2.44 2.40
19 Peralatan listrik, material bangunan, scafolding dalam keadaan rusak 1.77 1.79 1.73
20 Tidak ada peringatan / tanda bahaya di lingkungan proyek 2.07 2.01 2.16
21 Pekerjaan tetap dilakukan apabila kondisi lapangan tidak mendukung (hujan, angin kencang) 2.31 2.23 2.43
22 Pengawas proyek tidak mengawasi dan mengkontrol kerja anda 2.48 2.40 2.59
23 Kondisi bahaya terkait dengan model bangunan tidak dijelaskan oleh manajemen proyek 2.41 2.44 2.35 24 Bonus tidak diberikan saat dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan sangat baik 3.12 3.15 3.08
25 Atasan terlalu banyak memberikan tuntutan pekerjaan 2.41 2.21 2.69
2.29 2.25 2.33
NO. INDIKATOR KONDISI TIDAK AMAN (Unsafe Condition)
Mean
Gambar 4.9. Diagram Nilai Indikator Kondisi Tidak Aman
Dari hasil perhitungan nilai Mean (Tabel 4.24), semua indikator pada kondisi tidak aman menunjukkan nilai yang lebih besar dari 1 (Tidak Pernah), yang artinya kondisi lingkungan proyek rata-rata tidak aman. Total semua Mean dari kondisi tidak aman bernilai diatas 2 (dua). Artinya, kondisi tidak aman sering terjadi pada lingkungan kerja.
a) Mean Kondisi Tidak Aman Pada Semua Responden
Mean tertinggi pada semua responden terdapat pada indikator nomor 25, yaitu rata-rata bonus selalu tidak diberikan saat dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan sangat baik dengan nilai Mean sebesar 3.12.
Hasil analisis mengenai hal ini adalah, bonus adalah tambahan upah yang biasa diberikan kepada pegawai tetap pada suatu perusahaan, sedangkan pekerja konstruksi merupakan pekerja lepas yang tidak menetap pada suatu proyek.
Dalam hal ini, tidak diberikannya bonus memberikan artian yang berbeda pada pekerja konstruksi. Mengingat jam kerja yang biasa lembur dan pekerjaan mereka yang berat, membuat mereka tidak ada motivasi untuk bekerja dengan optimal dengan tidak adanya bonus yang diberikan.
Kemudian Mean tertinggi ke-dua terdapat pada indikator nomor 6 yaitu proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja dengan Mean sebesar 2.80. Artinya proyek sering proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja untuk para pekerja. Analisis dalam hal ini
adalah, pelatihan keselamatan sangat penting dalam memberikan pengetahuan kepada pekerja tentang bahaya kecelakaan dan pentingnya keselamatan dalam sebuah proyek, sehingga pekerja tahu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peraturan maupun prosedur dalam prgram keselamatan yang ada pada suatu proyek.
Mean tertinggi selanjutnya terdapat pada indikator nomor 8 dengan Mean sebesar 2.62. Artinya, proyek sering tidak mengharuskan dan mewajibkan pekerja untuk memakai alat keselamatan. Analisis dalam hal ini adalah, penggunaan alat keselamatan adalah suatu yang harus pada setiap pekerja proyek yang terlibat.
Apabila proyek tidak mengharuskan para pekerja memakai alat keselamatan, maka keselamatan pekerja tidak terjamin.
b) Mean Kondisi Tidak Aman Pada Responden Yang Kecelakaan
Mean tertinggi pada semua responden terdapat pada indikator nomor 25, yaitu rata-rata bonus selalu tidak diberikan saat dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan sangat baik dengan nilai Mean sebesar 3.15.
Hasil analisis dalam hal ini adalah, tidak diberikannya bonus memberikan artian yang berbeda pada pekerja konstruksi. Dengan tidak diberikannyay bonus mana pekerja merasa tidak ada penghargaan lebih pada pekerjaan yang telah dilakukan, sehingga pekerja merasa bahwa hal ini tidak menunjang kepada dorongan untuk memberikan kinerja yang baik dan hasil yang optimal. Maka mayoritas pekerja hanya melaksanakan tugas sesuai yang diperintahkan tanpa mengindahkan aspek lain selain terselesaikannya tugas mereka.
Kemudian Mean tertinggi ke-dua terdapat pada indikator nomor 6 yaitu proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja dengan Mean sebesar 2.80. Artinya proyek sering proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja untuk para pekerja.
Hasil analisis pada hal ini adalah, apabila proyek sering tidak melakukan penyuluhan maupun pelatihan kepada pekerja, maka dampak yang terjadi adalah pekerja tidak mengerti bagaimana alat keselamatan dapat membantu keselamatan mereka, dan mereka juga tidak tahu bagaimana dampak yang dapat diakibatkan
pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Sehingga kecelakan yang terjadi diakibatkan karena ketidaktahuan pekerja mengenai upaya dalam menghindari bahaya.
Mean tertinggi selanjutnya terdapat pada indikator nomor 8 dengan Mean sebesar 2.60. Artinya, proyek sering tidak mengharuskan dan mewajibkan pekerja untuk memakai alat keselamatan.
Analisis pada hal ini adalah, apabila proyek sering tidak mengaruskan dan tidak mewajibkan penggunaan alat keselamatan, maka kecelakaan tidak akan terhindarkan, karena tidak ada sinergi yang baik antara proyek konstruksi dengan pekerja. Dengan adanya hal seperti ini, maka kecelakaan kerja terjadi akibat keamanan tidak diprioritaskan dan tidak dirasa penting.
c) Mean Kondisi Tidak Aman Pada Responden Yang Tidak Kecelakaan
Mean tertinggi pada semua responden terdapat pada indikator nomor 25, yaitu rata-rata bonus selalu tidak diberikan saat dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan sangat baik dengan nilai Mean sebesar 3.08.
Hasil analisa dalam hal ini adalah, tidak diberikannya bonus membuat pekerja merasa tidak ada penghargaan, sehingga hal ini dapat menurunkan semangat maupun effort para pekerja untuk memberikan usaha yang maximal terhadap kerja mereka. Kondisi seperti ini dapat memberikan pengaruh yang tidak baik bagi rata- rata pekerja apabila mereka melakukan tugas tanpa memiliki dorongan yang positif, sehingga hal ini dapat menimbulkan pelanggaran peraturan dan ketentuan.
Kemudian Mean tertinggi ke-dua terdapat pada indikator nomor 6 yaitu proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja dengan Mean sebesar 2.79. Artinya proyek sering proyek tidak mengadakan pelatihan / training mengenai keselamatan kerja untuk para pekerja.
Analisis dalam hal ini adalah, pelatihan keselamatan sangat penting dalam memberikan pengetahuan kepada pekerja tentang bahaya kecelakaan dan pentingnya keselamatan dalam sebuah proyek, sehingga pekerja tahu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peraturan maupun prosedur dalam prgram keselamatan yang ada pada suatu proyek. Apabila pelatihan tidak diadakan maka pengetahuan terhadap upaya keselamatan tidak dimengerti oleh pekerja, dan
pelanggaran mengenai upaya keselamatan dapat terjadi, sehingga kecelakaan dapat terjadi.
Mean tertinggi selanjutnya terdapat pada indikator nomor 25 yaitu merasa tertekan karena terlalu banyak tuntutan dari atasan dengan nilai Mean sebesar 2.69. Artinya, proyek sering memberikan banyak tuntutan kepada pekerja mengenai pekerjaan yang harus segera diselesaikan dan penyesuaian kuantitas dan kualitas yang baik.
Analisa dalam hal ini adalah, proyek merupakan suatu kegiatan yang dituntut ketepatannya dalam segi waktu. Dengan hal ini, maka jalan yang ditempuh adalah membuat pekerja bekerja dengan cepat dengan cara memperpanjang jam kerja dalam arti lain memberikan jam lebur, sehingga target dapat terpenuhi dalam waktu tertentu. Dengan tuntutan seperti ini pekerja dipaksa untuk memenuhi tuntutan, dan tentu saja bekerja dibawah tuntutan membuat pekerja merasa lelah dan tertekan, sehingga hal ini dapat mengakibatkan ketidakfokusan pada kerja, dan kecelakaan dapat terjadi.