DALAM JUAL BELI BARANG SECARA ONLINE (STUDI KASUS DI KOTA MAKASSAR)
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum
Oleh:
NURAZYSYAMZ RANI 4514060028
FAKULTAS HUKUM / ILMU-ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2018
NIM : 4514060028 Program Studi : Ilmu-Ilmu Hukum Minat : Hukum Perdata
No.Pendaftaran Ujian : 26/pdt/FH/unibos/x/2017 Tgl. Persetujuan Ujian : 19 Oktober 2017
Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Barang Secara Online (Studi Kasus di Kota Makassar)
Telah disetujui skripsinya untuk diajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program strata satu (S1)
Makassar, 29 Juni 2018
Dekan Fakultas Hukum
Dr. Ruslan Renggong SH,MH.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Usulan Penelitian dan Penulisan Hukum Mahasiswa:
Nama : Nurazysyamz Rani
Stambuk : 4514060028
Program studi : Ilmu-Ilmu Hkum
Minat : Hukum Perdata
No. Pendaftaran Judul : 26/pdt/FH/unibos/x/2017 Tgl. Pendaftaran Judul : 19 Oktober 2017
Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Barang Secara Online (Studi Kasus di kota Makassar)
Telah diperiksa dan diperbaiki untuk dimajukan dalam Ujian Skripsi Mahasiswa Program Strata Satu (S-1)
Makasssar, 22 Juni 2018
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Abd. Haris Hamid,SH,MH Almusawir,SH,MH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta keluarga, sahabatnya dan kepada seluruh umat Islam yang dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan, bantuan serta arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua Orang Tuaku tercinta Ayahanda H.syafaruddin Rani S.sos dan Ibunda tercinta Dra.Hj.Hadatiah terima kasih atas segala doa dan semangat yang tak hentinya diberikan kepada penulis dan dukungan hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar dan selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa . 3. Dr.Yulia A Hasan S.H.,M.H. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Bosowa Makassar dan selaku penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. Abd.Haris Hamid.S.H.,M.H. Selaku Wakil Rekor III Universitas Bosowa Makassar dan selaku Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, kritik, saran dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini menjadi lebih baik.
5. Almusawir S.H,.M.H. Selaku Pembimbing II yang telah memberikan petunjuk, kritik, saran dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini menjadi lebih baik.
6. Hj.Kamsilaniah S.H,.M.H. selaku Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ilmu Hukum yang tidak pernah lelah memberikan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan.
8. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang sangat arif dalam melayani dan membantu kelancaran administrasi penulis.
9. Yang tercinta Sukamdani Sukri yang selalu ada menemani penulis dalam suka dan duka dalam peyelesaian tugas akhir.
10.My best friends Siti Khajar Mustafa dan Beby Dwi Resky yang tak henti- hentinya membimbing penulis dari awal kuliah sampai pada penyelesaian tugas akhir.
11.Ira Ananda Siadari, Rika Putri Utari, Mustika Cahayu Lestari SH, Andi Asyraf Nur Alqadri dan Nur Rahman yang selalu menemani suka dan duka dalam penyelesaian tugas akhir.
12.Gengs Negara Api (vierda Beby Firdiyana, Yunny Dwi Dayanti, Weny Wijaya A Syam) yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
13.Krisna Square fardhan putra, Wayan Jordi, Fadhil Anugrah, Herwin, Beni Agusman Rapi, Nur Alam, dan Ippang yang selalu menghibur penulis pada saat tidak mood.
14.Ikhsan wijaya Ahmad, Ahri Ardiansyah, Wahyudi Gatta yang membantu saya dalam penyusunan skripsi saya.
15.Seluruh teman-teman GRASI 2014, Senior-senior dan Junior-junior Fakultas Hukum yang selalu memberikan ilmu baru dan semangat dalam belajar.
16.Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga senantiasa dalam lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan diberikan kesuksesan, Amin.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga karya tulis ini dapat bernilai ibadah dan dapat membawa manfaat bagi para pembaca dan terkhusus bagi penulis.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Makassar, September 2018 Penulis
Nurazysyamz Rani
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ... i
Halaman Penerimaan Dan Pengesahan ... ii
Kata pengantar ... iii
Lampiran 1 ... iv
Lampiran 2 ... v
Daftar Isi ... vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 3
1.4 Metode Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Jual Beli ... 6
2.1.1. Pengertian Perjanjian ... 6
2.1.2. Syarat Sahnya Perjanjian ... 8
2.1.3. Jenis Perjanjian ... 9
2.1.4. Asas Perjanjian ... 14
2.1.5. Hapusnya Perjanjian ... 14
2.2 Perlindungan Hukum Konsumen dalam Transaksi Elektronik ... 14
2.2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 14
2.2.2. Pengertian Konsumen ... 16
2.2.3. Pengertian Pelaku Usaha ... 17
2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen ... 20
2.4 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 24
2.5 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 27
2.6 Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ... 31
2.7 Perlindungan Konsumen dalam Penyelenggara Negara ... 35
2.8 Badan dan Lembaga Perlindungan Konsumen ... 38
2.9 Penyelesaian dan Senksi Sengketa Konsumen ... 42
2.10 Transaksi Elektronik atau E-Commerce ... 48
2.10.1 Pengertian Transaksi Elektronik dan E-Commerce ... 48
2.10.2 Karakteristik E-commerce... 50
2.10.3 Dasar Hukum Transaksi Elektronik ... 50
2.10.4 Jenis Transaksi Elektronik ... 53
2.10.5 Perubahan Dasar Pengaruh E-commerce ... 54
BAB 3 PEMBAHASAN 3.1 Gambaran tentang Profil dan Respon Konsumen Online Shop ... 56
3.1.1 Profil Online Shop di Indonesia ... 56
3.1.2 Respon Konsumen tentang Online Shop ... 58
3.2 Perlindungan Hukum Knsumen Dalam Jual Beli Secara Online ... 62
3.2.1 Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Jual Beli Secara Online menurut UUPK ... 65
3.2.2 Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Jual Beli Secara Online menurut UU ITE ... 67
3.3 Proses Penyelesaian Sengketa Jual Beli Barang Secara Online ... 69
3.3.1 Proses Penyelesaian Sengketa Jual Beli Barang Secara Online Berdasarkan UU ITE ... 69
3.3.2 Proses Penyelesaian Sengketa Jual Beli Barang Secara Online Berdasarkan UUPK ... 70
3.3.2.1 Penyelesaian Sengketa melalui Peradilan Umum ... 71 3.3.2.2 Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan ... 72 BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ... 76 4.2 Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 78
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi seperti sekarang, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi informasi atau internet telah menjadi jiwa bagi sebagian besar manusia.
Internet, pada mulanya menjadi alat pertukaran data ilmiah dan akademis kini telah berubah menjadi perlengkapan hidup sehari-hari dan dapat diakses dari berbagai penjuru dunia. Melalui internet, kita dapat mencari infomasi yang dibutuhkan tanpa batas dan internet juga memudahkan manusia untuk melakukan berbagai kegiatan tanpa batas oleh tempat dan waktu.
Perkembangan teknologi informasi telah mempengaruhi segala aspek kehidupan untuk lebih memudahkan manusia, salah satunya dibidang perdagangan dalam jual beli yang menggunakan internet. Kebiasaan masyarakat sebelumnya melakukan jual beli secara langsung atau dengan tatap muka, kini perlahan berubah menjadi sebuah gaya baru yaitu transaksi jual beli barang secara elektronik yang menggunakan media internet yang dikenal dengan E-commerce atau kontrak dagang elektronik dan juga biasa disebut jual beli barang secara online.
Faktor yang mendorong palaku usaha melakukan jual beli secara online yaitu pelaku usaha dapat menekan biaya pemasaran, pelaku usaha dapat menjual produknya kepada lebih banyak orang, efektifitas tempat yang di mana pelaku usaha tidak perlu membuka toko dan pelaku usaha hanya memerlukan modal yang relatif sedikit dalam menjalankan bisnisnya.
Sedangkan yang mendorong konsumen dalam melakukan jual beli secara
online karena melalui jual beli secara online konsumen mendapatkan manfaat serta kemudahan antara lain dapat memilih beragam barang yang diinginkan selain itu konsumen tidak perlu pergi ke toko untuk sekedar membeli barang yang dibutuhkan jika toko tersebut berada jauh dari konsumen. Tentu hal itu sangat membantu konsumen karena dapat menghemat waktu sekaligus mempermudah konsumen.
Di Indonesia aturan yang mengatur mengenai Transaksi Elektronik ada pada Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Namun demikian fenomena yang terjadi dalam transaksi jual beli barang secara elektronik yang melahirkan undang-undang tersebut masih menimbulkan banyak kerugian terhadap konsumen karena dimana proses jual beli melalui internet dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen yang tidak bertatap muka secara langsung serta tidak saling mengenal dengan kata lain jual beli secara online dilakukan atas rasa kepercayaan dari kedua belah pihak dan kurang pahamnya masyarakat terhadap undang-undang transaksi elektronik. Salah satu contoh kasus yang ada di Makassar bersumer dari Kabar Makassar pada tanggal 22 November 2017 yaitu penipuan produk tas online shop yang berdomisili di Makassar. Olshop ini banyak merugikan konsumen seperti jumlah barang yang datang tidak sesuai dengan pesanan, produk yang diterima tidak sesuai dengan promosi yang diberikan pelaku usaha (barang palsu) dan barang yang di pesan belum diterima oleh konsumen.
Berdasarkan latar belakang tersebut telah dilakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Barang Secara Online (Studi Kasus di Kota Makassar)”.
1.2Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum konsumen dalam jual beli secara online?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa jual beli barang secara online?
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Adapun yang menjadi tujuan penelitan ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum konsumen dalam jual beli secara online.
b. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa jual beli barang secara online.
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam hal perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi jual beli secara online.
b. Bagi akademisi, sebagai tambahan referensi guna mempermudah bagi pihak yang berkepentingan yang ingin melakukan penelitian objek yang sama.
c. Bagi pembaca, agar dapat memahami perlindungan hukum bagi konsumen dalam jual beli online serta bagaimana mekanisme penyelesaian ganti kerugian konsumen dalam jual beli online.
1.4 Metode Penelitian 1. LokasiPenelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Makassar dengan alasan bahwa kota Makassar merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang mana di yakini banyak berlangsung usaha jual beli barang secara online.
2. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan yang berhubungan langsung dengan konsumen yang melakukan jual beli barang secara online.
2) Data Sekunder, yaitu data yang di peroleh melalui penelusuran studi kepustakaan dengan cara mempelajari peraturan perundang- undangan atau dokumen, literatur serta karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah dan objek penelitian yang diteliti.
b. Sumber Data
Adapun sumber data dari penulis, yaitu:
1) Sumber penelitian lapangan (Field Research), yaitu sumber data lapangan yang diambil dari pihak LAZADA dan sebagian masyarakat yang sering menggunakan transaksi jual beli secara online.
2) Sumber Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu sumber data yang di peroleh dari hasil mempelajari atau menelaah beberapa
literatur dan sumber bacaan lainnya yang dapat mendukung penulisan skripsi ini.
c. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini akan dilakukan dengan cara :
1) Wawancara (interview), yang dilakukan penulis untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dari informan dengan cara wawancara langsung dengan salah satu pegawai LAZADA.
2) Kuesioner atau Angket, penulis akan membuat beberapa sempel dan membagikan kepada masyarakat. Adapun angket yang dibutuhkan adalah 50 orang.
d. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari hasil penelitian akan disusun dan dianalisis secara kualitatif untuk selanjutnya data tersebut diuraikan secara deskriptif dengan cara menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian (overeenkomst) menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sesuatu perbuatan di mana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain (Titik Triwulan Tutik, 2008:221).
Menurut para ahli hukum, ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1.Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2.Tidak tampak asas konsensualisme,
3. Bersifat dualisme.
Sehingga menurut teori baru setiap perjanjian haruslah berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Dari perumusan perjanjian tersebut terdapat beberapa unsur perjanjian, antara lain:
1. Ada pihak-pihak (subjek) sedikitnya dua pihak.
Pihak (subjek) dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. Subjek hukum berupa orang atau badan hukum.
KUH Perdata membedakan 3 (tiga) golongan yang ada pada perjanjian, yaitu: (Titik Triwulan Tutik, 2008:223)
a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya;
c. Pihak ketiga.
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.
Unsur dalam perjanjian adalah persetujuan (kesepakatan) antara para pihak. Sifat persetujuan dalam suatu perjanjian adalah tetap.
Persetujuan ini ditunjukkan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.
3. Ada tujuan yang akan dicapai.
Tujuan mengadakan perjanjian untuk memenuhi kebutuhan para pihak dimana bersifat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat perjanjian. Misalnya, pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Bentuk perjanjian dapat berupa lisan dan tulisan. Bentuk tertentunya biasanya berupa akta. Perjanjian itu dapat dibuat lisan, artinya kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh para pihak.
6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian dianggap sah jika memenuhi beberapa persyaratan.
Menurut hukum Kontrak (law of contrack) USA, ada 4 (empat) syarat sahnya perjanjian, yaitu: (Titik Triwulan Tutik, 2008:224)
1. Adanya penawaran (offer) dan penerimaan 2. Adanya persesuaian kehendak
3. Adanya konsidensasi/presirasi
4. Adanya kewenangan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah.
Menurut KUH Perdata (Pasal 1320 atau Pasal 1365 Buku IV NBW).
Syarat sahnya perjanjian meliputi 2 (dua) hal, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.
1. Syarat Subjektif
Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian. Syarat subjektif perjanjian meliputi, antara lain:
a. Adanya kesepakatan/izin kedua belah pihak.
Perjanjian harus adanya kesepakatan antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara kedua belah pihak tidak ada paksaan dan lainnya.
b. Kedua belah pihak harus cakap bertindak.
Cakap bertindak, yaitu kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Orang cakap adalah seseorang yang telah berumur 21 tahun atau sudah menikah.
2. Syarat Objektif
Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian. Syarat objektif perjanjian meliputi, antara lain:
a. Adanya objek perjanjian
Perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang- kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang dan nanti akan ada. Misalnya jumlah, jenis dan bentuknya.
b. Adanya sebab yang halal
Dalam suatu perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.
2.1.3 Jenis perjanjian
Dalam hukum perdata perjanjikan memiliki berbagai jenis, diantaranya adalah :
1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Contohnya :
a. Perjanjian jual beli
Pasal 1457 KUH Perdata bahwa perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dimana satu pihak mengikatkan diri untuk
menyerahkan benda, sedangkan pihak lain mengikatkan diri untuk menyerahkan sejumlah harga yang disepakati.
Definisi autentik yang diberikan oleh pembentuk KUH Perdata, secara konsisten menegaskan bahwa suatu perjanjian itu berisi janji untuk mengikatkan diri, sehingga karena itu sesuai Pasal 1233 KUH Perdata. Dari perjanjian yang dimaksud akan segara timbul perikatan. (Moch Isnaeni, 2016:26)
Perjanjian jual beli dapat pula digunakan secara harfiah tercermin adanya kegiatan menjual yang dilakukan sesuatu pihak, lalu disebut dengan adanya kegiatan membeli oleh pihak lain dengan masing-masing jenis kewajiban berbeda namun ada keterpaduan. Menurut penulis perjanjian jual beli adalah adanya penyerahan barang dan adanya pembayaran berupa uang. Jika tanpa ada unsur keduanya maka hubungan hukum yang bersangkutan bukan merupakan perjanjian jual beli.
b. Perjanjian tukar menukar (Ruil Pasal 1541 dan seterusnya KUH Perdata).
Perjanjian antara dua pihak, dimana pihak satu akan menyerahkan suatu barang begitu pun dengan pihak kedua.
c. Perjanjian sewa menyewa (Huer en verbiir, Pasal 1548 dan seterusnya KUH Pedata).
Perjanjian dimana pihak satu (yang menyewa) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak kedua (penyewa) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak kedua membayar sejumlah uang sewanya.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah dan lainnya. (Titik Triwulan Tutik, 2008:231)
2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian percuma adalah perjanjian dengan mana hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. (Titik Triwulan Tutik, 2008:231)
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
(Titik Triwulan Tutik, 2008:231)
3. Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama termasuk dalam perjanjian khusus, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya, perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang.
(Titik Triwulan Tutik, 2008:232)
Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, dll.
(Titik Triwulan Tutik, 2008:232)
4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli.(Titik Triwulan Tutik, 2008:232)
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artinya, sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. (Titik Triwulan Tutik, 2008:233)
5. Perjanjian konsensual dan perjanjial riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata). (Titik Triwulan Tutik, 2008:233)
Perjanjial Riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya.
Misalnya jual beli barang bergerak (Pasal 1694 KUHPerdata) dll.
(Titik Triwulan Tutik, 2008:233) 6. Perjanjian publik
Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak
adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta. (Titik Triwulan Tutik, 2008:233)
7. Perjanjian campuran
Perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.
(Titik Triwulan Tutik, 2008:233) 2.1.4 Asas Perjanjian
Ada beberapa asas yang dapat ditemukan dalam perjanjian, yaitu:
a. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme artinya bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapaianya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Asas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian. (Titik Triwulan Tutik, 2008:227)
b. Asas Pacta Sunt Servada
Asas Pacta Sunt Servada berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan:
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”,“persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”,“persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. (Titik Triwulan Tutik, 2008:229)
Menurut Salim H.S, (Titik Triwulan Tutik, 2008:229) asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya dan 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2.1.5 Hapusnya perjanjian
Suatu perjanjian akan berakhir (hapus) apabila:
1. Telah melampaui waktunya (kadaluwarsa). Undang-undang telah menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.
2. Telah tercapai tujuannya
3. Dinyatakan berhenti. Jika terjadi peristiwa tertentu maka perjanjian akan dihapuskan.
4. Dicabut kembali. (Titik Triwulan Tutik, 2008:234)
2.2. Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi Elektronik 2.2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentutukan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak sewenang-wenang untuk merugikan konsumen. Dari definisi tersebut kemudian muncul kerangka umum tentang sendi-
sendi pokok pengatuan perlindungan konsumen yang kurang lebih dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Kesederhanaan antara konsumen dan pelaku usaha.
2. Konsumen mempunyai hak.
3. Pelaku usaha mempunyai kewajiban.
4. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional.
5. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat.
6. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa.
7. Pemerintah perlu berperan aktif.
8. Masyarakat juga perlu berperan serta.
9. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang.
10.Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.
(HappySusanto, 2008:4)
Menurut Business English Dictionary, perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.
(Zulham, 2013:21)
Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek,yaitu:
1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen. (Zulham, 2013:21)
Menurut penulis, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, dengan cakupan yang luas meliputi dari tahap untuk mendapatkan barang dan/atau jasa dan sampai dengan akibat-akibat pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.
2.2.2 Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris- Indonesia yang memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan dan sebagainya. (Zulham, 2013:15) Adapun Pengertian Konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu:
Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali. (Ahmadi Miru, 2013:20)
Pengertian Konsumen dalam naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut rancangan akademik) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI. Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan. (Ahmadi Miru, 2013:20)
Berikut beberapa pendapat ahli mengenai pengertian konsumen antara lain:
1. Inosentius Samsul menyebutkan Konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian hadiah dan undangan.
2. Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan Konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh keputusan Belanda, yaitu: Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara kongkret dan riil. (Zulham, 2013:16)
Menurut UUPK konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan menurut penulis, konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan/atau jasa yang diberikan oleh pelaku usaha.
2.2.3 Pengertian Pelaku Usaha
Pelaku usaha atau produsen merupakan bagian penting dari hubungan atau transaksi ekonomi. Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, begitu pula dalam bahasa Inggris disebut producer yang artinya adalah penghasil. (Abd. Haris Hamid, 2017:61)
Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK ditentukan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Penjelasan atas UUPK “pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, perdagangan, distributor dan lain-lain”.
Pengertian pelaku usaha diatas bermakna sangat luas karena meliputi segala bentuk usaha, sehingga dapat memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Oleh karena itu konsumen yang dirugikan tidak begitu sulit untuk menemukan kepada siapa tuntutan diajukan karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik
seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa:
1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;
2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti directive ini dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;
3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importirnya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan. (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004:10)
Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:
1. Yang pertama diguguat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negara dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan;
2. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri; dan
3. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.(Ahmadi Miru, 2013:23)
Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan produk yang memproduksi produk tersebut.
Urutan-urutan pihak yang digugat tersebut, juga mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), karena siapapun yang digugat oleh konsumen pengadilan atau BPSK yang kompeten adalah pengadilan atau BPSK yang mewilayahi tempat tinggal konsumen, sehingga tidak memberatkan konsumen. (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004:11) Sebaliknya, apabila yang digugat oleh konsumen adalah penjual barang, sementara produk yang dibeli konsumen tersebut cacat sejak dari produsen (pelaku usaha pembuat produk) maka kemungkinan penjual akan lebih mudah membuktikan ketidak bersalahannya atau pada akhirnya juga menarik pelaku usaha pembuat produk untuk masuk sebagai pihak dalam perkara yang dihadapi oleh penjual atau paling tidak setelah penjual membayar ganti kerugian kepada konsumen, penjual juga menuntut ganti kerugian pada pelaku usaha pembuat produk.
Istilah produsen dan pelaku usaha keduanya dipakai dengan makna yang sama dengan pengertian pelaku usaha dalam UUPK. (Ahmadi Miru, 2013:24)
2.3.Hak dan Kewajiban Konsumen 1. Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri.
Tujuannya, jika ada tindakan yang tidak adil terhadap dirinya ia secara spondan dapat menyadari hal itu. Konsumen kemudian dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain ia tidak akan tinggal diam ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Hak konsumen berdasarkan Pasal 4 UUPK, hak konsumen sebagai berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun penjelasan mengenai Pasal 4 ayat (7)
“hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya”.
Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy Presiden Amerika Serikat (AS) pada tanggal 15 Maret 1962 melalui “A special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (declaration of consumer right) yaitu terdiri atas:
1. Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan
Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika makanan dan minuman memenuhi standar kesehatan dan gizi serta tidak mengandung bahan yang berbahaya.
2. Hak untuk memperoleh informasi
Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan benar.
Karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat membeli produk yang diinginkan serta terhindar dari kerugian.
Informasi yang dimaksud adalah mengenai manfaat produk, efek samping atau penggunaan produk, tanggal kadaluwarsa, serta identitas produk dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik melalui tertulis, lisan, mencantumkan pada lebel yang melekat pada kemasan produk, maupun iklan-iklan.
3. Hak untuk memilih
Setiap konsumen berhak memilih produk barang dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan.
4. Hak untuk didengarkan
Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha maupun lembaga perlindungan konsumen. (Happy Susanto, 2008:26)
Resopusi perserikatan bangsa-bangsa nomor 39/248 tahun 1985 tentang perlindungan konsumen (Guideliness for Consumer Protection) juga merumuskan beberapa aspek yang merupakan bagian penting dalam perlindungan konsumen :
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan pribadi.
4. Pendidikan konsumen.
5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
(Happy Susanto,2008:26)
Kemudian Internasional Organization of Consumer Union (IOCU) telah menambah hak-hak konsumen tersebut dengan :
1.Hak konsumen untuk meminta ganti rugi;
2. Hak pendidikan konsumen (Dedi Harianto, 2010:11)
Untuk itu konsumen harus memperhatikan hak-hak yang harus diperjuangkan. Sebagai konsumen kita tidak bisa tinggal diam, tanpa bisa berbuat apa-apa ketika hak-hak kita jelas-jelas dirugikan.
2. Kewajiban Konsumen
Sebagai konsumen juga memiliki kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam Pasal 5 UUPK, dinyatakan bahwa kewajiban konsumen sebagai berikut:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau kemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan. Tujuannya untuk menjaga keamanan dan keselamatan terhadap konsumen. Maka dari itu konsumen perlu meneliti lebel, etikat, kandungan barang serta tata cara penggunaan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
Itikad baik sangat dibutuhkan pada saat konsumen ingin bertransaksi.
Dengan adanya itikad baik konsumen dapat merasakan kepuasan.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Konsumen harus membayar sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Ketika ada kerugian yang dialami konsumen, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha.
Kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar lebih berhati- hati dalam melakukan transaksi ekonomi. Dengan adanya cara seperti itu konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan masalah yang akan terjadi.
2.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 1. Hak Pelaku Usaha
Pasal 6 UUPK, hak pelaku usaha adalah:
(1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
(2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
(3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
(4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
(5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.
Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 pada Pasal 6 UUPK tersebut di atas, Sesungguhnya hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau badan penyelesaian sengketa konsumen. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya seperti hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Pangan dan undang-undang lainnya. Berkenaan dengan berbagai undang-undang tersebut, maka harus diingat bahwa undang-undang perlindungan konsumen adalah payung bagi semua aturan lainnya
berkenaan dengan perlindungan konsumen. (AhmadiMiru & Sutarman Yodo, 2004:50)
2. Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 7 UUPK, kewajiban pelaku usaha adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau barang garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, gantirugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
Penjelasan Pasal 7 huruf C pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang
membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. (AhmadiMiru &
Sutarman Yodo, 2004:52).
Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa. Dalam UUPK itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha karena itikad baik pelaku usaha dimulai sejak pada pembuatan barang atau produk yang dirancang sampai pada tahap penjualan, sedangkan itikad baik untuk konsumen hanya dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Oleh karena itu kemungkinan kerugian yang dialami oleh konsumen sejak barang diproduksi sedangkan kemungkinan kerugian yang diperolah oleh pelaku usaha terhadap konsemen pada saat melakukan transaksi.
Kewajiban pelaku usaha tentang informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dalam jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan sangatlah penting terhadap konsumen karena dengan adanya informasi yang jelas dan jujur, konsumen dapat tidak salah memilih barang atau produk tertentu.
2.5 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Berbicara mengenai asas hukum, maka penulis akan mengemukakan beberapa pendapat dari para ahli, yaitu :
Van Etikema Hommes berpendapat bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar hukum, atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Paton berpendapat bahwa asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan atau peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan dan peraturan seterusnya. (Marwan Mas, 2011:112)
Dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, terdapat beberapa asas yang menjadi pedoman bagi UUPK, asas-asas ini dirumuskan dalam Pasal 2 UUPK yang isinya: perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Kemudian dalam penjelasannya ditegaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentian konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksud agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum. (Ahmadi Miru & Sutarman yodo, 2004:25)
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusan mengacu pada filosofis pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandasan pada filsafat negara Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum. (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004:25)
Redbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai
“tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum” yang berarti dapat disamakan dengan asas hukum. Keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004:25)
Adapun tujuan hukum menurut Pasal 3 UUPK, yaitu:
Perlindungan konsumen bertujuan:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Ahmad Ali (Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004:26) mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus. Tampak dari pengetahuan Pasal 3 UUPK yang mengatur tujuan khusus di dalam perlindungoan konsumen, sekaligus menjadi perbedaan dengan tujuan
umum yang dikemukakan oleh Redbruch dalam asas perlindungan konsumen.
Kesulitan dalam mewujudkan ketiga tujuan umum ini secara bersamaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Ali, menyebabkan keenam tujuan khusus tersebut sulit untuk tercapai secara maksimal. Oleh karena itu, agar tujuan perlindungan konsumen dapat terwujud sebagaimana yang dicita-citakan maka dibutuhkan kesatuan dari keseluruhan subsistem yang terdapat dalam UUPK serta diperkuat oleh saran dan fasilitas yang menunjang.
2.6 Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindari dari aktivitas perdagangan pelaku usaha.
Sebagai upaya menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan yang ada pada Pasal 8 UUPK, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam lebel atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam lebel, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam lebel atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam lebel, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu pengunaan/pemanfaatan yang paling baik barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam lebel;
i. Tidak memasang lebel atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih, atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan keterangan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercantum tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang tersebut.
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Ketentuan undang-undang yang disebut di atas tidak secara tegas disebutkan berlaku untuk produk impor, namun ketentuan tersebut harus dipahami bahwa ketentuan tersebut berlaku baik terhadap produk impor maupun produk lokal. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. Maka dalam Pasal 9 UUPK pelaku usaha dilarang untuk memperdagangkan, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri- ciri kerja atau asesori tertentu;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusaaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau efiliasi;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang tesebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dalam Pasal 10 UUPK pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi, atas suatu barang dan/atau jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
2.7 Perlindungan Konsumen Dalam Penyelenggara Negara
Pentingnya pemerintah mengatur perlindungan konsumen umumnya didasarkan pada situasi yang sedang dan akan berkembang terhadap nasib masyarakat konsumen.
Menurut Hery Virgo (Abd. Haris Hamid, 2017:84) faktor aktualisasi melahirkan satu situasi urgen suatu bangsa untuk memiliki satu pengaturan mengenai perlindungan konsumen yang juga mengacu pada trend global, antara lain:
a. Bahwa kondisi pertumbuhan dunia usaha yang demikian telah kuat dan canggih;
b. Bahwa tingkat pertumbuhan dunia usaha yang demikian telah mampu menghasilkan berbagai barang dan jasa ke masyarakat;
c. Bahwa tingkat perkembangan dunia usaha sedemikian perlu diimbangi dengan satu pengaturan untuk melindungi kepentingan konsumen dari kemungkinan akses yang diakibatkan oleh tingkat pertumbuhan usaha;
d. Bahwa perlindungan atas kepentingan konsumen memang sejalan dengan tujuan pembangunan nasional negara tersebut.
Untuk itu maka dibutuhkan daya dukung dalam upaya perlindungan konsumen pada setiap negara berdasarkan realitas yang dihadapi yakni:
(1) Konsumen bagian dari pembangunan suatu bangsa
Semua anggapan yang tidak dapat dipungkiri bahwa semua masyarakat adalah konsumen, maka dapat pula dikatakan bahwa melindungi konsumen berarti juga melindungi seluruh masyarakat.
masyarakat adalah pelaksana pembangunan sekaligus sebagai sumber pemupukan modal bagi pembangunan.
Di Indonesia, secara politis perlunya perlindungan hukum bagi konsumen secara umum sudah dinyatakan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) antara lain melalui ketetapan MPR RI Nomor II Tahun 1988 dan Ketetapan MPR RI Nomor II Tahun 1993.
Keduanya memiliki istilah yang berbeda yang mana GBHN 1988 memakai istilah menjamin kepentingan konsumen sedangkan GBHN 1993 memakai istilah melindungi kepentingan konsumen. Terlepas dari perbedaan istilah tersebut, pemerintah Indonesia telah memperlihatkan bahwa melindungi konsumen adalah suatu hal yang pentingsehingga tidak selalu berada dipihak yang dirugikan.
(Abd.Haris Hamid, 2017:84)
Menurut Janus Sidabalok bahwa terdapat sekurang-kurangnya empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi:
1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 tentang tujuan pembangunan nasional;
2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;
3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;
4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.
(Abd.Haris Hamid, 2017:84)
Perlindungan konsumen yang diselenggaran oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta pada tanggal 16-18 Oktober 1980, yang mengemukakan dua alasan mengapa masalah perlindungan konsumen merupakan salah satu masalah penting di dunia ini. Pertama bahwa seluruh anggota masyarakat adalah konsumen yang perlu dilindungi dari kualitas benda atau jasa yang
diberikan oleh produsen kepada masyarakat. Kedua, ternyata para konsumen adalah pihak yang sangat menentukan dalam pembinaan modal untuk menggerakkan roda perekonomian.
(2) Kewajiban Pemerintah
Perlindungan konsumen mengatur mengenai perilaku industri dan perdagangan dengan segala implikasinya. Akan dapat berjalan dengan baik apabila ada instruksi pengatur dan pengawasannya yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah mempunyai kewenangan dan juga mempunyai kewajiban untuk melaksanakan amanat rakyat melalui undang-undang, termasuk yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran anggota masyarakat terhadap masalah perlindungan konsumen.
(3) Keterkaitan dengan sektor-sektor lain
Perlindungan konsumen yang akan selalu maju seiring berkembangnya zaman, tidak dapat dilepas dari sektor-sektor kegiatan lain terutama industri dan perdagangan, di samping sektor penegakan hukum. (Abd. Haris Hamid, 2017:87)
(4) Kelembagaan
Perlindungan konsumen disebuah negara harus pula ada suatu lembaga yang menyelenggarakan kegiatan perlindungan yang dimaksud. Bagi Indonesia, suatu badan nasional di bawah Presiden Republik Indonesia sudah dibentuk yang tugasnya memberi masukan dan pertimbangan kepada presiden. Badan tersebut dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan
Perlindungan konsumen Nasional. Begitu juga lembaga-lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang dijustifikasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. (Abd.
Haris Hamid, 2017:88) (5) Sanksi
Perlindungan konsumen memerlukan ancaman hukuman agar bisa dipatuhi secara profesional. Ketentuan dalam hukum pidana umum dapat diterapkan tetapi perlindungan konsumen lebih spesifikasi maka diperlukan undang-undang yang mengatur ancaman hukum yang bersifat khusus mengenai perlindungan konsumen.
Maka lahirlah UUPK yang mengatur mengenai sanksi pidana dan sanksi administrasi. (Abd. Haris Hamid, 2017:88)
2.8 Badan dan Lembaga Perlindungan Konsumen
Dalam Resolusi PBB Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang perlindungan konsumen, merumuskan salah satu kepentingan dasar konsumen yaitu: kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relavan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Ada beberapa badan dan lembaga yang mengatur tentang perlindungan konsumen antara lain:
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
Pasal 31 UUPK menyebutkan bahwa dalam rangka pengembangan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). BPKN berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pengembangan yang dimaksud bahwa BPSK dibentuk sebagai pengembangan upaya perlindungan konsumen dalam hal sebagai berikut:
a. Pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha;
b. Pengaturan larangan-larangan bagi pelaku usaha;
c. Pengaturan tanggung jawab pelaku usaha; dan d. Pengaturan sengketa konsumen. (Zulhan, 2013:135)
Empat materi diatas merupakan hal pokok perlindungan konsumen.
Tetapi diharapakan pemerintah lebih memberdayakan konsumen dalam menuntut hak-haknya dengan tanpa mengabaikan kepentingan pelaku usaha.
2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Menurut UUPK Pasal 1, LPKSM adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sebagaimana Pasal 44 UUPK, bahwa:
1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi:
a. Menyebar informasi dalam rangka peningkatan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
Dari Pasal 44 UUPK diatas, maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. (Abd. Haris Hamid, 2017:174)
Adapun tugas pengawasa yang dilakukan oleh LPKSM ditentukan di dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 bahwa: (Abd. Haris Hamid, 2017:173)
(1) Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Di samping dapat juga berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat perseorangan maupun kelompok.
(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
(4) Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen. Adapun pelaksanaannya dapat membahayakan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.
(5) Hasil pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri.
2.9 Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen telah diatur di dalam UUPK Pasal 45 ayat (1) yaitu, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Adapun penyelesaian sengketa konsumen sebagai berikut:
1) Gugatan atas Pelanggaran Hak Konsumen
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lebaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah diajukan kepada peradilan umum. Ada 4 (empat) kelompok penggugat yang bisa menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut :
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. (Happy Susanto, 2008:75)
2) Bentuk Penyelesaian Sengketa Konsumen
Menurut UUPK Pasal 45 ayat (2), penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengkata.
Berdasarkan ketentuan ini dapat dikatakan bahwa ada 2 (dua) bentuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu:
a. Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia.
b. Di luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggaran untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian yang dialami dan menjamin tidak akan terjadi kembali yang diderita oleh konsumen.
5. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Menurut UUPK Pasal 1 ayat (12) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Di samping bertugas menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK juga memberikan konsultasi perlindungan konsumen. Bentuk konsultasi sebagai berikut:
(1) Memberikan penjelasan terhadap konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan kewajiban masing-masing.
(2) Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha.