Jurnal Review:
Epidemiological, Gross Morphological, And Histopathological Analysis Of Postmortem Cases Of Hanging An Observational Study
Stase Forensik
Oleh:
Rakhmiana 130821220004
Pembimbing:
dr. Nita Novita, Sp.PA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS - I ILMU KEDOKTERAN PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
2025
REVIEW JURNAL Identitas Jurnal
Judul : Epidemiological, Gross Morphological, And Histopathological Analysis Of Postmortem Cases Of Hanging - An Observational Study
Penulis : Alana Chacko; Chandni Gupta; Vikram Palimar; Deepak Nayak M Tahun : 2025
Jurnal : F1000 Research
ABSTRAK
Latar Belakang : Kematian karena gantung diri adalah kejadian yang sering ditemukan. Tanda jeratan di leher kadang terlihat jelas, tetapi dalam beberapa kasus bisa samar atau tidak terlihat sama sekali. Oleh karena itu, pemeriksaan post-mortem yang mencakup analisis morfologi makroskopis dan histopatologi menjadi sangat penting untuk memastikan penyebab kematian.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi epidemiologi, morfologi makroskopis, dan histopatologi pada kasus gantung diri
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 46 kasus gantung diri dan dilakukan dari Februari 2023 hingga Juni 2024. Karakteristik sosiodemografi mereka dikumpulkan. Analisis morfologi makroskopis dari tanda pengikat dan berbagai pengukuran dilakukan. Kemudian jaringan dari tanda pengikat dikirim untuk analisis histopatologi. Analisis statistik dilakukan pada parameter yang dikumpulkan.
Hasil : Kasus gantung diri lebih banyak terjadi pada laki-laki. Jumlah kasus gantung diri terbanyak ditemukan pada kelompok dekade keempat kehidupan. Pekerja harian adalah populasi yang paling banyak terkena. Depresi disebut sebagai penyebab bunuh diri pada sebagian besar kasus. Robekan karotis intima dan cedera pada struktur tulang dan tulang rawan ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil. Reaksi vital diamati pada semua 46 kasus.
Klasifikasi vitalitas luka menunjukkan korelasi dengan waktu yang diketahui sejak cedera.
Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor sosiodemografi memainkan peran penting dalam keadaan yang mengarah pada kematian akibat bunuh diri. Oleh karena itu, dalam upaya mengurangi beban kematian akibat bunuh diri, faktor-faktor ini harus ditangani. Untuk mengidentifikasi penyebab kematian sebagai gantung diri, analisis berbagai gambaran makroskopis dan histopatologi sangat penting dan harus dilakukan dengan hati-hati.
Kata Kunci
Gantung diri, histopatologi, tanda jerat, kasus postmortem, reaksi vital
Pendahuluan
Gantung diri didefinisikan sebagai "bentuk asfiksia yang disebabkan oleh penggantungan tubuh oleh jeratan yang melingkari leher, dengan kekuatan yang menekan adalah berat tubuh".
Berdasarkan tingkat suspensi (penggantungan), gantung diri diklasifikasikan menjadi:
1. Gantung diri lengkap (Complete Hanging) : Di sini tubuh sepenuhnya tergantung tanpa bagian tubuh mana pun menyentuh tanah.
2. Gantung diri sebagian (Partial Hanging) : Di sini tubuh sebagian tergantung dengan kaki atau lutut menyentuh tanah atau tubuh dalam posisi duduk atau berlutut.
Berdasarkan posisi simpul pada bahan jeratan, gantung diri diklasifikasikan sebagai:
1. Gantung diri tipikal (Typical Hanging) : Di mana simpul berada di belakang leher, di garis tengah, dan tanda jeratan tampak simetris serta mengarah ke atas di kedua sisi leher.
2. Gantung diri atipikal (Atypical Hanging) : Di mana simpul bahan jeratan berada di posisi selain pusat belakang leher atau tulang oksipital (bagian belakang kepala).
Menurut data Biro Catatan Kejahatan Nasional tahun 2021 dan 2022, di India, gantung diri adalah metode bunuh diri yang paling banyak digunakan, diikuti oleh keracunan, dan tenggelam dalam jumlah yang jauh lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemudahan aksesibilitas metode ini, dan potensi kematian yang tidak terlalu menyakitkan. Kasus bunuh diri massal, seperti kasus Burari, juga ditandai dengan gantung diri secara massal. Selain kasus gantung diri karena alasan hukum (judicial hanging) dan bunuh diri (suicidal hanging), di India juga dilaporkan kasus lynching (pembunuhan oleh massa), di mana salah satu metode yang digunakan adalah gantung paksa (homicidal hanging). Salah satu contoh adalah kasus di Uttar Pradesh, di mana dua gadis Dalit menjadi korban pemerkosaan berkelompok dan kemudian digantung.
Berbagai penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun, menganalisis faktor sosiodemografi, sifat dan penyebab tindakan, temuan makroskopis pada otopsi, dan temuan histopatologi. Penelitian ini menunjukkan pola yang tidak seragam mengenai parameter yang diteliti
Meskipun perbedaan regional dapat menjelaskan variasi parameter sosiodemografi, variasi yang mencolok dalam temuan makroskopis dan histopatologis tidak dapat dijelaskan dengan alasan yang sama. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mengenai pendekatan terbaik untuk otopsi dalam kasus kematian akibat gantung diri yang mempertahankan bukti secara maksimal, mengungkap sebanyak mungkin temuan dan menentukan kesimpulan diagnostik yang jelas dan khas (temuan patognomonik) untuk memastikan penyebab kematian adalah
gantung diri. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan ilmiah yang lebih sistematis untuk mengevaluasi berbagai teknik pemeriksaan dan tanda-tanda yang diamati selama autopsi.
Pemeriksaan post-mortem yang mencakup temuan morfologi makroskopis dan analisis histopatologisnya, menjadi sangat penting dalam kasus di mana tanda jeratan khas di leher tidak jelas terlihat atau bahkan tidak ditemukan. Dalam kasus seperti itu, tanda-tanda gantung diri ante-mortem lainnya diselidiki. Ini termasuk pembedahan leher lapis demi lapis ("bloodless" dissection): proses ini dilakukan secara hati-hati untuk memeriksa adanya cedera atau trauma pada jaringan di bawah kulit, serta analisis histopatologi mikroskopis pada kulit di area kompresi (tekanan) yang dicurigai sebagai tempat jeratan untuk mencari 'reaksi vital'.
Reaksi vital menunjukkan adanya respons biologis yang hanya terjadi jika cedera terjadi sebelum kematian. Saat ini, deteksi reaksi vital diakui sebagai "gold standard" atau metode terbaik dalam memastikan tanda gantung diri antemortem. Namun, cedera yang terjadi pada periode perimortem (tepat sebelum kematian) dan awal post-mortem (setelah kematian) sering kali sulit dibedakan secara mikroskopis, sehingga menjadi tantangan dalam menentukan vitalitas luka. Untuk mengatasi keterbatasan ini, metode yang lebih canggih seperti: enzim histokimia dan imunohistokimia telah dikembangkan dan mulai digunakan dalam praktik forensik untuk mendeteksi tanda-tanda luka antemortem secara lebih akurat.
Meskipun teknik imunohistokimia lanjutan menghasilkan hasil yang signifikan, biaya dan aplikasi praktisnya sangat membatasi penggunaannya. Saat itulah mikroskop rutin kembali menjadi sorotan. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk mengidentifikasi penanda histopatologis prediktif yang baik dari cedera ante-mortem dan vitalitas luka dalam kasus gantung diri.
Mempertimbangkan fakta-fakta ini, terdapat kesenjangan pengetahuan mengenai pola epidemiologi, morfologi makroskopis, dan karakteristik histopatologi dalam kasus kematian akibat gantung diri, karena studi serupa sebelumnya belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari profil epidemiologi kasus otopsi gantung diri, termasuk pola sosiodemografi dan faktor psikososial yang berkontribusi pada cara kematian; untuk menganalisis penampilan morfologi makroskopis struktur leher selama pemeriksaan eksternal dan internal; untuk mengidentifikasi cedera dan tanda-tanda asfiksia dalam kasus otopsi gantung diri; untuk mempelajari perubahan histopatologis pada kulit dan jaringan di bawahnya dari area tanda jeratan dan jaringan di sekitar area jeratan; untuk membandingkan perbedaan karakteristik cedera; dan untuk menentukan waktu sejak terjadinya cedera secara histopatologis dalam kasus otopsi gantung diri.
Metode
Ini adalah penelitian observasional potong lintang. Izin komite Etik Institusi (IEC:485/2022) diambil sebelum memulai peneltian dari komite etika institusi Rumah Sakit dan Perguruan Tinggi Kedokteran Kasturba pada tanggal 8 Februari 2023. Peneliti menggunakan pedoman pelaporan STROBE untuk penelitian ini; daftar periksa lengkap tersedia di bawah Pedoman Pelaporan. Penelitian saat ini dilakukan dari Februari 2023 hingga Juni 2024 di departemen Kedokteran Forensik yang bekerja sama dengan Departemen Patologi. Penelitian dilakukan pada 46 kasus Otopsi. Kasus kematian gantung diri dibawa ke Kamar Mayat dan kasus di mana waktu kematian telah ditetapkan dan diketahui dimasukkan dalam penelitian. Mayat yang membusuk tidak diikut sertakan.
Deskripsi rinci prosedur/proses:
Komite etika telah memberikan pengecualian untuk tidak meminta persetujuan dari kerabat almarhum karena kasus-kasus ini adalah kasus postmortem di mana hukum memberikan persetujuan untuk otopsi dan penentuan penyebab kematian. Pada kasus-kasus di atas, sampel diambil dari kematian akibat gantung diri, sehingga jaringan harus diambil untuk menentukan penyebab kematian. Persetujuan yang diberikan oleh hukum untuk melakukan otopsi dianggap sah dan berlaku. Rincian berikut dikumpulkan dari dokumen penyelidikan polisi, dokumen pemberitahuan polisi, saksi di tempat kejadian dan petugas polisi yang menangani kejadian tersebut:
1. Usia, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan.
2. Latar belakang kasus, riwayat intoksikasi, tempat, tanggal, dan waktu terjadinya kematian.
3. Nomor post-mortem, tanggal, dan waktu penerimaan tubuh di kamar mayat.
Prosedur pemeriksaan eksternal
Setelah pengumpulan data sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan memastikan bahwa kriteria inklusi terpenuhi, kasus tersebut dipilih untuk diikutsertakan dalam penelitian dan menjalani pemeriksaan post-mortem (autopsi) secara rinci. Langkah-langkah dalam pemeriksaan eksternal meliputi: Pemeriksaan bahan jeratan yaitu mencatat ada atau tidaknya bahan jeratan yang masih berada di leher. Mencatat jenis gantung diri (gantung total atau gantung sebagian) dan cara terjadinya. Jika bahan jeratan ditemukan, dicatat jenis bahan yang digunakan (misalnya tali, kain, dll.). Jenis dan posisi simpul (apakah di belakang leher atau posisi lain). Ciri penting lainnya yang tampak pada bahan jeratan. Bahan jeratan kemudian
diamankan dengan tali, diikat, dan dilepaskan dari leher untuk analisis lebih lanjut. Setelah itu, pakaian korban diperiksa untuk mencari tanda-tanda terkait dan kemudian dilepaskan.
Evaluasi tanda jeratan menilai lokasi tanda jeratan di leher dengan merujuk pada kartilago tiroid (tulang rawan di leher). Mencatat apakah tanda jeratan mengelilingi leher secara penuh atau sebagian (lihat Gambar 1). Melakukan pemeriksaan post-mortem umum terhadap ciri-ciri eksternal lainnya, termasuk tanda asfiksia atau cedera lainnya. Setelah seluruh ciri eksternal dicatat, dilakukan diseksi leher untuk melanjutkan ke pemeriksaan internal.
Gambar 1.Menunjukkan tanda pengikat yang ada pada bagian tulang rawan tiroid.
Prosedur diseksi leher dan pemeriksaan internal
Sayatan linier untuk pemeriksaan dada dan perut serta eviserasi dibuat dari lekukan suprasternal ke simfisis pubis, dengan menghindari umbilikus. Modifikasi teknik Lettulle digunakan dan eviserasi dilakukan, di mana seluruh organ dalam diangkat secara bersamaan.
Proses ini mencakup pengangkatan organ-organ di bawah ujung bawah trakea, mulai dari persendian sternoklavikular (di antara tulang dada dan klavikula) hingga persimpangan rektosigmoid (bagian akhir usus besar sebelum rektum). Dilakukan diseksi kranial, termasuk pelepasan dura mater. Tindakan ini bertujuan menciptakan bidang diseksi tanpa darah di area leher untuk memudahkan pemeriksaan lebih lanjut.
Blok setinggi 12-20 cm diletakkan di bawah bahu untuk meregangkan leher, memudahkan akses saat diseksi. Dilakukan insisi (sayatan kulit) memanjang dari suprasternal notch (lekukan di atas tulang dada) hingga symphysis menti (ujung bawah dagu). Diambil sampel jaringan berukuran 5 × 2 cm x dalam otot lurik, dari area tekanan maksimal di sekitar
tanda jeratan, beserta jaringan di atas dan di bawah tanda jeratan sebagai perbandingan. Area di atas dan di bawah tanda jeratan diberi penanda tinta india untuk membedakan lokasi sampel.
Sampel jaringan diawetkan dalam formalin buffer netral 10% untuk analisis histopatologi.
Kulit dipegang menggunakan pinset bergerigi (toothed forceps) untuk menjaga stabilitas.
Diseksi dilakukan secara hati-hati melalui jaringan subkutan hingga mencapai batas bawah mandibula (rahang bawah), sehingga memperlihatkan otot platysma. Otot platysma dan fasia servikalis dalam (deep cervical fascia) diangkat untuk mengekspos otot leher di bawahnya.
Otot sternokleidomastoid diidentifikasi, kemudian bagian yang melekat pada tulang dada (sternal) dan klavikula dipotong dan diangkat ke atas. Hal ini akan membuka akses ke otot omohyoid di bawahnya. Bagian bawah otot omohyoid dipotong, dan otot ini bersama median raphe (garis tengah jaringan ikat) diangkat ke atas. Otot sternohyoid dan sternothyroid diidentifikasi, dipotong, dan diangkat ke atas untuk mengekspos kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid dibedah di isthmus dan diangkat ke samping untuk membuka trakea di bawahnya. Diseksi tumpul (blunt dissection) digunakan untuk memisahkan struktur seperti laring, trakea, dan faring dari jaringan prevertebral (jaringan di depan tulang belakang).
Dengan membuka mulut, lalu lidah didorong ke belakang dan ke atas menggunakan forsep. Pisau khusus (tongue knife) dimasukkan di bawah mandibula (rahang bawah) untuk memotong jaringan otot dasar mulut dan otot leher. Diseksi dilanjutkan ke belakang, dengan hati-hati menghindari arteri karotis untuk mencegah kerusakan. Diseksi berlanjut ke bawah hingga mencapai suprasternal notch (lekukan di atas tulang dada) untuk memisahkan struktur faring dan laring dari jaringan sekitarnya. Arteri karotis di leher dibelah (dipotong) dan kemudian dikeluarkan untuk diperiksa lebih lanjut. Tulang hyoid dipisahkan dari otot-otot yang melekat padanya dan diperiksa. Jaringan yang diambil dari area tanda jeratan (ligature mark) dan sekitarnya dikumpulkan untuk analisis histopatologi.
Prosedur Pemeriksaan Histopatologi
Sampel jaringan direndam dalam formalin buffer netral 10% selama minimal 8 jam untuk mempertahankan struktur jaringan. Jaringan dipotong secara sistematis dari epidermis (lapisan kulit luar) hingga hipodermis (lapisan lemak di bawah kulit). Potongan jaringan ditempatkan di tissue processor untuk persiapan lanjutan. Jaringan kemudian dibenamkan dalam paraplast (media khusus untuk membekukan jaringan agar dapat dipotong). Jaringan dipotong setebal 5 mikrometer menggunakan mikrotom. Tiga potongan seri dari setiap sampel ditempatkan di kaca objek untuk proses pewarnaan. Pewarnaan utama dilakukan menggunakan metode otomatis dengan Hematoxylin dan Eosin (H&E) untuk melihat struktur umum jaringan.
Pewarnaan khusus dilakukan untuk mendeteksi komponen tertentu: Masson’s Trichrome:
Untuk kolagen dan fibrin (menilai jaringan ikat dan bekas luka). Elastic van Gieson: Untuk serat elastin (memeriksa kerusakan jaringan elastin). Kaca objek dipasang menggunakan DPX sebagai media penyangga agar preparat awet dan dapat dianalisis. Preparat diperiksa secara terpisah oleh residen patologi dan diverifikasi oleh konsultan patologi.
Temuan diklasifikasikan sesuai dengan Klasifikasi Dettmeyer, yang digunakan untuk mengevaluasi vitalitas luka (wound vitality) dan membedakan cedera antemortem (sebelum kematian) dari postmortem (setelah kematian).
Analisis Statistik
Semua data yang dikumpulkan dimasukkan ke dalam lembar Microsoft Excel untuk pengolahan dan analisis. Analisis statistik standar dilakukan untuk mengevaluasi parameter yang diperoleh. Hasil disajikan dalam bentuk: Rata-rata, frekuensi dan persentase. Semua data mentah atau asli yang digunakan dalam analisis tersedia di bagian Underlying Data.
Hasil Penelitian 1. Usia
Rentang usia korban dalam penelitian ini adalah 15 hingga 82 tahun. Rata-rata usia korban adalah 43,9 tahun. Kelompok usia dengan jumlah kasus terbanyak adalah 41 hingga 50 tahun, dengan mayoritas korban adalah laki-laki di kelompok usia ini (ditampilkan dalam Tabel 1).
Tabel 1 Distribusi jenis kelamin berdasarkan umur
Usia kelompok (dalam tahun)
Jumlah berdasarkan jenis kelamin
Total Presentase
10-20 Laki-laki : 1
Perempuan : 2
3 6,5
21-30 Laki-laki : 7
Perempuan : 2
9 19,5
31-40 Laki-laki : 5
Perempuan : 2
7 15,2
41-50 Laki-laki : 11
Perempuan : 1
12 26,1
51-60 Laki-laki : 3
Perempuan : 1
4 10,9
61-70 Laki-laki : 6 7 10,9
Usia kelompok (dalam tahun)
Jumlah berdasarkan jenis kelamin
Total Presentase
Perempuan : 1 71 dan keatas Laki-laki : 4
Perempuan : 0
4 10,9
2. Jenis Kelamin
Mayoritas korban adalah laki-laki sebanyak 37 kasus (80,4%). Korban perempuan berjumlah 9 kasus (19,6%).
3. Status Pernikahan
30 kasus (65,2%) merupakan korban yang menikah, 15 kasus (32,6%) adalah korban yang belum menikah, dan 1 kasus (2,2%) merupakan korban yang bercerai. Dari populasi yang menikah, mayoritas adalah laki-laki (24 orang).
4. Pekerjaan
Pekerjaan korban diklasifikasikan menjadi beberapa kategori pelajar, profesional, pekerja administratif, pekerja harian, ibu rumah tangga dan pengangguran. Kelompok pekerjaan dengan insiden tertinggi adalah pekerja harian sebanyak 37% (ditampilkan dalam Tabel 2).
Table 2. distribusi berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan Jumlah Presentase
Pelajar 6 13
Professional 1 2,2
Pekerja administratif 8 17,4
Pekerja harian 17 37
Ibu rumah tangga 6 13
Pengangguran 8 17,4
5. Lokasi Kejadian
Distribusi kasus berdasarkan lokasi tempat kejadian disajikan di Tabel 3.
Table 3 distribusi berdasarkan lokasi
Lokasi Jumlah Presentase
Brahmavara 1 2,2
Gangolli 1 2,2
Hebri 3 6,5
Hiriyadka 8 17,4
Kapu 3 6,5
Lokasi Jumlah Presentase
Karkalla 1 2,2
Kota 1 2,2
Kundapura 1 2,2
Manipal 22 47,8
Padubidri 1 2,2
Udupi town 4 8,7
6. Intoksikasi terkait
12 kasus (26,1%) menunjukkan adanya intoksikasi akibat konsumsi alkohol. Sebagian besar kasus intoksikasi ditemukan di kelompok usia 41–50 tahun. 34 kasus (73,9%) tidak ditemukan bukti adanya intoksikasi.
7. Latar belakang kasus
Depresi 19 (41,3%) adalah alasan yang paling sering disebutkan untuk bunuh diri pada laki-laki dan perempuan, dengan jumlah kasus terbesar tercatat pada kelompok usia 21- 30 tahun, 31-40 tahun dan 41-50 tahun (4 kasus per kelompok). Diikuti oleh masalah kesehatan 10 (21,7), konflik keluarga 7 (15,2), masalah keuangan 5 (10,9), penyakit kejiwaan 4 (8,7%) dan stres kerja 1 (2,2%).
8. Tanda-tanda asfiksia
Kongesti wajah terjadi pada 15 (32,6%) kasus, dan perubahan warna kebiruan pada kuku jari (sianosis) terjadi pada 42 (91,3%) kasus, namun, edema wajah hanya diamati dalam 2 (4,3%) kasus, dan perdarahan petechiae tidak diamati dalam kasus apa pun.
9. Tanda-tanda kompresi leher
Air liur yang menetes diamati dalam 4 (8,7%) kasus sedangkan karakteristik 'La facie sympathique' tidak diamati dalam kasus apa pun.
10. Temuan post-mortem umum
Lebam post-mortem dapat diamati di semua kasus, di mana, di 13 (28,3%) lebam tetap dan di 33 (71,7%), lebam tidak tetap. Noda feses saja diamati dalam 4 (8,7%) kasus, dan noda mani saja dalam 21 (45,7%) kasus. Noda tinja dan mani ditemukan pada 5 (10,9%) kasus. Tidak ada noda urin yang diamati dalam kasus apa pun. Perdarahan subkonjungtiva diamati dalam 2 (4,3%) kasus. 12 (26,1%) kasus menunjukkan cedera terkait.
11. Fitur bahan jeratan dan tanda jeratan Bahan jeratan
Dari 46 kasus otopsi, bahan jeratan tidak ada selama pemeriksaan post-mortem di 5 kasus. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dinilai. Berbagai bahan jeratan yang diamati termasuk tali nilon 19 (46,3%), sari 5 (12,2%), selendang 5 (12,2%), kain yang tidak dapat dikenali 3 (7,3%), seprai 2 (4,9%), handuk 2 (4,9%), dhothi 2 (4,9%), tali sabut 1 (2,4%), kawat listrik 1 (2,4%), dan sabuk bagasi 1 (2,4%).
12. Jenis dan posisi simpul
Tanda jeratan ditemukan berjalan ke atas dan ke belakang dari garis tengah leher dan terletak di titik di atas tulang rawan tiroid di semua kasus yang dipelajari. Jenis dan posisi simpul ditunjukkan pada Tabel 4 dan 5.
Table 4 distribusi jenis simpul
Jenis simpul Jumlah Presentase
Sederhana 2 5,4
Tetap 11 29,7
Geser 24 64,9
Table 5 distribusi posisi simpul
Posisi simpul Jumlah Presentase
Tipikal 5 14,3
Atipikal 30 85,7
13. Jenis dan cara gantung diri
Semua kasus otopsi gantung diri dalam penelitian ini bersifat bunuh diri. 32 (69,6%) adalah kasus gantung diri sebagian, sedangkan 14 (30,4%) kasus adalah gantung diri lengkap.
14. Cedera pada jaringan lunak dan pembuluh darah leher
Jaringan subkutan di 44 (95,7%) kasus berwarna pucat dan glistening, dan 2 (4,3%) kasus menunjukkan jaringan subkutan yang normal tanpa kelainan. Memar pada otot strap diamati di 2 (4,3%) kasus dengan satu kasus menunjukkan memar otot sternohyoid dan sternotiroid dan satu kasus memar hanya otot sternotiroid.
Memar otot sternokleidomastoid diamati di 6 (13%) kasus, semuanya adalah kasus gantung diri lengkap. Dari jumlah tersebut, sebagian besar kasus (3 kasus) adalah kasus posisi simpul atipikal. Sari digunakan dalam dua kasus di atas. Otot-otot leher lainnya tidak menunjukkan kelainan atau cedera dalam semua kasus yang diteliti.
Robekan intima karotis tercatat di 3 (6,5%) kasus, di mana semuanya adalah kasus gantung diri lengkap dengan posisi simpul bahan jeratan atipikal. Tali nilon, sari dan bahan kain yang tidak dapat dikenali digunakan di masing-masing kasus. Tidak ada kasus cedera kelenjar tiroid yang tercatat.
15. Cedera pada struktur tulang dan tulang rawan leher
Fraktur tulang hyoid diamati di 8 (17,4%) kasus otopsi. Dari kasus dengan fraktur tulang hyoid, sebagian besar kasus memiliki posisi simpul atipikal dengan tali nilon yang digunakan sebagai bahan jeratan (4 kasus). Fraktur ini terdistribusi merata di antara kasus gantung total dan gantung sebagian. Fraktur vertebra servikal (tulang leher) ditemukan di 1 kasus (2,2%). Tidak ada fraktur yang diamati di antara tulang rawan laring.
Memar tulang hyoid terlihat di 7 (15,2%) kasus, dengan sebagian besar kasus adalah kasus gantung diri total (5 kasus), posisi simpul atipikal (4 kasus) dan dengan tali nilon sebagai bahan jeratan (4 kasus). Memar pada kartilago tiroid ditemukan di 5 kasus (10,9%), dengan pola distribusi yang serupa dengan memar di tulang hyoid. Tidak ada memar yang ditemukan pada tulang rawan laring lainnya atau vertebra servikal.
16. Reaksi vital
Reaksi vital ditemukan di 100% kasus di area tanda jeratan (ligature mark). Tidak ada reaksi vital atau kebocoran sel darah merah (extravasasi RBC) yang ditemukan di jaringan di atas atau di bawah area tanda jeratan di kasus mana pun.
17. Waktu sejak cedera
Waktu sejak cedera secara luas dibagi menjadi cedera vital segar, luka vital, luka yang terjadi sesaat sebelum atau sesudah kematian, luka yang belum lama terjadi dan tidak lagi segar. Pola distribusi waktu sejak cedera diberikan pada Tabel 6. Gambar histopatologi jaringan ditunjukkan pada Gambar 2-6.
Tabel 6 distribusi waktu sejak cedera
Waktu sejak cedera Jumlah Presentase
Cedera vital segar 4 8,7
Luka vital 23 50
luka yang terjadi sesaat sebelum atau sesudah kematian
16 34,8
Luka yang belum lama terjadi 1 2,2
Luka yang tidak lagi segar 2 4,3
Kategori 1: Luka yang terjadi sesaat sebelum atau setelah kematian ditunjukkan dalam gambar 2. Ciri-ciri mikroskopis: Epidermis (lapisan luar kulit) utuh. Kolagen dermis (jaringan ikat di bawah kulit) dan pembuluh darah tidak menunjukkan kelainan.
Tidak ada reaksi imun aktif yang menandakan peradangan atau respons tubuh terhadap cedera.
Gambar 2. luka yang terjadi sesaat sebelum atau sesudah kematian, A. H&E 100x, B. H&E400x
Kategori 2: Luka vital, terjadi saat masih hidup ditunjukkan dalam gambar 3. Ciri- ciri mikroskopis: Epidermis mengalami erosi (ditandai oleh panah hitam). Kolagen di dermis menunjukkan disrupsi fibroblas (sel pembentuk jaringan ikat) yang rusak atau terganggu (ditandai oleh kepala panah).
Gambar 3. Luka vital yang terjadi saat masih hidup. A. H&E 100x, B.H&E 400x
Kategori 3: Luka Vital Segar, terjadi dalam hitungan jam hingga beberapa hari ditunjukkan dalam gambar 4. Ciri-ciri mikroskopis: Epidermis mengalami erosi.
Ekstravasasi sel darah merah (RBC keluar dari pembuluh darah) terlihat di lapisan dermis (ditandai oleh kepala panah). Terdapat fibrin trombi (bekuan fibrin di pembuluh darah) di pembuluh (ditandai oleh panah hitam).
Gambar 3. Luka vital segar yang terjadi dalam hitungan jam hingga beberapa hari. A. H&E 100x, B. H&E 400x
Kategori 4: Luka vital tidak lagi segar (Beberapa hari hingga minggu awal) ditunjukkan dalam gambar 5. Ciri-ciri mikroskopis: Reaksi peradangan intens di dermis, terdiri dari neutrofil ditandai oleh panah hitam, sel mononuklear dan makrofag.
Pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) di area cedera (ditandai oleh kepala panah).
Gambar 5. Luka vital yang tidak lagi segar (Beberapa hari hingga minggu awal). A. H&E, 400x, B. H&E 400x
Kategori 5: Luka vital tidak terlalu lama (Beberapa minggu hingga bulan) ditunjukkan dalam gambar 6. Ciri-ciri mikroskopis: Epidermis menunjukkan regenerasi (lapisan kulit mulai memperbaiki diri). Terdapat kolagen yang menebal dan mengeras (sklerosis) yang membentuk jaringan parut (ditandai oleh kepala panah). Hilangnya struktur adnexa kulit (seperti folikel rambut dan kelenjar). Peradangan minimal atau hampir tidak ada.
Gambar 6. Luka vital yang tidak terlalu lama (Beberapa minggu hingga bulan). H&E, 100x
Pembahasan
Kematian akibat asfiksia sering kali disebabkan oleh gantung diri. Dalam kasus ini, terdapat tiga kemungkinan penyebab hukum yang harus ditentukan melalui autopsi: Bunuh diri (suicidal hanging), pembunuhan (homicidal hanging), atau kecelakaan (accidental hanging) Simulasi gantung diri dapat mempersulit penyelidikan penyebab kematian yang tidak wajar.
Oleh karena itu, pemeriksaan eksternal dan internal yang rinci serta analisis sampel sangat penting untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat. Selain postmortem, faktor tambahan seperti: bahan jeratan, lokasi dan posisi simpul jeratan, evaluasi tempat kejadian perkara (TKP) dapat membantu memperkuat kesimpulan mengenai penyebab kematian.
Studi sebelumnya oleh Denning et al. dan Mergl et al. menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering menggunakan metode gantung diri dibandingkan perempuan. Penelitian di Karnataka, India, menunjukkan hasil serupa di mana mayoritas korban gantung diri adalah laki-laki.
Dalam penelitian ini, ditemukan rasio laki-laki:perempuan sebesar 4,1:1, yang lebih dari dua kali lipat dibandingkan penelitian sebelumnya di Karnataka (rasio berkisar antara 1,5:1 hingga 1,13:1). Kelompok usia 41-50 tahun memiliki jumlah kasus tertinggi, berbeda dari penelitian sebelumnya yang mencatat insiden tertinggi di usia yang lebih muda.
Dalam penelitian ini, 65,2% korban gantung diri adalah orang yang sudah menikah, sejalan dengan temuan Karthik et al., yang menunjukkan bahwa individu yang sudah menikah memiliki risiko lebih tinggi.
Depresi merupakan penyebab utama gantung diri di penelitian ini (41,3% kasus), diikuti oleh masalah kesehatan 21,7%, konflik keluarga 15,2%. Temuan ini berbeda dari studi sebelumnya yang jarang mengaitkan depresi sebagai penyebab utama gantung diri. Studi global oleh Yang et al. selama 30 tahun di 204 negara menunjukkan bahwa depresi adalah salah satu
penyebab utama beban penyakit global, menekankan pentingnya program kesehatan mental untuk mencegah bunuh diri.
Meskipun ada pendapat bahwa tanda-tanda asfiksia menjadi kurang relevan dalam praktik forensik, mereka masih penting untuk mengarahkan penyelidik dalam kasus tanpa penyebab kematian yang jelas. Studi oleh James dan Silcocks menemukan: Perdarahan petekie di 23% kasus, kongesti wajah di 5% kasus. Lockyer BE melaporkan insiden perdarahan petekie sebesar 25%. Dalam penelitian ini: kongesti wajah ditemukan di 32,6% kasus, sianosis (kebiruan kuku) di 91,3% kasus. Edema wajah dan perdarahan subconjunctival masing-masing hanya di 4,3% kasus. Perdarahan petekie tidak ditemukan di kasus mana pun.
Tanda khas gantung diri seperti salivary dribbling (air liur menetes) hanya ditemukan di 4,3% kasus. La facie sympathique (penyempitan pupil) tidak ditemukan di kasus mana pun, berbeda dengan laporan di literatur sebelumnya. Penelitian ini menunjukkan: 45,7% kasus memiliki noda mani, 8,7% kasus memiliki noda feses. 10,9% kasus menunjukkan kombinasi noda mani dan feses. Tidak ada kasus yang menunjukkan noda urin.
Jaringan subkutan tampak pucat dan mengkilap di 95,7% kasus, konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Suarez-Penaranda, Jiwane, dan Simonsen. Memar otot leher (strap muscle) ditemukan di 4,3% kasus, sedangkan memar otot sternokleidomastoid ditemukan di 13% kasus, sesuai dengan laporan sebelumnya.
Robekan intima arteri karotis (Amussat’s sign) terlihat di 6,5% kasus, sesuai dengan penelitian sebelumnya.
Memar tulang hyoid ditemukan di 15,2% kasus, fraktur tulang hyoid ditemukan di 17,4%
kasus dan memar kartilago tiroid ditemukan di 10,9% kasus. Fraktur vertebra servikal hanya di 1 kasus (2,2%). Insiden cedera ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Eisenmenger, Betz, dan Nikolic, tetapi sebanding dengan temuan oleh Kokatanur dan Feigin.
Reaksi vital, termasuk perdarahan dan infiltrasi sel inflamasi, ditemukan di 100% kasus, sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Kokatanur dan Prasad.
Keterbatasan Penelitian
1. Jumlah kasus yang terbatas dalam periode penelitian.
2. Tidak menggunakan teknik histokimia enzim dan imunohistokimia canggih, yang bisa diterapkan dalam penelitian di masa depan untuk analisis lebih akurat.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan yang ada mengenai kasus bunuh diri akibat gantung diri. Faktor sosiodemografis seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan memiliki peran penting dalam menciptakan kondisi yang menyebabkan bunuh diri. Oleh karena itu, untuk mengurangi angka kematian akibat bunuh diri, perlu ada intervensi sosial dan kebijakan kesehatan mental yang menargetkan faktor-faktor ini. Analisis ciri-ciri morfologi makroskopis menunjukkan bahwa temuan dalam literatur tidak selalu sesuai dengan observasi nyata di dunia forensik. Ini menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut mengenai estimasi vitalitas luka dan konsensus mengenai definisi istilah 'reaksi vital' akan sangat bermanfaat bagi forensik.
Pertimbangan Etika
Persetujuan etik diperoleh dari Komite Etik Institusional Kasturba Medical College dan Kasturba Hospital pada 8 Februari 2023.
Nomor persetujuan: IEC:485/2022.
Ketersediaan Data Data Dasar
Data tersedia di platform Figshare dengan judul:
"Epidemiological, Gross Morphological, And Histopathological Analysis Of Postmortem Cases Of Hanging – An Observational Study".
Tautan: https://figshare.com/articles/dataset/Data_sheet/27917280?file=51057245.
Data ini mencakup lembar data lengkap dari 46 kasus.
Data tersedia di bawah Creative Commons Zero (CC0 1.0 Public Domain Dedication), yang berarti bebas digunakan tanpa batasan hak cipta.
Data Tambahan
Data tersedia di platform Figshare dengan judul:
"Epidemiological, Gross Morphological, And Histopathological Analysis Of Postmortem Cases Of Hanging – An Observational Study".
Tautan:https://figshare.com/articles/online_resource/Strobe_checklist/27917358?file=508351 89.
Data ini juga tersedia di bawah Creative Commons Zero (CC0 1.0 Public Domain Dedication).
Ucapan Terima Kasih
Tidak ada pihak atau lembaga yang secara khusus diakui dalam penelitian ini
JBI Critical Appraisal Checklist for Prevalence Studies Alasan pemilihan:
- Penelitian hanya bersifat deskriptif, tanpa analisis hubungan antarvariabel.
- Data yang disajikan berupa distribusi karakteristik kasus gantung diri, seperti epidemiologi, morfologi kasar, dan temuan histopatologi.
- Checklist ini digunakan untuk studi yang melaporkan prevalensi atau distribusi karakteristik suatu kondisi dalam populasi tertentu tanpa menguji hubungan kausal.
No. Kriteria Ya Tidak Tidak
jelas
Tidak dapat diterapkan 1 Apakah sampel penelitian merepresentasikan
populasi yang diteliti?
Ya
2 Apakah partisipan penelitian dipilih dengan cara yang sesuai?
Ya
3 Apakah ukuran sampel memadai? Tidak
Jelas 4 Apakah subjek penelitian dan latar dijelaskan
secara rinci?
Ya
5 Apakah analisis data dilakukan dengan cakupan sampel yang cukup?
Ya
6 Apakah metode yang valid digunakan untuk mengidentifikasi kondisi yang diteliti?
Ya
7 Apakah kondisi diukur dengan cara standar dan andal untuk semua peserta?
Ya
8 Apakah analisis statistik yang digunakan sesuai? Ya 9 Apakah tingkat respons memadai, dan jika tidak,
apakah tingkat respons rendah dikelola dengan sesuai?
Tidak berlaku
1. Apakah sampel penelitian merepresentasikan populasi yang diteliti? Ya. Sampel diambil dari kasus-kasus yang relevan dengan populasi target, dan metode pemilihan sampel sudah dijelaskan dengan jelas dalam naskah.
2. Apakah partisipan penelitian dipilih dengan cara yang sesuai? Ya. Sampel terdiri dari kasus-kasus yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dan melakukan eksklusi pada kasus dengan informasi yang tidak lengkap.
3. Apakah ukuran sampel memadai? Tidak Jelas. Peneliti menyatakan bahwa jumlah kasus terbatas dalam periode penelitian, yang merupakan keterbatasan studi. Tidak ada perhitungan sampel awal untuk memastikan kecukupan ukuran sampel dalam mengestimasi prevalensi dengan tingkat presisi yang memadai.
4. Apakah subjek penelitian dan latar dijelaskan secara rinci? Ya. Jurnal menjelaskan secara jelas tentang karakteristik kasus yang dianalisis, metode autopsi, serta lokasi pemeriksaan forensik.
5. Apakah analisis data dilakukan dengan cakupan sampel yang cukup? Ya. Data yang diperoleh dari autopsi mencakup berbagai variabel seperti lokasi perdarahan, jenis gantung diri, dan kondisi leher, dengan cakupan yang memadai terhadap sampel yang dianalisis.
6. Apakah metode yang valid digunakan untuk mengidentifikasi kondisi yang diteliti? Ya.
Pemeriksaan forensik dilakukan dengan metode yang diakui dalam ilmu kedokteran forensik, termasuk diseksi rinci otot SCM (sternocleidomastoid).
7. Apakah kondisi diukur dengan cara standar dan andal untuk semua peserta? Ya.
Pemeriksaan dilakukan secara sistematis pada setiap kasus, dengan metode yang sama untuk semua sampel, sehingga hasilnya konsisten dan dapat diandalkan.
8. Apakah analisis statistik yang digunakan sesuai? Ya. Studi ini hanya menggunakan analisis deskriptif data disajikan dalam bentuk distribusi dan persentase, yang sesuai untuk studi prevalensi.
9. Apakah tingkat respons memadai, dan jika tidak, apakah tingkat respons rendah dikelola dengan sesuai? Tidak berlaku. Studi ini merupakan penelitian berbasis data sekunder dari kasus forensik, sehingga tidak ada masalah terkait tingkat respons partisipan.
Kesimpulan:
Penelitian ini memenuhi sebagian besar kriteria JBI untuk studi prevalensi, Studi ini memiliki kualitas yang baik untuk penelitian deskriptif prevalensi, dengan pelaporan metodologi yang cukup transparan dan hasil yang dapat diandalkan dalam konteks studi postmortem pada kasus gantung diri. Namun, ada beberapa keterbatasan yang perlu dipertimbangkan. Jumlah sampel relatif kecil dan penelitian ini dilakukan di satu rumah sakit pendidikan tersier, sehingga temuan mungkin tidak dapat digeneralisasikan ke populasi lain.
PEMBAHASAN
Gantung diri adalah suatu bentuk pencekikan dengan ligatur di mana tekanan yang diberikan pada leher berasal dari tarikan gravitasi akibat berat tubuh atau sebagian tubuh.1 Kasus gantung diri diklasifikasikan berdasarkan posisi bekas jeratan. Gantung diri disebut
"tipikal" jika bekas jeratan terletak di bagian depan leher, di antara tulang hioid dan tulang rawan tiroid, dengan alur bekas jeratan mengarah ke atas menuju titik di garis tengah belakang leher. Sebaliknya, dikategorikan sebagai "atipikal" jika sudut alur bekas jeratan berada di samping leher atau di bagian depan leher. Kasus gantung diri dibagi menjadi dua subkategori, yaitu "gantung lengkap", di mana seluruh tubuh berada di udara dan berat badan sepenuhnya ditopang oleh leher, dan "gantung tidak lengkap", di mana sebagian tubuh menyentuh lantai atau penyangga lainnya.2
Alat jerat dikelompokkan menjadi dua jenis: bahan keras (misalnya tali, tali baja, kabel, sabuk, tali pengikat, lakban, kawat, kawat jemuran, dan selang taman) dan bahan lunak (misalnya seprai, pakaian, handuk, ikat pinggang jubah mandi, dan syal).2
Gambar 1. Jenis gantung diri. Gantung diri dikategorikan sebagai tipikal apabila simpul berada di bagian belakang leher (posterior). Sementara itu, atipikal mencakup posisi simpul yang berada di area selain bagian
belakang leher.2
Secara mikroskopis, tanda jerat menunjukkan karakteristik umum dari abrasi, termasuk pengelupasan (deskuamasi) dan perataan sel-sel epidermis. Dalam penelitian Ghodake et al, tanda jerat mengelilingi leher secara lengkap pada 7% kasus, sedangkan 93% kasus menunjukkan tanda jerat mengelilingi leher secara tidak lengkap. Pada sebagian besar kasus kematian, tanda jerat berada di atas kartilago tiroid (70%), diikuti pada tingkat kartilago tiroid (20%), dan di bawah kartilago tiroid (10%). Arah tanda jerat miring dan ke atas di semua kasus kematian.3
Selama beberapa dekade, asfiksia respiratorik yang mencegah ventilasi dianggap sebagai mekanisme utama penyebab kematian dalam kasus gantung diri. Namun, berbagai peneliti menyatakan bahwa oklusi (penyumbatan) saluran napas, baik melalui kompresi langsung pada laring atau trakea maupun akibat penutupan faring oleh pergeseran lidah ke atas, bukan merupakan penyebab utama kematian. Bukti menunjukkan bahwa beberapa individu berhasil melakukan gantung diri meskipun memiliki lubang trakeostomi di bawah jerat. Selain itu, tekanan yang dibutuhkan untuk menekan trakea jauh lebih tinggi dibandingkan dengan struktur vital leher lainnya.4
Beberapa hipotesis lain telah diterima sebagai penyebab kematian pada kompresi leher akibat kecelakaan maupun bunuh diri, di antaranya: tekanan pada sinus karotis yang dapat menyebabkan refleks henti jantung, kompresi arteri karotis yang menyebabkan iskemia serebral (kekurangan aliran darah ke otak) dan oklusi vena jugularis, yang menghambat aliran balik darah dari otak.4
Temuan Eksternal
Temuan paling spesifik pada kasus gantung diri yang memerlukan perhatian khusus adalah tanda jerat di leher (ligature mark). Tanda-tanda kongesti, perdarahan petekie, dan cedera permukaan tubuh lainnya seperti abrasi, laserasi, dan kontusio harus didokumentasikan secara rinci.4
Pemeriksaan Internal
Cedera pada struktur tulang dan kartilago mencakup fraktur tulang hyoid, kartilago tiroid, dan kartilago krikoid, serta dislokasi vertebra servikal. Cedera jaringan lunak yang memengaruhi otot, pembuluh darah, dan jaringan subkutan juga harus diidentifikasi dan dideskripsikan secara rinci. Cedera internal dapat disebabkan secara langsung oleh tekanan dari jerat atau secara tidak langsung akibat tarikan.4
Cedera Tulang dan Kartilago
Fraktur kartilago tiroid, terutama di bagian tanduk superior, adalah fraktur yang paling umum ditemukan pada kasus gantung, dengan mayoritas fraktur terjadi di sepertiga bagian bawah menuju dasar kartilago. Sebaliknya, fraktur kartilago krikoid sangat jarang ditemukan pada kasus gantung diri. Menurut Godin et al., fraktur kartilago krikoid pada kasus gantung yang tampaknya bersifat bunuh diri atau kecelakaan yang dapat mengindikasikan keterlibatan tindakan criminal.4
Cedera pada vertebra servikal yang menyebabkan trauma pada sumsum tulang belakang dan batang otak sangat jarang terjadi pada kasus gantung yang bersifat bunuh diri. Sebagian besar kasus menunjukkan tulang belakang leher tetap utuh. Jika fraktur vertebra servikal
terjadi, metode gantung biasanya menyerupai tipe yudisial, di mana terdapat penurunan mendadak dari ketinggian yang signifikan bersamaan dengan suspensi tubuh secara penuh.
Fraktur ini juga lebih sering ditemukan pada korban dengan penyakit degeneratif lanjut di kolom servikal atau indeks massa tubuh yang tinggi.4
Penting untuk diingat bahwa fraktur kompleks laringohioid juga dapat terjadi selama proses pemindahan jenazah atau akibat diseksi yang tidak tepat tanpa bidang operasi yang memadai atau diseksi secara tumpul dan membabi buta. Beberapa penulis menyatakan bahwa diagnosis fraktur antemortem memerlukan adanya perdarahan di lokasi fraktur.4
Cedera jaringan lunak
Cedera jaringan lunak pada kasus gantung dapat mencakup perdarahan minimal, kontusio, laserasi, dan ruptur otot. Jika perdarahan pada lokasi fraktur tidak diperhitungkan, insiden cedera otot dalam kasus gantung diri berkisar antara 20–35% berdasarkan sebagian besar literatur yang tersedia, meskipun beberapa studi menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi. Otot yang mungkin mengalami kerusakan mencakup platysma, otot infrahioid, dan sternokleidomastoid, dengan sternokleidomastoid sebagai otot yang paling sering cedera dan merupakan cedera jaringan lunak leher yang paling umum.4
Lesi arteri karotis tampaknya lebih umum dibandingkan cedera vena jugularis, meskipun keduanya jauh lebih jarang dibandingkan cedera otot atau fraktur kompleks laringohioid.
Cedera yang telah dilaporkan pada arteri karotis mencakup laserasi intima atau ruptur adventitia, yang paling sering terjadi di percabangan arteri karotis atau dalam arteri karotis interna antara percabangan dan dasar tengkorak. Faktor yang berkontribusi terhadap cedera vaskular sulit ditentukan dengan pasti, tetapi indeks massa tubuh yang tinggi pada pria dan simpul tali yang tetap dianggap memiliki pengaruh penting.4
Hasil dari tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Mansueto et al menunjukkan bahwa:
(1) hanya sedikit penelitian yang telah dilakukan pada rangkaian besar tanda jerat; (2) penanda imunohistokimia yang tervalidasi belum ada; dan (3) morfologi histologis kulit serta organ- organ lain yang diambil pada autopsi, bersama dengan keadaan penyelidikan kematian, tetap krusial untuk diagnosis vitalitas dan usia luka kulit. Faktanya, histologi pada luka kulit vital, jika dibandingkan dengan kulit vital yang tidak rusak, menunjukkan abrasi yang lebih atau kurang nyata, dengan hilangnya lapisan epidermis dan kehadiran sel darah merah di permukaannya. Pada dermis, kongesti vaskular dan ekstravasi eritrosit dapat diobservasi bersama dengan infiltrat inflamasi fokal yang berguna untuk menentukan waktu pada kasus gantung diri tidak khas atau pada pencekikan dengan jerat. Dermis dalam, hipodermis, dan bagian otot lurik pada wilayah leher sering tampak terfragmentasi dan berasosiasi dengan
ekstravasi eritrosit yang jelas sebagai tanda klasik trauma. Semua temuan mikroskopis ini dianggap sebagai tanda vitalitas dan berguna untuk menunjukkan apakah cedera terjadi pada masa hidup dan kapan terjadinya.5
Gambar 2. (a), terlihat adanya hilangnya lapisan epidermis akibat tekanan ligatur, yang merupakan tanda trauma fisik. (b) menunjukkan adanya infiltrasi sel radang yang jelas disertai ekstravasasi eritrosit (kebocoran sel darah merah) di dermis superfisial yang berhubungan langsung dengan alur (sulcus) akibat tekanan tali. (c), terdapat ekstravasasi eritrosit yang jelas di perbatasan antara dermis dan hipodermis, serta di dalam jaringan hipodermis.
Ekstravasasi ini menunjukkan adanya tekanan yang menyebabkan kebocoran pembuluh darah kecil di bawah kulit. (d) menunjukkan ekstravasasi eritrosit yang meluas hingga ke jaringan otot lurik (striated muscle) di bawah area sulcus akibat tekanan ligatur. Adanya sel darah merah di otot ini menandakan bahwa trauma terjadi
saat sirkulasi darah masih berlangsung.5
Permasalahan muncul ketika semua aspek tersebut menjadi kurang jelas, seperti pada tanda jerat yang dihasilkan oleh bahan yang lembut, terutama pada mayat yang telah mengalami putrefaksi, serta ketika mekanisme dan cara kematian masih diperdebatkan.5
Pada pemeriksaan histopatologi kulit, kongesti (penumpukan darah) adalah temuan yang paling umum ditemukan dalam 56,25% kasus, hasil ini sebanding dengan penelitian oleh Sharma et al. (2018), yang menemukan kongesti dalam 47% kasus. Namun, mereka juga mencatat adanya abrasi (lecet) dalam 38% kasus.6
Jenis bahan jerat memengaruhi tingkat kerusakan pada lapisan kulit. Bahan jerat keras (seperti tali nilon atau tali goni) menyebabkan kerusakan yang lebih parah pada lapisan superfisial kulit dibandingkan dengan bahan jerat lunak (seperti kain atau syal). Namun, kongesti terjadi karena besarnya tekanan dan tidak dipengaruhi oleh jenis bahan jerat. Karena
abrasi dapat terjadi setelah kematian, kongesti memiliki nilai medikolegal yang lebih penting karena merupakan fenomena ante-mortem (terjadi sebelum kematian).6
Dalam penelitian, cedera arteri karotis yang diamati melalui pemeriksaan histopatologi dalam bentuk robekan atau pemisahan tunika (lapisan pembuluh darah) ditemukan pada 28,1%
kasus, yang hasilnya sebanding dengan penelitian oleh Ghodake et al. (2014), yang menemukan cedera serupa pada 32% kasus. Hasil yang sebanding juga ditemukan dalam kasus kongesti arteri karotis, yaitu 12% kasus dalam penelitian ini dibandingkan dengan 8% kasus dalam penelitian Ghodake et al.. Jiwane et al. memeriksa arteri karotis menggunakan metilen blue (pewarnaan khusus) dan menemukan robekan intima pada 11,8% kasus.6
Kongesti viseral merupakan tanda klasik dalam kematian akibat asfiksia yang sering disertai sianosis (warna kebiruan pada kulit dan mukosa) dan perdarahan kapiler (petechiae).
Petechiae ini biasanya terletak jauh dari lokasi cedera, seperti pada konjungtiva, sklera, pleura viseral, dan epikardium. Kondisi ini terjadi akibat peningkatan tekanan intravaskular yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah kecil. Selain kongesti multi-organ, temuan histologis yang umum mencakup ekstravasasi eritrosit (kebocoran sel darah merah) terutama di organ parenkim, termasuk traktus laring, yang sering disertai hilangnya membran mukosa di area tersebut.5
Di otak, dapat diamati tanda degenerasi hipoksia neuron yang bervariasi tergantung durasi kekurangan oksigen. Cedera hipoksia akut biasanya menunjukkan halo putih di sekitar neuron, sedangkan hipoksia yang lebih lama menyebabkan penampakan neuron berwarna merah. Temuan ini penting dalam membedakan antara cedera hipoksia akut (jangka pendek) dan hipoksia kronis (jangka panjang).5
Perubahan paru-paru yang umum terjadi mencakup kongesti vaskular, ekstravasasi eritrosit di dalam alveolus, ruptur septa alveolar, dan emfisema. Kerusakan ini diakibatkan oleh kesulitan pernapasan mekanis dan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh kekurangan oksigen. Pada kasus di mana penderitaan berlangsung lama sebelum kematian, akan terdapat inflamasi yang lebih nyata, terutama di luka vital pada kulit, seperti bekas ligatur, serta di jaringan perifer yang mengalami hipoksia berkepanjangan akibat penurunan suplai oksigen.5
Pemeriksaan histologi pada organ perifer dan sulcus ligatur memberikan informasi penting mengenai mekanisme trauma. Tanda-tanda vitalitas, seperti inflamasi dan ekstravasasi eritrosit, membantu memastikan bahwa cedera terjadi sebelum kematian (antemortem) dan membedakannya dari trauma yang terjadi setelah kematian (post-mortem). Observasi ini sangat berharga dalam menyelidiki penyebab dan mekanisme kematian secara lebih akurat.5
Gambar 3. (a), terlihat ekstravasasi eritrosit dan fragmentasi jaringan lunak di sekitar pembuluh darah leher pada kasus dengan sulkus yang jelas (ditandai dengan kotak biru) (H&E × 20). Pada (b), tampak mukosa laring mengalami kongesti, ekstravasasi eritrosit, dan tanda-tanda awal inflamasi, kehilangan epitel pelapis, yang diamati pada kasus tanpa adanya sulkus (ditandai dengan kotak biru) (H&E × 10). Dalam (c), terlihat kerusakan
otak akibat hipoksia (ditandai dengan kotak biru) (H&E × 20). Pada (d), terdapat tanda-tanda awal ruptur septa alveolar di paru-paru, disertai dengan emfisema, kongesti vaskular (ditandai dengan panah biru), dan ekstravasasi eritrosit di dalam alveolus (ditandai dengan kotak biru) (H&E × 10). Dalam (e), terlihat ruptur septa alveolar di paru-paru, edema (ditandai dengan panah biru), dan perdarahan (ditandai dengan kotak biru) (H&E ×
20). Pada (f), terlihat kongesti di hati (ditandai dengan kotak biru) (H&E × 20).5
Mengidentifikasi temuan morfologi yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan sangat penting untuk menentukan apakah cedera terjadi saat masih hidup atau setelah kematian.
Diagnosis banding antara gantung diri, pencekikan, dan jeratan masih menjadi tantangan bagi pemeriksa medis, terutama ketika ditemukan temuan yang tidak biasa. Infiltrasi hemoragik di tingkat insersi bilateral otot sternokleidomastoid ditemukan secara konsisten pada kematian akibat gantung diri dan sama sekali tidak ditemukan pada jenis trauma lainnya.7
Gambar 4 menunjukkan preparat histologi yang memperlihatkan adanya infiltrasi hemoragik di antara serabut otot rangka di dekat kepala insersi sternal otot sternokleidomastoid. Terlihat adanya ketidakselarasan di antara
serabut otot yang disebabkan oleh tarikan mekanis.7
Dengan demikian, meskipun jenazah tidak lagi menunjukkan sebagian besar tanda patognomonik gantung diri, informasi tersebut masih dapat diungkap melalui pemeriksaan insersi otot sternokleidomastoid. Bahkan ketika pembusukan telah lanjut dan merusak sebagian besar jaringan yang biasanya menjadi dasar penilaian forensik, temuan baru ini tetap dapat dievaluasi.7
Meskipun frekuensi perdarahan pada otot sternokleidomastoid dalam kasus gantung diri telah diteliti, karena jarangnya terjadi peregangan ekstensif pada otot leher, perdarahan ini belum diakui sebagai indikator yang andal untuk menentukan kematian akibat gantung diri.
Dalam penelitian Lim et al, perdarahan di daerah periosteal-klavikular otot sternokleidomastoid ditemukan pada 178 dari 211 kasus gantung diri (84,4%), yang menunjukkan frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan studi retrospektif sebelumnya.
Perdarahan ini tidak ditemukan di dalam otot itu sendiri, melainkan di daerah periosteal klavikula, yang memerlukan diseksi yang cermat untuk mengidentifikasinya. Oleh karena itu, dalam studi prospektif, frekuensi perdarahan di daerah asal otot sternokleidomastoid berkisar antara 70% hingga 98%, yang konsisten dengan temuan penelitian ini. Dengan demikian, perdarahan di daerah periosteal-klavikular otot sternokleidomastoid merupakan temuan yang signifikan dalam kasus gantung diri.2
Penelitian juga menunjukkan bahwa kasus gantung tipikal memiliki insiden perdarahan klavikular bilateral yang jauh lebih tinggi dibandingkan jenis gantung lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme utama terjadinya perdarahan disebabkan oleh peregangan langsung dan pemanjangan otot sternokleidomastoid di sepanjang sumbu longitudinal, di mana tegangan terbesar terjadi di daerah asal otot, khususnya di persambungannya dengan klavikula.
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa perdarahan unilateral (satu sisi) lebih sering diamati pada kasus gantung atipikal, terutama ketika simpul jerat berada di sisi lateral leher.
Dalam kasus seperti ini, perdarahan lebih sering ditemukan di sisi yang sama (ipsilateral) dengan lokasi simpul jerat. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa perdarahan disebabkan oleh gaya tarikan (traction), di mana sisi leher yang berada di sisi simpul jerat mengalami gaya tarikan yang lebih besar.2
Untuk menentukan apakah ada area spesifik di mana infiltrasi perdarahan lebih mungkin terdeteksi, dilakukan pengambilan sampel fragmen kulit mencakup bagian kulit di atas dan di bawah area jeratan. Studi mikroskopis pada sampel ini dilakukan menggunakan beberapa metode pewarnaan, yaitu:
- Hematoxylin & Eosin (H&E) untuk mengidentifikasi perubahan khas pada bekas gantung.
- Weigert’s Resorcin-Fuchsin (WRF) yang spesifik untuk serat elastis, digunakan untuk mengevaluasi komponen elastin di dermis.
- Goldner’s Masson Trichrome, yang sangat sensitif dan spesifik untuk jaringan ikat dan sel darah merah, digunakan untuk menilai komponen vaskular serta mendeteksi sel darah merah intra-dan ekstravaskular secara optimal.8
Hasil pewarnaan H&E menunjukkan perubahan khas pada bekas gantung. Dengan WRF, ditemukan adanya kompresi konsisten pada komponen elastin dermis di bawah alur gantung (sulcus), sementara area kulit di atas dan di bawah jeratan tidak menunjukkan kerusakan pada serat elastin. Pewarnaan Goldner’s Masson Trichrome memungkinkan identifikasi fokus infiltrasi perdarahan di beberapa area, yaitu:
- Dermis dalam (lapisan kulit bagian dalam).
- Area transisi antara dermis dan jaringan adiposa subkutan.
- Jaringan ikat penyangga di sekitar area tersebut.
Dalam penelitian ini, distribusi infiltrasi perdarahan pada bekas jeratan gantung menunjukkan pola sebagai berikut: Lapisan epitel di ketiga area yang diambil sampelnya (region A, B, dan C) tidak menunjukkan adanya sel darah merah ekstravaskular. Hal ini sesuai dengan tidaknya jaringan kapiler di lapisan ini dan kekuatan membran basal yang mencegah kebocoran darah. Region A (kulit di atas bekas jeratan) dan Region C (kulit di bawah bekas jeratan) tidak menunjukkan infiltrasi perdarahan di dermis, hipodermis, atau komponen otot, kecuali dalam empat kasus di mana ditemukan fokus kecil infiltrasi perdarahan di dermis dalam di area bawah bekas jeratan. Region B (area terdalam di bawah bekas jeratan) menunjukkan beberapa fokus infiltrasi perdarahan di dermis dalam, area transisi dermis-subkutan, dan di jaringan ikat penyangga. Infiltrasi ini bersebar luas dan menunjukkan sel darah merah ekstravaskular, serta memisahkan struktur di sekitarnya, karakteristik khas dari reaksi vital (bukti bahwa cedera terjadi saat korban masih hidup).8
Temuan ini konsisten di semua kasus, tanpa memandang berat badan, tinggi badan, atau jenis bahan jerat yang digunakan oleh korban. Hingga saat ini, literatur forensik belum menjelaskan secara jelas mengenai lokasi topografis infiltrasi perdarahan pada bekas jeratan gantung diri maupun memberikan panduan mengenai kuantifikasi perdarahan yang dapat dianggap sebagai bukti reaksi vital. Oleh karena itu, penelitian mengajukan hipotesis bahwa lokasi topografis spesifik dari infiltrasi perdarahan yang hampir eksklusif di area terdalam di bawah alur kulit (region B) dapat disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, sulcus (alur bekas jeratan) merupakan area tekanan maksimal dari jerat yang menyebabkan tarikan kulit yang intensif, ruptur masif kapiler dalam, dan ekstravasasi (keluarnya) sel darah merah. Kedua,
tekanan konstan dari jeratan di sekitar leher tidak hanya mencegah perdarahan meluas ke lapisan permukaan, tetapi juga menghambat penyebaran darah ke area di atas dan di bawah alur gantung.8 Dengan demikian, area terdalam di bawah bekas jeratan (region B) dapat dianggap sebagai lokasi elektif untuk mendeteksi infiltrasi perdarahan.8
Tabel 1. Temuan Histologis Utama yang Diamati dalam Penelitian Ini, dengan Fokus Khusus pada ada atau tidaknya Fokus Infiltrasi Hemoragik.8
Area Pengambilan
Sampel Lapisan Kulit Temuan Histologis
Wilayah A (area di atas
sulkus) - Epitel bebas lesi; tidak ada fokus infiltrasi hemoragik Wilayah B (sulkus) Epitel
Fragmentasi dan kompresi; tidak ada fokus infiltrasi hemoragik
Area transisi antara epitel dan dermis
Vesikel bentuk tidak beraturan; tidak ada fokus infiltrasi hemoragik
Dermis
Kompresi ketebalan penuh; dalam semua kasus, bukti beberapa fokus infiltrasi hemoragik di area terdalam Jaringan adiposa
subkutan
Dalam semua kasus, bukti beberapa fokus infiltrasi hemoragik
Jaringan otot lurik
Kompresi tingkat variabel; tidak ada fokus infiltrasi hemoragik
Wilayah C (area di bawah sulkus) -
Epitel bebas lesi; dalam empat kasus, bukti fokus infiltrasi hemoragik di dermis dalam
Gambar 3 menunjukkan pemeriksaan mikroskopis pada bekas jeratan gantung dengan beberapa fokus infiltrasi perdarahan di lapisan terdalam kulit, yang menyebabkan pemisahan serat jaringan ikat (a) dan (b)Tampilan mikroskopis pada jaringan terdalam di bawah bekas jeratan terlihat adanya sel darah merah ekstravaskular yang menunjukkan adanya perdarahan di jaringan lunak. Pada pembesaran lebih tinggi (100x) di kanan, infiltrasi perdarahan menjadi lebih jelas dan terdefinisi dengan baik. (c) hingga (f) Infiltrasi perdarahan yang meluas tidak hanya terlihat di dermis dalam, tetapi juga mencapai jaringan adiposa subkutan, menyebabkan pemisahan lobulus lemak.(c) dan (e) menunjukkan area ini pada pembesaran 100x, sedangkan pada (d) dan (f), detail ini terlihat lebih jelas pada pembesaran 200x dan 400x. Infiltrasi perdarahan baru di dermis dalam terlihat jelas (H&E, 200x di (g)). Pada pembesaran lebih tinggi (400x) di (h), sel darah merah tampak dengan bentuk bulat dan memiliki bagian tengah yang pucat, menandakan bahwa perdarahan ini terjadi sebelum kematian (reaksi vital).(i) menunjukkan infiltrasi perdarahan yang luas di jaringan subkutan, dengan adanya pembuluh darah yang melebar dan mengalami kongesti di dermis dalam (pembesaran 100x).(j) memberikan detail lebih jelas di pembesaran 400x, di mana infiltrasi perdarahan menyebabkan pemisahan serat jaringan ikat di dermis dalam.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Sauko P, Knight B. Knight ’ S Forensic Pathology. Fourth edition. London: CRC Press;
2016. hal. 386–92.
2. Lim S, Chun H ryoung, Kim MK, Son MJ, Kim C, Yoo SH. Diagnostic Value of Sternocleidomastoid Muscle Hemorrhage on Clavicular Periosteum in Hanging Deaths.
J Korean Med Sci. 2024;39(44):1–10.
3. Ghodake D, Sonawane S, Sharma H, Tetarbe T. An Autopsy Study Of Ligature Mark.
2023;1179–83.
4. Lockyer BE. Death by hanging: examination of autopsy findings and best approach to the post-mortem examination. Diagnostic Histopathol. 2019;25(11):423–30.
5. Mansueto G, Feola A, Zangani P, Porzio A, Carfora A, Campobasso C Pietro. A Clue on the Skin: A Systematic Review on Immunohistochemical Analyses of the Ligature Mark. Int J Environ Res Public Health. 2022;19(4).
6. Kumar Harmanjeet Singh A. Histopathological Changes in Neck Structures in Cases of Asphyxial Deaths. Int J Sci Res. 2023;12(4):1828–30.
7. Marrone M, Cazzato G, Caricato P, Angeletti C, Ingravallo G, Casatta N, et al.
Diagnostic Methods in Forensic Pathology: A New Sign in Death from Hanging.
Diagnostics. 2023;13(3).
8. Gentile G, Tambuzzi S, Andreola S, Zoja R. Histotopography of haemorrhagic infiltration in the hanging cutaneous furrow: Where to look for haemorrhagic infiltration in hanging. Med Sci Law. 2022;62(1):52–9.