• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of KAJIAN HACCP (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT) PADA PROSES PRODUKSI TAHU SUSU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of KAJIAN HACCP (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT) PADA PROSES PRODUKSI TAHU SUSU"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HACCP (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT) PADA PROSES PRODUKSI TAHU SUSU

Jaka Rukmana1, Yusman Taufik2, Wildan Qoharisma Salam3, Nur Faizah Latuconsina4, Fathia Rizki5

1,2,4)

Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan

3)Program Studi Bioteknologi, Fakultas Ilmu Sains, Institut Bio Scientia Internasional Indonesia

5)Program Studi Kebidanan, Institut Kesehatan Rajawali Bandung.

e-mail: [email protected]

Abstrak

Tahu susu merupakan produk diversifikasi pangan dari produk tahu dengan adanya penambahan susu sapi murni dalam proses pengolahannya. Di Indonesia produksi tahu susu sebagian besar masih dikelola oleh Industri skala kecil dan menengah dimana aspek keamanan pangan masih sering terabaikan. Kondisi ini diakibatkan karena rendahnya kesadaran dan pengetahuan produsen akan pentingnya keamanan pangan. Kurang perhatiannya produsen tentang keamanan pangan dapat memicu potensi bahaya selama proses produksi seperti kontaminasi fisik, kimia dan mikrobiologis yang dapat berbahaya bagi kesehatan manusia. Pengumpulan data dilakukan melalui hasil observasi di lapangan dan didukung oleh data sekunder berupa studi pustaka. Pengolahan data menggunakan sistem HACCP berdasarkan panduan dari SNI CXC 1:1969 tentang “Prinsip Umum Higiene Pangan” revisi 2020.

CCP pada proses produksi tahu susu adalah perebusan I, penggumpalan, perebusan II, dan pengemasan. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan pada tiap proses diantaranya perebusan I pada suhu 95°C dengan waktu 30 menit, perebusan II pada suhu 90°C dengan waktu 20 menit, penggumpalan pada suhu optimum 72°C dengan menggunakan whey pH optimum 4,5 dan untuk proses pengemasan pekerja wajib memakai APD lengkap, serta memperhatikan higiene dan sanitasi lingkungan kerja.

Kata kunci: Tahu Susu, HACCP, Keamanan Pangan

Abstract

Milk tofu is one of the food diversification products from tofu products with the addition of pure cow's milk in the processing process. In Indonesia, milk tofu production is still largely managed by small and medium-scale industries where food safety aspects are still often overlooked. This condition is caused by the low awareness and knowledge of producers about the importance of product food safety.

Manufacturers' lack of attention to the food safety of products can trigger potential hazards during the production process such as physical, chemical and microbiological contamination that can be harmful to human health. Data collection was carried out through observations in the field and supported by secondary data in the form of literature studies. Data processing using the HACCP system based on guidance from SNI CXC 1:1969 on "General Principles of Food Hygiene" revised 2020. While the CCP in the process of making milk tofu is boiling I, clumping, boiling II, and packaging. Control measures that can be carried out in each process include boiling I at 95 ° C with a time of 30 minutes, boiling II at 90 ° C with a time of 20 minutes, clumping at an optimum temperature of 72 ° C using whey optimum pH 4.5 and for the packaging process workers are required to wear complete PPE, as well as pay attention to hygiene and sanitation of the work environment.

Keywords: milk tofu, HACCP, food safety

PENDAHULUAN

Produk tahu mengalami banyak diversifikasi seiring dengan berkembangnya ilmu dan teknologi pangan. Salah satu variasi tahu yang cukup terkenal di kalangan masyarakat adalah tahu susu. Tahu susu merupakan salah satu produk diversifikasi pangan dari produk tahu dengan adanya penambahan susu sapi murni dalam proses pengolahannya. Proses pembuatan tahu susu tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan tahu pada umumnya yg relatif sederhana dan tergolong tidak sulit. Di Indonesia produsen tahu susu masih di dominasi pengusaha kecil dan menengah, dimana aspek higiene dan sanitasi dalam kegiatan produksi sangat kurang diperhatikan. Kondisi ini disebabkan karena rendahnya kesadaran dan kurangnya pengetahuan produsen akan pentingnya kemanan pangan pada produk.

Kurang perhatiannya produsen tentang hal inilah yang dapat menimbulkan bahaya selama proses

(2)

produksi akibat kontaminasi fisik, kimia maupun mikrobiologis yang dapat berbahaya dan menganggu kesehatan manusia.

Pada tahun 2017, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan bahwa di Indonesia ditemukan 57 kasus penyakit yang disebabkan karena keracunan pangan. Selain itu pada tahun 2021 tercatat 627 kasus (8,67%) yang disebabkan oleh keracunan makanan. Data ini diperoleh dari kajian analisis yang dilakukan dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya kesalahan dalam penanganan, baik dalam rantai pasok maupun proses pengolahan pangan.Hal yang paling ditakuti oleh industri dan pelaku bisnis pangan adalah terjadinya suatu wabah keracunan atau penyakit yang disebabkan oleh produknya. Kontaminasi bakteri pada tahu dapat menyebabkan terjadinya keracunan pada konsumen. Tahu susu dengan kandungan protein sekitar 8-13% menjadikan tahu susu sebagai media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu kontaminasi proses produksi yang tidak terkendali juga akan menyebabkan rusaknya produk yang dihasilkan sehingga merugikan produsen. Makanan yang terlihat baik dengan nilai gizinya sudah tercukupi, namun jika dalam proses pengolahannya terjadi pencemaran baik fisik, kimia maupun mikrobiologi maka menjadikan makanan tersebut tidak aman bahkan tidak layak dikonsumsi. Untuk mencegah dan meminimalisir hal-hal berbahaya tersebut terjadi perlunya sistem keamanan pangan yang lebih efektif. Salah satu konsep dan strategi yang dianggap lebih efektif dan safe untuk menjamin keamanan dan mutu pangan serta telah diakui keandalannya secara internasional adalah sistem manajemen keamanan pangan yaitu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP merupakan suatu sistem yang digunakan untuk mengkategorikan bahaya dan menentukan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan (Daulay, 2000).Menurut Winarno (2012), penerapan sistem HACCP pada suatu produk digunakan sebagai indikator kualitas mutu. Mutu pangan khususnya keamanan pangan tidak dapat hanya dijamin dengan hasil uji produk akhir dari laboratorium. Produk yang aman hanya didapat dari bahan baku yang baik, ditangani dengan baik, diolah dan didistribusikan dengan baik sehingga menghasilkan produk akhir yang baik.

Sistem HACCP sangat berguna bagi industri pangan dalam hal; meningkatkan jaminan keamanan pangan dari produk yang dihasilkan, mencegah penarikan produk, mencegah penutupan pabrik, meningkatkan kepercayaan konsumen dan mencegah kehilangan pembeli atau pasar, serta mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang timbul karena adanya masalah keamanan pangan.Dari hasil identifikasi HACCP yang dilakukan Jumiono (2020) pada proses pembuatan mie glosor di CV Taruna ditemukan 8 (delapan) titik kritis yang memerlukan pengendalian. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Imam (2020) terhadap proses pembuatan Snack Bar berbasis pisang ditemukan tiga proses yang termasuk kedalam CCP, seluruh proses tersebut memerlukan pengawasan optimal. Penerapan HACCP perlu diterapkan agar dapat meningkatkan kualitas dan keamanan pangan produk.

Sistem HACCP merupakan pedoman yang diterapkan untuk meningkatkan keamanan pangan dari seluruh rantai pangan mulai dari proses penerimaan bahan baku sampai dengan produk akhir. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menentukan titik-titik bahaya, tindakan pengendalian, dan tindakan korektif pada produk tahu susu di Pabrik XYZ yang berada di Kabupaten Bandung Barat dengan menggunakan 12 langkah dan 7 prinsip utama dari sistem HACCP.

Berdasarkan hasil observasi pada proses pembuatan tahu susu di Pabrik XYZ yang berada di Kabupaten Bandung Barat dapat disimpulkan rumusan masalah yaitu bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan sistem HACCP dalam mencegah bahaya kontaminasi selama proses produksi tahu susu di Pabrik XYZ?

METODE

Kajian HACCP ini dilakukan pada bulan Agustus tahun 2022 di Pabrik XYZ yang berada di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Metode deskriptif kualitatif didunakan untuk menganalisis pekerjaan dan aktivitas pada suatu objek. Pengumpulan data dilakukan melalui hasil observasi di lapangan dan didukung oleh data sekunder berupa studi pustaka (library research).

Pengolahan data menggunakan sistem HACCP panduan dari SNI CXC 1:1969 tentang “Prinsip Umum Higiene Pangan” revisi 2020. Rancangan penerapan sistem HACCP (HACCP Plan) yang akan dibuat pada produk tahu susu, meliputi 5 langkah awal dan diikuti dengan 7 langkah berikutnya yang merupakan 7 prinsip, diantaranya sebagai berikut :

1. Langkah 1 : Menyusun Tim HACCP 2. Langkah 2 : Deskripsi Produk

3. Langkah 3 : Identifikasi Tujuan Penggunaan Produk

(3)

4. Langkah 4 : Membuat Diagram Alir 5. Langkah 5 : Verifikasi Diagram Alir

6. Langkah 6 (Prinsip 1) : Identifikasi Potensi Bahaya dan Tindakan Pencegahan 7. Langkah 7 (Prinsip 2) : Penentuan CCP (Critical Control Point)

8. Langkah 8 (Prinsip 3) : Penetapan Batas Kritis 9. Langkah 9 (Prinsip 4) : Monitoring/ Pemantauan 10. Langkah 10 (Prinsip 5) : Tindakan Korektif

11. Langkah 11 (Prinsip 6) : Validasi HACCP Plan dan Prosedur Verifikasi 12. Langkah 12 (Prinsip 7) : Dokumentasi dan Catatan Rekaman

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Menyusun Tim HACCP

Langkah awal dari sistem HACCP yaitu penyusunan tim HACCP. Tim HACCP merupakan kelompok orang yang bertanggung jawab untuk menyusun, mengembangkan, mengimplementasikan dan mengontrol HACCP Plan. Tim tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu, telah mengikuti pelatihan HACCP dan menguasai materi pelatihan serta alur produksi dengan baik. Tim HACCP yang dirancang pada produksi tahu susu di Pabrik XYZ terdiri dari 4 anggota yaitu, Manager umum sebagai penanggung jawab, Manager operasional, dan dua orang supervisor. Tabel penyusunan tim HACCP dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. PenyusunanTim HACCP

No. Nama Keahlian/Bidang Jabatan

1.

2.

3.

A B C

Manager Umum Manager Operasional Supervisor

Ketua HACCP Sekretaris Anggota

2. Deskripsi Produk

Tahu susu adalah produk hasil penggumpalan protein sari kedelai yang ditambahkan susu sapi murni dalam proses pengolahannya dengan menggunakan bahan tambahan pangan koagulan asam atau bahan penggumpal lainnya. Proses pembuatan pada tahu susu tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan tahu pada umumnya yaitu dengan melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, diusahakan untuk diendapkan kembali dengan menggunakan bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu (Cahyadi, 2007). Deskripsi produk tahu susu yang di produksi oleh Pabrik XYZ dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi Produk

Kriteria Keterangan

Nama Produk Tahu Susu

Nama Merk Dagang TAKUS

Komposisi Kedelai, susu, air, margarin, garam, whey, kunyit,

bawang putih

Jenis Kemasan Plastik mika PVC

Karakteristik Produk Padat, mudah rusak & hancur

Umur Simpan 2 hari suhu ruang/ 3 hari suhu kulkas

Cara Penyimpanan Suhu ruang 27°C/ suhu kulkas dibawah 10°C

Cara Penyajian Diolah terlebih dahulu

Target Pengguna Semua kalangan umur “anak-anak sampai dewasa”

(kecuali yang ada allergen terhadap susu)

Metode Distribusi Mobil box

3. Identifikasi Tujuan Penggunaan Produk

Produk tahu susu dapat dikonsumsi oleh semua kalangan dan usia (anak sampai dewasa) kecuali yang mempunyai allergen terhadap susu. Tahu susu mempunyai umur simpan yang relatif singkat sehingga disarankan untuk dapat langsung dikonsumsi dan jika karakter fisik dari tahu telah berubah seperti berlendir dan bau asam maka tidak boleh lagi di konsumsi. Umur simpan tahu relatif singkat

(4)

yaitu kurang dari dua hari, hal ini dikarenakan kandungan protein dan air yang cocok untuk media pertumbuhan mikroorganisme. Tahu susu yang diproduksi di Pabrik XYZ dapat bertahan 2-3 karena menggunakan bahan pengawet alami yaitu bawang putih dan kunyit.

4. Membuat Diagram Alir

Diagram alir dibuat berdasarkan pengamatan penulis pada proses produksi Tahu susu di Pabrik XYZ dimulai dari penerimaan bahan hingga menjadi produk jadi yang siap di distribusikan kepada konsumen. Diagram yang direncanakan langsung diverifikasi pada kondisi sebenarnya di lapangan.

Diagram alir dapat dilihat pada Gambar 1.

5. Verivikasi Diagram Alir

Tim HACCP melakukan verifikasi terhadap diagram alir yang telah disusun.

Verifikasi dilakukan untuk mendapatkan kesesuaian terhadap rancangan HACCP plan pada industri tahu susu di Pabrik XYZ. Diagram alir produk tahu susu yang telah dibuat dan diverifikasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir dan Verifikasi Diagram Alir pada Proses Produksi Tahu Susu

6. Identifikasi Potensi Bahaya dan Tindakan Pencegahan

Bahan baku yang digunakan pada proses pembuatan tahu susu antara lain, Kedelai mutu I yang di import dari Kanada, susu sapi murni, air yang berasal dari sumur, bahan penggumpal dari biang tahu (whey) yang sudah difermentasi selama 18 jam, margarin, garam, bawang putih dan kunyit yang dipasok dari supplier. Identifikasi bahaya pada bahan baku dapat dilihat pada Tabel 3 dan Identifikasi bahaya pada proses produksi dapat dilihat pada Tabel 4.

Bahan baku pertama adalah kedelai. Bahan baku ini termasuk pada bahan baku yang mempunyai resiko bahaya yang tinggi dan memerlukan tindakan pencegahan dan pengendalian. Menurut Wisnu (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, kapang Aspergillus sp. mudah tumbuh dan menghasilkan toksin pada pertumbuhan optimal di suhu 37°C dengan kisaran aw (0,86-0,96).

Kelembapan yang tinggi memicu perkembangan Aspergillus flavus untuk memproduksi aflatoksin.

Maka dari itu kondisi penyimpanan bahan baku sangat perlu diperhatikan. Penyimpanan kedelai pada suhu 10°C dengan kadar air 9% dapat mempertahankan kualitas biji selama 2 tahun. Kelembapan relatif yang disarankan untuk penyimpanan kedelai adalah 70-75% (Fauziyah, 2016).

Bahan baku kedua yaitu susu sapi murni, susu sapi murni yang digunakan berasal dari Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU). Susu memiliki resiko bahaya yang tinggi karena dapat terkontaminasi oleh bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Bakteri patogen meliputi Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella sp., sedangkan untuk bakteri pembusuk antara lain adalah Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. Kontaminasi susu dapat diminimalkan dengan memperbaiki proses penerimaan susu segar, penanganan, pemrosesan sampai dengan penyimpanan.

Susu akan cepat rusak apabila disimpan pada suhu ruang lebih dari 5 jam. Tindakan pengendalian yang bisa dilakukan adalah dengan memperhatikan proses penyimpanan susu setelah diterima dari

(5)

supplier. Pendinginan susu dapat dilakukan dengan memasukkan susu ke dalam lemari es atau alat pendinginan khusus (cooling unit) dengan suhu dibawah 10°C (Ni Putu, 2019).

Bahan baku ketiga adalah air. Air merupakan komponen yang sangat penting dan dibutuhkan bagi setiap industri pangan. Proses produksi tahu susu memerlukan air bersih yang cukup banyak, karena hampir semua tahapan membutuhkan air mulai dari proses perendaman kacang kedelai, pencucian, penggilingan, perebusan, sampai sanitasi. Air yang digunakan harus memenuhi standar air minum, yaitu bersih, jernih, tidak beraroma, dan tidak mengandung logam berbahaya (Santoso, 2005).

Keberadaan adanya kontaminasi bakteri coliform seperti E. coli pada air menjadikan air termasuk kedalam tingkat resiko dan keakutan yang tinggi. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir cemaran pada air dengan memperhatikan kebersihan sumur, sanitasi bak penampung/tandon, serta wajib melakukan analisis cemaran dengan melakukan pengujian air tiap 1 tahun melalui laboratorium penguji pangan terakreditasi.

Bahan baku keempat adalah bahan penggumpal yang berasal dari air biang tahu (whey). Air biang tahu tersebut merupakan air sisa penggumpalan sari kedelai yang diperoleh dari hasil pembuatan tahu sebelumnya yang difermentasi selama 18 jam atau lebih agar bakteri menghasilkan asam laktat untuk menggumpalkan protein sari kedelai. Hasil penelitian Dadang (2020) menyatakan bahwa, whey dengan masa simpan 2 hari mengandung asam laktat paling optimal untuk menggumpalkan. protein tahu. Sedangkan menurut Qiao et al., (2010), whey yang mengalami fermentasi selama 18 jam sudah cukup baik untuk dijadikan sebagai koagulan tahu. Penggumpalan tahu sebaiknya dilakukan pada suhu antara 63°-75°C dengan suhu optimum 72°C. Sedangkan untuk pH optimum whey berada pada pH 4,5.

Bahaya yang diidentifikasi pada bahan baku whey ini tergolong pada tingkat sedang. Untuk meminimalisir cemaran tersebut perlu diperhatikan penerapan GMP pada karyawan dengan menggunakan APD lengkap, mencuci tangan sebelum menyentuh bahan dan melakukan pekerjaan, proses fermentasi dilakukan pada wadah tertutup agar meminimalisir kontaminasi fisik seperti debu, kerikil, rambut atau kotoran yang berasal dari pekerja maupun lingkungan.

Bahan baku kelima adalah margarin. Cemaran yang diidentifikasi pada bahan baku ini adalah cemaran kimia berupa ketengikan. Menurut Muchtadi (2010), margarin dapat mengalami kerusakan berupa ketengikan karena reaksi oksidasi atmosfir. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu menutup kemasan dengan rapat setelah digunakan, serta menyimpan margarin dalam kondisi dingin suhu 10°-15ºC. Sedangkan untuk meminimalisir adanya cemaran fisik dapat dilakukan dengan cara memilih supplier yang tepat dengan meminta sertifikat produk atau Certficate of Analysis (COA) agar terjamin tidak adanya benda asing dan logam berat. Bahan baku keenam adalah garam, Cemaran yang diidentifikasi pada bahan baku ini diantaranya cemaran kimia berupa keberadaan logam berat, serta cemaran fisik berupa debu, pasir, kaca. Tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara memilih supplier yang tepat dengan meminta sertifikat produk atau Certficate of Analysis (COA) agar terjamin tidak adanya benda asing dan logam berat.

Bahan baku ketujuh adalah bawang putih. Fungsi penambahan bawang putih pada proses pembuatan tahu susu adalah untuk menambah cita rasa dan aroma yang khas pada tahu serta digunakan sebagai bahan pengawet alami. Bawang putih mempunyai senyawa allisin yang ampuh untuk membunuh mikroba dan bakteri. Senyawa allisin ini secara aktif menghambat degradasi, yaitu proses pemecahan protein menjadi molekul-molekul sederhana. Allisin bisa menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mencegah sintesis DNA dan protein sel (Cholifah, 2017).

Bahan baku kedelapan adalah kunyit. Kunyit yang digunakan dalam pembuatan tahu susu adalah kunyit yang berasal dari distributor yang ada di daerah Bandung. Fungsi kunyit dalam proses pembuatan tahu adalah sebagai pemberi warna kuning, penambah cita rasa dan aroma yang khas pada tahu serta sebagai bahan pengawet alami. Zat warna yang terdapat dalam kunyit yaitu kurkumin, merupakan suatu zat warna sekaligus sebagai bahan pengawet alami tumbuh-tumbuhan. Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri dan kurkumin yang berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, antiinflamasi serta antikanker (Rokhana, 2020).

Cemaran yang diidentifikasi pada bahan baku bawang putih dan kunyit adalah cemaran fisik yang dapat bersumber dari supplier atau pekerja yang menangani bahan baku. Tindakan pengendalian untuk meminimalisir cemaran tersebut dengan memilih supplier yang tepat, meminta untuk diberikan bawang putih dan kunyit dengan kualitas baik (tidak ada produk yang cacat atau busuk), dan perlu dilakukan pengecekan oleh pekerja pada saat penerimaan bahan baku.

7. Penentuan CCP (Critical Control Point)

(6)

Identifikasi bahaya yang dihasilkan pada proses pembuatan tahu susu di pabrik XYZ pada Tabel 4, Selanjutnya dilakukan penentuan CCP.

Proses pembuatan tahu susu terdiri dari 13 tahap proses. Proses pertama adalah penimbangan.

Penimbangan bahan dilakukan untuk mendapatkan perbandingan yang tepat antara bahan baku utama dan bahan baku penunjang. Bahaya yang dapat diidentifikasi pada tahapan ini adalah bahaya mikrobiologi yaitu adanya Staphylococcus aureus atau bakteri pembusuk. Kontaminasi bakteri tersebut berasal dari kontaminasi tangan dan keringat pekerja. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan mencuci tangan sebelum menyentuh bahan, menggunakan APD dan pakaian kerja yang bersih serta tidak merokok pada saat bekerja.

Kedelai yang sudah ditimbang selanjutnya direndam menggunakan air bersih selama 4-5 jam.

Adanya proses perendaman ini bertujuan untuk melunakkan struktur jaringan kacang kedelai dan mempermudah proses penggilingan. Dalam penelitian yang dilakukan Ismed (2012), lama perendaman kedelai sangat berpengaruh nyata terhadap total padatan, kadar protein, pH, dan kadar air. Rasa, aroma dan tekstur semakin meningkat pada lama perendaman 4 jam. Proses perendaman diidentifikasi kedalam kategori dengan bahaya signifikansi tinggi. Kontaminasi yang dapat terjadi adalah kontaminasi mikrobiologi, fisik, dan kimia berupa logam berat yang berasal dari air yang tercemar.

Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan dengan menerapkan Good Manufacturing Practice (GMP) pada pekerja dengan penggunaan APD lengkap serta mencuci tangan sebelum menyentuh bahan atau memulai pekerjaan. Rutin melakukan pengecekan dan pembersihan pada bak penampung air minimal 6 bulan sekali serta melakukan pengujian air di laboratorium pangan yang terakreditasi.

Proses selanjutnya adalah pencucian. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan hingga diperoleh kacang kedelai yang benar-benar bersih. Tujuan dari pencucian ini untuk menghilangkan sisa-sisa kulit ari kacang kedelai serta membersihkan dari kotoran seperti pasir, kerikil, tanah dan kontaminan lainnya. Pada tahap ini diidentifikasi kedalam bahaya signifikansi rendah. Tindakan pengendalian dengan memastikan pencucian secara maksimal sampai diperoleh kedelai yang bersih.

Sumber kontaminasi lainnya dapat berasal dari tangan pekerja. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan yaitu higiene karyawan dengan mencuci tangan sebelum melakukan pekerjaan.

Tahap selanjutnya adalah proses penggilingan. Tahap ini memiliki bahaya resiko dan keakutan yang rendah. Kontaminasi fisik berupa sisa kedelai yang tertinggal pada mesin penggiling.

Kontaminasi kimia berupa logam berat yang berasal dari mesin penggiling. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembersihan berkala pada mesin penggiling sebelum digunakan.

Proses selanjutnya adalah perebusan I pada bubur kedelai. Tujuan perebusan untuk inaktifasi inhibitor tripsin yang terkandung dalam kedelai dan mendenaturasi protein asli kedelai sehingga akan meningkatkan nilai gizi protein tahu (Muchtadi, 2010). Tahap perebusan ini digolongkan pada bahaya signifikansi tinggi (CCP), karena merupakan tahap yang dirancang khusus untuk mencegah dan menghilangkan bahaya yang telah teridentifikasi. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan mengontrol suhu dan waktu menggunakan thermometer dan timer. Proses pemanasan dilakukan selama 30 menit dengan suhu sekitar 90°-95°C.

Tahap selanjutnya adalah penyaringan. Bubur kacang kedelai yang telah direbus disaring dengan menggunakan kain saring dan tangok. Proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan sari kedelai dengan ampasnya. Tahap penyaringan diidentifikasi kedalam tingkat bahaya resiko dan keakutan yang rendah. Kontaminasi fisik berupa sisa bubur kedelai yang mengendap pada kain saring. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan diantaranya, melakukan pencucian secara berkala pada alat penyaring setiap sebelum dan sesudah digunakan serta menerapkan GMP pada pekerja.

Selanjutnya dilakukan proses pencampuran dengan menambahkan susu sapi murni sebanyak 4 liter, margarin 250 gram, garam 1 kg ke dalam sari kedelai kemudian diaduk sampai semua tercampur rata.

Setelah itu dilakukan proses penggumpalan dengan menambahkan bahan penggumpal yaitu air biang tahu (whey). Tahap penggumpalan digolongkan kedalam CCP karena berhubungan erat dengan kualitas tahu susu yang dihasilkan. Dalam hal ini waktu dan suhu penggumpalan berpengaruh dalam menghasilkan produk tahu susu. Menurut Nurhidajah (2012), penggumpalan sebaiknya dilakukan pada suhu antara 63°-75°C dengan suhu optimum adalah 72°C dalam waktu 15 menit.

Selanjutnya dilakukan proses pemisahan yaitu memisahkan cairan (whey) dan gumpalan tahu yang dihasilkan dari proses penggumpalan. Whey yang terpisah dari gumpalan sebagian akan dibuang dan sebagian lagi akan ditampung untuk difermentasi. Fermentasi whey dilakukan minimal selama 18 jam atau satu malam. Tahap ini diidentifikasi kedalam tingkat bahaya yang sedang. Kontaminasi yang

(7)

dapat terjadi diantaranya, kontaminasi fisik dan mikrobiologis yang berasal dari pekerja dan lingkungan. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan mencuci peralatan secara berkala setelah pemakaian. Selain itu, perlu adanya pelatihan karyawan mengenai GMP agar dapat memperhatikan higiene dan sanitasi pekerja serta lingkungan kerja.

Bakal tahu yang telah dipisahkan dari bagian cairannya kemudian dicetak dalam wadah cetakan yang dialasi kain batis. Proses pencetakan bertujuan untuk memberikan bentuk pada bakal tahu serta memberikan bentuk tahu susu yang seragam. Tahapan ini diidentifikasi ke dalam bahaya signifikansi rendah. Kontaminasi fisik dapat berasal dari adonan tahu (bakal tahu) pada alat cetakan akibat pembersihan kurang sempurna, oleh sebab itu tindakan pengendalian yang dapat dilakukan yaitu melakukan pencucian peralatan secara berkala saat sebelum dan setelah produksi.

Tahu yang sudah dicetak selanjutnya dipotong. Proses pemotongan tahu dilakukan secara manual menggunakan pisau. Tahapan ini diidentifikasi memiliki resiko bahaya dan tingkat keparahan sedang.

Hal tersebut dapat terjadi akibat kontaminasi alat, pekerja, dan lingkungan yang kurang bersih.

Menurut Surahman (2014), pisau yang digunakan pada tahapan pemotongan memiliki resiko bahaya kimia berupa logam berat. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan alat pemotong yang bersih dan tidak berkarat serta terbuat dari logam stainless. Masuknya logam berat dalam tubuh dengan jumlah yang berlebih tentu akan sangat berbahaya bagi tubuh.

Setelah selesai dipotong, tahu direbus selama 20 menit pada suhu 90°C. Proses perebusan II dapat disebut juga dengan proses penguningan dan pembumbuan, karena pada proses ini tahu susu diberi tambahan bawang putih, garam dan sari kunyit untuk memberikan warna kuning dan sebagai bahan pengawet alami. Proses perebusan II ditetapkan sebagai CCP karena dirancang khusus untuk mematangkan tahu susu, menghilangkan bakteri patogen yang mungkin terkontaminasi dari proses sebelumnya. Pasteurisasi pada suhu 90°C selama 20 menit dapat menurunkan jumlah total bakteri pada tahu dari 106 CFU/g menjadi 104 CFU/g. (Endang Sutriswati Rahayu, 2021).

Tahap selanjutnya adalah penirisan yang bertujuan untuk menghilangkan uap panas dan air sisa rebusan agar tahu susu tidak dalam kondisi basah, karena apabila dikemas dalam keadaan basah akan berpengaruh terhadap umur simpan. Penirisan dilakukan kurang lebih selama 5-10 menit di atas rak penyimpanan yang telah dipasang kipas angin. Tahapan ini diidentifikasi memiliki resiko bahaya dan keakutan keparahan yang sedang. Hal tersebut dapat terjadi akibat kontaminasi pekerja, alat kipas yang jarang dibersihkan dan lingkungan yang kurang bersih sehingga mengakibatkan kontaminasi fisik berupa debu dan rambut. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan yaitu menerapkan GMP pada pekerja dan sanitasi lingkungan kerja.

Proses pengemasan merupakan tahap terakhir dari proses pembuatan tahu susu yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan keutuhan produk, menghindari kontaminasi serta menjaga kenampakan yang menarik. Bahan pengemas yang digunakan pada produk tahu susu di Pabrik XYZ adalah plastik mika berjenis PVC. Pada tahap pengemasan ini diidentifikasi memiliki tingkat signifikansi bahaya tinggi (CCP). Hal ini dikarenakan dapat terjadi kontaminasi fisik dan mikrobiologi yang berasal dari ruang pengemas dan pekerja. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan GMP. Sedangkan kontaminasi kimia dapat berasal dari kemasan yang digunakan yaitu plastik mika PVC (Polyvinyl Chlorida). Menurut Made Astawa (dalam Agustina, 2014), logam berat di dalam bahan pangan tidak hanya terdapat secara alami, tetapi dapat dari hasil migrasi dari bahan pengemasnya. Pengemasan makanan dengan aroma kuat, seperti PVC (Polyvinyl Chlorida) dan strofoam memungkinkan terjadinya migrasi arsen ke makanan. Gejala yang timbul dapat berupa gejala mual, muntah, sakit perut hebat sampai kelainan fungsi otak. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan dengan mengganti kemasan PVC dengan kemasan yang lebih aman atau food grade.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tahapan proses yang dikategorikan sebagai CCP adalah proses perebusan I, penggumpalan, perebusan II, dan pengemasan.

8. Batas Kritis

Batas kritis merupakan batas toleransi yang harus dicapai pada setiap CCP agar tidak terjadi penyimpangan. Berdasarkan hasil identifikasi bahaya dan titik kendali kritis (CCP) pada produksi tahu susu di Pabrik XYZ, maka batas kritis yang ditentukan dapat dilihat pada Tabel 5.

9. Monitoring/ Pemantauan

Proses pemantauan setiap CCP ditujukan untuk memeriksa apakah prosedur produksi atau penanganan pada CCP terkendali. Kegiatan ini berupa tindakan pengujian atau pengamatan yang dicatat oleh departemen usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Proses monitoring ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan menjamin bahwa batas kritis tidak terlampaui.

(8)

10. Tindakan Korektif

Tindakan koreksi direncanakan pada setiap CCP untuk penanganan saat terjadi penyimpangan atau pada saat batas kritis terlampaui. Jika batas kritis terlampaui dan terjadi penyimpangan, maka produk yang diproduksi pada saat penyimpangan merupakan produk yang berpotensi tidak aman, sehingga membutuhkan perlakuan selanjutnya seperti di-reproses/ dialihkan ke penggunaan lain, ataupun dimusnahkan.

11. Validasi HACCP Plan dan Prosedur Verifikasi

Validasi dilakukan oleh Tim HACCP sebelum implementasi HACCP. Validasi dapat dilakukan dengan cara meninjau kembali rencana HACCP (plan) dengan mengacu pada sumber-sumber ilmiah seperti tinjauan literatur, studi kepustakaan, dan/ atau menggunakan panduan yang dikembangkan oleh sumber yang berwenang. Validasi HACCP plan dilakukan agar dapat diketahui kesesuaian rencana HACCP dengan referensinya.

Sedangkan prosedur verifikasi dilakukan setelah implementasi HACCP dengan tujuan untuk mengecek efektivitas pelaksanaan dari HACCP. Dapat dilakukan dengan cara (1) mereview catatan pemantauan, (2) mereview penyimpangan dan tindakan yang diambil, (3) audit internal, (4) pemeriksaan complain, dan lain-lain. Verifikasi dapat dilakukan secara terencana sesuai jadwal seperti setiap 3 atau 6 bulan sekali dan dapat juga dilakukan secara tidak terencana seperti ketika ada keluhan dari pelanggan maupun karena adanya perubahan regulasi tertentu. Prosedur rencana verifikasi pada proses pembuatan tahu susu di Pabrik XYZ dapat dilihat pada Tabel 6.

12. Dokumentasi dan Catatan Rekaman

Pencatatan dan dokumentasi yang baik sangat diperlukan untuk memudahkan dalam hal penelusuran apabila terjadi masalah dalam proses atau kegiatan produksi. Dokumentasi harus mencakup seluruh langkah HACCP mulai dari alur proses bahan baku menjadi produk jadi, analisa bahaya, catatan monitoring, tindakan korektif sampai dengan verifikasi. Tujuan dari penyimpanan dokumentasi ini adalah untuk memudahkan dalam melakukan pengecekan dan peninjauan kembali serta menjadi sumber data dokumen untuk pemenuhan audit (Winarno, 2012). Catatan rekaman disimpan hanya selama diperlukan dan dimusnahkan bila sudah tidak dibutuhkan.

Gambar 2. Matriks Critical Control Points Pada Proses Produksi Tahu Susu

SIMPULAN

Berdasarkan Hasil kajian HACCP terhadap produksi tahu susu di Pabrik XYZ maka dapat disimpulkan bahwa, CCP yang ditetapkan pada bahan adalah kacang kedelai, susu sapi murni dan air.

Sedangkan CCP pada proses produksi adalah proses perebusan I, penggumpalan, perebusan II, dan pengemasan. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan pada tiap proses diantaranya perebusan I pada suhu 95°C dengan waktu 30 menit, perebusan II pada suhu 90°C dengan waktu 20 menit, proses penggumpalan pada suhu optimum 72°C dengan pH optimum whey 4,5 dan untuk proses pengemasan pekerja wajib memakai APD lengkap, serta memperhatikan higiene dan sanitasi lingkungan kerja.

(9)

Tindakan korektif yang dapat dilakukan ketika terjadi penyimpangan adalah mengontrol suhu dan waktu pemanasan serta memperketat higiene karyawan, peralatan dan sanitasi lingkungan kerja.

Dokumentasi dan pencatatan rekaman disimpan dalam bentuk fisik (hardcopy) maupun elektronik (softcopy).

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih banyak penulis sampaikan kepada Fakultas Teknik, Universitas Pasundan, atas bantuan pendanaan penelitian melalui skema hibah internal Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Tahun Anggaran 2023.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, T. (2014). Kontaminasi Logam Berat Pada Makanan Dan Dampaknya Pada Kesehatan.

Teknobuga, 53-65.

Anisa, H., Prsetyaningsih, & Marlina. (2017). Pengaruh Bubuk Bawang Putih Dan Garam Dapur Terhadap Masa Simpan Tahu Pada Suhu Kamar Dalam Lingkungan Asam. Jurnal Teknik. Jurnal Teknik(16 (2)), 17-24.

Cahyadi, W. (2007). Kedelai Khasiat Dan Teknologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Dadang, S. (2020). Pengaruh Masa Simpan Whey Dan Suhu Penggumpalan Terhadap Kadar Protein Dan Parameter Tekstur Pada Produk Tahu. Journal Of Agro-Based Industry, 187-193.

Daulay, S. S. (2000). Hazard Analysis Critical Control Point (Haccp) Dan Implementasinya Dalam Industri Pangan. Widyaiswara Madya Pusdiklat Industri.

Endang Sutriswati Rahayu, D. (2021). Teknologi Proses Produksi Tahu. Sleman, Yogyakarta: Pt Kanisius.

Imam. (2020). Kajian Haccp (Hazard Analysis And Critical Control Point) Proses Pembuatan Snack Bar Berbasis Pisang. Jurnal Riset Teknologi Industri, 476-486.

Muchtadi, T., & Sugiyono. (2010). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Alfabeta.

Ni Putu, C. (2019). Perbedaan Kualitas Bakteriologis Susu Kedelai Produksi Home Industry Berdasarkan Variasi Suhu Penyimpanan. Jurnal Politeknik Kemenkes Denpasar, 1-12.

Nurhidajah, & Suryanto, A. (2012). Kadar Kalsium Dan Sifat Organoleptik Tahu Susu Dengan Variasi Jenis Bahan Penggumpal. Jurnal Pangan Dan Gizi Vol 03 No.05, 39-48.

Qiao, Z., Chen, X., Chen, Y., & H, L. (2010). Microbiological And Chemical Changes During The Production Of Acidic Whey, A Traditional Chinesse Tofu-Coagulant. International Journal Of Food Properties, 13 (1), 90-104.

Rokhana. (2020). Gambaran Pemanfaatn Rimpang Kunyit (Curcuma Domestica Val.) Terhadapa Penurunan Cemaran Bakteri Coliform Pada Tahu Segar. Cendekia Journal Of Pharmacy.

Santoso. (2005). Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori Dan Praktek). Malang: Fakultas Pertanian Universitas Widyagama.

Sofyan, A., Purwantari, H., Susanti, & Pranoto. (2016). Analisis Total Mikrobia, Bacillus Cereus, Dan Staphylococcus Aureus Pada Proses Tahu Gama Yogyakarta. The 3rd University Research Collouium 2016.

Surahman, D., & Ekafitri, R. (2014). Kajian Haccp (Hazard Analysis And Critical Control Point) Pengolahan Jambu Biji Di Pilot Plant Sari Buah Upt. (B. L. Subang, Ed.) Jurnal Agritech(34 (03)), 266.

Verawati, N., Aida, N., & Aufa, R. (2019). Analisa Cemaran Bakteri Coliform Dan Salmonella Sp.

Pada Tahu. Teknologi Agro-Industri(Vol. 16, No.1).

Wibawa, W. (2018). Penerapan Gmp Dan Perencanaan Pelaksanaan Haccp Produk Olahan Pangan Tradisional (Mochi).

Winarno, F. (2012). Haccp (Hazard Analysis Critical Control Point) Dan Penerapannya Dalam Industri Pangan (Cetakan 3 Ed.). Bogor: M-Brio Press.

Wisnu, B. (2018). Status Cemaran Dan UpayaPengendalian Aflatoksin Pada Komoditas Serealia Dan Aneka Kacang. Jurnal Litbang Pertanian, 81-90.

Referensi

Dokumen terkait

Praktek Quality Control pada Industri Kelompok Usaha Wanita Tani Makmur Asri yang memproduksi tortilla jagung dilakukan dengan tujuan menganalisis mutu produk

Pada prinsipnya, analisis penetapan signifikan bahaya pada proses produksi wafer roll coklat terdapat pada tahap magnetting adonan dan cream serta deteksi sinar

Hubungan Higiene Dan Sanitasi Makanan Dengan Kontaminasi Bakteri Escherichia Coli Dalam Makanan Di Warung makan Sekitar Terminal Borobudur, Magelang.. The Food

Abstrak : Penelitian ini pada dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa keamanan pangan khususnya dalam bidang pembuatan pastry menjadi sesuatu yang sangat penting. Tujuan

Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk

Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk

Dalam proses pembuatan keripik tempe memiliki banyak kemungkinan bahaya biologis, seperti cemaran mikroba yang menempel pada tempe tersebut, bahaya fisik adanya

4.1 Hasil studi HACCP terhadap proses pengolahan mi sagu maka ditetapkan satu bahan baku yang termasuk CCP yaitu pati sagu. Tahapan yang termasuk CCP yaitu perendaman dan