lathaif: Literasi Tafsir, Hadis dan Filologi, Vol. 2 (1), 2023, (Januari-Juni)
ISSN Print : 2963-7678 ISSN Online : 2962-6153
Tersedia online di: https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/lathaif/index
Kajian Tafsir Berbahasa Gayo:
Introduksi atas Tafsir Al-Gayo Karya Abdurrahim Daudy
Zuhriyandi
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia [email protected]
Abstract
The theme of this study explores the ongoing task of finding an interpretation of the Qur'an in Muslim scholarly history, taking into account all aspects of historicity. This paper aims to examine al- Gayo, Abdurahim Daudy’s Gayo language exegesis, one of the gems of pre-independence modern non-Arabic language exegesis. Although the interpreter is not well known in the exegetical community, it differs from other Indonesian interpretations in several important ways. The author tries to explain how the Gayo interpretive text analysis method works. The findings showed that the structure of the Gayo language interpretation model quoted several verses of the Qur'an and interpreted in Gayo language. This is something that no other interpreter has done before. Because these interpretations were created by Muhammadiyah activists during the period of religious renewal, the nash-nash they interpreted included the basic teachings of Islamic theology. The interpretation written by the Gayo highland cleric is said to be the first person to quote Qur'anic verses that were interpreted into Gayo language.
Keywords: Interpretation, Gayo language, Abdurrahim Daudy Abstrak
Tema kajian ini mengeksplorasi tugas berkelanjutan untuk menemukan penafsiran al-Qur’an dalam sejarah keilmuan Muslim, dengan mempertimbangkan semua aspek historisitas. Tulisan ini bertujuan mengkaji al-Gayo, tafsir berbahasa Gayo karya Abdurahim Daudy, salah satu permata tafsir bahasa non-Arab modern pra kemerdekaan. Meskipun penafsirnya tidak begitu dikenal dalam komunitas eksegetis, penafsiran ini berbeda dari penafsiran Indonesia lainnya dalam beberapa hal penting. Penulis berusaha menjelaskan bagaimana cara kerja metode analisis teks penafsiran berbahasa Gayo. Hasil temuan menunjukkan bahwa struktur model tafsir bahasa Gayo yang mengutip beberapa ayat-ayat al- Qur’an dan ditafsirkan dalam bahasa Gayo. Hal ini merupakan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh penafsir lain sebelumnya. Karena tafsir-tafsir tersebut diciptakan oleh para aktivis Muhammadiyah pada masa pembaharuan keagamaan, maka nash-nash yang ditafsirkannya termasuk ajaran-ajaran dasar teologi Islam. Penafsiran yang ditulis oleh ulama dataran tinggi Gayo ini disebut- sebut sebagai orang pertama yang mengutip ayat al-Qur’an lalau ditafsirkan ke dalam bahasa Gayo.
Kata Kunci: Tafsir, Bahasa Gayo, Abdurrahim Daudy
PENDAHULUAN
Di Nusantara, penerjemahan dan interpretasi mengalami kemajuan seiring dengan perkembangan zaman. Dimulai dengan Tarjuman al Mustafid karya Abd al- Rauf al-Singkili dalam bahasa Arab Melayu pada abad ke-17 dan diakhiri dengan Tafsir Rahmat karya H. Oemar pada abad ke-20 (Islah Gusmian, 2023, 51).
Perkembangan karya-karya tafsir di Nusantara selama ini sangat pesat, terbukti dengan adanya karya-karya tafsir yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi penafsiran Indonesia dibangun dengan model dan metode penulisan yang lugas. Era ini menghasilkan berbagai literatur tafsir (Ahmad Zainal Abidin dan Thariqul Aziz, 2023, 188). Salah satunya adalah literatur tafsir, seperti Surat Tafsir Yasin karya A.
Hasan yang menitik beratkan pada surat-surat tertentu sebagai sasaran penafsiran, literatur tafsir yang berfokus pada bab-bab tertentu, seperti Tafsir Juz Amma karya Abdul Karim Amrullah. Ada juga yang menafsirkan secara lengkap 30 juz tersebut, misalnya Tafsir al-Qur’an Karim karya Mahmud Yunus (Halimastussa’diyah, 2020, 71)
Tidak kalah pentingnya adalah penafsiran al-Qur’an dalam bahasa lokal. Al- Kitab al-Mubin, karya KH. Muhammad Ramli dan ditulis dalam bahasa Sunda pada tahun 1974, merupakan salah satu penafsiran dengan menggunakan bahasa lokal atau daerah. Untuk penafsiran ke bahasa Jawa seperti al-Qur’an Kejawen dan al-Qur’an Sandawiyah yang ditulis oleh umat Islam Yogyakarta, karya K.H. Bisyri Mustafa Rembang dengan judul al-Ibriz pada tahun 1950, al-Qur’an Uci basa Jawi karya R.
Muhammad Adnan, dan al-Huda karya Bakri Syahid. Tafsir al-Munir dalam bahasa Bugis yang ditulis oleh AG. Daud Ismail, tafsir dalam aksara Arab Jawa oleh K.H.
Mohammed Saleh Darat Semarang dan diterbitkan pada awal tahun 1310, Kelompok Mardikintoko Kauman Sala merilis terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Jawi menggunakan huruf Arab Pegon pada awal tahun 1924. Beberapa contoh kitab di atas merupakan penafsiran yang ditulis dengan menggunakan bahasa lokal atau daerah (Halimastussa’diyah, 2020, 78).
Tafsir al-Gayo (1938) yang menggunakan bahasa Gayo sebagai salah satu tafsir bahasa daerah al-Qur’an merupakan salah satu khazanah tafsir yang berkontribusi dalam perkembangan tafsir pada masa modern pra kemerdekaan. Karya dari salah satu akademisi dari daerah Gayo, Aceh Tengah, Aceh. Akademisi yang dimaksud adalah Teungku Mudekala alias Abdurrahim Daudy. Penulis mengklaim bahwa interpretasinya sangat berbeda dari interpretasi pada umumnya, bahkan Abdurrahim Daudy belum begitu dikenal dengan baik di bidang interpretasi. Tafsir ini mengikuti pola sejumlah ayat al-Qur’an yang kemudian ditafsirkan ke dalam huruf Jawi-Gayo.
Pada penafsiran sebelumnya belum pernah mencoba keunikan seperti ini. terlebih lagi latar belakang Mudekala sendiri cukup beragam, berdasarkan penelusuran; beliau adalah seorang penulis, pendidik (pengajar), dan seniman yang telah menciptakan karya-karya yang terinspirasi dari puisi (Gayo: saer). Selain itu, melihat keadaan sosial menjadi fokus penelitian ini, bagaimana semua faktor-faktor keadaan sosial- masyarakat setempat pada masa itu, dibarengi dengan lahirnya tafsir al-Gayo. Tafsir al- Gayo dianggap sebagai penafsiran pertama yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam Jawi-Gayo.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mengenal Abdurrahim Daudy dan Karya-Karyanya
Abdurrahim Daudy, juga dikenal sebagai Teungku Mudekala, lahir pada tahun 1911 (beberapa sumber menyebutkan tahun 1910) di Kampung Bukit, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Dia adalah anak sulung dari Teungku Daud dan ibunya bernama Jemiah. Mudekala pernah mengenyam pendidikannya di Pesantren Gele Gantung yang saat itu dikelola oleh Teungku Muhammad Shaleh (Teungku Pulo Kitun), dan Sekolah Velvolk Nangka Kebayakan (L.K. Ara, 2009, 123). Berikut ini penulis kemukakan beberapa karir dan jabatan yang pernah Mudekala geluti semasa hidupnya, yaitu :
a. Abdurrahim Daudy mulai mengajar di Muhammadiyah Jacobshool di Teritit, Kabupaten Bener Meriah, Aceh pada tahun 1932 (Nukilan.Id, diakses 23 mei 2023).
b. Dari tahun 1942 hingga menjelang masa penjajahan Jepang, Abdurrahim Daudy bekerja sebagai guru swasta.
c. Mudekala menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Syari’ah di Takengon dari tahun 1947 hingga 1950.
d. Mudekala menjabat sebagai Ketua Mukim di Kebayakan dari tahun 1951 hingga 1956.
e. Beliau mulai mengajar pendidikan Islam di Takengon dari tahun 1954 sampai tahun 1956.
f. Pada tahun 1957 sampai 1958, Mudekala menjabat sebagai PNS Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Bukit-Nosar.
Selain beberapa pekerjaan di atas, beliau juga seorang seniman dan budayawan (Gayo: ceh). Dalam kiprahnya tersebut, Mudekala kerap diminta membawakan puisi- puisi yang ditulisnya. Beliau tidak hanya sebagai guru dalam bentuk formal saja, tetapi juga dalam bentuk pendidikan non formal di masyarakat berkat komitmen dan keahliannya. Ia memberikan ilmu melalui ceramah dan bimbingan sambil juga mengajar tajwid di Masjid-masjid dan Menasah (Gayo: mersah). Beliau memperoleh pendidikan agamanya pada saat menempuh pendidikan di pesantren, yang meliputi bahasa Arab, akidah-akhlak, fikih, al-Qur’an, Hadis, dan tasawuf. Sosok yang sederhana ini tampaknya telah menjadikan agama dan budaya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, kegigihan beliaulah yang menghasilkan catatan penting dalam sejarah ekspedisi ilmiah di Gayo (Lintas Gayo, diakses 18 Mei 2023).
Mudekala sesekali menulis puisi sambil melantunkannya secara melodis (Munawir Umar Vol. 10, No. 2, 2020). Ia membuat puisi berjudul “Sejarah Daerah dan Suku Gayo” yang sangat terkenal di Gayo sebanyak dua jilid. Jilid pertama bertanggal 8 Safar 1379/13 Agustus 1959 dan ditandatangani Bale Atu, Takengon.
Untuk jilid kedua berjudul “Asal Mulo Kerejen Bukit”, ditandatangani Bale Atu, 1 Rabiul Akhir 1379/5 Oktober 1959.1 Mudekala juga menulis tafsir al-Gayo pada saat berusia 27 tahun, dan dicetak di Mesir. Dalam kitab tersebut Teungku Mudekala menjelaskan beliau berasal dari Takengon/Gayo. Teungku Mudekala dalam pengantarnya juga mengakui bahwa beberapa tulisan yang terdahulu menjadi inspirasi buku ini. Khususnya Teungku Yahya Bensu Gele Lungi, Teungku Yahya Bin Rashib, dan Teungku Muhammad Amin (Tim Penulis IAIN Ar-Raniry, 2005, 264) dan Teungku Aman Srikuli (Harun Rasjid, 1994, 4). Abdurrahim Daudy meninggal dunia pada tahun 1962 saat melaksanakan shalat isya di kediamannya Bale Atu, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah. Pada saat itu ia bangkit dari posisi sujud lalu jatuh ke belakang. Beliau meninggalkan kedua istrinya, Jenibah dan Jubaidar. Hingga sat ini diketahui Teungku Mudekala dimakamkan di Kebayakan (Jamhuri, tidak diterbitkan, xvi).
1 Sejarah pembuatan buku ini, sebagaimana dalam kata pengantar naskah “Sejarah Daerah dan Suku Gayo” karya Abdurrahim Daudy, pertama kali dicetak dalam bentuk stensil dengan mendokumentasikan L.K. Gambar Buku pertama yang terbit tahun 1971 memuat 295 puisi puisi, dan buku kedua yang terbit tahun 1972 masing-masing berisi 359 bait puisi. Drs. R. Ahmad Banta menemukan teks asli yang tidak diterbitkan dengan bantuan Aman Patriakala, sebelum dapat didistribusikan sebagai stent. Lihat Abdurrahim Daudy, Sejarah Daerah dan Suku Gayo, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1979), hal. 5
Foto Abdurrahim Daudy/Teungku Mudekala Wajah Tafsir al-Gayo
Kitab tafsir al-Gayo yang ditulis oleh Abdurrahim Daudy, penduduk asli dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh. Abdurrahim Daudy menulis penafsirannya pada kitab tafsir ini cukup singkat. Selain itu, jumlah halaman pada kitab tafsir tersebut hanya berjumlah 52 halaman saja. Meskipun begitu tafsir al-Gayo telah diterbitkan di Mesir dengan penerbit Mahba’ah Mustafa al-Bab Wa Awladuh pada tahun 1938. Tafsir al- Gayo ditulis menggunakan dengan bentuk Jawi-Gayo, dengan mereproduksi secara mekanis bagian-bagian secara acak atau tanpa sesuai dengan aturan al-Qur’an (Abdurrahim Daudy, 1938, 4). Sebagaimana penyataan beliau dibawah ini:
هب نک ةيآ 2 نآرق ڠي نسوسرت
ملاد باتک يا ن قديت ترونم بيترت ابس نامي ݢ ڠي مرت بتک
ملاد نآرق ىچوس
“bahkan ayat-ayat yang tersusun dalam kitab ini tidak menurut tartib sebagaimana yang termaktub dalam Qur’an suci”.
Foto Cover Kitab Tafsir Al-Gayo
Sebelum diterbitkan Teungku Mudekala mencantumkan dua sosok nama sebagai penguji aksara Arab dan Jawi pada kitab tafsir al-Gayo. Orang yang dimaksudkan adalah Ahmad Sa’ad Ali, sebagai penguji bahasa Arab, dan Muhammad Idris Al-Marbawi, sebagai penguji Jawi (Daudy, 1938, 4). Selain itu, Mudekala membagi tafsir pada kitab ini menjadi dua bagian, yaitu bagian al-Qur’an dan bagian Hadis. Hadis-hadis yang ditafsirkan berjumlah 40 Hadis Nabi Muhammad SAW, atau biasanya juga dikenal dengan Hadis Arba’in. Sedangkan ayat-ayat yang dikutip untuk ditafsirkan berjumlah 56 ayat. Penafsiran dari ayat-ayat yang dikutip sebagaimana pada tabel di bawah ini.:
No Nama Surah Ayat
1. Al Fatihah 1-7
2. Ali Imran 10, 101, 102, 92, 31, 5, 6, 7 3. Al Baqarah 186, 123, 261, 262, 263, 264, 265,
266, 214, 216, 44, 45, 206
4. Al A’raf 50, 51
5. Yunus 49, 7, 8, 9
6. Al Munafiqun 9
7. At Taubah 51
8. At Taghabun 14, 15
9. Muhammad 7
10. Az Zumar 9
11. Al Qashsash 83, 68
12. Al Hujurat 11, 12, 13
13. Ar Ra’dua 8, 9, 10, 11
14. Al Mu’minun 97, 98
15. Al Isra’ 65
16. Az Zukhruf 36
17. Al Hasyr 18
18. Al Maidah 59
19. Ash Shaf 10, 11
Tafsir al-Gayo merupakan wujud pengabdian Abdurrahim Daudy kepada negara, khususnya masyarakat Gayo. Tujuan beliau menulis tafsir al-Gayo ini sebagai alat dakwah untuk menyampaikan ilmu-ilmu yang telah dia dapatkan. Beliau juga memberikan argumen yang melatarbelakangi penulisan kitabnya sehingga diberi nama dengan tafsir al-Gayo, dikarenakan makna maupun penjelasan pada al-Qur’an dan Hadis menggunakan bahasa Gayo (Daudy, 1938, 4). Sebagaimana Daudy jelaskan:
هلوا نراک ةيآ 2 نارق انعمد تيا ثيدح ناد نک
نڠد اسهب وياݢ ترس امم ىک ريسفت ساهب
وياݢ م فک راݢ ىأمن ڠ باتک
نيا نڠد : لا ريسفت ويا ݢ
“oleh karena ayat-ayat Qur’an dan Hadits itu dimaknakan dengan bahasa Gayo serta memakai tafsir bahasa Gayo, maka pengarang namai kitab ini dengan: Tafsir al-Gayo”
Mengenai sistematika penulisan, bagian awal tafsir al-Gayo tampak pada sampul buku yang memuat keterangan tentang judul, pengarang, penerbit, tempat penerbitan, dan tahun terbit, mirip dengan buku tafsir pada umumnya. Pada bagian kedua, berjudul “Sepatah Kata” atau biasanya disebut sebagai pengantar, ia memberikan gambaran singkat tentang orang Gayo serta informasi tentang lokasi mereka dan penyebutan pertama mereka. Bagian ketiga, diberi judul “cita-cita pengarang” yang memberikan informasi latar belakang penulis serta motivasinya menulis tafsir al-Gayo. Teungku Mudekala menyatakan bahwa tafsir al-Gayo digunakan untuk menafsirkan tulisannya dan itu dilakukan dengan memparafrasakan beberapa tulisan para akademisi di Gayo. Pada bagian kelima, mengungkapkan pujian kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, dan mencantumkan nama dan fungsi para Malaikat. Pada bagian keenam yang berjudul “Bagian-Bagian Ayat-Ayat Al-Qur’an”
pada bagian ini terdiri dari Hadits dan ayat-ayat al-Qur’an yang telah ditafsirkan.
Karakteristik Tafsir Al-Gayo
Tafsir al-Gayo sekilas tampak seperti terjemahan karena penulis hanya menyalin kata-kata dari al-Qur’an dan kemudian menerjemahkannya dari satu bahasa ke bahasa lain. Selain itu, Daudy hanya menafsirkan setiap ayat dalam satu paragraf saja, itupun tidak menjelaskan bagaimana tafsir tersebut terkait dengan aturan fiqh, munasabah, dan asbab al-nuzul ayat yang dikutip. Meskipun begitu, tafsir al-Gayo menggunakan tarjamah tafsiriyah dalam beberapa nash, menurut telaah penulis terhadap kitab tafsir al-Gayo, tetap saja merupakan produk tafsir, hal ini dikarenakan kebanyakan penafsirannya menggunakan metode tafsir ijmali. Tarjamah tafsiriyah tidak berpegang pada makna literal yang terkandung dalam teks aslinya ketika menerjemahkan makna ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bahasa lain menggunakan pola bahasa terjemahan, tanpa dibatasi oleh urutan-urutan teks aslinya. (Muhammad Thalib, 2011, xiv). Adapun contoh tarjamah tafsi>riyah pada kitab ini, misalnya ِنْي ِ دلا ِم ْوَي ِكِل ٰم apabila diterjemahkan secara umum “pemilik hari pembalasan”. Tetapi Mudekala menerjemahkannya sebagaimana dibawah ini:
اليوا نهوت ىداجنم جر
ةريخا وسڠل ف ىو ساوک
“oyale tuhen munjadi reje akhirat langsope we kuasa” (Daudy, 1938, 7).
Terjemahan: “itulah tuhan menjadi raja akhirat besokpun (hari kemudian) Dia kuasa”
Sebelum mengenal lebih jauh tentang tafsir al-Gayo, penulis akan memaparkan terlebih dahulu perbedaan antara tarjamah tafsiriyah dan tafsir agar mudah dipahami oleh para pembaca :
1) Aturan asal kalimat tidak relevan dengan terjemahan (hanya perlu menjelaskan asal kata dan sebagainya). Sedangkan tafsir lebih luas dan pemahamannya dibatasi oleh konvensi linguistik.
2) Pembuangan kalimat tidak dapat dilakukan pada terjemah, tetapi pembuangan kalimat dimungkinkan terjadi bahkan harus terjadi pada tafsir.
3) Memenuhi makna yang dimaksudkan oleh kalimat terjadi pada terjemah, sedangkan menjelaskan yang dimaksudkan oleh kalimat dari sudut pandang penafsir terjadi pada tafsir.
4) Terjemah harus mengandung makna asli, sedangkan tafsir memberikan penjelasan secara umum maupun menyeluruh.
5) Makna yang dimaksud penerjemah adalah makna yang asli, sedangkan tafsir tidak cukup berhenti pada satu makna akan tetapi kemudian dicarikan penjelasannya (Al-Zarqani, 1995, 94-95).
Dalam kitab tafsir al-Gayo pengarang menambahkan tambahan penjelasan atas makna ayat sebagai pelengkap ayat yang ditafsirkan, sebagaimana contoh pada Q.S.
Al-Baqarah: 1: 123 sebagai berikut:
ا ْوقَّتا َوُ ا ًم ْوَي اَّ
ل ْي ِزْج َت
ْفَن س َع سفَّنْ ْن ا ًٔـْي َش اَ
ل َّو
ُلَبْقُي ا َهْن ِم ل ْدَع اَ
ل َّو ا َه ُعفْنَتَ ة َعاف َشَ اَ
ل َّو ْم ُه
َن ْو ُر َصْنُي ١٢٣
Artinya: Takutlah kamu pada hari (ketika) tidak seorang pun dapat menggantikan (membela) orang lain sedikit pun, tebusannya tidak diterima, syafaat tidak berguna baginya, dan mereka tidak akan ditolong (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019, 124).
Penafsiran Abdurrahim Daudy:
ات ىتوک ىراهوک ةمايق يس رݢ ةعفنم ڠف تک مروا :سڠب ىفارأک تره قڠرݢ نک سوبنف
ستاربريب
ىنيلد :تره ىفارأک قنا قڠرݢ نک ڠلونف فيلدک ى مؤق :سفلوبيرب
ىفارأک ةباحص
قڠرݢ نک ڠيدد ببس ڠسامڠ 2
سود ناد ,الهف ناس ىس نتاوب نتا ىنايند ىڠامتسايوا
ىناوک .چارن
وؤ ىنيوک تموا هلݢ تڠيا 2 ىتناومنويبوک
تاوبرب سود نتا ىنايند هڠوسوب
لمعربوک
اليوأ نک ب لک ةرخاد ءاقب لهݢ تاوک سب ةدابعربوک يتنأ
و,ک فراه نک
ت ل نڠو .امج
“Takutiko hari kiamat si gere manfaat pangkat orom bangsa: kearape harta gere nguk kin penebus bier beratus deleni harta: kearape anak gere nguk kin penolong kedelepe kaum beribu lapis: kearape sehebet gere nguk kin dediang sebeb nge masing-masing dosa dan pahala, sana si bueten atan denieni oya sitamengi kowan Neraka. Wo kowani umet gelah inget-inget ko bewente berbuet dosa atan denieni besunguh ko beramal oyale kin bekal di akhirat baqa’ gelah kuet besiko beribadah entiko, harap kin tolongen jema” (Daudy, 1938, 4).
Terjemahan penafsiran : “Takutlah kamu hari kiamat yang tidak manfaat (berguna) pangkat dengan bangsa: walaupun ada harta tidak bisa sebagai penebus walau beratus-ratus banyaknya harta: walaupun pun ada anak tidak bisa sebagai penolong walaupun banyak kaum ribuan lapis: walaupun sahabat tidak dapat sebagai bermain sebab sudah masing-masing dosa dan pahala, segala yang dikerjakan di dunia ini itulah yang ditamengi (dilindungi) ke dalam Neraka. Wahai kalian umat tidak apa-apa kamu ingat-ingat kita semua berbuat dosa di dunia ini bersungguh (serius) kamu beramal itulah untuk bekal di akhirat baqa (kekal) tidak apa-apa kuatlah kamu beribadah jangan kamu harap pertolongan orang”
Sebagaimana penafsiran di atas, dapat dilihat bahwa ketika menafsirkan ayat Abdurrahim Daudy memberikan penafsirannya secara umum, tanpa memberikan keterangan pada kata atau lafaz. Dapat dilihat juga bahwa Abdurrahim Daudy hanya memberikan beberapa tambahan penjelasan pada ayat. Pada penafsiran di atas dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan ayat, Abdurrahim Daudy hanya menambahkan beberapa penjelasan. Sebagaimana pada kalimat “tebusannya tidak diterima” Daudy menjelaskan tebusan itu berupa harta yang walaupun sebanyak beratus-ratus tetap tidak akan diterima. Selanjutnya pada terjemahan ayat “syafaat tidak berguna baginya”
Daudy mengibaratkan walaupun betapa banyaknya anak maupun kaum (pengikut) yang dimiliki mereka tidak akan bisa menjadi penolong (syafaat), bahkan seorang sahabat tetap tidak akan menolong karena masing-masing sudah memikirkan dosa dan pahala yang dilakukan selama di dunia. Oleh karena itu pada tafsir di atas Daudy memperingati untuk ingat-ingat apabila berbuat dosa dan seriuslah untuk beramal sebagai bekal menuju akhirat dan janganlah mengharapkan pertolongan orang lain.
Contoh lainnya sebagaimana pada Q.S. al-Baqarah ayat 45:
ا ْوُنْي ِعَت ْسا َو ِرْب َّصلاِب
ِةوٰ ل َّصلا َو ا َهَّنِا َو ة َرْيِبَ
كَ ل اَّ
ل ِا ىَ َنْي ِع ِشٰخْلا لَع
٤٥
Artinya: Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, 2019, 9).
Penafsiran Abdurrahim Daudy:
مروا ىموليسرب
ومنويبوک اتک نهوتک , مروا ىمربصرب
يڠمومنويبوک تک
ىنهروس
نهوت :
مروا ىمڠيهبمس
ومنويبوک نراک
هروس ىرل نهوت : ىنوڠي ڠيهبمس
تربايوا ڠا هيݢ :نهاترت
ڠلم نک نتاوک ىسامج نيقي نهوترب .
“Orom bersilomi ko bewenmu keta ku tuhen, orom sebermi ko bewenmu mengikut suruhan tuhan: orom sembahyangmi ko bewenmu karna surah ari tuhen: singeni sembahyang oya beret enggeh/gere tertehen: melengkan ku atan jema si yakin bertuhen” (Daudy, Tafsir al-Gayo, 16).
Terjemahan penafsiran : “Dengan sekarang kamu semua pada Allah, dengan sabarlah kamu semua mengikut perintah tuhan: dengan shalatlah kamu semua karena surah dari tuhan: sekarang ini shalat itu berat tidak tertahankan: melainkan kepada orang yang yakin pada tuhan”
Pada penafsiran ayat di atas penulis memahami bahwa Daudy mengingatkan pada orang-orang agar sabar dalam mengikuti (menjalankan) segala suruhan (perintah) Allah SWT. Ibadah shalat juga tidak luput untuk dilakukan, sebab hal itu juga merupakan suruhan (perintah) tuhan. Namun, Daudy berpendapat kedua hal ini sangat berat untuk dijalankan kecuali bagi orang-orang yang bertuhan (beriman) pada Allah SWT. Berdasarkan pemaparan penafsiran di atas penulis menyimpulkan bahwa dalam menjelaskan sebuah ayat, Daudy menggunakan tarjamah tafsiriyah terlebih dahulu, kemudian ditafsirkan dengan menggunakan metode ijmali. Alasan penulis mengatakan demikian karena Abdurrahim Daudy memberikan penambahan penjelasan maupun gambaran pada suatu keadaan di dalam tafsirnya.
Perkembangan Islam di Gayo
Setidaknya ada beberapa penjelasan yang diterima secara luas tentang bagaimana Islam pertama kali datang ke Gayo, berdasarkan tulisan-tulisan sejarah tentang peradaban Islam di sana. Seperti catatan Mahmud Ibrahim yang mengklaim bahwa para penguasa dan cendekiawan kerajaan Perlak membawa Islam ke dataran tinggi Gayo. Menurut Mahmud Ibrahim, Sayid Maulana Aziz Syah, seorang kabilah Quraisy, adalah sultan pertama Perlak, sebuah kerajaan Islam yang berdiri pada tahun 840. Seorang panglima bernama Merah Malik Ishaq pindah ke anak sungai Jambo- Aye River dan mendirikan kerajaan Isaq, yang mengambil namanya dari Merah Malik Ishaq, ketika kerajaan Sriwijaya menyerbu kerajaan Perlak pada tahun 986–1006 M (Ali Mustafa, Vol. 8, No. 2, 2017). Cerita lain mengklaim bahwa para pendatang yang berprofesi sebagai pendakwah dan pedagang membawa agama Islam ke wilayah Gayo. Hal ini terlihat pada makam Ya’kub, saudara Misan dari al-Malik al-Kamil.
Ya’kub wafat pada hari Jum’at pukul 630 H (A. Hasymy, 1989, 477).
Apabila melihat pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa belum ada perincian catatan yang mengulas dan memaparkan secara jelas, lengkap dan terarah
tentang kedatangan Islam ke Gayo. Bahkan dalam cerita lainnya kebannyakan hanya berbentuk informasi dari mulut ke mulut tanpa ada bukti data yang pasti. Oleh karenanya penulis akan menguraikan awal mula masuknya Islam ke Gayo hingga perkembangannya dengan mengutip penjelasan dari salah seorang cendekiawan yang berasal dari Gayo, Prof. M. Dien Madjid, berstatus sebagai guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau telah menulis buku tentang “Sejarah Awal Islam di Gayo Pada Abad XI-XIV”. Buku tersebut merupakan seri-1 sejarah Gayo yang diterbitkan pada tahun 2020. Buku tersebut telah dibedah yang diselenggarakan oleh KAGAYO (Komunitas Alumni Yogyakarta) pada hari Selasa (19/4/2022) yang bertempat di Kafe Keni Gayo, Pujasera Kebet Takengon. Acara tersebut dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai unsur masyarakat, turut juga menghadirkan dua orang akademisi sebagai pembanding, yakni Dr. Salman Yoga dari UIN Ar-Raniry dan Dr.
Evanirosa dari IAIN Takengon (Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, dikases 22 Mei 2023).
Dalam buku tersebut menyebutkan bahwa perkembangan Islam di Tanah Gayo melewati tiga fase, yakni:
Fase Pertama, Masuknya Islam ke Gayo Berlangsung Sekitar Abad ke 10-11 M
Masih sangat menantang untuk menentukan bagaimana Islam akan mempengaruhi Gayo. Tidak ada tahun yang disebutkan di salah satu materi tentang bagaimana beberapa orang pesisir melarikan diri ke pedalaman dan beberapa dari mereka bergabung dengan orang-orang kerajaan Linge, jika memperhatikan informasi apa pun. Selain itu, mereka pindah ke pedalaman karena khawatir akan menjadi Muslim. Fakta bahwa mereka mungkin diklaim tidak menerima Islam dan malah keluar karena Islam menunjukkan bahwa masuknya mereka tidak dimaksudkan untuk menyebarkan agama Islam. Kemudian, ketika akan membaca catatan Marco Polo, seorang penjelajah Italia yang mengunjungi Perlak (Dada Meuraxa, Sejarah Kerajaan Melayu, 1974, 74), Dien Madjid mejelaskan bahwa banyak penduduk setempat (Gayo) telah masuk Islam. Karena berbagai alasan, mereka yang tidak ingin masuk Islam akhirnya mundur ke pedalaman. Mereka tiba di sebuah kerajaan kecil pada waktu itu di pedalaman dekat laut. Penduduk setempat menyebut negara mereka sebagai Lainggow dan penguasa mereka sebagai ghayo-ghayo, yang dalam bahasa Arab berarti “raja gunung suci”. Dalam literatur disebutkan bahwa kerajaan ini juga sering berkomunikasi dengan kerajaan Perlak pesisir.
Pada penjelasan dari ucapan Marco Polo di atas bahwa kerajaan Linge kemungkinan besar menjadi kerajaan Islam pada tahun 1292. Perspektif ini didukung oleh berbagai faktor; Pertama, Marco Polo melaporkan bahwa penduduk asli setempat (Gayo) menyebut penguasa itu sebagai ghayo-ghayo yang berarti raja gunung suci. Makhluk suci yang dibahas di sini adalah religiusitasnya, yang memungkinkannya naik ke pangkat Wali. Penjelasan lain adalah cukup diragukan jika diklaim bahwa Islam masuk ke Gayo pada tahun 1292. Karena mungkin segera setelah kerajaan Islam didirikan (Rusdi Sufi, 2010, 18). Dien Madjid menegaskan bahwa ejaan yang benar dari istilah linggow adalah Lingge atau Linge, mendukung anotasi Marco Polo.
Padahal kerajaan itu terletak di pedalaman Perlak (Danau Laut Tawar), yang ditandai dengan laut kecil. Karena satu-satunya Danau di pedalaman Aceh (M. Dien Madjid, 2020, 61). Dien Madjid berpikir bahwa Islam mungkin saja menginvasi Gayo melalui Perlak dan Pasai. Hal ini terlihat dari pemerintahan Gayo yang mengikuti struktur
yang mirip dengan kerajaan Aceh, meskipun ada beberapa perbedaan utama di antara keduanya.
Sudut pandang lain yang dimiliki Dien Madjid adalah pandangan Aboebakar Atjeh, yang dalam bukunya “Masuknya Islam di Indonesia” menyatakan bahwa masuknya Islam ke Gayo tidak terlepas dari fungsi pendatang, baik sebagai da’i maupun pedagang. Hal ini ditunjukkan oleh Ya’kub, saudara Misan dari al-Malik al- Kamil, yang dimakamkan di sana. Pada hari Jumat, 15 Muharram 630 H, Ya’kub wafat. Walaupun hal ini masih memerlukan Investigasi lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan apakah informasi ini akurat.
Fase Kedua, Proses Akulurasi Ajaran Islam dengan Nenek Moyang Masyarakat Gayo (Awal Abad 11 Sampai Akhir Abad 12 M)
Pada Fase ini pengamalan ajaran Islam masih berkaitan dengan banyaknya barang-barang kepercayaan tradisional yang ditinggalkan oleh masyarakat Gayo saat ini, sebagaimana dapat dilihat di lingkungan sekitar. Meskipun masyarakat telah menerima Islam pada saat ini, kebiasaan ritual kuno masih digunakan. Masyarakat Gayo kembali tidak kuasa menahan keinginan merayakan ekses peninggalan suci saat ini. Misalnya batu besar, sungai, mata air, dan kuburan. Selain itu, praktik pengobatan tradisional juga tidak luput dari hal ini, seperti penggunaan tangkal dan jimat. Ini menunjukkan bahwa pengaruh Islam hanya dapat dilihat melalui kulitnya saja.
Kenyataannya, pada masa ini masih banyak orang Gayo yang belum beragama Islam.
Fase Ketiga, Berdirinya Kerajaan Lingge (Awal Abad 12 Sampai Abad 18 M)
Pada titik ini, masyarakat Gayo mungkin semuanya telah masuk Islam. Salah satu contohnya adalah adanya joyah, suatu bentuk surau atau struktur sederhana yang mulai memainkan peran penting dalam sistem pendidikan Islam. Ajaran para leluhur yang dianggap anti Islam mulai ditinggalkan seiring dengan meningkatnya pengetahuan agama di masyarakat. Pada titik ini, sistem adat Gayo telah berasimilasi dengan ajaran Islam. Berbagai acara adat mulai memasukkan aspek keislaman. Hal inilah yang kemudian memunculkan ungkapan hukum lagu edet umum jet sipet umum (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat Allah di mana keduanya tidak terpisahkan) yang masih digunakan sampai sekarang.
Melanjutkan dari fase-fase awal mula masuknya Islam ke dataran tinggi Gayo, ditemukan dalam catatan terbitan Belanda bahwa beberapa suku Gayo telah menyimpang dari syari’at Islam meskipun semuanya telah memeluk Islam hingga pada tahun 1900-an (Mantik, 2009, 14). Ditemukan pula dalam Disertasi ketika Belanda tiba di Gayo pada tahun 1910, menurut Ihsan Harun, banyak murid yang mulai melihat dunia luar untuk belajar agama di dayah Pulau Kitun,2 dayah Teupin Raya Cet Merak,3 Sumatera Thawalib Padang Panjang4 dan Candung Serta Bangil
2 Dayah ini menjadi favorit kalangan terpelajar Aceh Tengah; faktanya, hampir semua tokoh masyarakat di kawasan itu belajar di sana saat mereka masih muda, antara tahun 1910 dan 1920.
Seperti Teungku Damanhuri, Mahmud Ibrahim, Ibrahim Mantik, dan untuk beberapa nama lainnya.
3 Saat itu Teungku Syahbudin memimpin Dayah Samalanga, dan dilanjutkan oleh Teungku Mudi (Abu mudi). Teungku Mahmud Ibrahim, Teungku Abdurrahman Bebesen, Teungku M. Hasan Tan, dan Teungku Ali Djadun adalah beberapa orang terkenal yang belajar di dayah tersebut.
Jawa Timur (Ihsan Harun, 2020, 16). Akan tetapi, perluasan pembangunan sistem pendidikan pun berjalan seiring dengan kemajuan penjajah Belanda di Aceh Tengah.
Di Takengon, sekolah adat (Volkschool) dibangun pada tahun 1904, dan Sekolah Inlandsche atau Vervolgschool dibentuk beberapa tahun kemudian. Sekolah Leergang, Sekolah Duta Besar di Sigli, dan Sekolah Normaal di Bireun semuanya dibangun pada tahun 1918 oleh pemerintah Belanda.
Semakin banyak orang Gayo yang terpelajar telah menyadarkan mereka bahwa konflik tersebut melibatkan lebih dari sekedar penggunaan senjata—tetapi juga melibatkan kemampuan untuk mempengaruhi banyak orang. Teungku Ali Djadun (Muhammadiyah), Teungku Ali Seni (Alwashliyah), dan Teungku Jali Ali (Persatuan Islam/PERSIS) hanyalah beberapa contoh intelektual Gayo yang telah mengambil peran aktivis di berbagai ormas. Sekitar tahun 1920-an, ketika Muhammadiyah tumbuh di Takengon, muncul fenomena tipologis yang dikenal sebagai kaum Tua dan kaum Muda pada penduduk Muslim setempat. Kaum Tuaa ingin mengharmonisasikan adat lokal dengan Islam daripada merombak tradisi secara drastis dan frontal. Sementara itu, tidak tepat lagi memasukkan aspek-aspek bid’ah dalam ajaran Islam yang telah diresapi dengan amalan-amalan bagi Kaum Muda (Rozian Karnedi, 2022, 134-156). Oleh karena itu, jelas para pemimpin Muhammadiyah di Takengon menerapkan perubahan teologisnya selama ini.
Reformasi dilakukan oleh para aktivis Muhammadiyah dengan menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan pembersihan akidah, seperti interaksi antara agama dan tradisi.
Jelas dari uraian di atas bahwa masa pembaharuan agama Islam oleh para aktivis Muhammadiyah yang melahirkan kitab tafsir al-Gayo itu ada. Hal ini juga dapat diamati dalam karir Abdurrahim Daudy, yang pada tahun 1932 mulai mengajar di Jacobshool Muhammadiyah Teritit di Kabupaten Bener Meriah. Melihat kembali perdebatan tentang tafsir al-Gayo, pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan Daudy sejalan dengan kebutuhan mereka yang tidak paham dengan literasi Islam terkini. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Daudy hanya membahas ajaran agama Islam yang dasar, seperti mengingat Allah dan kebesarannya, beriman kepada Rasul, Surga dan Neraka, shalat, sedekah, akhlak kepada sesama manusia, dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat pada beberapa penafsiran di bawah ini pada Q.S. Ash-Shaff: 61: 10-11 berikut:
اَهُّيَ آٰي َنْي ِذَّ
لا ا ْوُن َمٰ
ا
ْ ل َه ْمُ
كُّ
ل ُدَ ا ىٰ
لَع ة َرا َج ِت ْمُ
كْي ِجْنُت ْن ِم
باَ ذَع مْيِلَ
ا ١٠
َ ن ْوُن ِم ْؤُت ِٰ للّاِب هِل ْو ُس َر َو
َن ْو ُد ِها َج ُ ْيِف ت َو
ِب َس ِلْي ا ِ ٰ للّ
ْمُ كِلا َو ْمَ
اِب ْمُ
ك ِسفْنُ َ ا َو ْمُ
كِل ٰذ رْي َخ ْمُ
كَّ
ْ ل ن ِا ْمُتنْ ُ َ ك
ن ْو ُمَ ل ْعَت ١١
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang (dapat) menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Caranya) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019, 815).
Penafsiran Abdurrahim Daudy:
4 Teungku Abdul Muthalib, Teungku Abdul Djalil, dan Teungku Ahmad Damanhuri menjadi ulama yang belajar di dayah tersebut. Teungku Abdul Muthalib kemudian kembali ke wilayah Gayo pada tahun 1926.
وک ومنويب وک ىسامج ناميارب ارم ك وک هسوک ستا نم تک ىس ولوت .نلاج ىس قڠ ڠلونم
ىراوک ع باذ ارن ك يس رݢ نهاترت ماترف هروت ىاچرف وک للّا ىلاعت هروت :نهوترب ناس 2
ىهاتنرف هڠوسرب
ىتا هروت .نتاوبا ڠي اودک وک ومنويب نک لوسر للّا ىف نامياربوک :
ناسڠرب
ىس هما لوسر للّا هروت شوک ننالجاروک .
ڠي يتک ك هلݢ ضيروک نبوبمم تره نلاجک نهوت
ناسڠراب
هروتوميقزررا
:نناجنلبياوتنتم
نهارس نادب مروا مرواواي ىدوب :ننابرقياراچب
الايوا
نم تک ىس هبل ڠنتنارب ىس قڠ ڠلونم ىراهيا نيدمک , نمالايوا تک
ىس هبل هرج
وک يتناومنويببوک نفولوک
. ڠسک نريک را عربراومنويببوک مل
م ن هت .ننالجرف
“Ku bewenmu ko jema si berimen merake ko kosah atas munakat si tulu jelen. Si nguk munulung ko ari adzab neraka sigere tertehen, pertama turah percaya ku Allah ta’ala turah bertuhen: sana-sana ara perintahe bersunguh ate turah i bueten. Yang kedue ko bewenmu kin Rasulullah pe ko berimen: barangsana si emah Rasul turah ko syukuri ijelenen. Yang ketige gelah ko rido membeban harta ku jelen tuhen barangsana ara rezekimu turah mutentu ibelenyen: serahen beden orom nyawa orom budi bicara i korbanen: oyale munakat si lebih beruntung si nguk munulung i hari kemudien, oyale munakat si lebih jeroh ku ko bebewenmu entiko lupen. Kesengkiren ara ko bebewenmu ara berilmu mubetih perjelenen” (Daudy, Tafsir al-Gayo, 23).
Terjemahan penafsiran : “Kepadamu semua orang yang beriman maukah kamu kuberi atas munakat (perdagangan) yang tiga jalan, yang dapat menolong kamu dari adzab neraka yang tidak dapat ditahan. Pertama harus percaya pada Allah ta’ala harus bertuhan: apa-apa perintah-Nya bersungguh (serius) dengan hati dilakukan. Yang kedua kamu semua pada Rasulullah pun kamu beriman: apapun yang dibawa Rasul harus kamu syukuri dijalankan. Yang ketiga tidak apa-apa kamu ridha membebani harta ke jalan tuhan apapun rezekimu harus berdaya guna dibelanjakan: serahkan badan (raga) dengan nyawa dengan budi bicara dikorbankan: itulah munakat (perdagangan) yang lebih beruntung yang dapat menolong di hari kemudian, itulah munakat (perdagangan) yang lebih baik padamu semua jangan kamu lupakan. Kalau sekiranya kamu semua ada berilmu mengetahui perjalanan.”
Sebagaimana penafsiran ayat di atas beliau memberikan tambahan penjelasan, pertama cara beriman kepada Allah adalah “melaksanakan segala perintah-Nya dengan hati yang tulus (ikhlas), kedua cara beriman kepada Rasulullah ialah “segala yang dibawa oleh Rasulullah harus dijalankan pula dengan rasa syukur, dan ketiga berjihad melalui harta ialah “membelanjakannya sesuai kegunaan” dan melalui jiwa yakni
“mengorbankan badan dan nyawa” di jalan Allah. Contoh lainnya pada Q.S. al- Hujurat ayat 12-13:
اَهُّيَ آٰي َنْي ِذَّ
لا ا ْوُن َمٰ
ا اَ
ل ْرخ ْسَيَ م ْوقَ ْن ِ م م ْوقَ ى ٰٓس َع
ْ نَ ا اْوُن ْوُ
كَّي ا ًرْي َخ ْم ُهْن ِ م اَ
ل َو ءۤا َسِن ْن ِ م ءۤا َسِن ى ٰٓس َع
ْ نَ ا
َّنُ كَّي ا ًرْي َخ َّنُهْن ِ م اَ
ل َو آْْو ُز ِمْ
لَت ْمُ
ك َسُ فْنَ
ا اَ
ل َو ا ْو ُزَباَنَ
ت ِباَ
قْ لَ
اْ لاِب َسْ
ئِب ِل ا ُم ْسا ُق ْو ُسُ
فْ لا َد ْعَب ِناَمْي ِاْ
لا ْن َم َو ْمَّ
ل
ْبتَيُ َكِٕىٰۤلوُ
افَ ُم ُه
َ ن ْو ُمِل ٰظلا
١١ اَهُّيَ
آٰي َنْي ِذَّ
لا اوُن َمٰ
ا ا ْوُبِنت ْجاَ ا ًرْيِثَ
ك َن ِ م ِ نظلاَّ
َّ
ن ِا َض ْعَب ِ نظلاَّ
مْ
ث ِا َّو اَ
ل
ا ْو ُس َّس َجَ ت
اَ ل َو ْبت ْغَيَ ْمُ
ك ُض ْعَّب ا ًض ْعَب
ُ يَ ِح ا ُّب ْمُ
كُد َحَ ا
ْ نَ ا
َ لُ كْ
أَّي َمْحَ
ل ِهْي ِخَ
ا اًتْي َم ُه ْو ُمُتْهِرَ
كفَ
اوقَّتا َوُ َٰ للّا
َّ
ن ِا
َٰ للّا با َّوَت مْي ِح َّر ١٢
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka ( yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok).
Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman, Jauhilah banyak prasangka!
Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019, 754-755).
Penafsiran Abdurrahim Daudy:
ىسامجومنوييبوک
ىاچرف هلݢ فرب ڠݢ ت ىمهݢ ستادومنويبوک
ا ماݢ ىفنن ىتنا
سرب نڠاروک ستادومنويبوک ا
ماݢ رت نڠادک ىس هبل هرج ومنويبوک للّاوک
,ىلاعت رت نڠادک
ىس هبل ڠروک ومنويبوک للّاوک ,ىلاعت ىفنن يتنا سرب نڠاروک ومنويبوک مؤق ,ناوفمرف
رت نڠادک ىس هبل هرج مؤقومنويبوک
اوفمرف ,ن رت نڠارک ىس هبل ڠروک مؤقومنويبوک
,ناوفمرف
ىفنن ىتنا ىجومم ىريد ومنويبوک مروا مان ,ىجوفرت
ىس اس تک ىن ىنيتا امج ومنويبوک
ىفنن ىتنا ,ىساريا مان قسف ىس هبل توک ك ومنويبوک ىرامڠ ,ناميارب ڠراب نهاس يس ةبوترݢ
ىراومنويبوک تاوب
,سودرب ملاظايواامج ىنيب
ىسياومنويبوک ن
ن ار .ك
ومنوييبوک ىسامجوك
ىاچرف هلݢ ىمقراجرب
ومنوييبوک ىرا
تهاج كڠس ىنوڠس تهاج
كڠس ىداجنمومنويبوک
,سودرب ىفنن يتنا تاوبرف و,ک
ومنوييبوک نتفونم
,امج نراك سود
تفونم ومنوييبوک ال
نڠاموݢ ,امج ىوا رف ىنقيتوک تاوب ومنوييبوک نلاج
ارنوک ,ك ىفنن
اتررب ىمتک ومنوييبوک للّاوک
اعت ,ىل ىنوڠس للّا ىلاعت هبل هسام ݢ ومنوييبوک ن ک
ىنتبوت .امج
“Ku bewenmu ko jema si percaya gelah berpegang ko bewenmu di atas agama nanpe enti bersikurangen ko bewenmu di atas agama terkadang nese lebih jeroh ko bewenmu ku Allah Ta’ala, terkadang nese lebih kurang ko bewenmu ku Allah Ta’ala, nanpe enti bersikurangen ko bewenmu kaum perempuan, terkadang nese lebih jeroh
ko bewenmu kaum perempuan, terkadang nese lebih kurang ko bewenmu kaum perempuan, nanpe enti memuji diri ko bewenmu orom nama terpuji, si sakit ni jema ko bewenmu nanpe enti irasi, nama fasik si lebih kotek ko bewenmu ngemari beriman, barang sahan si gere tobat ko bewenmu ari buet berdosa, jema oya dzhalim ko bewenmu isi ni Neraka. Ku bewenmu ko jema si percaya gelah berjarakmi ko bewenmu ari jahat sangka si ngeni jahat sangka ko bewenmu munjadi berdosa, nanpe enti perbuetko, ko bewenmu munupet ni jema, karna dosa munupet ko bewenmu lagu mangan jema, oya perkotekni buet ko bewenmu jelen ku Neraka, nanpe bertakutimi ko bewenmu ku Allah Ta’ala, si ngeni Allah Ta’ala lebih gemasih ko bewenmu kin tobatni jema.” (Daudy, Tafsir al-Gayo, 17-18).
Terjemahan Penafsiran : “Kamu sekalian orang yang percaya tidak apa-apa berpegang kamu sekalian di atas agama lagi pula jangan saling mengurangi kamu sekalian di atas agama terkadang dia (kepemilikan) lebih baik kamu sekalian pada Allah Ta’ala, terkadang dia (kepemilikan) lebih kurang kamu sekalian pada Allah ta’ala, lagi pula jangan saling mengurangi kamu sekalian kaum perempuan, terkadang dia (kepemilikan) lebih baik kamu sekalian kaum perempuan, terkadang dia (kepemilikan) lebih baik kamu sekalian kaum perempuan, lagi pula jangan memuji diri kamu sekalian dengan nama terpuji, yang menyakiti orang kamu sekalian lagi pula jangan diejek (diolok), nama fasik yang lebih kotor (buruk) kamu sekalian sudah selesai beriman, barang siapa yang tidak bertaubat kamu sekalian dari perbuatan dosa, orang itu zalim kamu sekalian isinya Neraka. Pada kamu sekalian kamu orang yang percaya tidak apa-apa berjaraklah (menjauhlah) kamu semua dari jahat sangka (buruk sangka) yang sudah jahat sangka (burung sangka) kamu sekalian menjadi berdosa, lagi pula jangan kamu perbuat (lakukan), kamu sekalian mengupat orang, karena dosa mengupat kamu sekalian seperti makan orang (manusia), itu sekotornya (seburuknya) perbuatan kamu sekalian jalan ke Neraka, lagi pula bertakutlah (bertakwalah) pada Allah ta’ala, yang sudah Allah Ta’ala lebih penuh kasinh sayang untuk taubatnya orang (manusia).”
Pada penafsiran di atas dapat dilihat bahwa Daudy menafsirkan ayat tersebut hampir memiliki kesamaan dengan terjemahan pada umumnya. Namun Daudy memberikan istilah lain dari perbuatan mengolok-olok dengan “saling mengurangi”
terhadap sesama. Penulis memahami yang dimaksudkan dengan “saling mengurangi”
ialah seseorang yang saling membicarakan kekurangan daripada orang lain, pun begitu sebaliknya membalasnya dengan membicarakan kekurangannya juga. Inilah yang dimaksudkan oleh Daudy sebagai perbuatan mengolok-olok. Padahal setiap orang (manusia) itu ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada ayat selanjutnya juga demikian terdapat penyebutan istilah yang membedakannya dengan terjemahan pada umumnya. Apabila diperhatikan pada terjemahan, prasangka yang dijauhi itu tidak disebutkan perbuatan jenis apa, tetapi dalam penafsiran Daudy secara terang-terangan menyebutkan bahwa yang dijauhi itu adalah sangkaan yang buruk (Su’udzan). Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa penafsiran Daudy merupakan penafsiran metode ijmali, sebab beliau menambahkan beberapa penjelasan lain untuk memperjelas atau melengkap suatu ayat yang ditafsirkannya.
KESIMPULAN
Penafsiran Abdurrahim Daudy merupakan salah satu dari sekian banyak ahli tafsir di Nusantara. Penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Gayo ini
memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan kitab tafsir pada umumnya, hal itu dapat diketahui dari pengkajian terhadap kitab tafsir al-Gayo. Dari sudut pandang format penafsiran yang dipilih, hal ini bisa dimaklumi. Abdurrahim Daudy menulis tafsir al-Gayo dengan hanya mengutip beberapa ayat al-Qur’an kemudian ditafsirkan dalam beberapa baris atau paragraf saja, yang masuk akal dalam konteks budaya pada saat itu. dalam tafsir tafsir ini juga beliau tidak hanya menafsirkan ayat- ayat al-Qur’an saja, melainkan ia menafsirkan 40 hadis (hadis arba’in). Selain itu latar belakang kehidupan penafsir juga mempengaruhi tujuan dari penulisan kitab tafsir tafsir al-Gayo, selain sebagai media dakwah, tafsir ini juga sebagai media pembaharuan keagamaan. Selain menafsirkan al-Qur’an, Abdurrahim Daudy juga menafsirkan 40 Hadits (Hadits Arba’in).
Latar belakang kehidupan para penafsir juga berdampak pada tujuan penulisan kitab tafsir al-Gayo, yang berfungsi sebagai alat dakwah sekaligus alat pembaharuan keagamaan. Banyak aspek dari penafsiran ini yang dapat ditelaah dan digunakan untuk menyusun strategi kajian lebih lanjut, khususnya seberapa besar pengaruh penafsir yang nota bene dirasakan pada setiap lapisan masyarakat. Mengingat bahwa tafsir ini merupakan produk dari masa penafsir, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami bagaimana tafsir al-Gayo terhubung dengan pemahaman ilmiah modern tentang teknik penemuan yang semakin umum. Karena batasan bahasa, tidak cocok untuk menyimpan penafsiran ini hanya untuk tampilan atau membiarkannya tidak dibaca dan tidak ditinjau.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasymy. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh. Jakarta: Percetakan Offset
Abidin A Zainal. dan Thariqul Aziz. 2023. Khazanah Tafsir Nusantara. Yogyakarta:
Ircisod
Al-Zarqani M A Al-Adzim. 1995. Manahi Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Ed. Fawwaz Zamarli. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arabi
Daudy Abdurrahim. 1938. Tafsir al-Gayo. Mesir: Matba’ah Mustafa Al-Baby Al-Halaby Wa Awladuh
_____. 1979. Sejarah Daerah dan Suku Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Gusmian Islah. 2023. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi.
Yogyakarta: Lkis Yogyakarta
Halimastussa’diyah. 2020. Karakteristik Tafsir di Indonesia: Analisis Terhadap Tafsir Juz
‘Amma Risalat al-Qawl al-Bayan dan Kitab al-Burhan. Ciputat, Sakata Cendekia Harun Rasjid. 1994. Alam Kubur: Saer-Saer Gayo. Jakarta: PT Balai Pustaka
Ihsan Harun. 2020. Sejarah Pendidikan Islam di Aceh Tengah Era Tahun 1920-1986.
Disertasi S3: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Karnedi Rozian. 2022. Diskursus Hadis dalam Perspektif Kaum Tua Dan Kaum Muda di Indonesia. Mutawatir. Vol. 22. No. 1
L.K. Ara. 2009. Antologi Syair Gayo. Banda Aceh: Yayasan Pena
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. 2019. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ed.
Penyempurnaan. Jakarta: Menteri Agama RI
Madjid M. Dien. 2020. Sejarah Awal Islam di Gayo Pada Abad XI-XIV. Banten: Mahara Publishing
Mantik. 2009. Peranan Ulama Tanah Gayo Aceh Tengah dalam Pengembangan Islam Studi Kasus: Teungku Ibrahim Mantiq. Skripsi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mustafa Ali. 2017. Dakwah Kultural di Tanoh Gayo. Attanzir. Vol. 8. No. 2
Sufi Rusdi. 2010. Sejarah Kerajaan Lingge; Pola Kerajaan Tradisional. Lembaga Studi Sejarah dan Budaya Aceh
Thalib Muhammad. 2011. Al-Qur’anul Karim Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al- Qur’an Lebih Mudah, Cepat dan Tepat. Yogayakarta: Ma’had An-Nabawy Tim Penulis IAIN Ar-Raniry. 2005. Ensiklopedia Pemikiran Ulama Aceh 2. Banda Aceh:
Ar-Raniry Press
Umar Munawir. 2020. Kajian Al-Qur’an di Aceh: Melacak Akar Sejarah Perkembangan Tafsir dari Masa ke Masa, Liwaul Dakwah. Vol. 10. No. 2
Website
Lintas Gayo, Tengku Abdurrahim Daudy (Mudekala) Tokoh Yang Bersahaja, Https://lintasgayo.co/2021/09/30/tengku-abdurrahim-daudy-mudekala- tokoh-yang-bersahaja/
Nukilan.Id. Mude Kala Ulama dan Seniman yang Terjemahkan Tafsir Al-Qur’an ke Bahasa Gayo. Https://nukilan.id/mude-kala-ulama-dan-seniman-yang-terjemahkan- tafsir-al-quran-ke-bahasa-gayo/
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Ungkap Sejarah Masuknya Islam Ke Gayo,
KAGAYO Bedah Buku Profesor M Dien Madjid,
Https://www.acehtengahkab.go.id/berita/kategori/sejarah/ungkap-sejarah- masuknya-islam-ke-gayo-kagayo-bedah-buku-frofesor-m-dien-madjid