• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK MUTU PENGOLAHAN YELLOW FIN TUNA (Thunnus albacares) LOIN MASAK BEKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "KARAKTERISTIK MUTU PENGOLAHAN YELLOW FIN TUNA (Thunnus albacares) LOIN MASAK BEKU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK MUTU PENGOLAHAN YELLOW FIN TUNA (Thunnus albacares) LOIN MASAK BEKU QUALITY CHARACTERISTICS OF PROCESSING YELLOW FIN TUNA (Thunnus albacares)

FROZEN COOKED LOIN

Abyan Haidar Amru* dan Yuliati H. Sipahutar

Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jl. AUP No. 1 Pasar Minggu-Jakarta Selatan

*Korespondensi: abyan.amru@ymail.com (AH Amru) Diterima 18 April 2022 – Disetujui 19 Agustus 2022

ABSTRAK. Ikan tuna adalah salah satu spesies Scombridae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditi ekspor hasil perikanan penting bagi Indonesia. Untuk itu, diperlukan proses penanganan dan pengolahan yang baik dan benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuikarakteristik mutu pengolahan tuna loin masak beku. Metode penelitian dilakukan dengan observasi dan keterlibatan langsung dalam proses mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan, dengan melakukan pengujian terhadap mutu (organoleptik, mikrobiologi), pengamatan penerapan rantai dingin, rendemen. Analisa data dilakukan dengan deskriptif. Hasil penelitian ini adalah proses pengolahan menjadi tuna loin masak beku mencakup empat belas tahapan proses dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan produk untuk dijual. Sistem rantai dingin telah diterapkan dalam pengolahan dengan menjaga suhu pusat ikan selalu < 5°C. Hasil uji organoleptik bahan baku tuna beku adalah 7.9 dan produk akhir tuna loin masak beku adalah 8,4 Hasil uji histamin tuna beku berkisar 2.13 – 3.38 ppm dan pada tuna loin masak beku berkisar 1.12 ppm -3.57 ppm. Nilai ALT tuna beku 2.1x 103kol/g sampai 2 , 7 x 103 kol/g dan hasil ALT tuna loin masak beku 7,7 x103 kol/g. Hasil uji tuna beku E. coli<3, Coliform <3, S. aureus

<3, Salmonella negative dan V. Parahaemolyticus negative. Hasil uji tuna loin masak beku E. coli, Coliform <3, S . aureus, V. parahaemolyticus negative dan Salmonella, memenuhi standar perusahaan dan SNI. Rendemen tahap penyiangan 88,91-90,75%, pemasakan 74,45-82,9%, deheading (kepala+ekor) 61,4%-66,94%, skinning 52,44% - 59,99%, cleaning 36,3%-38,27%.

Kata kunci: Loin tuna masak beku, mutu, rendemen, suhu.

ABSTRACT. Tuna is one of the Scombridae species that has high economic value and is an important export commodity of fishery products for Indonesia. For this reason, a good and correct handling and processing process is needed. This study aims to determine the quality characteristics of frozen cooked tuna loin processing. The research method is carried out by observation and direct involvement in the process from receiving raw materials to loading, by conducting quality tests (organoleptic, microbiological), observing the application of cold chains, yields. Data analysis was done descriptively. The result of this research is the processing process into frozen cooked tuna loin includes fourteen stages of the process from receiving raw materials to loading products for sale.

Cold chain system has been applied in processing by keeping the fish center temperature always < 5°C. The organoleptic test results of frozen tuna raw materials were 7.9 and the final product of frozen cooked tuna loin was 8.4. Frozen tuna histamine test results ranged from 2.13 to 3.38 ppm and frozen cooked tuna loin ranged from 1.12 ppm -3.57 ppm. The ALT value of frozen tuna was 2.1 x 103 kol/g to 2.7 x 103 col/g and the ALT yield of frozen cooked tuna loin was 7.7 x103 col/g. Frozen tuna test results E. coli<3, Coliform <3, S. aureus <3, Salmonella negative and V. Parahaemolyticus negative. The test results of frozen cooked tuna loin E. coli, Coliform <3, S.

aureus, V. parahaemolyticus negative and Salmonella, met the company standards and SNI. The yield of weeding stage was 88.91-90.75%, ripening 74.45-82.9%, deheading (head+tail) 61.4%-66.94%, skinning 52.44% - 59.99%, cleaning 36.3%-38.27%.

Keywords: Frozen cooked tuna loin, temperature, quality, yield.

1. Pendahuluan

Ikan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT)merupakan komoditas ekspor perikanan Indonesia terbesar kedua setelah udang, yaitu mencapai US$ 176,63 juta (KKP, 2020). Sesuai dengan penyampaian KKP,

(Aurelia Journal) E-ISSN 2715-7113 e-mail: aurelia.journal@gmail.com

(2)

(2021) ikan harus ditangani dengan baik, untuk mencegah terjadinya penurunan mutu, kontaminasi dari bakteri dan hal lain yang merugikan sehingga menurunkan grade ikan tuna kita. Pandemi Covid-19 tidak melumpuhkan sektor perikanan Indonesia khususnya tuna. Data ekspor tuna Indonesia mengalami peningkatan yang cukup baik dibandingkan bulan februari tahun lalu. Data volume ekspor perikanan Indonesia pada Maret 2020 mencapai 105,20 ribu ton atau meningkat 15,37% dibandingkan ekspor bulan Februari 2020 (KKP, 2020). Sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh ITC calculation based on UN COMTRAD, neraca perdagangan yang didalamnya sudah termasuk produk perikanan, bahwa sejak tahun 2012-2016 meningkat sampai dengan 2.67% per tahun mengalahkan China yang hanya naik 0.60%

per tahun. Melihat dari data diatas, banyak kesempatan untuk Indonesia mempertahankan track record bahkan bisa dikatakan dapat meningkatkan kembali prestasi tersebut. Salah satu komoditas yang menjadi andalan bangsa Indonesia adalah tuna sirip kuning atau dengan nama yang dikenal dunia adalah yellowfin tuna (Thunnus albacares). Di pasar Jepang tuna sirip kuning (yellowfin) segar merupakan komoditas yang paling banyak diimpor oleh Jepang dari negara-negara produsen lainnya termasuk Indonesia.

Ikan tuna (Thunnus sp) adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna (Thunnus sp) mengandung kadar air 62%, protein 22%, lemak 16% dan mineral 1.1%

(Belitz et al., 2009). Tuna loin masak beku beku merupakan produk olahan tuna yang mengalami pemasakan, pembentukan loin dan pembekuan. Ikan tuna dimasak terlebih dahulu secara utuh kemudian dibentuk menjadi loin lalu dibekukan dengan suhu pusat minimal -180C.

Peningkatan kegiatan pengolahan tuna sirip kuning dalam bentuk produk tuna loin mas ak beku dalam memenuhi permintaan ekspor perlu menerapkan proses pengolahan yang baik dan memenuhi standar keamanan pangan. Pemenuhan persyaratan dalam penanganan maupun pengolahan, diharapkan dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan baik secara nasional maupun internasional. Kontinuitas mutu produk sangat penting guna meningkatkan kepercayaan Negara pengimpor terhadap mutu suatu produk sehingga produk tersebut dapat bersaing di pasar internasional.

Untuk memperoleh produk yang baik dan memenuhi standar mutu ekspor, perlu memperhatikan faktor- faktor yang memenuhi standar mutu produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik mutu tuna loin masak beku mulai dari proses penerimaan bahan baku tuna beku sampai pemuatan produk tuna loin masak beku, penerapan rantai dingin, mutu bahan baku tuna beku dan mutu produk akhir tuna loin masak beku dan rendemen.

2. Metode Penelitian

Ikan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT)merupakan komoditas ekspor perikanan Indonesia terbesar kedua Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2021 di PT. KMC, Muara Baru, Jakarta Utara. Bahan baku diterima dari kapal-kapal yang telah bekerja sama dengan perusahaan.

Alat yang digunakan adalah gancu, tali raffia, selang penyemprot air, thermometer, bak pencucian, pisau stainless, keranjang, plastik, ember, meja kerja, pisau, timbangan, cutting board, corong, kereta dorong, plat pembekuan, alat pembekuan Air Blast Freezer, mesin vacuum, plastik vakum, master karton, dan pan. Bahan yang digunakan adalah ikan tuna beku. Bahan pembantu adalah air dan es. Bahan kimia yang digunakan adalah sabun cuci tangan, alkohol, soda api, prostex, dan klorin

Penelitian dilakukan dengan observasi dan survey mengikuti secara langsung proses penanganan tuna loin masak beku mulai dari tahap awal produksi sampai penyimpanan beku.

Pengujian mutu organoleptik dan mikrobiologi dilakukan sebanyak 12 (duabelas) kali. Pengukuran suhu menggunakan thermometer dan dilakukan 6 kali pengamatan, pada setiap tahapan mulai dari penerimaan bahan baku sampai penyimpanan beku, pada suhu pusat ikan, ruangan, dan air yang digunakan pada proses pengolahan.

Pengujian organoleptik bahan baku dilakukan menurut SNI 4110.2014 ikan beku. Pengujian produk tuna loin masak beku sesuai SNI 7968:2014. Pengujian Angka Lempeng Total (ALT) sesuai SNI 01-

(3)

2332.3-2015, E. coli sesuai SNI 01-2332.1-2015, dan salmonella sesuai SNI 01-2332.2-2015. Skema alur proses pengolahan loin tuna beku sebagai berikut.

Sumber: SNI 7968:2014

Gambar 1. Alur Proses Pengolahan Loin Tuna Masak Beku.

3. Hasil dan Pembahasan

Proses pengolahan tuna loin masak beku meliputi beberapa tahapan proses sebagai berikut:

penerimaan bahan baku, pelelehan (thawing), pencucian 1, penyiangan (butchering), pencucian 2, sortasi size, penyusunan dalam keranjang besi(stucking), pemasakan(cooking), pendinginan(cooling), pemotongan kepala dan ekor(cleaning), pembentukan loin (trimming), penimbangan, pengemasan 1, vacumming, pencelupan ke air panas (shrinking), pencelupan air es (ice cooling), pembekuan fFreezing), pengecekan dengan metal detector, pengemasa 2, penyimpanan beku, dan ekspor (stuffing) .

3.1 Penerapan Suhu

Pengamatan suhu dilakukan dengan menggunakan peralatan berupa thermometer analog, bor listrik untuk bahan baku beku dan produk beku, serta buku catatan pengamatan suhu. Pengamatan suhu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penerapan suhu yang dilakukan oleh perusahaan dalam mempertahankan mutu ikan dan melakukan proses pengolahan yang baik dan benar. Pengamatan dilakukan dengan alat bantu yaitu Thermometer. Adapun pengamatan yang dilakukan yaitu pengamatan suhu pusat ikan (backbone), suhu air, dan suhu ruangan, pada setiap tahapan proses.

3.1.1 Pengamatan suhu pusat ikan

Pengamatan suhu pusat ikan dilakukan dengan cara menusukkan thermometer analog ke pusat thermal ikan. Bahan baku yang diterima adalah ikan tuna utuh beku. Hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 dapat dilihat hasil pengukuran suhu penerimaan bahan baku ikan tuna beku rata-rata adalah -16,6°C. Hasil pengukuran suhu ini masih sesuai dengan standard perusahaan dan SNI 4110:2014 tentang suhu ikan beku adalah -18°C. (Badan Standardisasi Nasional, 2014a). Hal ini sesuai dengan (Perdana et al., 2019) suhu penerimaan bahan baku ikan tuna utuh beku adalah -16,6°C, kemudian bahan baku ikan beku dimasukkan ke cold storage bahan baku dengan menjaga suhu pusat ikan beku <-18°C. Sumartini et al., (2020) menyampaikan bahwa suhu pusat ikan -18°C, pada penerimaan bahan baku dalam keadaan beku, yang diterima perusahaan kapal penangkap ikan.

Suhu pada saat pelelehan (thawing) adalah -3,7 °C, hasil pengukuran suhu pelelehan (thawing) ini masih sesuai dengan standar perusahaan bahwa suhu ikan segar tidak boleh melebihi (–4) – (–5)°C.

Suhu bahan baku harus tetap di perhatikan 0°C -(4,4) °C, selama penanganan selalu di perhatikan untuk menghambat pembentukan histamin dan mempertahankan kesegaran ikan. Hal ini sesuai dengan

(4)

Sumartini et al., (2020) bahwa proses thawing dilakukan selama ± 1 jam dengan suhu mencapai (–4C C) – (–6°C ). Pelelehan dianggap telah selesai jika suhu pusat ikan -3-(0) °C dan suhu air 15°C. (Shabarina, 2021). Menurut (Muchtadi, 2013) suhu ikan segar dipertahankan 4,4°C untuk menghambat gejala pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh diatas suhu 4,4°C dan mempertahankan nilai-nilai kesegaran bahan pangan.

Tabel 1. Pengamatan Suhu Pusat Ikan.

No. Tahapan Proses Suhu Pusat Rata-

Rata (°C) Standar Perusahaan (°C)

1 Penerimaan bahan baku (receiving) –16,6 –18

2 Pelelehan (thawing) – 3,7 (–4) – (–5)

3 Sortasi size dan penyusunan dalam keranjang 1,7 2

4 Pemasakan (cooking) 66,4 65 – 68

5 Pendinginan (cooling) 40,5 40 – 45

6 Deheading dan skinning 37,6 35 – 40

7 Loining, cleaning, dan inspection loin 26,8

25 – 28 8 Pengemasan I (packing I)

26,1 9 Pendeteksian logam

10 Pembekuan – 34 (– 34) – (– 40)

11 Pengemasan II (Packing II) –24,9

12 Penyimpanan beku –19,1 (–18) – (–21)

13 Pemuatan (stuffing) –20

Suhu pusat ikan pada pemasakan adalah 66,4°C. Hasil pengukuran suhu pemasakan ini masih sesuai dengan standar perusahaan. Proses pemasakan dikatakan selesai jika suhu pusat ikan telah mencapai suhu yang telah ditetapkan perusahaan, untuk standar kematangan ikan yakni 65-68°C. Lama waktu pemasakan di lakukan sekitar 50-55 menit, tergantung juga pada size ikan. Sesuai Sumartini et al., (2020) ikan dikatakan sudah masak apabila suhu pusat ikan telah mencapai 65-70°C.

Suhu pusat ikan pada saat pembekuan adalah -34°C. Pengukuran suhu ini masih sesuai dengan standar perusahaan dan SNI 7968:2014 tentang tuna loin masak beku yaitu suhu pusat produk <- 18°C atau lebih rendah (Badan Standardisasi Nasional, 2014b). Untuk menjaga suhu pembekuan, oleh perusahaan perusahaan suhu pembekuan diseting -40°C, dan lama pembekuan dilakukan selama 14 jam dan maksimal 18 jam. Hal ini sesuai dengan Suryanto & Sipahutar, (2020) bahwa suhu pusat ikan selama pembekuan berlangsung antara 34°C - 40°C. Pada proses pembekuan fillet ikan Angoli, suhu pusat ikan diturunkan mencapai -21℃, sehingga pembekuan dikatakan baik karena sudah sesuai dengan standar perusahaan - 10°C (Sandra & Riayan, 2015). Menurut Naiu et al., (2018) proses pembekuan dilakukan untuk menurunkan suhu produk hingga suhu produk mencapai -18℃ atau lebih rendah.

Hasil pengamatan suhu penyimpanan beku pada cold storage yaitu –19,1℃. Suhu penyimpanan beku ini sudah sesuai dengan standar perusahaan yaitu (–18℃) – (–21℃). Sesuai dengan Mayangsari

& Sipahutar, (2021) bahwa suhu penyimpanan beku yang digunakan dalam ruang penyimpanan cold storage sekitar -18°C sampai -25°C, sehingga dapat mempertahankan suhu produk minimal - 18°C.

Produk beku yang telah dikemas harus disimpan dalam ruang penyimpanan beku dengan suhu dipertahankan <-20 (+2) s/d < - 25 °C sedangkan suhu anterom dipertahankan < 10 °C (Hafina &

Sipahutar, 2021). Sumartini et al., (2020) menyatakan bahwa produk loin disimpan pada suhu penyimpanan beku (cold storage) adalah (-18) °C – (-25) °C. Produk loin yang telah dikemas disusun di dalam palet kemudian di masukkan ke dalam cold storage sampai loin akan di ekspor. Produk dapat disimpan selama 18 bulan, jika produk disimpan pada suhu –18 °C atau dibawahnya di dalam cold storage (Gusdi & Sipahutar, 2021).

(5)

3.1.2 Pengamatan suhu ruang proses

Pengamatan pada suhu ruangan sangat perlu dilakukan selama proses pengolahan berlangsung.

Pengamatan suhu ruang dilakukan dengan memeriksa thermometer yang terdapat di setiap ruangan.

Berikut ini merupakan pengamatan suhu ruangan yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Suhu Ruang.

No. Ruangan Suhu Rata-Rata (oC) Standar Perusahaan (oC)

1 penerimaan bahan baku (receiving) 22,9 20 – 25

2 Anteroom 9,6 8 – 10

3 cold storage penyimpanan bahan baku -17,8 -20 ± 2

4 pelelehan (thawing) 22,9

20 – 25 5 butchering (penyiangan), sortasi size dan

penyusunan dalam pan 20,2 6 cooking (pemasakan) dan cooling

(pendinginan)

29,5 27 – 30

7 deheading, skinning, loining, cleaning, dan

inspection loin 25,8

24 – 27 8 packing I (pengemasan I), pendeteksian

logam, dan packing II (pengemasan II) 26,3

9 Air Blast Freezer (ABF) -36,4 (-35) – (- 40)

10 cold storage penyimpanan beku -23,2

-25 ± 2

11 truk thermoking -20,8

Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa hasil pengukuran suhu ruang penerimaan bahan baku ikan tuna beku rata-rata adalah 22,9°C. Suhu ruang penerimaan bahan baku ini sudah sesuai dengan standard perusahaan yaitu 20-25°C. Suhu ruang penyimpanan cold storage bahan baku adalah -17.8 °C, sesuai dengan standar perusahaan, suhu ruang penyimpanan bahan baku adalah < -20°C. Suhu ruang ABF adalah -36,4°C, sudah memenuhi standar perusahaan yaitu (-35) – (-40). Suhu ruang cold storage penyimpanan beku -23,2°C sesuai dengan standar perusahaan yaitu -25°C ± 2. Suhu truk thermoking - 20,8. Kesimpulan dari hasil pengamatan suhu ruang proses pengolahan tuna loin masak beku pada setiap tahapan masih memenuhi standar perusahaan yang ditetapkan. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan sangat memperhatikan suhu ruang proses, karena selain suhu ikan suhu ruangan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu produk. Menurut Mangunwardoyo et al., (2010) aktivitas enzim dan perkembangan mikroba dipengaruhi oleh suhu. suhu optimum terletak pada suhu dibawah dan diatas suhu kamar sedangkan pada suhu rendah maupun tinggi menyebabkan aktivitasnya terhambat.

3.1.3 Pengamatan suhu air

Pengamatan suhu air dilakukan menggunakan thermometer analog. Pengamatan suhu yang diamati yaitu suhu thawing, suhu pencucian I, dan suhu pencucian II dan suhu pendinginanan (cooling). Hasil pengamatan suhu air dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengamatan Suhu Air.

Tabel 3 di atas dapat dilihat hasil pengukuran suhu air pelelehan (thawing) rata-rata adalah 20,9ºC.

Hasil pengukuran suhu air masih memenuhi standar perusahaan yaitu pada proses thawing suhu air yaitu No. Tahapan Proses Suhu Air Rata-Rata (°C) Standar Perusahaan (°C)

1 Pelelehan (thawing) 20,9 18 – 22

2 Pencucian I, butchering

(penyiangan), pencucian II

23,8 18 – 25

3 Pendinginan (cooling) 25,5 20 – 30

(6)

berkisar 18-21ºC. Pengamatan suhu air pelelehan thawing bertujuan untuk menurunkan suhu bahan baku pada saat pencairan, supaya proses produksi dapat dilakukan lebih lanjut.

Hasil suhu air pada proses pencucian 1, butchering (penyiangan), pencucian II adalah 23.,8ºC. Hasil pengukuran suhu air masih memenuhi standar perusahaan yaitu pada proses pencucian 1, butchering (penyiangan), pencucian II suhu air yaitu berkisar 18 ºC – 25ºC. Pengukuran suhu air pada proses ini, bertujuan untuk mencuci bahan baku sesudah proses penyiangan.

Hasil suhu air pada pendinginan (cooling) yaitu 25,5ºC. Hasil pengukuran suhu air masih memenuhi standar perusahaan yaitu pada proses pendinginan (cooling) suhu air berkisar 20ºC – 30 ºC. Proses pendinginan dilakukan dua kali secara berulang, sampai suhu pusat ikan mencapai standar suhu pendinginan yang ditetapkan oleh perusahaan yakni 40°C dan total lama waktu pendinginan yakni ± 1 jam 12 menit. Pendinginan (cooling) ikan pada suhu ruang bertujuan untuk mendinginkan ikan pasca pemasakan agar pada saat pembersihan dan pembentukan Loin berlangsung cepat dan tangan karyawan tidak panas dikarenakan suhu ikan yang terlalu tinggi. Hasil ini sesuai Sumartini et al., (2020) bahwa proses pendinginan memiliki dua tahap yaitu pendinginan I selama 15 menit dan pendinginan II sebagai lanjutan selama 35-50 menit, sampai suhu pusat ikan mencapai suhu 40 ºC C akan dapat dilanjutkan ke proses selanjutnya. Dijelaskan oleh (Shabarina, 2021) bahwa proses pendinginan ini berlangsung selama 20 menit dan tiap 15 detik sekali water spray akan hidup secara otomatis. Ikan di anggap telah dingin jika mencapai suhu 40 ºC -45 ºC.

3.2 Pengujian Mutu Pengolahan Loin Masak Beku

Pengujian mutu erat kaitannya dengan perdagangan internasional, maka produk pangan yang diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain syarat mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan dan lain-lain (Elmariana et al., 2020).

3.2.1 Mutu organoleptik bahan baku dan produk akhir

Pengujian organoleptik bahan baku dilakukan sesuai SNI 4110:2014 ikan beku. Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kebekuan bahan baku yang diterima. Adapun aspek yang perlu dinilai terdiri dari lapisan es, pengeringan, dan disklorisasi.

Pengujian sensori atau pengujian dengan indra atau dikenal juga dengan pengujian organoleptik sudah ada sejak manusia mulai menggunakan indranya untuk menilai kualitas dan keamanan suatu makanan dan minuman (Setyaningsih et al., 2010). Pengujian sensori produk akhir dilakukan menurut SNI tuna loin masak beku SNI 7968-2014. Pengujian sensori dilakukan oleh enam orang panelis dengan menggunakan scoresheet. Hasil pengujian organoleptik bahan baku dan produk akhir dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Data Hasil Pengujian Organoleptik Tuna Beku Dan Tuna Loin Masak Beku.

Pengamatan Nilai rata-rata SNI Standar

Bahan baku tuna beku 7.9 ± 0.67 7 SNI 4110:2014

Produk Akhir tuna loin masak beku 8.4 ± 0.82 7 SNI 7968:2014.

Nilai organoleptik bahan baku tuna beku berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat rata-rata 7,9 dengan spesifikasi kenampakan tidak rata, bening, bagian permukaan produk yang tidak dilapisi es kurang lebih 30%, pengeringan (dehidrasi) pada permukaan produk kurang lebih 30%, perubahan warna (diskolorisasi) pada permukaan produk kurang lebih 30%. Hal ini dapat dikatakan bahwa mutu bahan baku tuna beku yang diterima masih memenuhi standar persyaratan bahan baku yaitu 7 sesuai SNI 4110:2014 tentang ikan beku (Badan Standardisasi Nasional, 2014a). Hasil pengujian organoleptik dengan nilai mutu 7,9 yang memenuhi standar SNI, dipengaruhi dari penanganan bahan baku yang dilakukan pasca penangkapan. Bahan baku ini didapatkan dari kapal penangkap tuna yang telah bekerja sama dengan perusahaan dilengkapi dengan palka pembekuan dengan suhu minimal -18°C.

Menurut Junianto, (2003) untuk mendapatkan mutu tuna yang baik, penanganannya sudah dimulai sejak dilakukan penangkapan. Hal ini sesuai dengan (Suryanto et al., 2020) bahwa prosedur penanganan

(7)

ikan diatas kapal setelah ikan ditangkap adalah, segera lakukan penanganan yang baik dengan 3C+1Q yaitu clean, carefull, cool chain dan Quick, dan ikan segera dimasukkan ke palka penyimpanan beku.

Menurut (Pianusa et al., 2016), mutu atau kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, metode atau cara penangkapan dan pendaratan ikan termasuk juga jarak pengangkutan dari tempat penangkapan ke tempat pendaratan, keadaan cuaca terutama suhu.

Nilai organoleptik produk akhir tuna loin masak beku berdasarkan Tabel 4 yaitu rata-rata 8,4 dengan spesifikasi kenampakan cemerlang spesifikasi produk, bau spesifikasi produk, testur padat.

Nilai organoleptik produk akhir sudah memenuhi standar tuna loin beku SNI 7968:2014 bahwa nilai organoleptik tuna loin masak beku minimal 7 (Badan Standardisasi Nasional, 2014b). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produk akhir tuna loin masak beku dalam keadaan baik. Untuk mendapatkan produk yang sesuai standar SNI, pihak perusahaan memperhatikan mutu bahan baku, proses penanganan dan pengolahan yang sesuai aturan, menjaga kebersihan peralatan dan karyawan ikut serta menerapkan suhu sesuai proses. Hal ini dilakukan untuk menjaga mutu ikan sampai menjadi produk yang aman dan sesuai standar dengan mempertahankan suhu ikan dibawah -18 ⁰C.

Pengawasan penerimaan bahan baku sangat ketat dilakukan oleh perusahaan, sehingga bahan baku yang diterima penanganannya sangat baik, dan dapat dilanjutkan untuk proses pengolahan tuna loin masak beku. Hasil Nilai organoletik ini diatas nilai standar SNI untuk organoleptik tuna beku yaitu 7 (7,9 >SNI 7). Selama penanganan penerimaan bahan baku, penerapan suhu harus diusahakan selalu rendah (0°C – 5°C) (Perdana & Sipahutar, 2020). Menurut (Wulandari et al., 2009) bahwa kualitas bahan baku akan sangat menentukan kualitas produk akhir. Afrianti, (2014) menjelaskan bahwa kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk tergantung pada suhu, dimana pengaruh suhu pada pertumbuhan bakteri akan nampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan atau perpendekan fase adaptasinya tergantung pada tinggi rendahnya suhu.

3.2.2 Pengujian mikrobiologi

Pengujian mikrobiologi untuk pengiriman dalam negri dilakukan didalam labolatorium intenal, sedangkan pengujian mikrobiologi untuk ekspor dilakukan di laboratorium PPISHP DKI Jakarta. Pengujian mikrobiologi dilakukan pada bahan baku dan produk akhir yang meliputi TPC, E. coli, Coliform, Salmonella, V. cholera, V. parahaemolyticus, Staphylococcus aureus. Hasi pengujian dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5. Hasil Uji Mikrobiologi Bahan Baku Ikan Tuna.

Pengujian

ke- ALT

(kol/g) E. coli

(APM/g) Coliform

(APM/g) S. aureus

(koloni/g) V.

parahaemolyticus (APM/g)

Salmonella (-/25 g)

1 2,7x103 ND ND ND ND Negatif

2 2,5x 103 ND ND ND ND Negatif

3 2.1x 103 ND ND ND ND Negatif

Standar SNI 5x105 <3 <3 1 x 103 <3 Negatif

Standar PT 5x105 <3 <3 1 x 103 <3 Negatif

Keterangan: ND (Not Detected)

Hasil pengujian mikrobiologi bahan baku pada Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa nilai ALT berkisar 2.1x 103 sampai 2,7 x 103. Hasil ini masih berada dibawah standar perusahaan dan SNI 4110:2014 tentang ikan beku yaitu 5x105 kol/g (Badan Standardisasi Nasional, 2014a). Hasil uji mikrobiologi lainnya adalah E . coli<3, Coliform <3, S. aureus <3, Salmonella negative dan V.

Parahaemolyticus negative masih sesuai dengan standar perusahaan dan SNI 4110:2014. Hal ini menunjukan perusahaan menerapkan penerimaan baku dengan baik dengan menerapkan prinsip cepat, hati-hati, bersih dan penerapan rantai dingin dalam penanganannya. Penerapan suhu dingin dilakukan dengan baik sehingga bakteri-bakteri patogen tersebut dapat dikendalikan pertumbuhannya.

Hasil pengujian Ma’roef et al., (2021) tentang bahan baku ikan beku masih sesuai dengan SNI

(8)

adalah negative. Sesuai pendapat Roiska et al., (2020) bahwa cara penanganan, sanitasi, faktor biologis, temperature lingkungan, alat pengangkutan ikan, dan ruang penyimpanan dapat mempengaruhi mutu ikan yang dihasilkan. Sesuai dengan (Gusdi & Sipahutar, 2021) bahan baku ikan beku masih sesuai SNI 4110:2014 yaitu nilai ALT bahan baku 3x103 kol/g, Escherichia coli didapatkan hasil <3 salmonella dan Vibrio cholera adalah negative. Dimana pada proses penerimaan bahan baku dilakukan penanganan dengan mempertahankan suhu dingin. Perubahan suhu dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme dan perubahan-perubahan lain yang sifatnya merugikan serta mengakibatkan terjadinya pembusukan (Adawyah, 2008).

Tabel 6. Hasil Uji Mikrobiologi Produk Tuna Loin Masak Beku.

Name of

Sample ALT

(kol/g) E. coli

(APM/g) Coliform

(APM/g) S. aureus

(koloni/g) V. parahaemolyticus

(APM/g) Salmonella

(-/25 g)

YF 20-09-2021 ND ND ND ND ND ND

YF 18-09-2021 - ND ND - - ND

YF 17-09-2021 - ND ND - - ND

YF 16-09-2021 7.7𝑥 103 ND ND ND ND ND

YF 15-09-2021 - ND ND - - ND

Standar PT dan SNI

5x105 <3 <3 1 x 103 <3 Negatif

Keterangan: ND (Not Detected)

Tabel 6 dapat dilihat bahwa produk akhir tuna loin masak beku dengan nilai ALT adalah 7,7 x 103 kol/g masih sesuai standar perusahaan dan masih dibawah persyaratan SNI 7968:2014 yaitu 5x105 (Badan Standardisasi Nasional, 2014b). Hasil seluruh mikrobiologi lainnya untuk pengujian tuna masak beku yaitu E. coli, Coliform <3, S. aureus, V. parahaemolyticus negative dan Salmonella, masih memenuhi standar perusahaan dan SNI dan yaitu E. coli <3, Coliform <3, S. aureus, V.

parahaemolyticus negative dan Salmonella negative. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan selama proses pengolahan, sejak penerimaan bahan baku sampai pada pemuatan (stuffing), penanganan dilakukan dengan baik, suhu selalu dijaga agar tetap dingin, sehingga pertumbuhan bakteri dapat dikendalikan.

Perbandingan nilai ALT pada bahan baku dan produk akhir menunjukkan pada produk akhir mengalami peningkatan jumlah kenaikan ALT. Kenaikan ALT ini dapat pengaruhi oleh jenis flora normal dan cara penanganan setelah pasca panen dan selama penyimpan (David & Kilmanun, 2016). Hasil Shabarina, (2021) tentang bahan baku ikan beku masih sesuai dengan SNI 4110:2014 yaitu ALT 1,9×10³ kol/g – 2,4 x 103 kol/g, Escherichia coli <3, salmonella, S.Aureus dan Vibrio cholera adalah negative.

Menurut Perdana et al., (2019) selama proses pengolahan, penerapan suhu dapat mengendalikan pertumbuhan jumlah bakteri.

Selama proses pengolahan perlakuan suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri, terutama bakteri pembusuk dan bakteri penghasil histamin (Nusaebah et al., 2020). Hal yang sama dengan Sipahutar et al., (2021) pada proses pengolahan, pengendalian pertumbuhan jumlah bakteri dapat dilakukan dengan penerapan sanitasi, yaitu pada proses produksi mewajibkan setiap karyawan untuk mencuci tangan setiap 30 menit sekali dengan menggunakan klorin. Menurut (Tong Thi et al., 2014) pada proses produksi, kontaminasi Escherichia colli, Staphylococcus aureus dan Vibrio cholera paling banyak ditemukan pada tangan pekerja dan khususnya di area pengemasan.

3.3.3 Hasil pengujian kadar histamin

Pengujian histamin untuk pengiriman dalam negeri dilakukan didalam labolatorium intenal, sedangkan pengujian kimia untuk ekspor dilakukan di laboratorium PPISHP DKI Jakarta. Hasil pengujian kadar histamin sebagai berikut:

(9)

Tabel 7. Pengujian Kadar Histamin.

Pengamatan Histamin

(ppm) Standar SNI Standar

Perusahaan Metode

Bahan baku tuna

beku 2.13 -3.38

100 mg/kg (ppm) 30 ppm Spektofotometri (SNI 2354-10-2009) Produk akhir tuna loin

masak beku 1.12- 3.57

Tabel 7 dapat dilihat nilai histamin pada bahan baku berkisar 2.13 ppm–3.38 ppm dan pada produk akhir tuna loin masak beku berkisar 1.12ppm–3.57 ppm. Hasil pengujian histamin ini masih berada dibawah persyaratan perusahaan yaitu <30 ppm dan masih dibawah persyaratan SNI 7968:2014 yaitu

<100 ppm (Badan Standardisasi Nasional, 2014b). Nilai histamin <30 ppm menunjukan bahwa penerapan suhu dijaga dengan baik selama proses pengolahan sehingga nilai histamin rendah dan kenaikan histamin dapat dikendalikan. Hasil pengujian ini masih sesuai dengan standar FDA yaitu menetapkan batas standar keamanan histamin adalah 5.0 mg/100 g (50 ppm)(Food and Drug Administration, 2022).

Sedangkan Uni Eropa menetapkan bahwa kandungan rata-rata histamin dalam ikan tidak boleh lebih dari 10 mg/100 g (100 ppm) (USFDA, 2019). Dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian histamin pada bahan baku tuna beku dan produk akhir tuna loin beku yang digunakan sangat baik mutunya, karena hasil pengujian histamin tidak melebihi standar perusahaan 30 ppm, sehingga dapat di ekspor.

Histamin di bentuk dari histidin yang merupakan senyawa amina biogenik dari histamin terbentuk dari asam amino histidine, akibat reaksi enzim dekarboksilase dengan suhu optimum pertumbuhan adalah 25° C (Kim et al., 2006). Peningkatan kadar histamin juga dipengaruhi oleh enzim dimana aktivitas enzim ini dapat berkurang banyak pada suhu -73ºC dan bahkan dapat hilang atau rusak pada suhu 93ºC atau lebih (Akirthasary, 2021). Enzim pada ikan mempunyai suhu optimum sekitar 37ºC oleh karena itu semakin rendah suhu makin menurunkan aktivitas enzim, sampai mendekati nol. Kadar histamin selama penanganan penangkapan ikan berkisar 25 pp-50 ppm masih sesuai dengan standar SNI. Hal ini karena penerapan suhu dingin selama penangkapan, penanganan diatas kapal dan di proses pengolahan, serta penyimpanan dilakukan dengan baik (Suryanto & Sipahutar, 2021). Sesuai dengan Perdana et al., (2019) kadar histamin pada penangkapan 0,1 ppm-0,5 ppm, sedangkan pada pada pembentukan steak beku adalah 0,1 ppm-0,7 ppm hasil ini masih sesuai standar SNI. Sesuai Sipahutar et al., (2021) pada pembekuan escolar fish kadar histamin adalah 2,1 ppm, sesuai dengan standar SNI, karena penerapan suhu sudah baik dilakukan.

Senyawa histamin yang terdapat pada daging ikan akan berbahaya, sebab bersifat racun yang dinamakan Scombroid food poisoning (Suwetja, 2011), bila dimakan oleh manusia akan menimbulkan keracunan histamin. Ikan yang disimpan pada penyimpanan suhu beku (freezer) dapat mempertahankan mutu dan daya simpan, dengan kadar histamin dan total bakteri yang rendah (Firman et al., 2021).

Kenaikan kadar histamin dapat dipengaruhi oleh penanganan suhu yang kurang baik, yaitu terjadinya kenaikan suhu pada penanganan yang lama selama pengolahan. Jumlah bakteri sangat berpengaruh pada meningkatnya kadar histamin, meningkatnya jumlah bakteri tersebut seiring dengan meningkatnya suhu pengolahan atau penyimpanan.

3.4 Rendemen

Rendemen adalah persentase yang didapatkan dari membandingkan berat awal bahan baku dengan berat produk akhirnya. Pada pengolahan ikan tuna menjadi tuna loin, tidak semua bagian tubuh ikan dapat dimanfaatkan, sehingga harus dihilangkan atau dibuang yaitu kepala, tulang, kulit dan isi perut, serta daging merah. Hasil perhitungan dari rendeman disajikan pada Tabel 8.

(10)

Tabel 8. Perhitungan Rendemen.

Pengamatan

Rendemen Produk

Bahan Baku Buchring Pemasakan Deheading Skining Cleaning

Kg

% Isi perut

(Kg)

Kg

% Kadar

(Kg) air

Kg

%

Kepala + Ekor (Kg)

Kg

% Kulit +

Sisik (Kg)

Kg

%

Tulang + Duri + Daging merah +

Urat (Kg)

Kg

%

1 1.99 100 0.19 1.8 90.31 0.19 1.61 80.88 0.33 1.29 63.76 0.23 1.05 52.44 0.3 0.76 38.06 2 1.79 100 0.18 1.61 90.75 0.18 1.43 80.71 0.33 1.1 61.4 0.15 0.95 53.8 0.27 0.68 37.95 3 1.98 100 0.17 1.81 91.04 0.2 1.61 81.45 0.34 1.27 64.23 0.13 1.14 57.28 0.4 0.74 37.23 4 1.5 100 0.13 1.38 91.39 0.13 1.25 82.9 0.29 0.96 64.05 0.13 0.83 55.19 0.31 0.53 36.3 5 1.51 100 0.16 1.35 88.91 0.13 1.23 79.24 0.29 0.93 62.11 0.08 0.85 56.73 0.28 0.57 38.27 6 1.28 100 0.13 1.15 90.4 0.19 0.96 74.45 0.11 0.86 66.94 0.09 0.76 59.99 0.28 0.48 38.21 Rata-Rata 1.68 100.00 0.16 1.52 90.47 0.17 1.35 79.94 0.28 1.07 63.75 0.14 0.93 55.91 0.31 0.63 37.67

Pengamatan rendemen ini untuk mengetahui berapa jumlah daging ikan yang bisa digunakan sebagai produk. Hasil rendemen ini masih sesuai standar bagi perusahaan menetapkan standar rendemen akhir sebesar 40%. Pada Tabel 8 dapar dilihat rendemen pada tahap penyiangan berkisar antara 88,91-90,75%. Nilai rendemen inidipengaruhi oleh tingkat keahlian dan pengalaman karyawan sehingga mengakibatkan tingginya nilai rendemen pada tahap penyiangan. Pada proses penyiangan isi perut terjadi pengurangan berat ikan karena isi perut ikan yang dikeluarkan. Pada penyiangan keterampilan tenaga kerja dapat terwujud apabila telah mempunyai pengalaman yang cukup, ketekunan dan ketelitian kerja, dimana tenaga kerja yang ahli akan menghasilkan rendemen yang lebih besar.

Rendemen pada proses pemasakan berkisar antara 74,45-82,9%, hal ini disebabkan pada suhu pemasakan sehingga berpengaruh terhadap penurunan rendemen. Pada proses pemasakan yang berkurang adalah kadar air pada tubuh ikan yang menguap saat dipanaskan. Dapat dilihat semakin tinggi suhu menyebabkan kadar air bahan semakin menurun. Seiring berkurangnya kadar air maka rendemen yang dihasilkan juga semakin berkurang.

Rendemen pada deheading (kepala+ekor) berkisar 61,4%-66,94%, dilakukan dengan cara menimbang ikan masak yang masih utuh, kemudian timbang ulang berat setelah proses cabut kepala dan ekor. Rendemen skinning berkisar 52,44% - 59,99%, didapat dari berat ikan utuh tanpa kepala dan berat setelah ikan dikuliti. Rendemen cleaning berkisar 36,3%-38,27%, didapat didapat dari berat setelah ikan dikuliti dan timbang ulang setelah ikan selesai dibersihkan. Perhitungan rendemen mengetahui berat bersih yang akan digunakan, dan untuk menentukan berapa banyak upah yang diterima oleh karyawan, dengan cara menghitung berapa banyak hasil yang dikerjakan.

Hasil rendemen tuna loin masak beku oleh Shabarina (2021), pada proses thawing adalah 97%, rendemen pada proses pemasakan 83% g, cleaning 56%, rendemen trimming 39%. Semakin tinggi suhu menyebabkan kadar air bahan semakin menurun. Seiring berkurangnya kadar air maka rendemen yang dihasilkan juga semakin berkurang. Rendemen yang dihasilkan (Gusdi & Sipahutar, 2021) pada rendemen yang dihasilkan pada pengolahan fillet ekor kuning adalah tahap pemotongan kepala yaitu 79,9, fillet rata-rata 53,3% dan perapihan rata-rata 51,8%, yang diperoleh telah memenuhi dalam standar rendemen fillet yang telah ditentukan perusahaan yaitu sebesar 50%. hal itu disebabkan karena bahan baku yang digunakan merupakan ikan segar yang memiliki mutu yang bagus dan peralatan yang digunakan menggunakan pisau yang tajam dan juga ditunjang.

Rendemen ikan dapat ditentukan oleh keterampilan tenaga kerja yang berdasarkan pengalaman yang cukup, ketekunan dan ketelitian kerja. Tenaga kerja yang ahli akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak, tahapan ini dapat dipengaruhi oleh ukuran ikan, keterampilan karyawan, serta pemasakan dilakukan dengan baik atau tidak.

Menurut Irianto & Giyatmi (2015), bahwa ikan yang telah mengalami kemunduran mutu tidak akan menghasilkan rendemen yang diharapkan. Sesuai Putrisila & Sipahutar (2021), ada beberapa hal yang

(11)

dapat mempengaruhi rendemen salah satunya adalah mutu bahan baku (faktor kesegaran bahan baku sangat berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan), sarana dan prasarana, tenaga kerja, ukuran dan jenis bahan baku.

4. Kesimpulan

Tahapan proses sudah sesuai dengan SNI dengan 14 Alur proses tuna loin masak beku. Rata-rata mutu organoleptic tuna beku 7,9 dan tuna loin masak beku didapatkan 8,4. Nilai ALT tuna beku 2.1x 103 sampai 2, 7 x 103 dan hasil ALT tuna loin masak beku 7,7 x103. Hasil uji pada tuna beku E. coli<3, Coliform <3, S. aureus <3, Salmonella negative dan V. Parahaemolyticus negative. Hasil uji tuna loin masak beku E.

coli, Coliform <3, S. aureus, V. parahaemolyticus negative dan Salmonella, masih memenuhi standar perusahaan dan SNI. Hasil uji histamin bahan baku berkisar 2.13 – 3.38 ppm dan pada produk akhir tuna loin masak beku berkisar 1.12-3.57 ppm. Rata-rata rendemen yaitu tahap penyiangan 88,91-90,75%, pemasakan 74,45-82,9%, deheading (kepala+ekor) 61,4%-66,94%, skinning berkisar 52,44% - 59,99%, cleaning berkisar 36,3%-38,27%.

Daftar Pustaka

Afrianti, L. H. (2014). Teknologi Pengawetan Pangan. Alfabeta.

Akirthasary, D. (2021). Review Artikel: Enzim L-Histidin Dekarboksilase dan Mekanisme Penghambatan.

UNESA Journal of Chemistry, 10(2), 147–157.

Badan Standardisasi Nasional. (2014a). Ikan Beku (SNI 4110:2014). BSN.

Badan Standardisasi Nasional. (2014b). Tuna loin Masak Beku (SNI 7968:2014). BSN.

Belitz, H., Grosch, W., & Schieberle, P. (2009). Fish, Whales, Crustaceans, Molusks. In in Food Chemistry (4th ed., p. 622). Springer-Verlag Berlin Heidelberg. https://doi.org/DOI 10.1007/978-3-540-69934- David, J., & Kilmanun, J. C. (2016). Penanganan Pasca Panen Penyimpanan untuk Komoditas 7.

Hortikultura. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 4(5), 1015–1026.

Elmariana, Y., Sumiyanto, W., & Sipahutar, Y. H. (2020). Penetapan CCP dan Persyaratan Dokumen Ekspor Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Hidup. In Seminar Nasional Tahunan XVII Hasil Penelitian Perikanan Dan Kelautan,Departemen Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada Tahun 2020, 336–347.

Firman, N. A., Rais, M., & Musttari, A. (2021). Analisis Kandungan Histamin Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan Kemasan dan Suhu Penyimpanan yang Berbeda. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 7(1), 21–30.

Food and Drug Administration. (2022). Scombroitoxin (Histamine) Formation. In in Handbook Fish and Fishery Products Hazard and Control Guidance Fourth Edition (Fourth, Issue June, p. 113). U.S.

Department of Health and Human Services Food and Drug Administration Center for Food Safety and Applied Nutrition.

Gusdi, T., & Sipahutar, Y. H. (2021). Penerapan Sanitation Standart Operation Procedures (SSOP) dan Good Manufacturing Practice (GMP) dalam Pengolahan Fillet Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) Beku. PELAGICUS: Jurnal IPTEK Terapan Perikanan Dan Kelautan, 2(September), 117–126.

Hafina, A., & Sipahutar, Y. H. (2021). Pengolahan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Kupas Mentah Beku Peeled Deveined (PD) di PT Central Pertiwi Bahari Lampung. In Prosiding Simposium Nasional VIII, Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 5 Juni 2021, 45–56.

Irianto, H. E., & Giyatmi, S. (2015). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. In Universitas Terbuka, Tangerang Selatan (Vol. 2).

Junianto. (2003). Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya.

(12)

Kementrian Kelautan dan Perikanan. (2020, April 17). Siaran Pers, Triwulan 1 2020, Nilai ekspor Perikanan capai USD 1,24 Miliar. Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Dan Perikanan.

https://kkp.go.id/artikel/18769-triwulan-i-2020-nilai-ekspor-perikanan-capai-usd1-24-miliar.

Kementrian Kelautan dan Perikanan. (2021). KKP Sigap Pertahankan Kualitas Tuna Segar untuk Amankan Ekspor. Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Dan Perikanan.

https://kkp.go.id/djpdspkp/artikel/32133-kkp-sigap-pertahankan-kualitas-tuna-segar-untuk- amankan-ekspor.

Kim, S. H., An, H., & Price, R. J. (2006). Histamine Formation and Bacterial Spoilage of Albacore Harvested off the U.S Northwest Coast. Jurnal of Food Science., 64(2), 340–343.

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1365-2621.1999.tb15896.x.

Ma’roef, A. F., Sipahutar, Y. H., & Hidayah, N. (2021). Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) dan Sanitation Operating Prosedure (SSOP) pada Proses Pengalengan Ikan Lemuru (Sardenella Longiceps) dengan Media Saos Tomat. Prosiding Simposium Nasional VIII Kelautan Dan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 5 Juni 2021, 143–154.

Mangunwardoyo, W., Sophia, R. A., & Heruwati, E. S. (2010). Seleksi Dan Pengujian Aktivitas Enzim L- Histidine Decarboxylase Dari Bakteri Pembentuk Histamin. MAKARA of Science Series, 11(2), 104–

109. https://doi.org/10.7454/mss.v11i2.292.

Muchtadi, T. R. (2013). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta.

Nusaebah, Maulid, D. Y., Fijari, A. Y., & Kartika. (2020). Karakteristik mutu ikan Black Marlin loin beku di PT. Sinar Sejahtera Sentosa Jakarta. Marlin, Marine and Fisheries Science Technology Journal, 1(1), 17–23.

Perdana, G. M. R., Sumiyanto, W., & Sipahutar, Y. H. (2019). Penetapan dan Pengendalian Titik Kendali Kritis Histamin Pada Pengolahan Tuna Steak Beku (Thunnus sp.) di PT. Permata Marindo Jaya Muara Baru-Jakarta Utara. Buletin JSJ, 1(1), 1–13.

Pianusa, A. F., Sanger, G., & Wonggo, D. (2016). Kajian perubahan mutu kesegaran ikan tongkol (Euthynnus Affinis) yamg direndam dalam ekstrak rumput lautT (Eucheuma spinosum) dan ekstrak buah bakau(Sonneratia alba). Media Teknologi Hasil Perikanan, 4(2), 66.

https://doi.org/10.35800/mthp.4.2.2016.12927.

Putrisila, A., & Sipahutar, Y. H. (2021). Kelayakan Dasar Pengolahan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Nobashi Ebi. Jurnal Airaha, 10(1), 10–23.

Sandra, L., & Riayan, H. (2015). Proses Pembekuan Fillet Ikan Anggoli Bentuk Skin On Di CV.Bee Jay Seafoods Probolinggo Jawa Timur. Jurnal Ilmu Perikanan, 6(1), 47–64.

Setyaningsih, D., Apriyantono, A., & Sari, M. P. (2010). Analisis sensori untuk industri pangan dan agro.

IPB Press.

Shabarina, L. (2021). Pengolahan Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Loin Masak Beku di PT. Medan Tropical Canning & Frozen Industries Medan-Sumatera Utara. Politeknik Ahli Usaha Perikanan.

Sipahutar, Y. H., Sumiyanto, W., Panjaitan, P. S. T., Sitorus, R., Panjaitan, T. F. C., & Khaerudin, A. R.

(2021). Observation of heavy metal hazard on processed frozen escolar (Lepidocybium flavobrunneum) fillets. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 712(1).

https://doi.org/10.1088/1755-1315/712/1/012018.

Sumartini, Harahap, K. S., & Sthevany. (2020). Kajian Pengendalian Mutu Produk Tuna Loin Precooked Frozen Di Perusahaan Pembekuan Tuna X. Aurelia Journal, 2(1), 29–38.

Suryanto, M R, & Sipahutar, Y. H. (2021). Kadar Histamin dan Nilai Angka Lempeng Total (ALT) pada Tuna Loin berdasarkan Jumlah Hari Penangkapan di Unit Pengolahan Ikan, Surabaya. Prosiding Simposium Nasional VIII Kelautan Dan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 5 Juni 2021, 173–184.

https://journal.unhas.ac.id/index.php/proceedingsimnaskp/issue/view/1040.

(13)

Suryanto, M R, & Sipahutar, Y. H. (2020). Penerapan GMP dan SSOP pada Pengolahan Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO) Masak Beku di Unit Pengolahan Ikan Banyuwangi. In Prosiding Seminar Kelautan Dan Perikanan Ke VII , Fakultas Kelautan Dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana, 18-20 November 2020, 204–222.

Suryanto, Muhammad R, Pratama, R. B., Panjaitan, P. S., & Sipahutar, Y. H. (2020). Pengaruh Lama Trip Layar yang Berbeda Terhadap Mutu Ikan Tuna (Thunnus sp) di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat. Seminar Nasional Kelautan Dan Perikanan Ke VII, Fakultas Kelautan Dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana, Kupang 18-21 November 2020, 114–

125.

USFDA. (2019). Scombrotoxin (Histamine) formation. In: Fish and Fishery Products Hazards and Controls guide. 3rd ed.Washington, D.C: Department of Health and Human Services,. In Center for Food Safety and Applied Nutrition, Office of Seafood; (Fourth Edi, p. p73e93).

Wulandari, D. A., Abida, I. W., & Farid, A. (2009). Kualitas Mutu Bahan Mentah dan Produk Akhir pada Unit Pengalengan Ikan Sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses Muncar Banyuwangi. Jurnal Kelautan, 2(1), 40–49.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Berat rata-rata tuna yang diterima berada pada tingkat kualitas + 4 sigma, maka nilai kapabilitas proses sebesar 1,06 menunjukkan bahwa keadaan proses penerimaan bahan

Konsep Balanced Scorecard merupakan salah satu metode pengukuran kinerja perusahaan secara keseluruhan yang menjabarkan visi dan strategi perusahaan ke dalam empat perspektif