1
2
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan buku berjudul “ Matriks, Vektor dan Terapannya di Bidang Teknik“ ini dengan baik.
Matriks adalah salah satu alat dalam matematika yang sangat diperlukan dalam bidang Teknik.
Tidak ada mata kuliah dalam bidang teknik yang tidak memerlukan matriks dalam mencari solusi dari permasalahan di bidang teknik. Seringkali vektor dikaitkan secara erat dengan matriks. Hal ini sangat wajar karena elemen-elemen dalam matriks sering berupa deret yang jumlahnya tidak sedikit. Ternyata tiap-tiap deret merepresentasikan suatu variabel tertentu.
Variabel-variabel tertentu itulah yang sebenarnya merupakan suatu vektor, karena biasanya dalam aplikasinya variabel tersebut memiliki besar dan arah.
Buku ini mengupas teori-teori tentang matriks dan vektor secara ringkas dan mudah, sehingga para pembaca dapat menggunakan matriks dan vektor sebagai alat untuk mencari solusi permasalahan yang ada di teknik khususnya teknik elektro dan teknik informatika.
Mengapa penulis mengkhususkan pada kedua bidang teknik tersebut? Karena Teknik Elektro adalah bidang teknik yang sangat matematis dalam teori maupun prakteknya. Sedangkan Teknik Informatika, program-program besar yang dibuat akan sangat tergantung pada matriks dan vektor.
Harapannya, buku ini dapat bermanfaat bagi peneliti di bidang teknik elektro dan teknik informatika, serta dapat digunakan sebagai referensi dalam perkuliahan Matriks maupun Vektor.
Akhirnya, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu sampai terselesaikannya buku ini. Kami tetap membutuhkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan buku ini.
Semarang, Desember 2016 Penyusun
Dr. Sri Arttini Dwi P., M.Si
2
3
4 BAB I PENDAHULUAN
Di bidang teknik, di lapangan sering dihadapi suatu komponen dan atau sistem yang harus diketahui unjuk kerjanya secara eksperimental. Dengan peralatan ukur yang sesuai, komponen atau sistem tersebut dioperasikan dan kemampuan kerjanya dianalisis berdasar hasil pengukuran tersebut. Contoh sederhana dapat diambil suatu sumber daya listrik berwujud batere, seperti digambarkan pada Gambar 1.1.
(a) Tanpa Beban (b) Dengan Beban
Gambar 1.1 Model rangkaian untuk menguji kemampuan suatu batere
Tanpa beban Resistor R, tegangan batere adalah Vb. Namun ketika diukur dengan voltmeter akan mengalir arus dari batere yang menggerakkan jarum voltmeter. Arus ini menyebabkan tegangan V yang terbaca pada voltmeter lebih kecil dari Vb, karena ada penyusutan (drop) tegangan pada hambatan dalam batere dan voltmeter Rb. Adanya hambatan dalam inilah yang membatasi daya listrik yang dapat diberikan seperti batere tersebut. Nilai hambatan Rb, disamping tidak tercantum pada spesifikasi batere, juga bervariasi dari jenis batere satu dan lain serta berubah akibat penggunaan sumber daya listrik. Oleh karena itu harus dilakukan pengukuran lebih dari satu kali dengan memasang beban berwujud resistor R.
Untuk mendapatkan dua besaran yang tidak diketahui, yaitu Vb dan Rb, paling sedikit harus ada dua nilai resistor yang dipasang.
Bila hambatan dalam voltmeter cukup tinggi (seharusnya demikian untuk pengukuran yang presisi), dengan nilai hambatan R yang jauh lebih rendah. Dengan demikian arus dari batere dapat dianggap seluruhnya mengalir melalui R beban tersebut. Besar arus ini adalah:
5 𝑰 = 𝑽𝒃
𝑹𝒃+ 𝑹 dan tegangan terukur pada voltmeter:
𝑉 = 𝐼𝑅 =
Persamaan ini dapat ditulis kembali agar besaran yang tidak diketahui berada di ruas kiri dan yang diketahui di ruas kanan:
(𝑅 + 𝑅)𝑉 = 𝑅𝑉 𝑅 𝑉 + 𝑅𝑉 = 𝑅𝑉 𝑅𝑉 = 𝑅𝑉 − 𝑅 𝑉 atau
𝑅𝑉 − 𝑉𝑅 = 𝑅𝑉
Untuk mendapatkan nilai 𝑉 dan 𝑅 yang dicari, eksperimen dilakukan dua kali dengan nilai hambatan R1 dan R2 yang berbeda sehingga terukur V1 dan V2 yang juga berbeda, sehingga didapat pasangan persamaan sebagai berikut.
𝑅 𝑉 − 𝑉 𝑅 = 𝑅 𝑉 𝑅 𝑉 − 𝑉 𝑅 = 𝑅 𝑉
Sebagai contoh dapat diambil dua resistor R1 = 10 ohm dan R2 = 22 ohm, sedang hasil pengukuran memberikan nilai tegangan V1 = 1,25 volt dan V2 = 1,375 volt. Maka didapatkan pasangan persamaan:
10 Vb – 1,25 Rb = 12,5 22 Vb – 1,375 Rb = 30,25
Penyelesaian persamaan “tersamar” atau “simultan” ini, sebagaimana lazim dikerjakan, adalah dengan metode eliminasi, misalnya dengan mengalikan kedua ruas persamaan pertama dengan 2,2.
2,2(10 Vb – 1,25 Rb) =2,2(12,5) 22 Vb – 2,75 Rb = 27,5
6
Proses eliminasi “variable” pertama (Vb)
22 Vb – 2,75 Rb = 27,5 22 Vb – 2,75 Rb = 27,5 0 – 1,375 Rb = –2,75
Didapatkan 𝑅 = ,
, = 2 𝑜ℎ𝑚
Kemudian nilai Rb ini dimasukkan ke persamaan pertama (yang asli):
10 Vb – 1,25 (2) = 12,5 10 Vb – 2,5 = 12,5 10 Vb = 15,0 Vb = 1,5 volt
Untuk sistem yang lebih rumit variabel atau besaran di dalamnya dapat lebih banyak, sehingga katakanlah ada sejumlah N persamaan simultan yang harus diselesaikan. Prosedur eliminasi satu persatu mencapai N tahap secara serial. Kemungkina terjadi kesalahan yang berakibat merembet ke semua tahapan di belakangnya dapat berakibat fatal. Dengan memanfaatkan sistem perhitungan berbasis Aljabar Matriks, semua variabel diperhitungkan secara independen atau secara paralel.
BAB II menampilkan berbagai macam matriks dalam bentuk, ukuran, dan sifat khas masing-masing, BAB III mengenai Vektor, dan BAB IV perihal Transformasi Linear. Setelah teori-teori diberikan pada BAB II sampai dengan BAB IV, maka BAB V memberikan beberapa kumpulan permasalahan yang berhubungan BAB IV, yaitu Transformasi Linear, mengingat terapan untuk Matriks dan Vektor telah diberikan pada BAB Terkait.
7 BAB 2
MACAM MATRIKS DAN SIFAT-SIFATNYA
2.1 Matriks
Matrik didefinikan sebagai himpunan elemen-elemen yang disajikan menurut baris dan kolom, dengan notasi :
atau atau
Suatu matrik dikatakan mempunyai ordo atau ukuran p x q, jika matrik tersebut terdiri dari p baris dan q kolom. Jika banyaknya baris sama dengan banyaknya kolom, matriksnya disebut matrik bujursangkar. Pada matriks bujursangkar terdapat elemen-elemen diagonal utama. Misalkan diberikan matriks A dengan ordo n x n sebagai berikut:
⎣
⎢⎢
⎢
⎡𝑎 𝑎 … 𝑎
𝑎 𝑎 . . 𝑎
. .
𝑎 𝑎 … 𝑎 ⎦⎥⎥⎥⎤
= A
Maka 𝑎 𝑎 𝑎 … … … … 𝑎 merupakan elemen diagonal utama, dimana 𝑎ij adalah elemen matriks A yang terletak di baris ke i dan kolom ke j.
Matrik tidak punya harga, tetapi pada matrik bujursangkar dapat dicari harga determinannya. Pengertian tentang determinan akan diberikan pada subbab selanjutnya. Dua buah matrik disebut sama bila ordonya sama dan setiap elemen seletaknya sama.
Contoh 2.1:
Carilah nilai x, y, u, v dari :
𝑦 = −2 5
4 −3 ,
8
maka dengan menyamakan elemen-elemen seletaknya, yaitu = −2, y2 = 5, = 4, dan = − 3, maka diperoleh
= −2, 1 = -2x -10 11 = -2x x = -5 . Selanjutnya
y2 = 5, maka y = ±√5 = 4, maka u=
= -3, maka 1= -3v+9, -8 = -3v, sehingga v =
2.2. Operasi Antar Matriks
Ada tiga operasi antar matriks, yaitu perkalian dengan scalar, penjumlahan dan pengurangan, serta perkalian matriks dengan matriks. Berikut akan dibahas satu persatu beserta contoh-contohnya.
2.2.1. Perkalian dengan skalar.
Jika suatu matriks dikalikan dengan suatu skalar misalnya k, maka hasilnya adalah matriks baru yang setiap elemennya k kali matriks mula-mula.
𝑘 3 −4
2 3 = 3𝑘 −4𝑘 2𝑘 3𝑘
Apabila nilai skalar k = 2, maka matriks hasil perkalian dengan skalar 2 menjadi 6 −8
4 6
2.2.2. Penjumlahan dan pengurangan.
9
Dua buah matriks atau lebih bisa dijumlahkan atau dikurangkan asal ordonya sama.
4 −3 2
0 −2 1 + −5 1 0
2 −1 3 − −1 2 1
1 −1 2 = 2 −4 1 1 −2 2 2.2.3. Perkalian Matrik dengan matriks.
Suatu matriks yang terdiri dari p baris dan q kolom hanya bisa dikalikan dengan matriks lain yang terdiri dari q baris. Jadi dengan kata lain matriks pertama harus memiliki jumlah kolom yang sama dengan jumlah baris matriks kedua. Sebagai contoh jika matriks A memiliki ordo p x q dan matriks B memiliki ordo q x r, maka hasil perkalian kedua matriks tersebut adalah matriks C dengan ordo p x r. Dengan menggunakan symbol matriks dapat dinyatakan dengan Apxq . Bqxr = Cpxr. Akan tetapi Bqxr . Apxq tidak terdefinisi karena banyaknya kolom matriks B tidak sama dengan banyaknya baris matriks A. Sebagai contoh diberikan perkalian matriks pertama dengan ordo 3 x 1 dan matriks kedua dengan ordo 1 x 3, maka hasilnya adalah matriks berordo 3 x 3.
Contoh 2.2:
5
−1 2
[1 0 3] =
5 0 15
−1 0 −3
2 0 6
. 3x1 1x3 3x3
Namun apabila dibalik, matriks pertama adalah matriks berordo 1 x 3, dan matriks kedua adalah matriks berordo 3 x 1, maka hasilnya adalah matriks 1 x 1.
Contoh 2.3:
[−1 0 3]
5
−1 2
= [11]
1x3 3x1 1x1
Dengan mudah perkalian antara dua buah matriks dapat digambarkan sebagai berikut:
𝑀𝑎𝑡𝑟𝑖𝑘𝑠 𝐴 dikalikan dengan 𝑀𝑎𝑡𝑟𝑖𝑘𝑠 𝐵 maka hasilnya adalah 𝑀𝑎𝑡𝑟𝑖𝑘𝑠 𝐶 .
10
Beberapa sifat dasar yang dimiliki matriks, jika A, B, C matriks sedangkan k, l skalar, maka:
1. A+ B = B +A 2. A – B = A + (-B)
3. A + (B + C ) = (A + B) + C 4. (k+l) A= kA + lA
5. k(A + B) = kA +kB 6. AB ≠ BA
7. A(B + C) = AB +AC
8. Jika AB = AC belum tentu B = C 9. Jika AB = 0, maka
A = 0 dan B = 0 atau A = 0 dan B ≠ 0 atau A ≠ 0 dan B = 0 atau A ≠ 0 dan B ≠ 0
Matrik nol atau 0 0 0 0 0 0 0 0 0
merupakan matriks identitas terhadap penjumlahan, untuk
perkalian matriks 1 0 0 0 1 0 0 0 1
adalah identitas terhadap perkalian. Selanjutnya diberikan beberapa contoh perkalian matriks.
Contoh 2.4: Jika diketahui:
A = [−1 1 2] B = 25
−3 1
C = −2 1
3 6
D = −1 2 −1
2 1 3 E = −1 2
2 1
0 3
F =
−1 2 −1
1 −1 2
2 1 −3
Maka dapat dihitung AB, BA, C2, F2, AE, AF, FB, FE, CD, DF, DB, DE, D2, EC Sebagai berikut:
11 AB = [−1 1 2] 25
−3 1
= [(−1)(25) + (1)(−3) + (2)(1)] = [−25 − 3 + 2] = [26].
BA= 25
−3 1
[−1 1 2] =
(25)(−1) (25)(1) (25)(2) (−3)(−1) (−3)(1) (−3)(2) (1)(−1) (1)(1) (1)(2)
=
−25 25 50
3 −3 −6
−1 1 2
.
C2= −2 1
3 6
−2 1
3 6 = (−2)(−2) + (1)(3) (−2)(1) + (1)(6)
(3)(−2) + (6)(3) (3)(1) + (6)(6) = 7 4 12 39 .
F2 = −1 2 −1
1 −1 2
2 1 −3
−1 2 −1
1 −1 2
2 1 −3
=
−1(−1) + 2(1) − 1(2) −1(2) + 2(−1) + (−1)(1) (−1)(−1) + 2(2) + (−1)(−3) 1(−1) + (−1)(1) + 2(2) 1(2) + (−1)(−1) + (2)(1) (1)(−1) + (−1)(2) + (2)(−3) 2(−1) + (1)(1) + (−3)(2) (2)(2) + (1)(−1) + (−3)(1) (2)(−1) + (1)(2) + (−3)(−3) =
1 −5 8
2 5 −9
−7 0 9
.
AE = [−1 1 2] −1 2 2 1 0 3
[(−1)(−1) + 1(2) + 2(0) (−1)(2) + 1(1) + 2(3)] = [3 5].
AF= [−1 1 2] −1 2 −1
1 −1 2
2 1 −3
= [6 −1 −3 ].
FB= −1 2 −1
1 −1 2
2 1 −3
25
−3 1
= −25 − 6 − 1 25 + 3 + 2 50 − 3 − 3
=
−32 30 44
.
12 FE = −1 2 −1
1 −1 2
2 1 −3
−1 2
2 1
0 3
=
−1(−1) + 2(2) + (−1)(0) −1(2) + 2(1) + (−1)(3) 1(−1) + (−1)(2) + (2)(0) 1(2) + (−1)(1) + (2)(3) 2(−1) + (1)(2) + (−3)(0) 2(2) + 1(1) + (−3)(3)
=
5 −3
−3 7 0 −4
.
CD = −2 1 3 6
−1 2 −1
2 1 3 = 4 −3 5 9 12 −15 .
DF = −1 2 −1
2 1 3
−1 2 −1
1 −1 2
2 1 −3
= 1 −5 8
5 6 −9 .
DB = −1 2 −1
2 1 3
25
−3 1
= (−1)(25) + 2(−3) + (−1)(1)
(2)(25) + 1(−3) + (3)(1) = −32 50 . DE = −1 2 −1
2 1 3
−1 2 2 1 0 3
= 5 −3 0 14 . D2 = −1 2 −1
2 1 3
−1 2 −1
2 1 3 Tidak dapat dikerjakan karena matriks pertama berordo 2x3 dan matriks kedua berordo 2x3 juga, sehingga syarat perkalian matriks (banyak kolom matriks pertama harus sama dengan banyak baris matriks kedua) tidak dipenuhi.
EC = −1 2
2 1
0 3
−2 1
3 6 = 8 11
−1 8 9 18
.
2.3. Macam-macam Matriks
Ada bermacam-macam matriks :
2.3.1. Matriks Diagonal adalah suatu matrik bujursangkar yang semua elemennya nol, kecuali elemen-elemen pada diagonal utamanya. Contoh matriks diagonal adalah:
a 0 0 0 b 0 0 0 c
.
13
2.3.2. Matrik Skalar adalah suatu matriks diagonal yang semua elemen-elemen diagonal utamanya sama. Contoh matriks scalar adalah: a 0 0
0 a 0 0 0 a
.
2.3.3. Matriks identitas terhadap perkalian: matriks diagonal yang semua elemen diagonalnya utamanya sama dengan satu. Contoh matriks diagonal adalah
1 0 0 0 1 0 0 0 1
= 𝐼
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan setiap matriks identitas adalah matriks skalar, setiap matriks skalar adalah matriks diagonal, namun tidak berlaku sebaliknya.
2.3.4. A dan B disebut matriks komutatif jika AB = BA.
2.3.5. Transpose dari suatu matriks 𝐴̅ atau AT atau A1 adalah suatu matriks yang didapatkan dari matriks A dengan mengganti baris dengan kolom dan kolom dengan baris. Setiap elemen aij pada A berubah aji pada AT.
Contoh 2.5:
Miasalkan A = −1 2
1 3
5 −3
, maka 𝐴 = −1 1 5 2 3 −3
2.3.6. A disebut matriks simetris jika A = AT. Contoh 2.6:
B =
4 0 −1
0 8 0
−1 0 −4
, maka BT =
4 0 −1
0 8 0
−1 0 −4
2.3.7. A disebut matriks anti/skew simetris jika A = -AT.
Matriks simetri dan skew simetri sebenarnya dapat dibentuk dari suatu matriks, katakan matriks S dan 𝑆 . Jika S dijumlahkan dengan 𝑆 maka akan diperoleh
14
matriks simetri, sedangkan kalau S dikurangi dengan 𝑆 maka akan diperoleh matriks skew-simetri.
Contoh 2.7:
𝑆 =
2 1 3
4 0 7
−1 2 −1
maka 𝑆 = 2 4 −1
1 0 2
3 7 −1
maka
𝑆 + 𝑆 =
4 5 2
5 0 9
2 9 −2
adalah matriks simetri,
karena 4 5 2
5 0 9
2 9 −2
=
4 5 2 5 0 9 2 9 −2
atau transpose-nya adalah matriks itu sendiri.
Akan tetapi bila dicari 𝑆 − 𝑆 =
0 −3 4
3 0 5
−4 −5 0
adalah matriks skew-simetri
karena 0 −3 4
3 0 5
−4 −5 0
=
0 3 −4
−3 0 −5
4 5 0
atau transpose-nya adalah negatif dari matriks itu.
2.4. Determinan dari Suatu Matriks
Ada beberapa cara menentukan determinan suatu matriks beserta contoh-contohnya mulai dari matriks ordo 2x2 sampai matriks dengan ordo yang lebih tinggi.
2.4.1. Aturan Sarrus
Diberikan matriks A:
A = 4𝑎 𝑎 𝑎 𝑎
Maka dengan Aturan Sarrus determinan dari matriks A atau Det(A) atau dengan symbol |𝐴| dapat dihitung sebagai berikut:
det 𝐴 = |𝐴| = 𝑎 𝑎 − 𝑎 𝑎 Contoh 2.8:
1 2
3 10 = 10 – 6 = 4
15
−1 2
5 3 = −3 – 10 = −13 1 −2
5 4 = 4 + 10 = 14
−3 −5
1 4 = −12 + 5 = −7 2.4.2 Minor dan Kofaktor.
Sebelum menginjak tentang cara mencari determinan suatu matriks dengan ordo lebih dari 2x2, akan diterangkan dulu cara mencari minor dan kofaktor.
Minor dari suatu elemen aij dari matriks A adalah harga determinan (anak determinan) dari matriks mula-mula setelah dihilangkan baris ke – i dalam kolom ke – j.
Sebagai latihan diberikan beberapa contoh mencari minor dari suatu matriks:
1. A = 3 −4
5 2 , maka M(A) = 2 5
−4 3
M(3) = 2, M(-4) = 5, M(3) didapat dari menghilangkan baris dan kolom yang memuat elemen “3”, M(-4) didapat dari menghilangkan baris dan kolom yang memuat “-4”. Secara analog diperoleh M(5) = -4 dan M(2) = 3.
2. B =
0 1 −1
2 −2 3
−3 4 −4
, maka M (0) = −2 3
4 −4 = 8 – 12 = −4 M(3) = 0 + 3 = 3, dan seterusnya.
2.4.3 Determinan Matriks ordo lebih dari 2x2
Untuk mencari harga determinan suatu matriks dengan ordo lebih dari 2x2, ada beberapa cara yang dapat dipakai, yaitu dengan aturan Sarrus dan aturan Laplace.
2.4.3.1. Aturan Sarrus untuk matriks ordo 3x3
Aturan Sarrus sebenarnya telah diterapkan dalam pencarian determinan dengan ordo 2x2 pada subbab 2.4.1, namun ada sedikit penjelasan khusus untuk determinan matriks 3x3, sebagai berikut.
𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎
𝑎 𝑎
𝑎 𝑎 = |𝐴|
16
= 𝑎 𝑎 𝑎 + 𝑎 𝑎 𝑎 + 𝑎 𝑎 𝑎 − (𝑎 𝑎 𝑎 + 𝑎 𝑎 𝑎 + 𝑎 𝑎 𝑎 ) Contoh 2.9:
Diberikan matriks pada subbab 2.4.2, yaitu matriks
B = 0 1 −1
2 −2 3
−3 4 −4
, maka Determinan dari B atau Det(B)
= 0 1 −1
2 −2 3
−3 4 −4
0 1
2 −2
−3 4
= (0 − 9 − 8) − (−6 + 0 − 8) = −17 + 14 = 7, maka Det(B) = 7.
Aturan Sarrus hanya dapat digunakan untuk matriks dengan ordo maksimum 3x3.
Mencari determinan untuk matriks dengan ordo lebih dari 3x3 dilakukan dengan menggunakan Aturan Laplace yang akan dibahas pada subbab selanjutnya.
2.4.3.2.Aturan Laplace :
Jika diketahui matriks A =
𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎 𝑎 , maka Determinan dari matriks A dengan aturan Laplace adalah:
|𝐴| = (−1) 𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎 + (−1) 𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎 + (−1) 𝑎 𝑎 𝑎
𝑎 𝑎
|𝐴| = 𝑎 𝑀 − 𝑎 𝑀 + 𝑎 𝑀 atau
|𝐴| = 𝑎 𝐾 + 𝑎 𝐾 + 𝑎 𝐾 , dimana Mij =Minor dari aij
Kij = Kofaktor dari aij Contoh 2.10:
Cari determinan matriks −3 2 1
0 −1 −2
3 4 −4
dengan aturan Sarrus dan Laplace.
Dengan Aturan Sarrus, maka
−3 2 1
0 −1 −2
3 4 −4
−3 2 0 −1
3 4
= −12 − 12 + 0— 3 + 24 + 0
17
= −24 − 21
= −45
Apabila dihitung dengan Aturan Laplace, dengan ekspansi baris ke-2, maka
−3 2 1
0 −1 −2
3 4 −4
= 0 + (−1)𝐾(−1) + (−2) 𝐾(−2)
= 0 + (−1)(9) + (−2)(18)
= −9 − 36
= −45
Mengapa menggunakan ekspansi baris ke-2? Kalau diperhatikan angka dalam tiap baris maupun tiap kolom, maka yang mengandung angka “0” adalah baris ke-2 dan kolom ke-1. Akan tetapi angka dalam baris ke-2 lebih sederhana dibandingkan angka dalam kolom ke-1. Namun demikian ekspansi baris atau kolom manapun akan memberikan determinan yang sama.
Marilah kita coba mencari determinan matriks tersebut dengan ekspansi kolom pertama:
−3 2 1
0 −1 −2
3 4 −4
= (−3)𝐾(−3) + 0 + 3𝐾(3)
= (−3)(12)+0+3(−3) = −36−9 = −45
Ternyata hasilnya sama. Demikian pula kalau dicoba ekspansi untuk baris dan kolom yang lain, hasilnya akan sama dengan – 45.
Diberikan contoh untuk matriks dengan ordo yang lebih besar, yaitu ordo 4x4.
Aturan Sarrus tidak dapat diterapkan disini, maka determinan harus dicari dengan Aturan Laplace:
Contoh 2.11:
18 𝐴 =
2 −1 1 2
1 0 0 −1
2 0 −1 0
3 2 1 1
, Diekspansikan berdasarkan baris-2, maka Det(A)
=1. 𝐾(1) + (−1)𝐾(−1) = (1)(5) + (−1)(13) = 5 − 13 = −8
Untuk matriks B berikut ini, lebih mudah bila diekspansikan berdasarkan pada kolom 1
B =
−1 2 −3 4
0 −1 1 0
0 2 −1 1
0 −1 0 2
, maka Det(B) = (−1)𝐾(−1) = (−1)(−3) = 3
Lebih cepat bukan, jika determinan matriks dicari dengan ekspansi menggunakan baris atau kolom yang memiliki angka paling sederhana. Determinan inilah yang menjadi bagian penting dalam berbagai permasalahan yang solusinya menggunakan matriks.
19 BAB III
VEKTOR
Vektor didefinisikan sebagai suatu besaran yang mempunyai besar atau panjang dan arah yang biasanaya dinyatakan dengan anak panah.
Ujung suatu vektor menunjukkan arahnya, sedangkan panjang suatu vektor menunjukkan besarnya. Sebagai contoh diberikan vector 𝐴𝐵 dengan besar 𝐴𝐵 atau ditulis dengan |𝐴𝐵|
|𝐴𝐵|= 4 satuan panjang B
A
Gambar 3.1: Vektor dengan besar 4 satuan panjang.
Dua buah vektor disebut sama jika panjang dan arahnya sama. Vektor yang dibicarakan disini adalah vektor bebas, artinya titik tangkapnya bisa digeser kemana-mana, asal panjang dan arahnya tidak berubah.Vektor yang panjangnya satu satuan disebut vektor satuan atau unit vector. Untuk vektor satuan yang sejajar dengan sumbu X biasanya disebut i atau e1 , sejajar dengan sumbu Y disebut j atau e2, sedangkan yang sejajar dengan sumbu Z disebut k atau e3. Jadi
|
𝚤̅
| = |𝚥̅| = |𝑘| = 1 atau |𝑒 |= |𝑒 |= |𝑒 |Untuk vektor dengan dimensi n yang lebih dari 3, maka penulisan vektor satuan 𝑒 , 𝑒 ,𝑒 , 𝑒 ,…, 𝑒 . Gambar 3.2 menunjukkan koordinat kartesius dengan tiga dimensi beserta vektor satuannya.
Gambar 3.2 koordinat kartesius dengan tiga dimensi beserta vektor satuannya.
20 3.1. Operasi Antar Vektor
Ada empat operasi antar vektor, yaitu penjumlahan atau pengurangan, perkalian dengan skalar, perkalian skalar vektor (dot product) dan perkalian vektor (Cross Product).
3.1.1 Penjumlahan atau pengurangan
Penjumlahan maupun pengurangan vektor dapat diperlihatkan dalam Gambar 3.3, dimana terdapat vektor 𝑎 dan 𝑏 serta hasil penjumlahan dan pengurangan dari 𝑎 dan 𝑏.
𝑎 𝑏 -𝑏
Gambar 3.3 Penjumlahan dan pengurangan vektor
3.1.2 Perkalian dengan skalar
Perkalian vektor 𝑎 dengan skalar k digambarkan sebagai vektor 𝑎 yang besarnya dikalikan dengan skalar k. Nilai k positif tidak akan mengubah arah vektor 𝑘𝑎, namun jika nilai k negatif maka arah vektor 𝑘𝑎 akan berlawanan arah dengan arah vektor 𝑎. Gambar 3.4 menunjukkan perkalian vektor dengan skalar k, jika diketahui k = 2.
𝑎
2𝑎
Gambar 3.4 Perkalian vektor 𝑎 dengan skalar k = 2 3.1.3 Perkalian skalar vektor atau dot product
Perkalian skalar vektor atau biasa dinamakan dot product atau diterjemahkan sebagai perkalian titik adalah perkalian vektor dengan vektor yang hasilnya adalah skalar. Untuk
𝑎 + 𝑏
𝑎 − 𝑏
21
memudahkan, untuk selanjutnya perkalian skalar vektor ini disebut sebagai dot product. Dot product didefinisikan sebagai
a . 𝑏 = | a||𝑏| cos 𝜃 ... (3.1) dimana 𝜃 adalah sudut antara vektor a dan 𝑏.
Dari persamaan (3.1) dapat dicari nilai sudut antara dua vektor, jika diketahui vektor 𝑎 dan 𝑏.
cos 𝜃 = .
| || |
... (3.2) jika p = proyeksi vektor a pada 𝑏 , maka dari Gambar 3.5 terlihat bahwa
p = |a| cos 𝜃 = |a| . .
| || | = .
| |
Secara analog, proyeksi vektor 𝑏 pada a juga dapat dicari. Sehingga didapatkan Proyeksi a pada 𝑏 = .
| |
... (3.3) Proyekasi 𝑏 pada a = .
| || |
... (3.4) a
p 𝑏 Gambar 3.5 Proyeksi a pada 𝑏
Dari definisi dot product pada (3.1), dapat diperoleh nilai-nilai berikut ini:
𝚤̅ . 𝚤̅ = 𝚥̅ . 𝚥̅ = = 𝑘 . 𝑘 = 1.1. cos 0 = 1 ... (3.5)
𝚤̅ . 𝚥̅ = 𝚥̅ . 𝑘 = = 𝑘 . 𝚤̅ = 1.1 cos 90 = 0 ... (3.6)
22
karena sudut antara vektor 𝚤̅ dengan vektor 𝚤̅ adalah 0 , begitu juga sudut antara vektor 𝚥̅ dengan 𝚥̅ dan 𝑘 dengan 𝑘, sedangkan sudut antara vektor 𝚤̅ dengan vektor 𝚥̅, vektor 𝚥̅ dengan vektor 𝑘 dan vektor 𝚤̅ dengan vektor 𝑘 adalah 90 .
3.1.4 Perkalian vektor atau cross product.
Cross product adalah perkalian antara vektor dengan vektor dan hasilnya juga merupakan vektor, disimbolkan sebagai a x 𝑏. Hasil a x 𝑏 adalah suatu vektor baru yang arahnya tegak lurus bidang yang melalui vektor a dan 𝑏. Adapun besarnya ax𝑏 didefinisikan sebagai
|axb| = |a||b|sin 𝜃 ... (3.7) Dapat dibuktikan bahwa persamaan (3.7) merupakan rumus untuk luar jajarangenjang dengan sisi a dan b.
Bukti:
Perhatikan Gambar 3.6, maka
luas jajarangenjang yang memiliki sisi a dan b adalah
Alas x tinggi, dengan alas = a, dan tinggi = b sin ɵ (ɵ adalah sudut antara a dan 𝑏) Sehingga alas x tinggi = a.b sin ɵ, yang merupakan definisi (3.7).
Terbukti bahwa besarnya cross product
𝑐̅ = 𝑎 x 𝑏 𝑏 𝑎
Gambar 3.6 Jajarangenjang dengan sisi-sisi a dan b i x i = j x j = k x k = 0,
i x j = k, j x k = I, k x i = j
23 Secara umum dapat diringkas sebagai berikut:
Jika a = a1𝚤̅ + a2𝚥̅ + a3𝑘 dan b = b1𝚤̅ + b2𝚥̅ + b3𝑘 maka
a . b = a1b1 + a2b2 + a3b3
a x b =
ı̅ ȷ̅ k
𝑎 𝑎 𝑎
𝑏 𝑏 𝑏
Beberapa sifat dasar yang dimiliki vektor adalah sebagai berikut:
Jika diketahui:
𝑎 = a1𝚤̅ + a2𝚥̅ + a3𝑘 𝑏 = b1𝚤̅ + b2𝚥̅ + b3𝑘 𝑐̅ = c1𝚤̅ + c2𝚥̅ + c3𝑘 maka
1. 𝑎 + 𝑏 = 𝑏 +𝑎
2. 𝑎 + (𝑏 + 𝑐̅) = (𝑎 + 𝑏) + 𝑐̅
3. (k + l) 𝑎 = k𝑎 + l𝑎 4. k(𝑎 + 𝑏) = k𝑎 + k𝑏 5. 𝑎.𝑏 = 𝑏.𝑎
6. 𝑎 . (𝑏 +𝑐̅) = 𝑎.𝑏 + 𝑎.𝑐̅
7. 𝑎 . 𝑎 = a12 + a22 + a32
8. 𝑎 . 𝑏 = a1b1 + a2b2 + a3b3
9. 𝑎 tegak lurus dengan 𝑏 jika dan hanya jika 𝑎.𝑏 = 0 10. proyeksi 𝑎 pada 𝑏 =
𝑎. 𝑏
𝑏 =𝑎 𝑏 + 𝑎 𝑏 + 𝑎 𝑏 𝑏 + 𝑏 + 𝑏 11. proyeksi b pada a =
𝑎. 𝑏
|𝑎| =𝑎 𝑏 + 𝑎 𝑏 + 𝑎 𝑏 𝑎 + 𝑎 + 𝑎
24 12. 𝑎 x 𝑏 ≠ 𝑏 x 𝑎
13. 𝑎 x (𝑏 + 𝑐̅) = 𝑎 x 𝑏 + 𝑎 x 𝑐̅
14. 𝑎 sejajar dengan 𝑏, maka 𝑎 x 𝑏 = 0 15. 𝑎 x 𝑏 =
𝑖 𝑗 𝑘
𝑎 𝑎 𝑎
𝑏 𝑏 𝑏
16. 𝑎 . (𝑏x𝑐̅) =
𝑎 𝑎 𝑎
𝑏 𝑏 𝑏
𝑐 𝑐 𝑐 = merupakan volume paralelepipedium dengan sisi – sisi sama dan sejajar dengan a, 𝑏, dan 𝑐̅.
t = |𝑎|cos 𝛽
17. 𝑎 x (𝑏x𝑐̅) = 𝑎x
𝑖 𝑗 𝑘
𝑏 𝑏 𝑏
𝑐 𝑐 𝑐
=
𝑖 𝑗 𝑘
𝑎 𝑎 𝑎
𝑏 𝑐 − 𝑏 𝑏 𝑐 𝑏 𝑐 𝑐 𝑏 𝑐 𝑏 18. sudut antara 𝑎 dan 𝑏 adalah 𝜃, dimana
𝜃 = .
| || |
karena 𝑎 . 𝑏 = |𝑎||𝑏| cos 𝜃 Cos 𝜃 = 𝑎 . 𝑏/(|𝑎||𝑏|) 𝜃 = arc cos 𝑎 . 𝑏/(|𝑎||𝑏|)
Soal-soal Latihan : Diketahui :
A (-1, 2, 1) B (1, 1, -2) C (2, -1, -1) D (-2, 0, 2) E (2i + 3j –k)
Hitunglah :
25 1. 𝐴𝐵, 𝐴𝐶, 𝐶𝐷, 𝐴𝐷, 𝐵𝐷
2. 𝐴𝐵 ● 𝐴𝐶 𝐴𝐶 ● 𝐴𝐷
3. Sudut antara 𝐶𝐷 dan 𝐵𝐷 4. Proyeksi 𝐶𝐷 pada 𝐵𝐷
5. Vektor yang tegak lurus 𝐶𝐷 dan 𝐵𝐷 Mari kita bahas penyelesaian dari soal di atas.
1. 𝐴𝐵 = 𝐵 − 𝐴 = (2, −1, −3) 𝐴𝐶 = 𝐶 − 𝐴 = (3, −3, −2) 𝐶𝐷 = 𝐷 − 𝐶 = (−4, 1, 3) 𝐴𝐷 = 𝐷 − 𝐴 = (−1, −2, 1) 𝐵𝐷 = 𝐷 − 𝐵 = (−3, −1, 4)
2. 𝐴𝐵 ● 𝐴𝐶 = 6 + 3 + 6 = 15 𝐴𝐶 ● 𝐴𝐷 = −3 + 6 − 2 = 1
3. Sudut antara 𝐶𝐷 dan 𝐵𝐷 didapat dari rumus
𝐶𝐷 ● 𝐵𝐷 = |𝐶𝐷||𝐵𝐷| cos ɵ , dimana ɵ adalah sudut antara 𝐶𝐷 dan 𝐵𝐷 12 − 1 + 12 = √16 + 1 + 9√9 + 1 + 16 cos ɵ
23 = 26 cos ɵ Maka ɵ = arc cos
4. Proyeksi 𝐶𝐷 pada 𝐵𝐷 = | ● | =
√
5. Vektor yang tegak lurus 𝐶𝐷 dan 𝐵𝐷 = 𝐶𝐷 x 𝐵𝐷
26 3.2 Ruang Vektor
Dalam subbab tentang ruang vektor ini, pertama-tama dikenalkan pengertian tentang bebas linier dan tidak bebas linier secara singkat, namun diperdalam dengan contoh-contoh yang mudah.
Himpunan n buah vektor { 𝑢 , 𝑢 , 𝑢 , ...𝑢 } disebut bergantung linier atau tidak bebas linier jika dapat ditemukan paling sedikit satu 𝜆i (i = 1, 2, 3, ....,n) yang tidak sama dengan nol dan 𝜆 𝑢 + 𝜆 𝑢 +... + 𝜆n𝑢 = 0 dengan 𝜆i, merupakan skalar.
Jika 𝜆1 = 𝜆2 = ...= 𝜆n = 0, maka {𝑢 , 𝑢 ,𝑢 ...., 𝑢 } disebut bebas linier.
Contoh 3.1.a:
1. 𝑎 = 𝚤 + s𝚥̅ - 3𝑘 𝑏 = 2𝚤̅ + 𝚥 – 𝑘 𝑐̅ = 2𝚤̅ + 4𝚥̅- 𝑘
maka, 𝑎 dan 𝑏 bebas linier, sedangkan 𝑎 dan 𝑐̅ tidak bebas linier karena 𝑐 = 2𝑎
𝑐 – 2𝑎 = 0 ...(i)
Persamaan (i) mengacu pada definisi tidak bebas linear. Karena dapat ditemukan 𝜆i, bahkan 𝜆1 = 1 dan 𝜆2 = −2, sehingga 𝑐̅ – 2𝑎 = 0.
Rank suatu matriks didefinikan sebagai banyaknya vektor yang bebas linier. Untuk mempermudah pengertian tentang Rank, diberikan satu contoh lagi.
Contoh 3.1.b:
Diberikan dua buah persamaan 2x + y = 0
−4x − 2y = 0
apabila dinyatakan dengan matriks :
2 1
−4 −2 𝑥 𝑦 = 0
0 , dimana
27 A = 2 1
−4 −2
maka r(A) atau rank A adalah 1, karena kedua vektor (dinyatakan dalam 2 baris dalam matriks A) itu tidak bebas linier. Mengapa tidak bebas linier?
Diperhatikan matriks A yang memuat dua vektor:
A = 2 1
−4 −2
Vektor yang pertama 𝑢 = 2𝚤̅ + 1𝚥̅ sedangkan vektor kedua adalah 𝑣̅ = −4𝚤̅ − 2𝚥̅ . Ternyata vektor 𝑣̅ = (−2) 𝑢,
Atau dapat dikatakan vektor 𝑣̅ bergantung pada vektor 𝑢. Sehingga hanya ada satu vektor yang bebas linier, karena yang lainnya adalah vektor yang bergantung dengan vektor lainnya.
Apabila ada dua vektor yang saling bergantung linier, maka salah satu dapat di jadikan vektor nol (null vector) oleh vektor yang lain. Cara yang dilakukan agar suatu vektor dapat dijadikan null vector (menjadikan vektor tersebut bergantung linier) adalah dengan menggunakan transformasi elementer. Berikut ulasan tentang transformasi elementer.
Transformasi elementer dapat dilakukan dengan empat (4) cara, yaitu:
1. menukar baris atau kolom ke-i dengan baris atau kolom ke-j 2. menjumlahkan baris atau kolom ke-i dengan baris atau kolom ke-j 3. mengalikan baris atau kolom ke-i dengan skalar k
4. menjumlahkan baris atau kolom ke-i dengan k kali baris atau kolom ke-j
Transformasi elementer tidak akan merubah rank, akan tetapi tentu saja determinannya akan berubah.
Kembali lagi pada Contoh 3.1.b, maka jika dilakukan transformasi linier pada matriks:
A = 2 1
−4 −2 ,
Maka 2 1
−4 −2 𝐵 + 2𝐵 2 1
0 0 , terdapat satu vektor, yaitu 𝑣̅ yang semuanya anggotanya menjadi nol. Maka dengan transformasi elementer dapat dicari banyaknya vektor yang bebas linier saja. Dalam contoh 3.1, banyaknya vektor yang bebas linier ada satu (1) saja, yaitu vektor 𝑢.
28 Contoh 3.2:
Diberikan matriks 3x3 𝐴 =
𝑎 𝑏 𝑐̅
=
1 −2 3
−2 4 −6
1 1 1
Kalau diperhatikan dua baris pertama, yang mewakili 2 vektor pertama, nampak bahwa 2 vektor tersebut saling bergantung. Sehingga dapat dikatakan kedua vektor tersebut bergantung linier. Untuk memikirkan mengapa dua vektor yang saling bergantung linear salah satu dapat dijadikan nol vektor, perhatikan uraian tentang matriks A diatas sebagai berikut
Karena 𝑎 dan 𝑏 saling bergantung maka mudah dimengerti bahwa
𝑏 = −2 𝑎 ... (ii) Maka dengan transformasi elementer vektor 𝑏 ditambah dengan 2 kali vektor 𝑎 akan menghasilkan vektor 0. Lalu mengapa apabila setelah dilakukan transformasi elementer menghasilkan vektor 0, maka vektor yang bukan 0 adalah bebas linear?
Perhatikan persamaan (ii) yaitu 𝑏 = −2 𝑎 dapat dituliskan
𝑏 + 2 𝑎 = 0 ... (iii) Dari definisi bebas linear dan bergantung linear jelas sekali bahwa persamaan (iii) bergantung linear, karena koefisien untuk vektor-vektor 𝑎 dan 𝑏 adalah 2 dan 1, berarti ada λ bahkan semua λ tidak sama dengan nol, yaitu λ1 = 2 dan λ2 = 1.
Transformasi elementer selanjutnya akan digunakan untuk mencari invers dan mencari solusi persamaan linear.
3.3 Basis dan Dimensi
Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal sebuah garis adalah obyek berdimensi satu, bidang adalah obyek berdimensi dua, sedangkan ruang adalah obyek berdimensi tiga. Dalam bagian ini akan diformulasikan definisi dimensi. Namun sebelumnya, marilah kita simak definisi tentang merentang atau membangun dan definisi basis.
3.3.1 Merentang atau Membangun
Untuk memahami pengertian merentang atau membangun, dapat diberikan contoh ruang vektor 𝑅 .
29 Contoh 3.3:
Anggota–anggota 𝑅 dinyatakan dalam himpunan 𝑅 = {(v , v , v )| v , v , v ∈ 𝑅}. Terdapat himpunan S dengan S⊂R, dimana anggota S dapat dituliskan sebagai S={(1,0,0),(0,1,0),(0,0,1)}. Kadang anggota S dapat dituliskan sebagai S = { e1, e2, e3 }, dimana e1 = (1,0,0), e2 = (0,1,0), e3 = (0,0,1). S adalah himpunan yang bebas linier dalam R3. Karena setiap vektor v = (v1, v2,v3) pada R3 dapat dituliskan sebagai v = v1e1 + v2e2 + v3e3, maka dikatakan S merentang R3 atau S membangun R3
3.3.2 Definisi Basis
Misalkan V adalah suatu ruang vektor dan S adalah himpunan bagian dari V. Himpunan S ={𝑣 , 𝑣 , 𝑣 , … , 𝑣 } dikatakan sebagai basis untuk V apabila dua syarat berikut dipenuhi:
1. S bebas linier
2. S merentang atau membangun V .
Dari Definisi Basis, jelas bahwa contoh sebelumnya yang menggambarkan pengertian merentang, yaitu S meretang R3, dapat disimpulkan bahwa S selain merentang juga bebas linear, maka S adalah basis untuk R3.
3.3.3 Definisi Dimensi
Setelah dijelaskan definisi tentang basis, maka pengertian dimensi adalah banyaknya anggota basis.
Kembali pada contoh 3.3, maka dimensi R3 adalah 3 karena basisnya, yaitu S, memiliki jumlah anggota sebanyak 3 (tiga), yaitu { e1, e2, e3 }. Sangat mudah dipahami dalam kehidupan sehari-hari bahwa ruang vektor R3 yang merupakan obyek ruang memiliki dimensi tiga. Contoh-contoh yang lebih kompleks akan diberikan setelah mempelajari persamaan linear homogen dan non homogen.
3.4 Matriks Invers
A-1 merupakan invers matriks A jika AA-1 = A-1 A = In, dimana In adalah matriks identitas terhadap perkalian. Bagaimana cara mencari matriks invers? Berikut akan dijelaskan
30
mengenai bagaimana cara mencari invers suatu matriks dengan menggunakan satu matriks contoh yang sama.
Contoh 3.4:
Jika diketahui matriks A = 3 −1
−2 4
Maka invers matriks A dapat dicari dengan tiga cara, yaitu dengan cara konvensional, dengan cara menggunakan matriks adjoint, dan dengan cara counter atau dikenal dengan metode counter.
3.4.1 Cara Konvensional atau Cara Pemisalan
Cara yang hanya digunakan untuk matriks-matriks berordo kecil adalah cara konvensional. Cara ini menggunakan pemisalan sebagai berikut.
Misalkan A = 𝑎 𝑏 𝑐 𝑑 𝐴 𝐴 = 𝐼
𝑎 𝑏 𝑐 𝑑
3 −1
−2 4 = 1 0 1 1 3𝑎 − 2𝑏 −𝑎 + 4𝑏
3𝑐 − 2𝑑 −𝑐 + 4𝑎 = 1 0 1 1
Maka didapat empat persamaan dalam a, b, c, dan d : 3a – 3b = 1
-a + 4b = 0 3c – 2d = 0 c + 4d = 1
dengan menggunakan eliminasi biasa didapat : a = 2/5, b = 1/10, c = 1/5, dan d = 3/10 Sehingga matriks A-1 menjadi
2 5 1 10 1 5 3
10
31
Cara konvensional di atas memakan waktu dan perhitungan yang panjang, karena untuk matriks berordo 2, membutuhkan 4 persamaan. Berarti untuk matriks berordo 3 akan membutuhkan perhitungan yang sangat panjang, dan ada kemungkinan tidak teliti apabila bilangan-bilangan dalam matriks bukan bilangan yang sederhana.
3.4.2 Menggunakan Adjoint Matriks
Cara pertama tadi dapat diantisipasi dengan mengunakan matriks Adjoint, yaitu transpose dari matriks kofaktor.
Telah diketahui bahwa Matriks A = 3 −1
−2 4 .
Syarat matriks memiliki invers adalah determinannya tidak boleh sama dengan nol.
Ternyata dengan aturan Sarrus:
|A| = 12 – 2 = 10 atau |A| ≠ 0,
jadi matriks di atas mempunyai invers. Selanjutnya dicari terlebih dahulu minor dan kofaktor dari matriks A.
M(A) = 4 −2
−1 3 K (A) = 4 2
1 3 Adjoint (A) atau 𝐴∗ = 4 1
2 3 Maka
𝐴 = 𝐴∗
|𝐴|
A =
4 10 1 10 2 10 3
10
=
2 5 1 10 1 5 3
10
Untuk matriks berordo 2, maka minornya adalah matriks berordo 1, untuk matriks berordo 3, maka minornya dicari dengan mencari anak determinan matriks ukuran 2 x 2, bagaimana jika matriks A memiliki ordo 4 ke atas? Adjoint matriks mudah digunakan untuk matriks berordo 3, untuk matriks berordo 4 masih dapat digunakan meskipun untuk mencari minornya cukup lama dan membutuhkan ketelitian dalam perhitungannya.
3.4.3 Metode Counter
32
Untuk keperluan matriks dengan ordo 4 keatas dibutuhkan cara lain, yaitu metode Counter. Metode Counter merupakan metode dalam mencari invers suatu matriks dengan cara mengubah identitas matriks yang semula berada di sebelah kiri menjadi identitas yang berada di sebelah kanan atau sebaliknya. Dari contoh 3.4:
1 0 0 1
3 −1
−2 4 1 3𝑏 1
3 0 0 1
1 −1 3
−2 4
𝑏 2𝑏 1 3 0 2 3 1
1 −1 3 0 10 3
3 10𝑏
1
3 0
2 10
3 10
1 −1 3
0 1
𝑏 +1 3𝑏
2 5
1 10 1 5
3 10
1 0 0 1
berarti A-1 =
2 5 1 10 1 5 3
10
Dengan menggunakan tiga cara di atas dapat diperoleh hasil A-1 yang sama. Cara mana yang paling tepat untuk dipilih sangat tergantung pada ordo matriksnya. Untuk lebih memahami ketiga cara di atas, berikut diberikan latihan soal untuk mencari invers. Cara konvensional atau cara pemisalan tidak direkomendasi karena terlalu lama dan rumit. Gunakan cara Adjoint Matriks atau counter untuk mengerjakan delapan soal berikut:
Soal-soal Latihan:
Cari invers dari matriks-matriks berikut :
𝐴 =
−1 3 2 2 1 −3 3 2 −1
𝐵 =
−3 1 −1
0 −2 1
1 2 −1
𝐶 =
0 −1 2
2 1 −1
1 −1 2
𝐷 =
−2 1 3
1 3 −1
0 −1 2
𝐸 =
1 −2 1
2 1 −1
1 2 3
𝐹 =
−2 1 −1
1 2 1
2 −1 0
33 𝐺 =
2 −1 0
1 2 −1
0 1 3
𝐻 =
2 1 3
1 −1 0
2 1 −1
Penyelesaiannya dapat menggunakan metode adjoint atau metode counter. Pemilihan metode yang digunakan sangat tergantung dari bentuk matriks yang akan dicari inversnya.
Penyelesaian:
Metode Adjoint untuk matriks A dan H:
𝐴 =
−1 3 2 2 1 −3 3 2 −1
Maka dengan menggunakan Sarrus
|𝐴| =
−1 3 2 2 1 −3 3 2 −1
−1 3
2 1
3 2
= (1 − 27 + 8) − (6 + 6 − 6) = −18 − 8 = −24
Kemudian dicari minor dari matriks A dengan cara mencari minor masing-masing elemen dari matriks A:
𝑀(𝐴) =
5 7 1
−7 −5 −11
−11 −1 −7
Kofaktor dicari dengan menambahkan (−1) , dimana i dan j adalah baris dan kolom tempat elemen tersebut berada. Sehingga akan terjadi nilai minornya menjadi positif, negatif, positif lagi, lalu negatif lagi. Sehingga kofaktor matriks A menjadi sebagai berikut:
𝐾(𝐴) = 5 −7 1
7 −5 11
−11 1 −7
Adjoint matriks A adalah transpose dari matriks kofaktor, maka 𝐴∗=
5 7 −11
−7 −5 1
1 11 −7
Dari hasil yang diperoleh tinggal mencari invers matriks A dengan rumus Adjoint, yaitu 𝐴 =| |∗
Sehingga:
34 𝐴 = 𝐴∗
|𝐴|=
5 7 −11
−7 −5 1
1 11 −7
−24 =
⎣
⎢
⎢
⎢
⎢
⎡− 5
24 − 7 24
11 24 7
24 5
24 − 1 24
− 1
24 −11 24
7 24 ⎦
⎥
⎥
⎥
⎥
⎤
Secara analog dapat dilakukan untuk matriks H.
Dengan menggunakan Sarrus:
|𝐻| =
2 1 3
1 −1 0
2 1 −1
2 1 1 −1 2 1
= (2 + 0 + 3) − (−6 + 0 − 1) = 5 − (−7) = 12
Kemudian dicari minor dari matriks H dengan cara mencari minor masing-masing elemen dari matriks H:
𝑀(𝐻) =
1 −1 3
−4 −8 0
3 −3 −3
Kofaktor dari H adalah:
𝐾(𝐻) =
1 1 3
4 −8 0
3 3 −3
Maka Adjoiny matriks H adalah:
𝐻∗=
1 4 3
1 −8 3
3 0 −3
Sehingga dengan rumus 𝐻 = ∗
| | invers matriks H adalah:
𝐻 = 𝐻∗
|𝐻|=
1 4 3
1 −8 3
3 0 −3
12 =
⎣
⎢
⎢
⎢
⎢
⎡1 12
4 12
3 12 1
12
−8 12
3 12 3
12 0 12
−3 12 ⎦
⎥
⎥
⎥
⎥
⎤
Metode Counter untuk matriks B dan G:
𝐵 =
−3 1 −1
0 −2 1
1 2 −1
35 1 0 0
0 1 0 0 0 1
−3 1 −1
0 −2 1
1 2 −1
−1 3𝑏
̇ −1
3 0 0
0 1 0
0 0 1
1 −1 3
1 3 0 −2 1
1 2 −1
𝑏 − 𝑏
⎝
⎛
−1
3 0 0
0 1 0
1
3 0 1
1 −1 3
1 3
0 −2 1
0 7
3 −4 3⎠
⎞ −1 2𝑏
⎝
⎜
⎛
−1
3 0 0
0 −1 2 0 1
3 0 1
1 −1 3
1 3 0 1 −1
2
0 7
3 −4 3⎠
⎟
⎞
𝑏 +1
3𝑏 dan 𝑏 −7 3𝑏
⎝
⎜
⎛
−1 3 −1
6 0 0 −1
2 0 1
3 7
6 1
1 0 1
6 0 1 −1
2 0 0 −1
6⎠
⎟
⎞−6𝑏
⎝
⎛
−1 3 −1
6 0
0 −1
2 0
−2 −7 −6
1 0 1
6 0 1 −1
2 0 0 1 ⎠
⎞
𝑏 + 𝑏 dan 𝑏 − 𝑏
0 1 1
−1 −4 −3
−2 −7 −6
1 0 0 0 1 0 0 0 1
.
Jadi 𝐵 =
0 1 1
−1 −4 −3
−2 −7 −6 .
Satu contoh lagi untuk matriks G.
𝐺 =
2 −1 0
1 2 −1
0 1 3
Maka dengan transformasi elementer:
1 0 0 0 1 0 0 0 1
2 −1 0
1 2 −1
0 1 3
1 2𝑏
1
2 0 0 0 1 0 0 0 1
1 −1 2 0
1 2 −1
0 1 3
𝑏 −𝑏
⎝
⎛ 1
2 0 0
−1
2 1 0
0 0 1
1 −1 2 0
0 5
2 −1
0 1 3 ⎠
⎞
2 5𝑏
⎝
⎛ 1
2 0 0
−1 5
2 5 0
0 0 1
1 −1
2 0
0 1 −2
5
0 1 3 ⎠
⎞ 𝑏 +1
2𝑏 dan 𝑏 − 𝑏
⎝
⎜
⎛ 2 5
1
5 0
−1 5
2
5 0
1 5 −2
5 1
1 0 −1 5 0 1 −2 5 0 0 17
5 ⎠
⎟
⎞
36 5
17𝑏
⎝
⎜
⎛ 2 5
1
5 0
−1 5
2
5 0
1
17 − 2 17
5 17
1 0 −1 5 0 1 −2 5 0 0 1 ⎠
⎟
⎞𝑏 +1
5𝑏 dan 𝑏 +2 5𝑏
⎝
⎜
⎛ 7 17
3 17
1 17
− 3 17
6 17
2 17 1
17 − 2 17
5 17
1 0 0 0 1 0 0 0 1
⎠
⎟
⎞
Jadi 𝐺 =
⎣⎢
⎢⎢
⎡
−
− ⎦⎥⎥⎥⎤ .
Terlihat bahwa metode Counter lebih rumit dari metode Adjoint matriks. Hal itu dikarenakan untuk ordo matriks yang kecil lebih efektif menggunakan adjoint matriks. Namun, untuk ordo matriks yang cukup besar lebih efektif menggunakan metode Counter.
3.5 Persamaan Linear
Secara garis besar ada dua macam persamaan linier, yaitu persamaan linier homogen dan persamaan linier tidak homogen atau sering disebut non homogen.
3.4.1 Persamaan Linier Homogen :
Misalkan suatu persaaan linier diubah dalam bentuk matriks, maka akan dapat dicari rank dari matriks tersebut. Misalnya rank(A) lebih kecil dari n, dengan n adalah banyaknya peubah, maka persamaan tersebut memiliki solusi (penyelesaian ) yang tidak trivial, yaitu solusi selain x = y = z = 0 atau 𝑥 = 0, untuk 𝑖 = 1, 2, 3, … (untuk dimensi lebih dari 3)
Contoh 3.5:
Carilah solusi dari persamaan 3x + y – 12 = 0
[3 1 −1]
𝑥 𝑦 𝑧
= 0
A X = B
Karena B = 0, maka persamaan di atas homogen.
37
Persamaan linear homogen pasti memiliki solusi, paling tidak adalah solusi yang trivial, yaitu semua variabel nya adalah nol. Jika n adalah banyaknya variabel, maka n = 3 dan Rank(A) = 1 dapat disimpulkan bahwa Rank(A) lebih kecil daripada banyaknya variabel, maka kecuali solusi trivial, persamaan di atas juga mempunyai solusi lain yang non trivial.
Dimensi ruang jawab atau banyaknya parameter adalah banyaknya variabel dikurangi Rank(A) atau dapat dinyatakan sebagai n – r. Dalam contoh diatas n-r = 3 – 1 = 2.
Dengan diperolehnya dimensi ruang jawab sama dengan 2, maka variabel yang boleh dimisalkan juga ada 2.
Misalnya x = 𝛼 dan y = 𝛽, dimana 𝛼 dan 𝛽 adalah parameter , dengan - ∞ < 𝛼 < ∞, dan − ∞ < 𝛽 < ∞ maka
3 𝛼 + 𝛽 – 𝑧 = 0 z = 3 𝛼 + 𝛽
Sehingga diperoleh solusi umum, yaitu solusi dimana 𝛼 dan 𝛽 dapat diganti dengan bilangan sembarang yang bukan nol.
𝑥 𝑦 𝑧
= 𝑎 1 0 3
+ 𝛽 0 1 1
Apabila parameter 𝛼 dan 𝛽 telah diberi nilai tertentu, maka akan diperoleh solusi khusus.
Misalkan 𝛼 = 1, 𝛽 = 1, maka solusi khusus : 𝑥
𝑦 𝑧
= 1 1 4
3.4.2 Persamaan Linier Tidak Homogen
Persamaan linier (PL) tidak homogen dapat mempunyai penyelesaian, tapi dapat juga tidak mempunyai penyelesaian. Hal itu tergantung dari beberapa hal sebagai berikut.
Jika diketahui PL tidak homogen, yang dituliskan dalam matriks:
A X = B, dengan
A adalah matriks koefisien dari variabelnya,
38 X adalah matriks variabelnya, dan
B adalah matriks hasil yang tidak sama dengan matriks nol, maka
1. Jika r(A) r (A,B ), persamaan tidak mempunyai penyelesaian
2. Jika r(A) = r(AB), persamaan mempunyai penyelesaian, selanjutnya untuk r(A) = r(AB) masih dibagi menjadi dua kondisi lagi, yaitu
a. Jika r(A) = R(AB) = n, maka PL non homogen memiliki solusinya tunggal b. Jika r(A) = R(AB) < n, maka PL non homogen memiliki banyak solusi
Perbedaan antara PL homogen dan PL tidak homogen terletak pada matriks B. Matriks B adalah merupakan matriks nol untuk PL homogen, dan matriks B bukan merupakan matriks nol untuk PL tidak homogen. Penyelesaian untuk PL tidak homogen hampir sama dengan penyelesaian untuk PL tidak homogen. Perbedaannya hanya membandingkan rank(A) dengan rank(AB), selanjutnya untuk solusi khusus dan solusi umum ada matriks yang disediakan untuk konstanta untuk PL tidak homogen, sedangkan untuk PL homogen tidak disediakan matriks untuk konstanta. Untuk lebih jelasnya dapat dikerjakan latihan berikut, dimana bagian A adalah mencari solusi PL homogen, sedangkan bagian B adalah mencari solusi PL tidak homogen. Solusi yang diberikan hanya untuk Latihan Bagian A no.1 dan Bagian B no.1.
Latihan
A. Cari penyelesaian persamaan linier homogen berikut :
1.
2 −1 3 1
1 2 −1 1
3 −4 7 1
−1 3 −4 0
𝑥 𝑦 𝑢 𝑣
= 0 0 0 0
2.
2 −1 1 −3
−1 1 2 1
4 −3 −3 −5
8 −5 −1 −11 𝑥 𝑦 𝑢 𝑣
= 0 0 0 0
3.
1 −1 1 2
2 2 −1 1
−1 −3 2 1
1 −5 4 5
𝑥 𝑦 𝑢 𝑣
= 0 0 0 0
39 4.
−3 4 1 −1
2 −1 2 3
−1 2 5 5
1 3 3 2
𝑥 𝑦 𝑢 𝑣
= 0 0 0 0
5. x 1 −1
1 2 + y −5 −3
−1 2 + u 4 2
1 −1 + v 5 1
2 1 = 0 0 0 0
B. Carilah solusi persamaan linier yang tidak homogen berikut ini :
1. 1 2 −1
2 −1 3
4 3 1
𝑥 𝑦 𝑧
= 2
−1 3
2. 1 2 −1
2 −1 3
4 3 1
𝑥 𝑦 𝑧
= 2 1 3
3. −3 1 2
2 −3 1
1 2 3
𝑥 𝑦 𝑧
=
−2 1 5
Penyelesaian
A.1.
2 −1 3 1
1 2 −1 1
3 −4 7 1
−1 3 −4 0
𝑥 𝑦 𝑢 𝑣
= 0 0 0 0
Merupakan PL homogen. Jadi pasti punya solusi, yaitu untuk x = y = u = v = 0 atau solusi trivial. Adakah solusi lain selain solusi trivial? Marilah kita selidiki rank(A), dimana
A=
2 −1 3 1
1 2 −1 1
3 −4 7 1
−1 3 −4 0
Dengan menggunakan transformasi elementer:
2 −1 3 1
1 2 −1 1
3 −4 7 1
−1 3 −4 0
𝑏 + 2𝑏 𝑏 + 𝑏 𝑏 + 3𝑏
0 5 −5 1 0 5 −5 1 0 5 −5 1
−1 3 −4 0
𝑏 + 𝑏 𝑏 + 𝑏
0 0 0 0
0 0 0 0
0 5 −5 1
−1 3 −4 0
Hasilnya menunjukkan bahwa rank(A) = 2. Banyaknya variabel atau n = 4, maka rank(A) < n.
Maka PL homogen memiliki solusi lain selain solusi trivial.
Selanjutnya kita cari berapakan banyaknya variabel yang bisa kita jadikan parameter atau dimensi ruang jawab.
Ternyata dimensi ruang jawabnya adalah n-rank(A) = 4 – 2 = 2.
40
Diakhir transformasi elementer diperoleh dua persamaan baru, yaitu 5y - 5u + v = 0 ... (i)
-x + 3y - 4u = 0 ... (ii)
Maka dua variabel yang dimisalkan bisa u dan v atau y dan u atau y dan v atau x dan y atau x dan u. Baiklah, kita pilih variabel x dan y.
Misalkan 𝑥 = 𝛼 dan 𝑦 = 𝛽
Maka persamaan (ii) akan menjadi:
−𝛼 + 3𝛽 − 4𝑢 = 0 atau 4𝑢 = −𝛼 + 3𝛽 sehingga 𝑢 = − 𝛼 + 𝛽 Tinggal mencari variabel v.
Dari persamaan (i), maka diperoleh
5𝛽 − 5 − 𝛼 + 𝛽 + 𝑣 = 0 maka 5𝛽 − 5 − 𝛼 + 𝛽 = −𝑣 atau 5𝛽 + 𝛼 − 𝛽 = −𝑣 Maka −𝑣 = 𝛼 + 𝛽 atau 𝑣 = − 𝛼 − 𝛽
Diperoleh Solusi Umum sebagai berikut:
𝑥 𝑦 𝑢𝑣
= 𝛼
⎣
⎢⎢
⎢⎢
⎡ 1 0
−1 4
−5 4⎦
⎥⎥
⎥⎥
⎤ + 𝛽
⎣
⎢⎢
⎢⎢
⎡ 0 1 3 4
−5 4⎦
⎥⎥
⎥⎥
⎤
Adapun solusi khusus dapat diperoleh dengan menggantikan 𝛼 dan 𝛽 dengan nilai-nilai tertentu yang bukan nol. Misal 𝛼 = 𝛽 = 1, maka diperoleh
𝑥 𝑦 𝑢𝑣
= 1
⎣
⎢
⎢⎢
⎢
⎡ 1 0
−1 4
−5 4⎦
⎥
⎥⎥
⎥
⎤ + 1
⎣
⎢
⎢⎢
⎢
⎡ 0 1 3 4
−5 4⎦
⎥
⎥⎥
⎥
⎤
=
⎣
⎢
⎢⎢
⎢
⎡ 1 0
−1 4
−5 4⎦
⎥
⎥⎥
⎥
⎤ +
⎣
⎢
⎢⎢
⎢
⎡ 0 1 3 4
−5 4⎦
⎥
⎥⎥
⎥
⎤
=
⎣
⎢
⎢⎢
⎢
⎡ 1 12 4
−10 4 ⎦
⎥
⎥⎥
⎥
⎤
Jadi, salah satu solusi non trivial dari PL homogen di atas adalah 𝑥 = 1, 𝑦 = 1, 𝑢 = , 𝑣 = − .
Untuk penyelesaian soal A.2 sampai dengan A.5 dapat dikerjakan dengan cara yang sama seperti no A.1.
B.1. 1 2 −1 2 −1 3
4 3 1
𝑥 𝑦 𝑧
= 2
−1 3
41
Merupakan PL non homogen. Maka belum tentu memiliki solusi seperti pada PL homogen.
Mari kita selidiki apakah rank(A) = rank(A|B)?
A= 1 2 −1
2 −1 3
4 3 1
dan A|B = 1 2 −1 2 −1 3
4 3 1
2
−1 3 Dicari rank(A|B) dengan transformasi elementer:
1 2 −1
2 −1 3
4 3 1
2
−1 3
𝑏 − 2𝑏 𝑏 − 4𝑏
1 2 −1
0 −5 5 0 −5 −5
2
−5
−5
𝑏 − 𝑏
1 2 −1
0 −5 5
0 0 0
2
−5 0
1 5𝑏
1 2 −1
0 −1 1
0 0 0
2
−1 0
𝑏 + 𝑏
1 1 0
0 −1 1
0 0 0
1
−1 0
Rank(A) = 2, Rank(A|B) = 2. Karena rank(A) = rank(A|B) maka PL non homogen tersebut punya solusi.
Dibandingkan dengan banyaknya variabel atau n, dimana n = 3, maka rank(A) < n. Maka PL non homogen diatas memiliki banyak solusi.
Dimensi ruang jawabnya = n − rank(A) = 3 – 2 = 1.
Persamaan baru setelah dilakukan transformasi elementer:
𝑥 + 𝑦 = 1 −𝑦 + 𝑧 = −1 Misalkan x = 𝛼, maka 𝛼 + 𝑦 = 1 atau 𝑦 = 1 − 𝛼 Selanjutnya −𝑦 + 𝑧 = −1
Dengan mengganti 𝑦 = 1 − 𝛼, maka didapat
−(1 − 𝛼) + 𝑧 = −1, maka 𝑧 = −1 + 1 − 𝛼 atau 𝑧 = −𝛼 Solusi umum menjadi:
𝑥 𝑦 𝑧
= 𝛼 1
−1
−1 +
0 1 0
Solusi khusus jika diambil 𝛼 = 1, maka
42 𝑥
𝑦 𝑧
= 1 1
−1
−1 +
0 1 0
= 1
−1
−1 +
0 1 0
= 1 0
−1 .
Sehingga salah satu solusi khususnya adalah x=1, y= 0, z = −1
Solusi khusus dapat berbeda-beda untuk tiap-tiap soal, hal ini disebabkan karena pengambilan nilai parameter 𝛼, 𝛽, dan seterusnya dapat berbeda untuk masing-masing siswa. Asalkan setelah dilakukan pengecekan dalam soalnya menghasilkan kecocokan, maka solusi tersebut adalah benar adanya.
PL non homogen dengan matriks A berupa matriks bujursangkar dan determinannya tidak sama dengan nol, maka solusinya dapat dicari dengan menggunakan aturan Cramer, yang akan dibicarakan dalam subbab selanjutnya.
3.4.2.1. Aturan Cramer
Jika diketahui suatu persamaan linier dalam x, y, dan z, maka dengan menggunakan aturan Cramer dapat dicari nilai x, y, z dengan rumus sebagai berikut:
𝑥 = , 𝑦 = , 𝑧 = dimana
𝑁 adalah Numerator dari x, atau determinan dari matriks A, dimana elemen-elemen pada kolom pertama (kolom untuk x) diganti dengan elemen elemen dari matriks hasilnya, atau matriks B.
𝑁 adalah Numerator dari y, atau determinan dari matriks A, dimana elemen-elemen pada kolom kedua (kolom untuk y) diganti dengan elemen elemen dari matriks hasilnya, atau matriks B.
𝑁 adalah Numerator dari z, atau determinan dari matriks A, dimana elemen-elemen pada kolom ketiga (kolom untuk z) diganti dengan elemen elemen dari matriks hasilnya, atau matriks B.
Untuk lebih jelasnya akan diberikan contoh cara mencari solusi PL non homogen dengan aturan Cramer.
Contoh 3.6:
Carilah penyelesaian persamaan berikut dengan menggunakan aturan Cramer!
43 Jawab:
−3 1 2
2 −3 1
1 2 3
𝑥 𝑦 𝑧
=
−2 7 5
Dengan Aturan Cramer :
D =
−3 1 2
2 −3 1
1 2 3
= −3(−11) – 1(5) + 2(7) = 42 ≠ 0
N𝑥 =
−2 1 2
7 −3 1
5 2 3
= −2(−11) – (21 − 5) + 2(14 + 15) = 64
N𝑦 = −3 −2 2
2 7 1
1 5 3
= −32
N𝑧 =
−3 1 −2
2 −3 7
1 2 5
= 70
x = = 1 y = = − z = = 1
Contoh 3.7:
Contoh ini memenuhi materi yang disebutkan pada subbab 3.3 tentang dimensi dan basis.
Misalkan diketahui vektor-vektor v1 = ( 1, 2, 1 ), v2 = ( 2, 9, 0 ), dan v3 = ( 3, 3, 4). Perlihatkan bahwa S = { v1, v2, v3 } adalah basis untuk R3.
(i) Akan dibuktikan S bebas linear.
Yaitu : Jika k1v1 + k2v2 + k3v3 = 0 ⟹ k1 = k2 = k3 = 0 k1( 1, 2, 1 ) + k2 ( 2, 9, 0 ) + k3( 3, 3, 4) = (0,0,0) (k1 + 2k2 + 3 k3 , 2k1 + 9k2 + 3 k3, k1 + 4 k3) = (0,0,0) Maka diperoleh Persamaan Linear Homogen
k1 + 2k2 + 3 k3 = 0 2k1 + 9k2 + 3 k3 = 0 k1 + 4 k3 = 0
44 Dalam Bentuk matriks
1 2 3 2 9 3 1 0 4
𝐵 − 𝐵 𝐵 − 2𝐵
1 2 3
0 5 −3
0 −2 1
𝐵 + 𝐵
1 7 0
0 5 −3
0 −2 1
𝐵 + 3𝐵
1 7 0
0 −1 0 0 −2 1
𝐵 + 7𝐵
1 0 0
0 −1 0 0 −2 1 Rank = 3, banyaknya variabel juga 3.
Karena Rank = banyaknya variabel ⟹ solusinya tunggal.
Solusi tunggal untuk Persamaan Linear Homogen adalah k1 = k2 = k3 = 0.
Terbukti S bebas linear.
(ii) Akan dibuktikan S merentang atau membangun R3 .
Maka untuk memperlihatkan bahwa S merentang R3, harus diperlihatkan:
Jika diambil sembarang vektor b = ( b1, b2, b3 ), maka b = k1v1 + k2v2 + k3v3. Diperoleh Persamaan Linear non Homogen:
k1 + 2k2 + 3 k3 = b1
2k1 + 9k2 + 3 k3 = b2
k1 + 4 k3 = b3
Dalam bentuk matriks:
1 2 3 2 9 3 1 0 4
b b b
𝐵 − 𝐵 𝐵 − 2𝐵
1 2 3
0 5 −3
0 −2 1 b b − 2b
b −b
𝐵 + 𝐵
1 7 0
0 5 −3
0 −2 1
b − b b − 2b
b −b
𝐵 + 3𝐵
1 7 0
0 −1 0 0 −2 1
b − b b − 5b +
b −b
3b 𝐵 + 7𝐵
1 0 0
0 −1 0 0 −2 1
8b − 36b + 21b b − 5b +
b −b
3b
𝐵 − 2𝐵
1 0 0
0 −1 0
0 0 1
8b − 36b + 21b b − 5b + 9b − 2b − 5b
3b
bentuk matriks ekivalen dengan (𝐴|𝐵)
Rank (A) = Rank (𝐴|𝐵)= 3 ⟹ Persamaan Linear non homogen tersebut punya solusi. Sehingga diperoleh:
k1 = −36b + 8b + 21b k2 = 5b − b − 3b k3 = 9b − 2b − 5b Terbukti S merentang R3.
45
Sebagai pengecekan, misalkan b = 1, b = −1, b = 1 Berarti diperoleh Persamaan Linear Non Homogen:
k1 + 2k2 + 3 k3 = 1 2k1 + 9k2 + 3 k3 = −1 k1 + 4 k3 = 1 dengan
k1 = −36 − 8 + 21 = −23 k2 = 5 + 1 − 3 = 3
k3 = 9 + 2 − 5 = 6
Persamaan Linear Non Homogen menjadi:
−23 + 6 + 18 = 1 (Benar)
−46 + 27 + 18 = −1 (Benar)
−23 + 0 + 24 = 1 (Benar)
46 BAB IV
TRANSFORMASI LINEAR 4.1 Pengertian transformasi
Pandang dua buah himpunan A dan B. Kemudian dengan suatu aturan atau cara tertentu f, kita mengaitkan (menggandengkan, mengkawankan) setiap
x
A dengan satu dan hanya satuy
B. Maka f dikatakan suatu fungsi dari A ke B, atau biasanya dituliskanf : A → B Contoh 4.1:
Misalkan A = {x1, x2, x3 } B = {y1, y2}
f mempunyai aturan seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.1 : A B
x1 → y2
x2 → y2
x3 → y1
Gambar 4.1. f adalah fungsi
Tampak bahwa setiap x A mempunyai tepat satu kawan y B. Jadi f adalah fungsi.
Gambar 4.2 berikut menunjukkan aturan f yang lain:
A B
Gambar 4.2. f bukan merupakan fungsi x1
X2
X3
y1
y2
x1
X2
X3
y1
y2
47
Terlihat bahwa terdapat x ∈ A, yaitu x1 mempunyai lebih dari satu kawan, sedangkan x2 tidak mempunyai pasangan. Jadi f bukan fungsi.
Perhatikan gambar 4.3 dimana f bukan merupakan fungsi dari A ke B
Gambar 4.3. f bukan merupakan fungsi
Terlihat bahwa terdapat x ∈ A, disini x1 mempunyai lebih dari satu kawan, yaitu y1 dan y2 yang berada dalam B. Jadi f disini juga bukan fungsi.
Apabila himpunan A dan B di atas merupakan himpunan bilangan rill R atau kompleks C atau himpunan bagiannya, aturan pengaitan untuk f umumnya dapat dirumuskan dalam suatu hubungan matematis.
Misalka f: R R dimana setiap x ∈ R dikaitkan dengan kuadratnya yang juga berada dalam R, atau x↦x2 atau f(x) = x2 untuk setiap x ∈ R.
Sehingga dapat ditunjukkan perkawanannya sebagai berikut:
0 0 1 1 2 4 3 9 dan seterusnya.
Himpunan A dinamakan domain dan himpunan B dinamakan codomain dari fungsi f .
Yang menjadi pokok pembicaraan kita dalam bab ini adalah fungsi-fungsi dimana domain dan codomainnya merupakan ruang vektor, pada khususnya adalah Rn, yaitu ruang vektor yang anggota-anggotanya urutan n buah bilangan rill. (tetapi disinggung pula secara sekilas Cn atau
A
x1
X2
X3
B y1
y2