• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok 2 Laporan FIX

N/A
N/A
Bluecifer

Academic year: 2025

Membagikan "Kelompok 2 Laporan FIX"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

BENDUNG COT TUFHAH SUNGAI KR LEBEU

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Perancangan Bangunan Air Program Studi Teknik Sipil Fakutas Teknik

Dosen Pengampu:

Roni Farfian, S.T., M.Sc.

Willy Cahyadhiputra Gunawan, S.T., M.T.

Disusun Oleh:

Farhan Khoirurizal (2250031009) Vina Yulianti (2250031017)

Nenk Nazwa Nurul Mufidah (2250031021) Hilman Tubilah (2250031034)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

2025

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat Rahmat dan hidayat- Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan untuk memenuhi tugas besar mata kuliah “Perancangan Bangunan Air”, yaitu Laporan ini yang berisi hasil-hasil yang diperoleh dengan percobaan dan data yang ada.

Penyusunan laporan ini dapat terlaksana dengan baik dan terarah berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, bukan hanya buah kerja keras penulis semata.

Untuk itu penulis menyampaikan juga banyak terimakasih kepada:

1. Agus Juhara, S.T., M.T. selaku Ketua Prodi Teknik Sipil Universitas Jenderal Achmad Yani.

2. Willy Cahyadhiputra Gunawan, S.T., M.T. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Perancangan Bangunan Air.

3. Roni Farfian, S.T., M.Sc. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Perancangan Bangunan Air.

Akhir kata semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya untuk kami sebagai penulis. Kami menyadari bahwa dalam laporan praktikum ini masih banyak kurangnya dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami selaku penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan laporan kami kelak. Akhir kata dari kami mengucapkan terimakasih.

Cimahi, 2025

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vi BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-1 Latar Belakang... 1-1 Rumusan Masalah ... 1-2 Tujuan ... 1-3 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ... 1-3 Ruang Lingkup ... 1-3 Batasan Masalah ... 1-4 Lokasi Penelitian ... 1-5 Sistematika Penulisan ... 1-6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 2-1 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)... 2-1 2.2 Analisis Hidrologi ... 2-2 2.2.1 Data Curah Hujan ... 2-3 2.2.2 Data Klimatologi ... 2-3 2.2.3 Analisis Curah Hujan Wilayah ... 2-4 2.2.4 Intensitas Curah Hujan ... 2-7 2.2.5 Koefisien Pengaliran (Run-Off Coeffisien) ... 2-8 2.2.6 Analisis Frekuensi ... 2-9 2.2.7 Analisis Debit Banjir Rencana ... 2-14 2.3 Analisis Evapotranspirasi ... 2-21 2.3.1 Analisis Debit Andalan ... 2-22 2.3.2 Analisis Kebutuhan Air di Bendung ... 2-24 2.3.3 Analisis Neraca Air di Bendung ... 2-25 2.4 Kriteria Desain Bendung ... 2-26 BAB 3 ANALISIS DATA ... 3-1 3.1 Analisis Parameter DAS di Rencana Bendung ... 3-1 3.1.1 Delineasi Batas DAS di Rencana Bendung ... 3-1

(4)

3.1.2 Batas Administrasi DAS di Rencana Bendung ... 3-2 3.1.3 Kondisi Topografi DAS di Rencana Bendung ... 3-3 3.1.4 Tata Guna Lahan DAS di Rencana Bendung ... 3-6 3.2 Analisis Hidrologi ... 3-9 3.2.1 Analisis Curah Hujan ... 3-10 3.2.2 Analisis Frekuensi ... 3-27 3.2.3 Uji Keselarasan Distribusi ... 3-32 3.2.4 Distribusi Hujan jam-jaman ... 3-34 3.2.5 Analisis Debit Banjir Rencana ... 3-35 3.2.6 Analisis Evapotranspirasi ... 3-38 3.2.7 Analisis Debit Andalan ... 3-40 3.2.8 Analisis Kebutuhan Air Irigasi ... 3-44 3.2.9 Analisis Neraca Air di Rencana Bendung ... 3-53 3.2.10 Analisis Hidraulika Bendung Kondisi Eksisting 1D .... 3-55 BAB 4 DESAIN BENDUNG ... 4-1 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 5-2 DAFTAR PUSTAKA ... viii

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Stasiun Hujan di Suatu DAS ... 2-4 Gambar 2. 2 Metode Polygon Thiessen ... 2-5 Gambar 2. 3 Metode Isohiet ... 2-6 Gambar 2. 4 Hidrograf Satuan Sintesis Nakayasa ... 2-16 Gambar 2. 5 Prinsip Hidrograf Satuan ... 2-18 Gambar 3. 1 Delineasi Batas DAS di Bendung Cot Tufhah ... 3-2 Gambar 3. 2 Peta Wilayah Administrasi Bendung Cot Tufhah Kabupaten Bireun ... 3-3 Gambar 3. 3 Peta Topografi Bendung Cot Tufhah ... 3-6 Gambar 3. 4 Peta Tata Guna Lahan Bendung Cot Tufhah Kabupaten Bireun .... 3-9 Gambar 3. 5 Grafik Uji Konsistensi PCH A Sebelum Dikoreksi ... 3-13 Gambar 3. 6 Grafik Uji Konsistensi PCH A Setelah Dikoreksi ... 3-14 Gambar 3. 7 Grafik Uji Konsistensi PCH C Sebelum Dikoreksi ... 3-15 Gambar 3. 8 Grafik Uji Konsistensi PCH C Setelah Dikoreksi ... 3-17 Gambar 3. 9 Grafik Uji Konsistensi PCH D Sebelum Dikoreksi ... 3-18 Gambar 3. 10 Grafik Uji Konsistensi PCH D Setelah Dikoreksi ... 3-19 Gambar 3. 11 Hasil Analisis Curah Hujan 2 Tahun ... 3-27 Gambar 3. 12 Hasil Analisis Curah Hujan 5 Tahun ... 3-28 Gambar 3. 13 Hasil Analisis Curah Hujan 10 tahun ... 3-29 Gambar 3. 14 Hasil Analisis Curah Hujan 25 Tahun ... 3-29 Gambar 3. 15 Hasil Analisis Curah Hujan 50 Tahun ... 3-30 Gambar 3. 16 Hasil Analisis Curah Hujan 100 Tahun ... 3-31 Gambar 3. 17 Hasil Uji Chi Square ... 3-32 Gambar 3. 18 Hasil Uji Smirnov ... 3-33 Gambar 3. 19 Hidrograf Debit Banjir ... 3-36 Gambar 3. 20 Grafik Q2 Debit Banjir ... 3-37 Gambar 3. 21 Hasil Evapotranspirasi dari Cropwat... 3-39 Gambar 3. 22 Grafik Debit Time Series Bendung Cot Tufhah... 3-41 Gambar 3. 23 Grafik Debit Andalan Bendung Cot Tufhah ... 3-43

(6)

Gambar 3. 24 Cross Long Section Debit Andalan ... 3-56 Gambar 3. 25 Cross Section ... 3-58 Gambar 3. 26 Cross Long Section Unsteady Flow ... 3-60 Gambar 3. 27 Cross Section Unsteady Flow Q10... 3-61

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Nilai Variabel Reduksi Gauss ... 2-10 Tabel 2. 2 Hubungan Reduce Mean (Yn) dan Banyaknya Sampel (n) ... 2-13 Tabel 3. 1 Data Jenis Tutupan Lahan ... 3-8 Tabel 3. 2 Luas Pengaruh Pos Curah Hujan ... 3-10 Tabel 3. 3 Hujan Wilayah Seebelum diKoreksi ... 3-11 Tabel 3. 4 Uji Konsistensi Stasiun A Sebelum Dikoreksi ... 3-12 Tabel 3. 5 Uji Konsistensi Stasiun A Sesudah Dikoreksi ... 3-14 Tabel 3. 6 Uji Konsistensi PCH C Sebelum Dikoreksi ... 3-15 Tabel 3. 7 Uji Konsistensi PCH C Setelah Dikroreksi... 3-16 Tabel 3. 8 Uji Konsistensi Stasiun D Sebelum Dikoreksi ... 3-17 Tabel 3. 9 Uji Konsistensi PCH D Setelah Dikoreksi ... 3-19 Tabel 3. 10 Nilai Kritis Tc untuk Distribusi t-Uji Dua Sisi ... 3-21 Tabel 3. 11 Data yang Telah Diuji Konsistensi ... 3-22 Tabel 3. 12 Data Uji Korelasi Stasiun A ... 3-23 Tabel 3. 13 Rekapitulasi Hasil Curah Hujan ... 3-31 Tabel 3. 14 Hujan Jam-Jaman PSA 007... 3-34 Tabel 3. 15 Data Hasil Debit Rencana Banjir ... 3-35 Tabel 3. 16 Debit Banjir Puncak ... 3-36 Tabel 3. 17 Debit Andalan Maksimum ... 3-40 Tabel 3. 18 Curah Hujan Efektif Padi ... 3-46 Tabel 3. 19 Tabel Curah Hujan Efektif Palawija ... 3-48 Tabel 3. 20 Rekapitulasi Curah Hujan Untuk Padi ... 3-49 Tabel 3. 21 Perhitungan Kebutuhan Air Masa Pengolahan ... 3-50 Tabel 3. 22 Perhiutngan Kebutuhan Alternatif I Daerah Irigasi Kr.Lebeu

Kabupater Bireun ... 3-51 Tabel 3. 23 Neraca Air Di Bendung... 3-54

(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bendung memainkan peranan yang sangat penting dalam mendukung sektor pertanian di Aceh, khususnya dalam penyediaan air irigasi yang berkelanjutan.

Melalui pengelolaan sumber daya air dan irigasi yang efektif, bendung dapat meningkatkan keberlanjutan produksi pertanian di wilayah ini. Oleh karena itu, desain bendung yang tepat menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa sistem irigasi berfungsi secara optimal.

Desain bendung memiliki beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan untuk mendukung irigasi di Aceh. Pertama, bendung berkontribusi signifikan dalam pengembangan sektor pertanian dan memenuhi kebutuhan air. Contohnya, Bendungan Rukoh di Kabupaten Pidie dirancang untuk mengairi lahan persawahan seluas 11.950 hektare, yang menunjukkan dampak positif bendung terhadap produktivitas pertanian. Dengan adanya bendung ini, Indeks Pertanaman (IP) dapat meningkat dari 191% menjadi 300%, memungkinkan petani untuk melakukan tiga musim tanam dalam setahun.

Kedua, investasi dalam pembangunan bendungan harus diimbangi dengan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi yang baik agar dapat memaksimalkan produktivitas sentra-sentra pertanian. Air yang dialirkan melalui bendung akan memberikan manfaat nyata bagi peningkatan hasil panen. Ketiga, pembangunan bendungan juga merupakan bagian integral dari upaya mencapai ketahanan air dan kedaulatan pangan di Provinsi Aceh. Dengan adanya bendung yang berfungsi dengan baik, ketersediaan air untuk pertanian dapat terjamin, mendukung stabilitas produksi pangan.

(9)

Selain itu, bendung juga berperan penting dalam pengendalian banjir, terutama di wilayah rawan banjir seperti Aceh. Misalnya, Bendungan Keureuto di Aceh Utara diharapkan dapat mengurangi risiko banjir dan melindungi lahan pertanian serta pemukiman dari dampak buruk banjir. Terakhir, bendung tidak hanya menyediakan air untuk irigasi tetapi juga dapat menjadi sumber air baku untuk kebutuhan air bersih. Bendungan Rukoh direncanakan dapat menyediakan air baku sebesar 0,90 m³/detik bagi 22.848 jiwa di Kecamatan Titeue, Kabupaten Pidie.

Dalam konteks ini, mata kuliah Perencanaan Bangunan Air memiliki peran sentral dalam desain bendung yang efektif. Mata kuliah ini memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk merencanakan, membangun, dan mengelola bendung secara berkelanjutan. Mahasiswa dibekali dengan pemahaman tentang prinsip-prinsip hidrologi dan hidraulik yang esensial dalam perencanaan bendung, termasuk perhitungan debit banjir dan analisis aliran air.

Selain itu, mahasiswa juga belajar cara menganalisis stabilitas struktur bendung terhadap berbagai gaya yang bekerja padanya serta pemilihan tipe bendung yang sesuai dengan kondisi lokasi dan kebutuhan irigasi. Evaluasi kinerja sistem irigasi juga penting untuk meningkatkan fungsi dan memperpanjang umur bendung yang telah dibangun. Dengan memahami semua prinsip ini, insinyur dapat merancang bendung yang tidak hanya efektif dan aman tetapi juga berkelanjutan, sehingga memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa analisis hidrologi yang dilakukan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut?

2. Berapa besar kebutuhan neraca air yang diperlukan?

3. Bagaimana ukuran dimensi bendung yang diperlukan untuk meningkatkan elevasi muka air?

(10)

Tujuan

Tugas Besar Perancangan Bangunan Air ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa mengenai berbagai aspek perencanaan bangunan air, khususnya dalam:

1. Memenuhi kebutuhan air irigasi dan mendukung sektor pertanian masyarakat di wilayah yang dilayani jaringan irigasi.

2. Meninggikan elevasi muka air sungai untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat setempat.

Ruang Lingkup dan Batasan Masalah Ruang Lingkup

Perancangan bendungan merupakan proses multidisiplin yang melibatkan berbagai aspek teknis, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Secara umum, ruang lingkup perancangan bendungan dapat dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut:

1. Studi Pendahuluan

Pada tahap ini, tujuan pembangunan bendungan diidentifikasi, termasuk kebutuhan air yang ingin dipenuhi dan manfaat yang diharapkan dari proyek tersebut.

2. Teori Hidrologi

Teori hidrologi digunakan untuk menganalisis data terkait air, seperti curah hujan, iklim, pola curah hujan regional, intensitas curah hujan, laju aliran air, serta pemodelan frekuensi dan volume banjir di suatu daerah.

3. Teori Irigasi

Teori ini berfungsi untuk merancang sistem irigasi secara menyeluruh dalam suatu wilayah, yang mencakup perhitungan debit air yang tersedia, estimasi kebutuhan air di berbagai lokasi, dan penilaian ketersediaan air dalam sistem irigasi.

4. Teori Bangunan Pengendali Air

Teori ini menjadi dasar dalam perancangan infrastruktur irigasi secara menyeluruh di daerah studi, termasuk menentukan dimensi dan kriteria desain struktur bendung yang diperlukan.

(11)

5. Perencanaan Teknis

a. Desain Bendungan: Memilih tipe bendungan yang sesuai dengan kondisi lokasi dan tujuan proyek, seperti bendungan gravitasi, bendungan urukan batu, atau bendungan beton bertulang.

b. Dimensi Bendungan: Menghitung dimensi bendungan seperti tinggi, panjang, dan lebar berdasarkan analisis hidrologi, geoteknik, dan struktur.

c. Struktur Bendungan: Merancang struktur bendungan agar mampu menahan beban air dan tekanan dengan aman.

Batasan Masalah

Dalam laporan perancangan bangunan air, sangat penting untuk menetapkan batasan masalah guna menjaga agar proses perancangan tetap terarah dan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Berikut adalah batasan masalah yang menjadi acuan dalam perencanaan:

1. Perancangan Sistem Pengairan dan Rekayasa Sungai

Penentuan lokasi studi dilakukan berdasarkan kelompok tertentu dengan memanfaatkan data sekunder dari Demnas yang dianggap valid dan relevan untuk mendukung analisis.

2. Perancangan Drainase dan Bangunan Air

Proses perancangan bangunan, termasuk bendung dan struktur air lainnya, dilakukan dengan mengacu pada pedoman teknis perencanaan irigasi tingkat dasar tahun 2016 untuk memastikan kesesuaian dengan standar yang berlaku.

3. Lokasi Studi Bangunan

Penentuan lokasi bendungan direncanakan pada sungai tertentu yang dipilih berdasarkan kebutuhan proyek serta mempertimbangkan aspek teknis dan manfaat yang diharapkan.

(12)

Lokasi Penelitian

(Sumber: Googel Earth)

Gambar 1. 1 Titik Bendung Cot Tufhah Patok L98

(13)

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Laporan Tugas Besar Perancangan Bangunan Air ini diorganisasikan dalam beberapa bab sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan

Bab ini memberikan gambaran umum mengenai laporan, meliputi latar belakang permasalahan, maksud dan tujuan dilakukannya perancangan, ruang lingkup pembahasan yang akan dicakup, serta sistematika penulisan laporan secara keseluruhan.

BAB 2 Tinjauan Pustaka

Bab ini menyajikan landasan teoretis yang relevan dengan perancangan bendung, dimulai dari pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS), konsep analisis hidrologi, hingga kriteria desain bendung yang mendasari proses perancangan.

BAB 3 Analisis Data

Bab ini membahas proses analisis data yang digunakan dalam perancangan bendung, mulai dari analisis parameter DAS di lokasi rencana bendung, delineasi batas DAS untuk memahami karakteristik wilayah, hingga analisis neraca air di lokasi yang sama guna memastikan ketersediaan air yang memadai.

BAB 4 Desain Bendung

Bab ini membahas berbagai data perencanaan yang akan digunakan dalam proses desain, yang mencakup: data teknis, pemilihan jenis bendung, spesifikasi mutu material, desain kolam olak, kantong lumpur, bangunan pembilas, bangunan pelengkap, serta analisis stabilitas struktur.

BAB 5 Kesimpulan dan Saran

Bab ini menyajikan kesimpulan dari analisis dan pengamatan yang telah dilakukan, serta memberikan saran untuk pengembangan atau perbaikan desain bendung di masa depan. Saran-saran ini mencakup aspek teknis, ekonomis, lingkungan, dan sosial, dengan tujuan meningkatkan efektivitas, keberlanjutan, dan dampak positif bendung bagi masyarakat dan lingkungan..

(14)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS adalah suatu area daratan yang dibatasi secara alami oleh topografi, seperti rangkaian bukit atau pegunungan. Area ini berperan sebagai penampung dan penyalur air hujan menuju sungai utama, yang selanjutnya mengalir ke laut atau danau. Peran DAS sangat vital dalam menjaga keseimbangan hidrologi dan ekosistem, karena kemampuannya dalam mengendalikan aliran air serta menopang keberlangsungan hidup berbagai jenis makhluk hidup.

DAS dapat dipahami sebagai suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari sungai utama dan seluruh anak sungainya. Fungsi utamanya mencakup:

1. Penampungan Air: DAS bertugas menerima curah hujan, yang kemudian disimpan baik di dalam tanah maupun di permukaan.

2. Penyaluran Air: Air yang telah tertampung akan disalurkan melalui sistem jaringan sungai hingga mencapai titik akhir seperti laut atau danau.

Terdapat beberapa karakteristik penting yang memengaruhi fungsi DAS, di antaranya:

1. Luas Area DAS: Semakin luas suatu DAS, semakin besar pula kapasitasnya dalam menampung dan mengalirkan air. Luas ini juga berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan air untuk mencapai sungai.

2. Kelerengan: Tingkat kemiringan lahan memengaruhi kecepatan aliran air.

Area dengan kemiringan yang lebih curam cenderung mempercepat aliran air.

3. Jenis Tanah dan Vegetasi: Jenis tanah menentukan seberapa baik air dapat meresap ke dalam tanah, sementara keberadaan vegetasi dapat memperlambat aliran air di permukaan serta meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah.

(15)

Berdasarkan posisinya dalam aliran air, DAS umumnya terbagi menjadi tiga bagian:

1. Hulu: Terletak di dataran tinggi dengan kemiringan yang curam, berfungsi sebagai sumber utama air.

2. Tengah: Memiliki topografi yang lebih landai, seringkali menjadi pusat permukiman dan aktivitas ekonomi masyarakat.

3. Hilir: Merupakan daerah datar yang rawan menjadi tempat penumpukan sedimen dan berisiko tinggi terhadap banjir.

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) seringkali menemui berbagai tantangan.

Beberapa permasalahan utama meliputi ketidakstabilan debit air, terutama saat musim kemarau yang menyebabkan kekeringan. Selain itu, kerusakan lahan di kawasan penampung air akibat aktivitas manusia, seperti deforestasi dan alih fungsi lahan, juga menjadi isu krusial. Erosi dan sedimentasi merupakan masalah lain yang dapat merusak ekosistem sungai, mengganggu kualitas air, dan mengurangi kapasitas tampung sungai. Terakhir, peningkatan volume limbah di sungai, baik dari limbah domestik maupun industri, menyebabkan pencemaran sumber daya air yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.

2.2 Analisis Hidrologi

Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari siklus air di bumi, mencakup pergerakan, distribusi, dan kualitas air. Siklus hidrologi melibatkan berbagai proses seperti penguapan, kondensasi, dan presipitasi, serta interaksi air dengan lingkungan.

Analisis hidrologi bertujuan untuk memahami proses-proses ini guna pengelolaan sumber daya air yang efektif dan berkelanjutan, termasuk pengumpulan dan analisis data hidrometeorologi serta penggunaan model hidrologi untuk memprediksi perilaku air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS).

(16)

2.2.1 Data Curah Hujan

Curah hujan merupakan elemen kunci dalam siklus hidrologi dan input utama dalam banyak model hidrologi. Data curah hujan yang akurat sangat penting untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya air, serta untuk analisis risiko banjir dan kekeringan. Data curah hujan diukur menggunakan penakar hujan manual dan otomatis, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penakar hujan manual sering digunakan di lokasi-lokasi tertentu, sementara penakar hujan otomatis memberikan data yang lebih konsisten dan real-time. Kualitas data curah hujan sangat penting; data yang hilang atau tidak akurat dapat mempengaruhi hasil analisis, sehingga berpotensi mengarah pada keputusan yang kurang tepat dalam pengelolaan air. Jenis data curah hujan meliputi harian, bulanan, dan tahunan, yang memungkinkan analisis tren jangka pendek maupun panjang. Metode pengumpulan data mencakup:

1. Penakar hujan manual: Alat sederhana yang memerlukan pembacaan manual untuk mengukur curah hujan.

2. Penakar hujan otomatis (tipping bucket, weighing type): Alat canggih yang dapat merekam data secara otomatis dan mengirimkannya ke sistem pemantauan.

Evaluasi kualitas data dilakukan melalui uji konsistensi dan pengisian data hilang untuk memastikan bahwa informasi yang diperoleh dapat diandalkan dan digunakan dalam analisis lebih lanjut. Dengan demikian, pengumpulan dan pemrosesan data curah hujan yang baik adalah langkah awal yang krusial dalam setiap studi hidrologi.

2.2.2 Data Klimatologi

Data klimatologi seperti suhu udara, kelembapan, kecepatan angin, dan radiasi matahari berpengaruh pada proses hidrologi seperti evapotranspirasi. Proses ini tidak hanya mempengaruhi ketersediaan air di permukaan tetapi juga berperan dalam mengatur iklim lokal dan global. Evapotranspirasi adalah proses penguapan air dari permukaan tanah dan transpirasi dari tumbuhan, yang penting dalam neraca air suatu wilayah, karena dapat menentukan seberapa banyak air yang tersedia untuk keperluan pertanian, industri, dan kebutuhan domestik. Elemen-elemen klimatologi yang relevan meliputi:

(17)

1. Suhu udara mempengaruhi laju penguapan; suhu yang lebih tinggi cenderung meningkatkan evapotranspirasi.

2. Kelembapan menentukan kapasitas udara untuk menyerap uap air;

kelembapan yang rendah dapat meningkatkan laju evapotranspirasi.

3. Kecepatan angin dapat mempercepat penguapan dengan meningkatkan pertukaran udara di permukaan.

4. Radiasi matahari sumber energi utama untuk proses penguapan; radiasi yang lebih tinggi akan meningkatkan laju evapotranspirasi.

Data klimatologi digunakan untuk menghitung evapotranspirasi potensial yang diterapkan dalam model hidrologi. Dengan memahami hubungan antara elemen- elemen klimatologi ini, para peneliti dan praktisi dapat lebih baik memprediksi ketersediaan air dan merencanakan strategi pengelolaan sumber daya air yang lebih efektif. Selain itu, analisis data klimatologi juga membantu dalam perencanaan mitigasi risiko terkait perubahan iklim dan dampaknya terhadap siklus hidrologi.

2.2.3 Analisis Curah Hujan Wilayah

Analisis curah hujan wilayah bertujuan untuk mendapatkan nilai curah hujan representatif untuk suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) berdasarkan data dari beberapa stasiun hujan. Hal ini penting karena curah hujan dapat bervariasi secara signifikan dalam suatu wilayah, dan analisis yang tepat dapat membantu dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya air. Metode analisis yang umum digunakan meliputi:

1. Metode Rerata Aritmatika (Aljabar)

Metode aljabar ini adalah metode mencari rerata suatu stasiun hujan seperti gambar dibawah ini:

(Sumber: Supriyadi 2019) Gambar 2. 1 Stasiun Hujan di Suatu DAS

(18)

Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun.

Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.

Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh persamaan berikut:

𝑃 =𝑃1+𝑃2+𝑃3

𝑛 ……….(2.1)

Dengan:

P = Hujan rerata kawasan

P1,P2,P3,…,Pn = Hujan di stasiun 1,2,3,..,n = Jumlah stasiun 2. Metode Thiessen

(Sumber: Supriyadi 2019)

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut.

Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Perhitungan poligon Thiessen seperti pada persamaan dibawah ini:

𝑃 =𝐴1𝑃1+𝐴2𝑃2+⋯+𝐴𝑛𝑃𝑛

𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛 ………..(2.2)

Gambar 2. 2 Metode Polygon Thiessen

(19)

Dengan:

P = Hujan rerata kawasan

P1,P2,…,Pn = Hujan pada stasiun

1,2,…,n A1,A2,…,An = Luas daerah stasiun 1,2,…,n

3. Metode Isohiet

Isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohiet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohiet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohiet tersebut. Metode isohiet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibandingkan dengan dua metode sebelumnya. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis seperti pada persamaan berikut:

𝑃 =𝐴1

𝐼1𝐼2

2 +𝐴2𝐼2𝐼32 +⋯+𝐴𝑛𝐼𝑛𝐼𝑛+12

𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛 ………..(2.3)

Dengan:

A1, A2,…, An = Hujan rerata kawasan I1, I2, …. ,In =garis isohyet ke

1,2,…,n,n+1 A1, A2,…,A3 = Luas daerah yang dibatasi oleh isohet ke 1 dan 2, 2 dan 3,…, n dan n+1

(Sumber: Supriyadi 2019) Gambar 2. 3 Metode Isohiet

(20)

2.2.4 Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah ukuran dari jumlah air hujan yang jatuh pada suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Intensitas ini biasanya diukur dalam milimeter per jam (mm/jam). Data intensitas curah hujan dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk stasiun meteorologi lokal, badan meteorologi nasional seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Indonesia, serta penelitian ilmiah yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Sumber data yang terpercaya sangat penting untuk memastikan keakuratan dan keandalan informasi mengenai intensitas curah hujan dalam suatu wilayah. Intensitas curah hujan merupakan salah satu parameter hidrologi yang penting untuk berbagai keperluan, seperti:

1. Perencanaan pembangunan infrastruktur

Intensitas curah hujan digunakan untuk merencanakan pembangunan infrastruktur yang aman dan efisien, sepessrti bendungan, irigasi, dan sistem drainase.

2. Pengelolaan sumber daya air

Intensitas curah hujan digunakan untuk mengelola sumber daya air secara berkelanjutan, seperti alokasi air, konservasi air, dan pencegahan pencemaran air.

3. Mitigasi bencana

Intensitas curah hujan digunakan untuk memetakan daerah rawan bencana dan mengembangkan sistem peringatan dini untuk banjir, kekeringan, dan sedimentasi.

4. Penelitian ilmiah

Intensitas curah hujan digunakan untuk melakukan penelitian ilmiah tentang siklus air, perubahan iklim, dan dampak manusia terhadap lingkungan.

BMKG mengklasifikasikan intensitas curah hujan berdasarkan nilai I dalam mm/jam sebagai berikut:

Hujan ringan: I < 50

Hujan sedang: 50 ≤ I < 100 Hujan lebat: 100 ≤ I < 150

(21)

Hujan sangat lebat: I ≥ 150

Analisis intesitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau. Intensitas hujan dapat dicari dengan berbagai metode seperti :

1. Metode Mononobe 2. Metode Sherman 3. Metode Talbot

4. Metode Ishiguro, dan lain-lain

Karena data curah hujan yang ada merupakan curah hujan harian maka menggunakan metode Mononobe. Rumus yang digunakan :

𝑖 =𝑅24

24 𝑥[24

𝑡]23………(2.4)

Dimana :

I = Intensitas curah hujan (mm/jam) T = Lamanya curah hujan (jam)

R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) 2.2.5 Koefisien Pengaliran (Run-Off Coeffisien)

Koefisien pengaliran (C) merepresentasikan perbandingan antara limpasan permukaan (run-off) dengan curah hujan yang terjadi. Besaran nilai C sangat dipengaruhi oleh karakteristik daerah tangkapan air, seperti jenis tanah, penggunaan lahan, kemiringan wilayah, serta kondisi vegetasi yang ada. Faktor-faktor ini menentukan proporsi air hujan yang menjadi aliran permukaan dibandingkan dengan air yang meresap ke dalam tanah. Koefisien pengaliran ini dimanfaatkan dalam metode rasional untuk memperkirakan debit puncak banjir, yang merupakan informasi krusial dalam merencanakan dan mendesain infrastruktur pengendalian banjir. Lebih lanjut, dengan memahami nilai C secara akurat, kita dapat mengevaluasi dampak perubahan penggunaan lahan dan kondisi lingkungan terhadap pola aliran air di suatu kawasan.

(22)

Oleh karena itu, koefisien pengaliran tidak hanya berperan sebagai alat analisis hidrologi, tetapi juga mencerminkan kondisi kesehatan ekosistem serta keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya air. Akurasi dalam menentukan nilai C sangatlah penting, sebab kesalahan dalam perhitungan dapat menghasilkan estimasi debit banjir yang kurang tepat, sehingga mempengaruhi efektivitas perencanaan dan upaya mitigasi risiko banjir.

2.2.6 Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi adalah suatu teknik statistik yang digunakan untuk mempelajari perilaku aliran udara dalam suatu sistem hidrologi. Analisis frekuensi hidrologi dapat digunakan untuk menghitung probabilitas kejadian banjir atau curah hujan yang berbeda-beda dalam suatu periode waktu tertentu (Wahyuni, 2021).

Analisis frekuensi merupakan teknik statistik yang digunakan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa hidrologi, seperti banjir, kekeringan, atau debit maksimum sungai, di masa depan. Teknik ini didasarkan pada data historis kejadian hidrologi dan asumsi tentang distribusi probabilitas kejadian tersebut.. Debit banjir maksimum ini kemudian digunakan untuk mendesain bendungan yang aman dan tahan lama (BPSDA, 2015).

Terdapat 4 metode dalam analisis frekuensi yaitu:

1. Distribusi Normal

Distribusi normal sering disebut sebagai distribusi Gauss atau distribusi bel normal, adalah salah satu distribusi probabilitas paling fundamental dalam statistika. Ini banyak digunakan untuk memodelkan variabel kontinu yang simetris dan berbentuk lonceng (bell curve) karena bentuknya yang simetris dan menyerupai sebuah lonceng. Distribusi normal memiliki dua parameter yaitu rata-rata (mean) dan simpangan baku (standard deviation).

𝑋𝑇 = 𝑋̅ + 𝐾𝑇𝑆………(2.5) 𝐾𝑇 =𝑋𝑇+𝑋̅

𝑆 ………..(2.6)

Keterangan:

𝐾𝑇 = Faktor frekuensi

(23)

𝑋𝑇 = Perkiraan nilai yang idharapkan terjadi dengan periode ulang T- tahunan

𝑋̅ = Nilai rata-rata nilai variat S = Devisiasi standar nilai variat

Untuk mempermudah perhitungan, nilai faktor frekuensi (𝐾𝑇) umumya sudah tersedia dalam tabel, disebut sebagai tabel nilai variabel reduksi Gauss (Variable reduced Gauss), seperti ditunjukkan dalam tabel berikut:

Tabel 2. 1 Nilai Variabel Reduksi Gauss No Periode Ulang T (tahun) Peluang KT

1 1.001 0.999 -3.05

2 1.005 0.995 -2.58

3 1.010 0.990 -2.33

4 1.050 0.950 -1.64

5 1.110 0.900 -1.28

6 1.250 0.800 -0.84

7 1.330 0.750 -0.67

8 1.430 0.700 -0.52

9 1.670 0.600 -0.25

10 2.000 0.500 0

11 2.500 0.400 0.25

12 3.330 0.300 0.52

13 4.000 0.250 0.67

14 5.000 0.200 0.84

15 10.000 0.100 1.28

16 20.000 0.050 1.64

17 50.000 0.020 2.05

18 100.000 0.010 2.33

19 200.000 0.005 2.58

20 500.000 0.002 2.88

21 1000.000 0.001 3.09

(24)

2. Distribusi Log-Normal

Distribusi log-normal adalah distribusi probabilitas yang umum digunakan untuk memodelkan variabel acak kontinu yang bernilai positif dan asimetris (miring). Kebalikan dari data normal yang simetris berbentuk lonceng, data yang mengikuti distribusi log-normal memiliki ekor panjang di sisi kanan, menandakan bahwa nilai-nilai yang lebih tinggi lebih mungkin terjadi dibandingkan nilai-nilai yang lebih rendah.Untuk distribusi Log Normal perhitungan curah hujan rencana menggunakan persamaan berikut ini:

𝑌𝑇 = 𝑌̅ + 𝐾𝑇𝑆………(2.7) 𝐾𝑇 =𝑌𝑇−𝑌̅

𝑆 ………...(2.8)

Keterangan:

𝑌𝑇 = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahun

𝑌̅ = Nilai rata-rata hitung variat S = Deviasi standar nilai variat 𝐾𝑇 = Faktor frekuensi

3. Distribusi Log-Pearson III

Distribusi Log-Pearson III (LP III) merupakan salah satu distribusi probabilitas yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi. Distribusi ini dipakai untuk memodelkan kejadian ekstrem berupa curah hujan maksimum atau debit air sungai maksimum. Distribusi Log-Pearson III memiliki tiga parameter yaitu mean, standard deviation, dan skewness (asimetri).

Faktor frekuensi untuk distribusi ini dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan sebagai berikut :

Besarnya curah hujan rata-rata dengan rumus:

𝑋̅ =1 𝑛∑ 𝑋𝑖

𝑛

𝑖=1

… … … (2.9)

(25)

Hitung standar deviasi dengan rumus:

𝑆𝑑 = √ 1

𝑛 − 1∑(𝑋𝑖 − 𝑋̅)²

𝑛

𝑖=1

… … … (2.10)

Hitung besarnya curah hujan untuk periode ulang t tahun dengan rumus:

𝑋𝑇 = 𝑋̅𝑌𝑇 − 𝑌𝑛

𝜎𝑛 𝑆𝑑 … … … . . (2.11) Keterangan:

𝑋𝑇 = Besarnya curah hujan untuk t tahun (mm)

𝑌𝑇 = Besarnya curah hujan rata-rata untuk t tahun (mm) 𝑌𝑛 = Reduce mean deviasi berdasarkan sampel n

𝜎𝑛 = Reduce standar deviasi berdasarkan sampel n 𝑛 = JUumlah tahun yang ditinjau

Sd = Standar deviasi (mm) 𝑋̅ = Curah hujan rata-rata (mm) 𝑋𝑖 = Curah hujan maksimum (mm)

(26)

Harga Yn berdasarkan banyaknya sampel n dapat dilihat pada table berikut ini :

Tabel 2. 2 Hubungan Reduce Mean (Yn) dan Banyaknya Sampel (n) No. Periode ulang T (tahun) Peluang KT

1 1.001 0.999 -3.05

2 1.005 0.995 -2.58

3 1.010 0.990 -2.33

4 1.050 0.950 -1.64

5 1.110 0.900 -1.28

6 1.250 0.800 -0.84

7 1.330 0.750 -0.67

8 1.430 0.700 -0.52

9 1.670 0.600 -0.25

10 2.000 0.500 0

11 2.500 0.400 0.25

12 3.330 0.300 0.52

13 4.000 0.250 0.67

14 5.000 0.200 0.84

15 10.000 0.100 1.28

4. Distribusi Gumbel

Distribusi Gumbel, juga dikenal sebagai distribusi nilai ekstrim tipe I atau distribusi log-Weibull, adalah distribusi probabilitas yang digunakan untuk memodelkan nilai maksimum (atau minimum) dari serangkaian data yang independen dan berdistribusi identik. Distribusi ini banyak digunakan dalam hidrologi untuk menganalisis data curah hujan, debit sungai, dan ketinggian muka air.

Variasi atau dispersi adalah besarnya derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Cara mengukur besarnya dispersi disebut pengukuran dispersi. Adapun cara pengukurannya antara lain:

(27)

a. Deviasi Standar

Simpangan Baku adalah besar perbedaan dari nilai sampel terhadap nilai rata-rata.

𝑆 = √∑𝑛𝑖=1(𝑋𝑖− 𝑋̅)²

𝑛 − 1 … … … (2.12) Dimana:

S = Deviasi standra curah hujan 𝑋̅ = Nilai rata-rata curah hujan

𝑋𝑖 = Nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i n = Jumlah data curah hujan

b. Koefisien Skewness ( Cs )

Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat ketidak simestrisan dari suatu bentuk distribusi.

c. Koefisien Variasi (Cv)

Koefisien variasi (variation coefficient) adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi.

𝐶𝑣 = 𝑠

𝑥̅… … … (2.13) Dimana:

Cv = Koefisien varian 𝑥̅ = Nilai rata-rata varian s = Deviasi Standar

Dari nilai-nilai di atas, kemudian dilakukan pemilihan jenis sebaran yaitu dengan membandingkan koefisien distribusi dari metode yang akan digunakan.

2.2.7 Analisis Debit Banjir Rencana

Analisis Debit Banjir Rencana (ADBR) adalah suatu metode perhitungan yang dipakai untuk memperkirakan debit puncak banjir yang mungkin terjadi pada suatu sungai atau wilayah aliran sungai (DAS) dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti situasi normal atau ketika terjadi bencana banjir. ADBR memegang peranan

(28)

penting dalam perencanaan dan pengelolaan sungai serta DAS karena dapat membantu mengidentifikasi daerah-daerah yang rentan terhadap banjir, merancang bangunan dan infrastruktur yang dapat melindungi dari banjir, dan memberikan kontribusi dalam pembuatan kebijakan pengendalian banjir. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Debit Banjir Rencana:

1. Karakteristik DAS: Topografi, geologi, tata guna lahan, dan kondisi tutupan vegetasi DAS memengaruhi laju aliran air dan debit banjir.

2. Curah Hujan: Intensitas dan durasi curah hujan maksimum berkontribusi signifikan terhadap besarnya debit banjir.

3. Kapasitas Infiltrasi: Kapasitas tanah untuk menyerap air hujan memengaruhi jumlah air yang mengalir ke sungai dan berkontribusi pada debit banjir.

4. Karakteristik Sungai: Bentuk, kemiringan, dan kekasaran dasar sungai memengaruhi kecepatan aliran air dan debit banjir.

Metode ADBR umumnya dilakukan dengan mengumpulkan data hidrologi dan topografi, seperti curah hujan, evapotranspirasi, luas DAS, jenis tanah, dan elevasi.

Kemudian data tersebut diolah menggunakan rumus-rumus matematis yang terkait dengan hidrologi, seperti metode Rational, SCS, dan HEC-HMS, untuk menghasilkan nilai debit banjir rencana yang diinginkan. (Haryono, 2012):

1. Metode Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Nakayasu

Persamaan umum hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut, dan dikoreksi untuk nilai waktu puncak banjir dikalikan 0,75 dan debit puncak banjir dikalikan 1,2 untuk menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

𝑄𝑝 = 𝐴 𝑥 𝑅𝑜

3,6(0,3𝑇𝑝+ 𝑇0,3)… … … (2.14) 𝑄 = 𝑇𝑔+ 0,8𝑇𝑟

𝑇𝑝 = 0,21 𝐿0,7 untuk L < 15 km 𝑇𝑔 = 0,4 + 0,058𝐿 untuk L < 15 km 𝑇0,3 = 𝑎 𝑇𝑔

(29)

Dimana:

𝑄𝑝 = Debit puncak banjir (m³/dt) A = Luas DAS (km²)

Ro = Curah hujan efektif (mm)

Tp = Tenggang waktu dari permulaan banjir sampai puncak banjir (jam) 𝑇0,3 = Waktu dari puncak banjir sampai 0,3 kali debit puncak banjir (jam) L = Panjang alur sungai (km)

𝑇𝑔 = Waktu konsentrasi (jam)

𝑇𝑟 = Satuan waktu drai curah hujan ( jam) 𝑎 = Untuk daerah pengaliran biasal diambil 2

2. Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gama I

(Sumber: Triatmodjo,2008)

Menurut definisi hidrograf satuan sintetis adalah hidrograf limpasan langsung (tanpa aliran dasar) yang tercatat di ujung hilir DAS yang ditimbulkan oleh hujan efektif sebesar satu satuan (1 mm, 1 cm, atau 1 inchi) yang terjadi secara merata di seluruh DAS dengan intensitas tetap dalam suatu satuan waktu (misal 1 jam) tertentu (Subramanya, 1984; Ramírez, 2000, Triatmojo, 2008).

Beberapa asumsi dalam penggunaan hidrograf satuan adalah sebagai berikut.

a. Hujan efektif mempunyai intensitas konstan selama durasi hujan efektif.

Untuk memenuhi anggapan ini maka hujan deras untuk analisis adalah hujan dengan durasi singkat.

Gambar 2. 4 Hidrograf Satuan Sintesis Nakayasa

(30)

b. Hujan efektif terdistribusi secara merata pada seluruh DAS. Dengan anggapan ini maka hidrograf satuan tidak berlaku untuk DAS yang sangat luas, karena sulit untuk mendapatkan hujan merata di seluruh DAS.

Prinsip penting dalam penggunaan hidrograf satuan dapat sebagai berikut:

a) Lumped response

Hidrograf menggambarkan semua kombinasi dari karakteristik fisik DAS yang meliputi (bentuk, ukuran, kemiringan, sifat tanah) dan karakteristik hujan.

b) Time Invariant

Hidrograf yang dihasilkan oleh hujan dengan durasi dan pola yang serupa memberikan bentuk dan waktu dasar yang serupa pula.

c) Linear Response

Repons limpasan langsung dipermukaan (direct runoff) terhadap hujan effektif bersifat linear, sehingga dapat dilakukan superposisi hidrograf.

Rumus standard untuk Time lag yang digunakan adalah penyederhanaan dari rumus Snyder sebagai berikut:

𝑇𝐿 = 𝐶𝑡0.81225𝐿0,6… … … (2.15) Dimana:

𝑇𝐿 = Time lag (jam)

𝐶𝑡 = Koefisien waktu (untuk proses kalibrasi) 𝐿 = Panjang sungai (km)

Waktu puncak Tp didefiniskan sebagai berikut

𝑇𝑝 = 𝑇𝑙+ 0.50𝑇𝑟… … … . (2.16) Dimana:

𝑇𝑝 = Waktu puncak (jam) 𝑇𝑙 = Time lag (jam)

𝑇𝑟 = satuan durasi hujan (jam) 𝐿 = Panjang sungai (km)

(31)

Untuk DAS kecil (A < 2 km2 ), menurut SCS harga Tb dihitung dengan 𝑇𝑏 =8

3𝑇𝑝… … … (2.17) Untuk DAS berukuran sedang dan besar harga secara teoritis Tb dapat berharga tak berhingga (sama dengan cara Nakayasu), namun prakteknya Tb dapat dibatasi sampai lengkung turun mendekati nol, atau dapat juga menggunakan harga berikut

𝑇𝑏 = (10𝑠

𝑑20) 𝑥 𝑇𝑝… … … (2.18)

(Sumber: Triatmodjo,2008)

3. Metode Rasional

Metode rasional hanya digunakan untuk menentukan banjir maksimum bagi saluran-saluran dengan daerah aliran kecil, kira-kira 40-80 km². Metode rasional ini dapat dinyatakan secara aljabar dengan persamaan sebagai berikut:

𝑄𝑡= 0.28 𝑥 𝐶 𝑥 𝐼 𝑥 𝐴 … … … (2.19) Dimana:

𝑄𝑡 = Debir banjir rencana (m³/detik)

𝐶 = Koefisien run off (koefisien limpasan)

I = Intensitas maksimum selama waktu konsentrasi (mm/jam) A = Luas daerah aliran (km²)

Gambar 2. 5 Prinsip Hidrograf Satuan

(32)

4. Metode Weduwen

Metode Weduwen Debit Banjir Rencana adalah salah satu metode yang digunakan untuk menghitung debit banjir dengan menggunakan data curah hujan dan data karakteristik daerah aliran sungai. Metode ini dikenal juga dengan sebutan Metode HSS (Huff, SCS, dan Sherman).

Metode ini terdiri dari beberapa langkah, antara lain:

a. Menghitung intensitas hujan rata-rata dengan menggunakan persamaan yang sesuai dengan daerah yang diteliti.

b. Menghitung curah hujan efektif dengan mengurangi kehilangan- kehilangan yang terjadi pada saat hujan jatuh.

c. Menentukan waktu konsentrasi dengan menggunakan beberapa faktor yang berkaitan dengan topografi daerah.

d. Menghitung debit puncak banjir dengan menggunakan persamaan Weduwen yang merupakan perpaduan dari persamaan Raschke dan Sherman.

Metode Weduwen Debit Banjir Rencana ini dapat digunakan untuk menghitung debit banjir dengan mempertimbangkan karakteristik daerah aliran sungai, sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat dibandingkan dengan metode yang hanya menggunakan data hujan saja.

Adapun syarat dalam perhitungan debit banjir dengan Metode Weduwen adalah sebagai berikut :

• luas daerah pengaliran < 100 km2

• (t) waktu konsentrasi 1 / 6 sampai 12 jam Rumus dari metode weduwen adalah sebagai berikut :

𝑄𝑡= 𝛼 . 𝛽 . 𝑞𝑛𝐴 … … … (2.20)

• Waktu Konsentrasi (t)

𝑡 = 0,25𝐿𝑄0,125𝐼−0,25… … … . . (2.21)

• Koefisien reduksi (𝛽)

𝛽 =120 + {(𝑡 − 1)(𝑡 + 9)}𝐴

120 + 𝐴 … … … . . (2.22)

(33)

• Hujan Maksimum (q) 𝑞𝑛 = 67,75

𝑡 + 1,45… … … (2.23)

• Koefisien runn off (α) 𝛼 = 1 − 4,1

𝛽𝑞𝑛+ 7… … … . (2.24) Dimana:

𝑄𝑡 = Debit banjir rencana (m³/dteik) 𝑅𝑛 = Curah hujan maksimum (mm/hari) 𝛼 = Koefisien pengaliran

𝛽 = Koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS 𝑞𝑛 = Debit persatuan luas (m³/det.km²)

t = Waktu konsentrasi (jam) A = Luas daerah pengaliran (km²) L = Panjang sungai (km)

I = Gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata sungai 10%

bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0,1 L dari batas hulu DAS 5. Metode Haspers, dll.

Metode Haspers digunakan pada luas DPS < 300 km2.

Rumus:

𝑄 = 𝛼 𝑥 𝛽 𝑥 𝑞 𝑥 𝐴

𝑡 = 0,1 𝑥 𝐿 0,8 𝑥 𝑖 − 0,30 𝛼 =1 + (0,012 𝑥 𝐴0,70)

1 + (0,075 𝑥 𝐴0,70)… … … . (2.25) 1

𝛽 = 1 +𝑡 + (3,70 𝑥 100,40𝑡) 𝑡2+ 15 𝑥𝐴70

12 … … … (2.26) Dimana:

Q = Debit banjir rencana pada periode ulang tertentu (m³/detik) 𝛼 = Koefisien limpasan air hujan

𝛽 = Koefisien pengurangan luas daerah hujan

q = Intensitas maksimum jatuhnya hujan rata-rata (m³/detik/km)

(34)

A = Luas daerah pengaliran sungai (km²) t = Waktu konsentrasi hujan (jam) L = Panjang sungai (km)

I = Kemiringan sungai

2.3 Analisis Evapotranspirasi

Evapotranspirasi (ET) adalah total air yang kembali ke atmosfer melalui dua proses utama: evaporasi dan transpirasi. Evaporasi merujuk pada penguapan air dari permukaan bumi, termasuk danau, laut, sungai, dan badan air lainnya. Sementara itu, transpirasi adalah proses di mana tanaman mengeluarkan uap air melalui stomata atau kutikula setelah menyerap air dari tanah melalui akar. Proses ini sangat penting dalam siklus hidrologi, karena evapotranspirasi berkontribusi pada pengelolaan sumber daya air dan penentuan kebutuhan air dalam rencana irigasi, yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas pertanian.

Evapotranspirasi Acuan (ETo) adalah ukuran evapotranspirasi yang terjadi pada tanaman rumput yang tumbuh aktif dengan ketersediaan air yang cukup. ETo biasanya digunakan sebagai standar untuk menghitung kebutuhan air tanaman lainnya, mengingat bahwa tanaman rumput memiliki karakteristik pertumbuhan yang konsisten dan dapat diandalkan. ETo dihitung berdasarkan berbagai faktor, termasuk radiasi matahari, suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Dengan mengetahui nilai ETo, para perencana irigasi dapat lebih efektif dalam menentukan jumlah air yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman di area pertanian.

Pentingnya analisis evapotranspirasi tidak hanya terletak pada pemahaman proses hidrologi, tetapi juga dalam penerapan praktisnya untuk pengelolaan air secara berkelanjutan. Data tentang evapotranspirasi membantu dalam perencanaan irigasi, pengelolaan sumber daya air, dan konservasi air. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi serta metode perhitungannya akan sangat bermanfaat bagi para insinyur dan ahli pertanian dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air di lahan pertanian.

Beberapa metode untuk menghitung evapotranspirasi meliputi:

(35)

1. Metode Penman-Monteith FAO: Metode ini direkomendasikan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) sebagai metode standar untuk menghitung evapotranspirasi dan dianggap paling akurat dalam berbagai kondisi iklim. Metode Penman-Monteith merupakan modifikasi dari metode Penman, di mana kebutuhan datanya juga sama. Namun, metode ini memerlukan data meteorologi yang lengkap, seperti suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin, radiasi matahari, dan tekanan uap air. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metode Penman-Monteith memberikan hasil terbaik dalam menentukan laju evapotranspirasi.

2. Metode Blaney-Criddle : merupakan metode yang lebih sederhana dibandingkan dengan Penman-Monteith dan hanya membutuhkan data suhu udara rata-rata, jumlah jam siang hari, dan koefisien tanaman empiris. Metode ini cocok untuk daerah luas dengan iklim kering dan sedang. Namun, metode ini memiliki keterbatasan dalam akurasi karena tidak memperhitungkan faktor-faktor meteorologi lain seperti kelembaban dan radiasi matahari.

3. Metode Thornthwaite : adalah metode yang paling sederhana di antara ketiganya, karena hanya memerlukan data suhu rata-rata bulanan. Metode ini sering digunakan di wilayah dengan iklim relatif basah. Namun, metode Thornthwaite memiliki akurasi yang paling rendah dibandingkan dengan metode lainnya, terutama jika terdapat data iklim lengkap yang tersedia karena hanya mempertimbangkan suhu udara.

2.3.1 Analisis Debit Andalan

Debit andalan (dependable flow) adalah ketika debit sungai tetap di bawah debit andalan sebesar 20%. Debit andalan ini dihitung untuk periode bulanan tengah, dan merupakan debit minimum sungai yang dapat diandalkan untuk keperluan irigasi, dengan kemungkinan terpenuhi sebesar 80%. Penentuan debit minimum sungai ini didasarkan pada data debit harian sungai selama minimal 10 tahun untuk memastikan analisis yang akurat dan dapat diandalkan. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, metode analisis hidrologi dan empiris biasa digunakan sebagai alternatif.

Dalam menghitung debit andalan, perlu mempertimbangkan pengambilan air dari hilir sungai. Namun, dalam prakteknya, debit andalan cenderung mengalami

(36)

penurunan seiring dengan perubahan fungsi daerah tangkapan air. Penurunan ini dapat mengurangi kinerja sistem irigasi dan mengakibatkan pengurangan lahan pertanian. Untuk mengantisipasi hal ini, perlu dilakukan koreksi dengan mengambil faktor sebesar 80% hingga 90% untuk debit andalan, bergantung pada kondisi perubahan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Perhitungan debit andalan diantaranya:

1. Data Curah Hujan

Rs = Curah hujan bulanan (mm) N = Jumlah hari hujan

2. Evapotranspirasi

Evapotranspirasi terbatas dihitung dari evapotranspirasi potensial metode Penman.

𝑑𝐸 = (𝑚

20) 𝑥 (18𝑛)𝑥 𝐸𝑡𝑜𝐸𝑡𝑙 … … … . . (2.27) Dimana:

dE = Selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi terbatas Eto = Evapotranspirasi potensial

Etl = Evapotranspirasi terbatas

M = Persentase lahan yang tidak tertutup vegetasi

= 10 – 40 % untuk lahan yang tererosi

= 30 – 50 % untuk lahan pertanian yang diolah 3. Keseimbangan Air Pada Permukaan Tanah

Rumus mengenai air hujan yang mencapai permukaan tanah, yaitu:

𝑆 = 𝑅𝑠− 𝐸𝑡𝑙 … … … . (2.28) 𝑆𝑀𝐶(𝑛) = 𝑆𝑀𝐶 (𝑛 − 1) + 𝐼𝑆 (𝑛)𝑊𝑆 = 𝑆 − 𝐼𝑆 … … … . (2.29) Dimana:

S = Kandungan air tanah

Rs = Curah hujan bulanan

Etl = Evapotranspirasi terbatas

IS = Tampungan awal / Soil Storage (mm) IS (n) = Tampungan awal / Soil Storage ke-n (mm)

(37)

SMC = Kelembaban tanah / Soil Storage Moisture (mm) Diambil diantara 50 – 250 mm SMC

(n) = Kelembaban tanah bulan ke-n SMC (n-1) = Kelembaban tanah bulan ke – (n-1) WS = Water suplus / volume air berlebih

4. Limpasan (Run Off) dan Tampungan Air Tanah (Ground Water Storange) Rumus:

𝑉(𝑛) = 𝑘 . 𝑉(𝑛 − 1) + 0,5 𝑥 (1 − 𝑘) 𝐼(𝑛) … … … (2.30) 𝑑𝑉𝑛 = 𝑉(𝑛) − 𝑉(𝑛 − 1) … … … . . (2.31) Dimana:

V(n) = Volume air tanah bulan ke-n V(n-1) = Volume air tanah bulan ke-(n-1)

k = Faktor resesi aliran air diambil antara 0 – 1,0 I = Koefisien infiltrasi diambil 0 – 1,0

5. Aliran Sungai

Aliran dasar = Infiltrasi – perubahan volume air dalam tanah

B (n) = I – Dv (n)

Aliran Permukaan = Volume air lebih – Infiltrasi

D (ro) = WS – I

Aliran sungai = Aliran permukaan + aliran dasar

Run Off = D (ro) + B (n)

2.3.2 Analisis Kebutuhan Air di Bendung

Analisis kebutuhan air di bendung merupakan studi penting untuk merencanakan dan mengelola sumber daya air, terutama untuk irigasi. Tujuannya adalah untuk menentukan jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan berbagai sektor, seperti pertanian, industri, dan rumah tangga, dengan mempertimbangkan ketersediaan air yang ada.

Dalam konteks irigasi, analisis kebutuhan air melibatkan perhitungan debit air yang diperlukan untuk areal persawahan. Proses ini dimulai dengan menentukan

(38)

evapotranspirasi acuan (ETo) menggunakan metode seperti Penman yang dimodifikasi, yang kemudian dikalikan dengan koefisien tanaman untuk mendapatkan nilai penggunaan konsumtif (consumptive use). Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan termasuk curah hujan efektif, perkolasi, dan pola tanam.

Selain itu, efisiensi saluran irigasi juga perlu diperhitungkan untuk menentukan kebutuhan air secara keseluruhan. Ketersediaan air di bendung dievaluasi dengan mempertimbangkan debit inflow dari sumber air seperti sungai dan curah hujan yang masuk ke bendungan. Analisis debit andalan juga dilakukan untuk mengetahui ketersediaan air minimum yang dapat diandalkan selama musim tanam.

2.3.3 Analisis Neraca Air di Bendung

Analisis neraca air di bendung merupakan suatu metode evaluasi yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara ketersediaan air dan kebutuhan air dalam suatu sistem bendung. Secara prinsip, analisis ini membandingkan jumlah air yang masuk ke bendung (inflow) dengan jumlah air yang keluar atau digunakan (outflow).

Tujuannya adalah untuk menentukan apakah bendung tersebut mengalami surplus (kelebihan air) atau defisit (kekurangan air).

Dalam analisis neraca air, ketersediaan air di bendung dihitung berdasarkan debit andalan, yaitu debit minimum yang dapat diandalkan pada tingkat probabilitas tertentu. Debit andalan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti curah hujan, limpasan permukaan, dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara itu, kebutuhan air di bendung umumnya didominasi oleh kebutuhan irigasi, namun juga dapat mencakup kebutuhan untuk air bersih, industri, dan lingkungan.

Konsep dasar neraca air dapat dirumuskan sebagai selisih antara ketersediaan air dan kebutuhan air, di mana surplus air terjadi jika ketersediaan air lebih besar daripada kebutuhan air, dan defisit air terjadi jika sebaliknya. Analisis neraca air sangat penting untuk pengelolaan sumber daya air yang efektif, perencanaan irigasi yang efisien, dan mitigasi risiko kekeringan.

Qo = Qa – Qi………(2.32) Dengan:

(39)

Qo = surplus atau defisit debit di bendung Qa = debit andalan di bendung

Qi = debit pengambilan irigasi di intake 2.4 Kriteria Desain Bendung

Kriteria desain bendung yang mengacu pada KP Irigasi-04 (Kriteria Perencanaan Irigasi - Bangunan) mencakup berbagai aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pembangunan bendung. Pertama, bangunan utama (headworks) berfungsi untuk mengatur pengambilan air dari sumber air, sehingga desain bendung harus mampu memenuhi kebutuhan irigasi secara efisien dan efektif. Hal ini melibatkan analisis hidrologi untuk menentukan debit banjir desain yang akan digunakan dalam perencanaan dimensi bendung dan bangunan pelengkapnya.

Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai kriteria tersebut:

1. Fungsi Bangunan Utama: KP-04 mengatur tentang bangunan utama (headworks) yang berfungsi untuk mengatur pengambilan air dari sumber air.

Bangunan utama meliputi bendung, intake, dan bangunan pelengkap lainnya.

Bendung berfungsi untuk menaikkan elevasi muka air sungai agar air dapat dialirkan ke intake, yang kemudian akan mendistribusikan air ke saluran irigasi.

2. Aspek Hidrologi: Analisis hidrologi penting untuk menentukan debit banjir desain. Debit banjir desain ini digunakan untuk merencanakan dimensi bendung dan bangunan pelengkapnya, seperti spillway atau pelimpah.

Spillway berfungsi untuk melewatkan air banjir yang berlebihan agar tidak merusak struktur bendung. Analisis hidrologi juga membantu dalam memperkirakan ketersediaan air selama musim kemarau dan menentukan kapasitas tampungan bendung.

3. Aspek Hidraulik: Analisis hidraulik digunakan untuk menghitung karakteristik aliran air di sekitar bendung. Hal ini mencakup perhitungan tinggi muka air, kecepatan aliran, tekanan hidrostatis, dan kehilangan energi akibat gesekan. Hasil analisis hidraulik digunakan untuk mendesain bentuk bendung, saluran intake, dan bangunan pelengkap lainnya agar aliran air dapat berjalan lancar dan efisien.

(40)

4. Aspek Geoteknik: Analisis geoteknik diperlukan untuk mengevaluasi stabilitas bendung dan fondasinya terhadap berbagai kondisi pembebanan.

Hal ini mencakup analisis stabilitas lereng, daya dukung tanah, dan potensi likuifaksi akibat gempa bumi. Hasil analisis geoteknik digunakan untuk menentukan jenis fondasi yang sesuai, dimensi bendung, dan perkuatan lereng jika diperlukan.

5. Persyaratan Teknis Minimal: Desain bendung harus memenuhi persyaratan teknis minimal yang ditetapkan dalam peraturan terkait. Persyaratan ini mencakup dimensi bendung, jenis material yang digunakan, metode konstruksi, serta persyaratan operasi dan pemeliharaan.

6. Data Kondisi Teknis: Dalam perencanaan bendung, perlu disiapkan data kondisi teknis yang akurat dan terbaru. Data ini mencakup data topografi, data geologi, data hidrologi, data hidrometri, dan data lingkungan. Data yang akurat akan menghasilkan desain yang lebih optimal dan mengurangi risiko kegagalan konstruksi.

(41)

BAB 3 ANALISIS DATA

3.1 Analisis Parameter DAS di Rencana Bendung

Analisis parameter Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam rencana bendung sangat penting untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya air. Berikut adalah beberapa parameter utama yang perlu dianalisis:

3.1.1 Delineasi Batas DAS di Rencana Bendung

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dibuat menggunakan berbagai aplikasi, salah satunya adalah ArcGIS, yang merupakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG).. Dalam proses pembuatan DAS menggunakan ArcGIS, langkah- langkah yang dilakukan meliputi pengumpulan data seperti peta topografi dan data elevasi digital (DEM), penentuan titik outlet untuk delineasi, serta penggunaan alat analisis hidrologi dalam ArcToolbox. Proses ini mencakup pengisian data, delineasi batas DAS, dan pengolahan data untuk menghasilkan peta DAS yang akurat dan informatif. Berikut merupakan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membuat Delianiasi Batas Daerah Aliran Sungai (DAS) di rencana bendung:

Di Bendung Cot Tufhah, proses delineasi batas Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menghasilkan identifikasi wilayah dengan total luas mencapai 7.259,85 hektar, yang terbagi menjadi tiga area pencairan (PCH) utama: PCH A dengan luas 3.009,31 hektar yang merupakan area terluas dari keseluruhan DAS, PCH C dengan luas 2.028,18 hektar sebagai area pencairan menengah, dan PCH D yang memiliki luas 2.224,04 hektar, dimana ketiga area pencairan ini memiliki karakteristik hidrologi yang berbeda namun bersama-sama membentuk sistem terpadu dalam menentukan pola aliran air permukaan dan infiltrasi yang bermuara ke Bendung Cot Tufhah, sehingga pemahaman mendetail tentang distribusi luas ini menjadi krusial dalam pengelolaan sumber daya air, perencanaan irigasi, serta upaya mitigasi banjir di kawasan tersebut.

(42)

3.1.2 Batas Administrasi DAS di Rencana Bendung

Batas administrasi Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan garis khayal yang memisahkan satu DAS dengan DAS lainnya, ditentukan berdasarkan punggung bukit atau titik-titik tertinggi di suatu wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa batas DAS mengikuti kontur alam dan tidak selalu sejalan dengan batas administratif pemerintahan.

Kabupaten Aceh Utara memiliki luas wilayah mencapai 154.766 hektar, sementara Kabupaten Bireun memiliki luas wilayah 7.104,83 hektar. Kedua kabupaten ini terletak di Provinsi Aceh dan memiliki karakteristik geografis yang beragam, mencakup wilayah dataran rendah, perbukitan, hingga pegunungan.

Penentuan batas DAS memiliki signifikansi penting dalam pengelolaan sumber daya air dan lingkungan. Berbeda dengan batas administratif yang ditentukan secara politis, batas DAS merupakan unit ekologis yang mencerminkan aliran air dari hulu ke hilir. Pemahaman tentang batas DAS diperlukan untuk pengelolaan sumber daya air terpadu, konservasi tanah, dan mitigasi bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Gambar 3. 1 Delineasi Batas DAS di Bendung Cot Tufhah

(43)

Dalam batas admistrasi ini terdapat pada gambar di bawah ini.

3.1.3 Kondisi Topografi DAS di Rencana Bendung

Topografi DAS adalah bentuk permukaan bumi yang mencakup kemiringan, elevasi, dan fitur geologi lainnya yang membatasi aliran udara dalam suatu kawasan. Topografi ini berfungsi sebagai pembatas alami (pembatas topografi) yang menentukan arah aliran air hujan menuju sungai.

Kondisi topografi Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat berpengaruh dalam perencanaan bedung, terutama untuk menentukan lokasi, desain, dan fungsi bedung.

Kondisi topografi Daerah Aliran Sungai (DAS) di rencana Bendung Cot Tufhah memiliki karakteristik penting yang mempengaruhi perencanaan teknis bedung.

Berikut adalah penjelasan rinci mengenai aspek-aspek topografi DAS yang relevan:

Kondisi topografi Daerah Aliran Sungai (DAS) di rencana Bendung Cot Tufhah memiliki karakteristik penting yang mempengaruhi perencanaan teknis bedung.

Berikut adalah penjelasan rinci mengenai aspek-aspek topografi DAS yang relevan:

Gambar 3. 2 Peta Wilayah Administrasi Bendung Cot Tufhah Kabupaten Bireun

(44)

1. Karakteristik Topografi DAS

• Kemiringan DAS

DAS di lokasi rencana Bendung Cot Tufhah memiliki variasi kemiringan dari landai hingga curam. Kemiringan yang curam cenderung menghasilkan aliran permukaan yang lebih cepat, sehingga mempengaruhi desain tikungan untuk mengendalikan debit udara secara efektif.

• Kerapatan Parit dan Saluran

Kerapatan parit atau saluran di DAS mempengaruhi waktu konsentrasi aliran udara. DAS dengan parit yang rapat cenderung memperpendek waktu konsentrasi, sehingga meningkatkan laju aliran permukaan dan potensi banjir.

2. Elevasi dan Morfologi

• Elevasi DAS

Elevasi di sekitar lokasi Bendung Cot Tufhah menunjukkan variasi yang signifikan, dengan beberapa titik mencapai ketinggian yang cukup tinggi. Hal ini mempengaruhi desain tinggi tikungan dan kapasitas tampungan udara untuk memenuhi kebutuhan irigasi serta pengendalian banjir.

• Morfologi DAS

Bentuk DAS di lokasi ini cenderung memanjang, yang dapat memperlambat konsentrasi aliran udara dibandingkan bentuk DAS yang lebih melebar. Morfologi ini mendukung distribusi analisis aliran air ke sungai utama secara bertahap, tetapi harus diperhitungkan dalam hidrologi.

3. Kondisi Geologi

• Jenis Tanah

Jenis tanah di DAS meliputi tanah dengan daya serap udara yang bervariasi, seperti podsolik merah kuning dan latosol. Tanah dengan perme rendah dapat meningkatkan aliran permukaan, sehingga penting untuk mempertimbangkan stabilitas tanah dalam desain struktur bedung.

(45)

• Stabilitas Lereng

Stabilitas lereng menjadi faktor penting karena daerah berbukit memiliki risiko longsoran. Evaluasi geoteknik diperlukan untuk memastikan keamanan struktur bedung di lokasi ini.

4. Tata Guna Lahan

• Vegetasi dan Tutupan Lahan

Vegetasi dan tata guna lahan mempengaruhi koefisien aliran permukaan (C). Lahan dengan vegetasi lebat cenderung memiliki nilai C rendah, menunjukkan kemampuan infiltrasi yang baik, sedangkan lahan terbuka atau terdegradasi meningkatkan risiko erosi dan aliran permukaan tinggi.

5. Hidrologi DAS

• Curah Hujan

DAS di sekitar Bendung Cot Tufhah menerima curah hujan yang cukup tinggi berdasarkan data dari stasiun hujan terdekat seperti Malikulsaleh, Takengon, dan Cot Girek. Pola curah hujan ini perlu dianalisis untuk menentukan debit banjir rencana serta kapasitas tampungan bedung.

• Debit Sungai

Debit sungai utama di DAS dipengaruhi oleh intensitas hujan dan kondisi topografi. Analisis hidrograf diperlukan untuk memahami pola aliran udara sepanjang tahun dan mendukung desain saluran pelimpah di bedung.

6. Dampak Lingkungan

• Lokasi Bendung Cot Tufhah berada dekat kawasan lindung sehingga perencanaan harus mempertimbangkan dampak lingkungan terhadap ekosistem sekitar, termasuk konservasi vegetasi alami dan pengelolaan sumber daya udara secara berkelanjutan.

(46)

Berikut ini peta topografi Bendung Cot Tufhah

3.1.4 Tata Guna Lahan DAS di Rencana Bendung

Menurut (Suripin, 2004) daerah aliran sungai atau sering disingkat dengan DAS adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukitbukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet).

Masukan dari DAS adalah curah hujan sedangkan keluarannya terdiri dari debit air dan muatan sedimen.

Batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsinya (Asdak, 2002) dalam (Umilia, 2012) berdasarkan fungsinya terbagi menjadi :

1. DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit) dan curah hujan.

Gambar 3. 3 Peta Topografi Bendung Cot Tufhah

Gambar

Gambar 1. 1 Titik Bendung Cot Tufhah Patok L98
Tabel 2. 1 Nilai Variabel Reduksi Gauss  No  Periode Ulang  T (tahun)  Peluang K T
Tabel 2. 2 Hubungan Reduce Mean (Y n)  dan Banyaknya Sampel (n)  No.  Periode ulang  T (tahun)  Peluang K T
Gambar 3. 1 Delineasi Batas DAS di Bendung Cot Tufhah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan nilai debit andalan dan nilai kebutuhan air irigasi yang diperoleh pada daerah layanan waduk, maka didapatkan gambaran neraca air Waduk Keuliling dan gambaran

Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ketersediaan air Sungai Kapur dengan debit andalan 90% adalah 138,6 liter/dtk Selain itu dari segi

Dalam penelitian ini, dilakukan perhitungan debit andalan Sungai Air Anak dengan perbandingan debit andalan Sungai Way Besai yang didapat dari pengolahan data debit yang tercatat

Dalam penelitian ini, dilakukan perhitungan debit andalan Sungai Air Anak dengan perbandingan debit andalan Sungai Way Besai yang didapat dari pengolahan data debit yang tercatat

Kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa debit andalan dari Sungai Tapung Kiri yang digunakan sebagai sumber air baku dalam sistem penyediaan air bersih mencukupi,

Dalam analisis ketersediaan air, karena pada daerah studi tidak terdapat debit aliran yang dapat digunakan untuk memperoleh potensi debit andalan, maka debit aliran sungai

Menentukan bukaan pintu spillway untuk debit ke hilir tertentu yang aman berdasarkan monitoring debit aliran sungai yang masuk ke tampungan waduk (konversi muka air ke debit

Maksud dari kajian ini adalah Menentukan debit inflow Waduk Keureutoe berdasarkan probabilitas debit dengan pembagian tiga jenis tahun operasi, Menentukan debit kebutuhan air Waduk