• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keputusan Fiktif Positif tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara

N/A
N/A
Astri

Academic year: 2023

Membagikan "Keputusan Fiktif Positif tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1. Terkait Pihak Ketiga yang keberatan/merasa dirugikan terhadap Keputusan Fiktif Positif yang diterbitkan, apakah Pihak Ketiga dapat menggugat Keputusan Fiktif Positif tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)? Jelaskan.

Jawab :

Berdasarkan perubahan yang disebutkan, terdapat beberapa perubahan mendasar terkait keputusan fiktif positif dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ("UU AP"). Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu dicermati beberapa poin berikut:

Sebelumnya, dalam UU AP yang asli, pemohon harus mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menggugat keputusan fiktif positif yang diterbitkan oleh badan atau pejabat pemerintahan.

Namun, dengan adanya perubahan tersebut, salah satu perubahan yang terjadi adalah bahwa permohonan secara otomatis dianggap dikabulkan secara hukum. Artinya, keputusan fiktif positif dianggap sah tanpa perlu melalui proses pengadilan.

Dalam konteks ini, perubahan tersebut menunjukkan bahwa Pihak Ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan fiktif positif tidak lagi dapat langsung menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam perubahan tersebut, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa PTUN akan menjadi mekanisme penyelesaian sengketa terkait keputusan fiktif positif.

Sebagai gantinya, perubahan tersebut menyatakan bahwa pemohon dapat mengajukan permohonan melalui sistem elektronik. Keputusan yang dihasilkan melalui sistem elektronik dianggap sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang. Oleh karena itu, jika Pihak Ketiga merasa dirugikan oleh keputusan fiktif positif, langkah yang dapat diambil adalah mengajukan permohonan melalui sistem elektronik yang ditentukan oleh aturan pelaksana UU AP.

Pihak Ketiga juga perlu memperhatikan bahwa perubahan tersebut mengharuskan dibentuknya suatu Peraturan Presiden yang menjadi payung hukum untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum. Oleh karena itu, dalam hal terdapat perselisihan atau sengketa terkait keputusan fiktif positif, Peraturan Presiden yang mengatur hal tersebut mungkin dapat memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang dapat diikuti oleh Pihak Ketiga.

Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih akurat dan terkini terkait kemungkinan penggugatan terhadap keputusan fiktif positif berdasarkan perubahan UU AP, disarankan untuk memeriksa peraturan perundang-undangan yang terkait, termasuk Peraturan Presiden yang dimaksud, dan berkonsultasi dengan ahli hukum yang berwenang di bidang administrasi pemerintahan atau hukum tata negara.

(2)

2. Apakah Keputusan Fiktif Positif berupa Izin yang telah diterbitkan dapat dilakukan Penarikan Kembali Keputusan (Ketetapan) oleh Pemerintah sebagai salah satu jenis Sanksi Administrasi?

Jelaskan.

Jawab :

Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan administrasi yang dianggap sah dan mengikat karena tidak ada tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dalam jangka waktu yang ditentukan untuk melakukan peninjauan atau banding terhadap keputusan tersebut. Dalam konteks tersebut, Keputusan Fiktif Positif berarti bahwa pemerintah telah memberikan izin atau persetujuan untuk suatu tindakan atau aktivitas yang sebenarnya tidak seharusnya diberikan izin tersebut.

Setiap negara memiliki sistem hukum administrasi yang berbeda, dan proses sanksi administrasi mungkin beragam. Dalam beberapa sistem hukum, penarikan kembali keputusan administrasi adalah tindakan yang memungkinkan pemerintah untuk membatalkan keputusan atau ketetapan yang telah diterbitkan. Namun, penarikan kembali keputusan tersebut harus dilakukan melalui prosedur yang ditetapkan oleh hukum, seperti pemberitahuan tertulis kepada pihak yang terkena dampak, kesempatan untuk memberikan argumen atau pembelaan, dan pertimbangan faktor-faktor yang relevan.

Tidak ada rujukan langsung terkait penarikan kembali keputusan fiktif positif dalam perubahan yang disebutkan pada Pasal 175 angka (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Dalam konteks umum, penarikan kembali keputusan administrasi dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai salah satu jenis sanksi administrasi. Namun, hal ini tergantung pada ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, untuk menentukan apakah penarikan kembali keputusan fiktif positif berupa izin dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai sanksi administrasi, perlu memeriksa peraturan perundang-undangan yang mengatur izin tersebut.

Jika peraturan perundang-undangan yang mengatur izin memuat ketentuan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menarik kembali keputusan yang diterbitkan secara fiktif positif, maka pemerintah dapat menggunakan penarikan kembali keputusan sebagai sanksi administrasi. Namun, jika tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur penarikan kembali keputusan dalam konteks keputusan fiktif positif, maka pemerintah mungkin harus mengikuti prosedur

(3)

dan persyaratan yang berlaku untuk pencabutan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang relevan.

Bahwa sanksi administrasi dan prosedur penarikan kembali keputusan dapat berbeda-beda tergantung pada sektor atau bidang yang diatur oleh izin tersebut, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut. Oleh karena itu, penting untuk merujuk pada peraturan perundang- undangan yang spesifik yang mengatur izin yang relevan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang kemungkinan penarikan kembali keputusan dalam konteks keputusan fiktif positif tersebut.

3. Jika menggunakan konsep sumber kewenangan Atribusi, Delegasi, dan Mandat, menurut anda lembaga manakah yang lebih tepat mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik?

Jelaskan! (Jawaban disertai dengan Peraturan Perundang-Undangan/Pendapat Pakar yang menjadi Referensi).

Jawab :

Dalam konteks penyelesaian kasus maladministrasi pelayanan publik, jika menggunakan konsep sumber kewenangan seperti atribusi, delegasi, dan mandat, peradilan tata usaha negara (PTUN) memiliki landasan hukum yang lebih tepat untuk mengadili kasus tersebut. Berikut adalah penjelasan mengapa PTUN lebih tepat sebagai lembaga untuk mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik:

1) Atribusi adalah wewenang yang langsung ditentukan oleh UU kepada Badan Pejabat TUN.

PTUN memiliki atribusi atau kewenangan yang secara langsung diberikan oleh undang-undang untuk mengadili perkara-administrasi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan landasan hukum yang jelas mengenai kewenangan PTUN dalam mengadili sengketa administrasi, termasuk kasus maladministrasi pelayanan publik.

2) Delegasi adalah wewenang yang diberikan dengan adanya penyerahan wewenang dari pemberi delegasi kepada penerima delegasi.

Penerima delegasi telah diberikan tanggung jawab untuk mengeluarkan Keputusan TUN untuk atas nama penerima delegasi itu sendiri. Undang-undang yang mengatur PTUN telah memberikan kewenangan kepada PTUN untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan tindakan atau keputusan administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Delegasi ini berarti bahwa undang-undang memberikan wewenang kepada PTUN untuk memeriksa dan memutus perkara yang terkait dengan maladministrasi pelayanan publik.

(4)

3) Mandat adalah wewenang yang diberikan kepada Mandataris (penerima Mandat) dari Mandans (pemberi mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atasnama Mandans (pemberi mandat).

Dalam hal ini tidak ada pengalihan wewenang dari Mandans kepada Mandataris. Tetap tanggung jawab ada ditangan Mandans (Pemberi Mandat). PTUN memiliki mandat yang jelas dalam menyelesaikan perkara-administrasi. Mandat ini mencakup penyelesaian sengketa administrasi, termasuk maladministrasi pelayanan publik. PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa keabsahan dan kepatuhan tindakan administrasi terhadap hukum, serta dapat memberikan putusan yang mengikat dan dapat dilaksanakan.

Selain itu, Pasal 51 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengatur bahwa PTUN memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di bidang tata usaha negara dan perbuatan melawan hukum (PMH) yang terkait dengan pelayanan publik. Hal ini menegaskan peran PTUN dalam menangani kasus maladministrasi pelayanan publik.

Peraturan perundang-undangan :

• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

• Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Dalam kasus maladministrasi pelayanan publik, lembaga yang lebih tepat untuk mengadili masalah tersebut akan tergantung pada sistem hukum dan struktur pemerintahan suatu negara. Dalam beberapa sistem hukum, yurisdiksi untuk mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik dapat diberikan kepada beberapa lembaga yang memiliki peran dan wewenang yang berbeda. Lembaga yang lebih tepat mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik, yaitu : Pengadilan Administrasi:

menangani kasus maladministrasi pelayanan public, Pengadilan administrasi memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili sengketa administratif antara warga negara dan pemerintah, termasuk sengketa terkait pelanggaran dalam pelayanan publik. Pengadilan administrasi sering kali memiliki kewenangan untuk memeriksa keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan mengeluarkan putusan yang mengikat. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

(5)

4. Buatlah bagan alur penyelesaian sengketa maladministrasi pelayanan publik baik melalui PTUN dan Ombudsman disertai dengan jangka waktu penyelesaiannya, dan ketentuan yang mengaturnya.

Jawab :

Bagan alur penyelesaian sengketa maladministrasi pelayanan publik melalui PTUN dan Ombudsman, beserta jangka waktu penyelesaiannya dan ketentuan yang mengaturnya:

Persidangan di PTUN Pengajuan Permohonan

ke PTUN

Putusan PTUN

Waktu: Tergantung pada kebijakan dan prosedur PTUN yang berlaku.

Ketentuan: Permohonan diajukan ke PTUN sesuai dengan ketentuan Pasal 51 dan Pasal 52 Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Waktu: Tergantung pada kompleksitas dan tingkat kepadatan jadwal persidangan PTUN, biasanya beberapa bulan hingga setahun.

Ketentuan: PTUN memeriksa dan memutuskan perkara yang terkait dengan maladministrasi pelayanan publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Waktu: Tergantung pada kompleksitas perkara dan kepadatan jadwal PTUN, biasanya beberapa bulan setelah persidangan.

Ketentuan: Putusan PTUN mengikat pihak terkait, dan dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung.

(6)

Bahwa waktu penyelesaian sengketa dan ketentuan yang mengaturnya dapat bervariasi tergantung pada kebijakan, prosedur, dan kompleksitas masing-masing lembaga (PTUN dan Ombudsman). Bagan diatas memberikan gambaran umum tentang alur penyelesaian sengketa maladministrasi pelayanan publik melalui kedua lembaga tersebut.

Pengajuan Pengaduan ke Ombudsman

Penanganan Pengaduan oleh Ombudsman

Putusan Ajudikasi Khusus Ombudsman

Waktu: Tergantung pada kebijakan dan prosedur Ombudsman yang berlaku, biasanya beberapa minggu hingga beberapa bulan.

Ketentuan: Pengaduan diajukan ke Ombudsman sesuai dengan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Waktu: Tergantung pada kompleksitas dan tingkat urgensinya, biasanya beberapa bulan hingga setahun.

Ketentuan: Ombudsman melakukan penyelidikan dan penyelesaian terhadap pengaduan maladministrasi pelayanan publik sesuai

dengan Peraturan

Ombudsman No. 31 Tahun 2018 Tentang Ajudikasi Khusus.

Waktu: Tergantung pada kompleksitas pengaduan dan proses ajudikasi khusus, biasanya beberapa bulan setelah penanganan pengaduan.

Ketentuan: Putusan ajudikasi khusus Ombudsman bersifat final dan mengikat pihak terkait, tidak dapat diajukan upaya hukum apapun sesuai dengan Pasal 10 UU Ombudsman.

Referensi

Dokumen terkait

Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

Putusan dari permohonan tersebut ialah Majelis Hakim berpendapat bahwa sebab sudah ada Undang-Undang 30 Tahun 2014, maka Pasal 3 UU 5 Tahun 1986 yang mengatur tentang

Bersama mi kami Sampaikan Laporan Keadaan Perkara, Jenis Perkara, Perkara Aktif Banding, Perkara Aktif Kasasi, Perkara Aktif Peninjauan Kembali, Pelaksanaan Prodeo,

Selain itu, dalam kaitannya dalam penerbitan Objek KTUN in casu, Majelis juga menegaskan hubungan antara Izin Lingkungan dan tata ruang, dengan mengutip ketentuan bahwa

Menurut Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Ketua Pengadilan perlu membuat surat yang menyatakan KTUN yang dinyatakan batal atau

Diadopsinya konsep Keputusan Fiktif Positif dalam UU Nomor 30/2014 tidak dengan seketika menyampingkan pemberlakuan Keputusan Fiktif Negatif, menurut Pasal 3 UU

Sedangkan pasal 1 angka 7 undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan menyatakan bahwa ― keputusan administrasi pemerintahan negara disebut keputusan tata usaha

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan: Bahwa sejak disahkannya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020, kewajiban Pengadilan Tata Usaha Negara