KHK dan Perjanjian Internasional
“Peranan Kanon 3 KHK pada Perjanjian Internasional”
Atanasius Yubileum Agung_206114004
1. Latar belakang
Kehidupan Gereja Katolik dewasa ini dihebohkan oleh berita soal sengketa pengangkatan uskup di Tiongkok. Problem dasarnya adalah perbedaan pendapat antara Vatikan dengan pemerintah Tiongkok. Di satu sisi Vatikan berpegang teguh pada prinsip bahwa pengangkatan uskup sebagai gembala untuk banyak keuskupan di berbagai negara adalah hak prerogatif Paus. Sementara di sisi lain Tiongkok juga berpegang teguh pada prinsipnya bahwa pemerintah boleh mengangkat uskup tanpa memerlukan izin dari Paus.
Kebanyakan uskup yang dipilih oleh pemerintah Tiongkok adalah anggota Gereja Katolik Patriot yang notabene bekerjasama dengan pemerintah setempat.1 Untuk mengatasi problematika itu maka dibuatlah perjanjian antara Vatikan dengan Tiongkok. Tujuannya adalah menjamin hak Gereja tetap terlaksana.
Cuplikan masalah di atas adalah satu dari segelintir contoh perjanjian yang dibuat oleh Gereja Katolik dengan negara lain. Hal tersebut didasari oleh eksistensi Gereja Katolik di dunia ini sangatlah kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya fakta bahwa Gereja Katolik yang berpusat di Vatikan dalam praktiknya tidak melulu mengurusi dirinya sendiri tetapi juga mengurusi relasinya dengan pihak-pihak lain, termasuk dengan negara-negara lain. Dalam relasinya dengan negara lain, Vatikan menjalin perjanjian yang bertujuan untuk menjaga kepentingan Gereja sekaligus mencapai kebaikan bersama.
Gereja Katolik secara khusus memberi perhatian mengenai perjanjian internasional ini dalam Kitab Hukum Kanonik kanon 3. Di sana diuraikan secara gamblang mengenai prosedur pelaksanaan perjanjian antara Vatikan dengan negara lain.
Perlu diingat juga bahwa perjanjian yang dibuat oleh Vatikan dengan negara-negara lain bukanlah perjanjian politis melainkan perjanjian pastoral. Hal tersebut tentu menjadi indikasi tidak adanya kepentingan politis, tetapi lebih sebagai upaya untuk menjamin
1 Dea, “China-Vatikan Perbarui Kesepakatan soal Pengangkatan Uskup,” CNN Indonesia, 22 Oktober 2020.
keberadaan dan hak umat Katolik yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Lalu bagaimana kanon 3 ini menunjukkan perannya dalam kehidupan Gereja Katolik di tengah dunia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan membahasnya dalam paper berikut.
2. Sumber Kanon
Dalam kegembiraan yang diperbarui dari biara yang paling terhormat ini, ada banyak kekhawatiran besar bagi kita, tetapi itu adalah yang paling penting untuk mengorganisir area yang lebih luas antara Gereja dan masyarakat sipil … (AAS 13 [1921] 521-524).
Apakah dalam konferensi kanon-kanon yang disebutkan dalam kan. 404, hukum- hukum tertentu telah dicabut, dicabut hak-hak istimewanya, dan kebiasaan-kebiasaan yang terkutuk, yang dengannya hukum-hukum kanonik yang sama ini hanya dapat diberikan kepada penduduk asli atau warga negara asli dari negara di mana gereja memiliki kedudukan, atau ini harus lebih diutamakan … (AAS 15 [1923] 128)
Tugas rasuli para Uskup diadakan oleh Kristus Tuhan dan mengarah kepada tujuan rohani dan adikodrati. Maka Konsili suci Ekumenis menyatakan, bahwa hak untuk menunjuk dan meng-angkat para Uskup merupakan hak Pimpinan gerejawi yang berwenang sendiri, yang bersifat istimewa dan pada hakikatnya eksklusif. Maka dari itu untuk melindungi kebebasan Gereja sebagai-mana harusnya, dan untuk memajukan kesejahteraan Umat ber-iman secara lebih sesuai dan lebih lancar, Konsili suci meng- hendaki, supaya selanjutnya pemerintah-pemerintah tidak lagi diberi hak-hak atau privilegi-privilegi untuk memilih, menunjuk, mengusulkan atau menetapkan seseorang bagi jabatan Uskup. Adapun pemerintah-pemerintah, yang sikap kesediaannya ter-hadap Gereja oleh Konsili suci diakui dengan rasa syukur dan sangat dihargai, dengan sangat hormat diminta, supaya – sesudah mengadakan perundingan dengan Takhta suci – dengan sukarela bersedia melepaskan hak-hak atau privilegi-privilegi tersebut, yang sekarang ini masih ada padanya berdasarkan perjanjian atau kebiasaan. (Dominus Christus 20).
… Jadi sebelum memulai studi tentang masalah tertentu dan sebelum mempertimbangkan sikap apa yang harus diambil vis-a-vis dunia, Gereja di sini dan
sekarang harus merenungkan sifatnya sendiri, lebih baik untuk menghargai rencana ilahi yang merupakan tugas Gereja. untuk melaksanakan. (Ecclesiam Suam I, 18§2).
Terutama dalam masyarakat yang bersifat majemuk, sangat pentinglah bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat kristen, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warganegara di bawah bimbingan suara hati kristiani, dan dipihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala mereka. … (GS 76).
3. Isi Kanon2 dan Intepretasi
Kan. 3 – Kanon-kanon Kitab Hukum ini tidak menghapus seluruhnya atau sebagian perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh Tahta Apostolik dengan negara atau masyarakat politik lain. Karena itu, perjanjian-perjanjian tersebut masih tetap berlaku seperti sekarang, walaupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini.
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon 3 masuk dalam bagian Buku I tentang norma umum. Sebagaimana dijelaskan di awal, kanon 3 dalam KHK berbicara soal perjanjian yang dibuat antara Vatikan dengan negara atau organisasi lainnya. Kanon 3 ini berbicara keterkaitan antara KHK dengan konkordat. Prinsip dari kanon 3 ini adalah relasi antara Gereja dengan negara. Dalam prinsip tersebut Takhta Suci menjalankan dua peran yakni diplomasi Gereje sekaligus diplomasi Gereja.3 Inspirasinya diambil dari Inijil Matius 22:21 tentang pemberian untuk kaisar dan Allah. Perikop tersebut menunjukkan prinsip dualistik kristiani. Adapun dasar dari kerjasama antara Gereja dan negara adalah prinsip independensi, prinsip kebebasan religius, prinsip previlegi, prinsip potestas in directa in temporalibus (Gereja tidak memiliki kuasa langsung atas perkara yang sifatnya duniawi).
2 Konfrensi Waligeraja Indonesia, Kitab Hukum kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia, (Bogor: Percetakan Grafika Mardi Yuana, 2016), 37.
3 Francesco Follo, Pontifical diplomacy, hence of the Pope and with the Pope: State Diplomacy and Church Diplomacy, https://www.assau.org/IMG/pdf/pontifical_diplomacy_msgr_francesco_follo.pd, diakses pada 27 Oktober 2021.
Diksi konkordat mengandung arti perjanjian bilateral antara takhta suci dengan negara atau perserikatan politis lain (PBB, FAO, UNESCO, dll).4 Bisa dikatakan bahwa konkordat adalah perjanjian bilateral antara otoritas Gerejawi dengan ororitas sipil. Apa yang dituliskan dalam KHK 1983 ini jauh lebih luas dalam mencakup pihak-pihak yang terikat perjanjian dengan Vatikan, sebab dalam KHK 1917 kanon ini hanya mencakup perjanjian dengan negara saja tanpa memasukkan perserikatan politis.5 Sementara itu secara garis besar kanon 3 menjelaskan bahwa keberadaan KHK 1983 tidak untuk menghapus atau mengubah konkordat yang dibuat oleh Vatikan dengan negara atau perserikatan politis tertentu sebelum adanya KHK 1983. Dengan demikian jika ada keinginan untuk mengubah maka konsekuensinya harus ada pertemuan bersama. Sebab sekali lagi perjanjian harus disepakati kedua belah pihak.
Keberadaan konkordat dalam Gereja Katolik adalah sebuah hal yang unik.
Konkordat muncul dari perkembangan Gereja Katolik di barat di mana kepausan diakui sebagai otoritas tertinggi Gereja katolik di dunia.6 Keotoritasan paus itu melampaui batas- batas politik, nasional dan budaya. Hal tersebut membuat kepausan sebagai otoritas tertinggi harus menjangkau juga banyak komunitas Gereja Katolik yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Di lain sisi setiap negara memiliki aturan hukumnya sendiri- sendiri. Maka mau tidak mau kepausan harus membuat konkordat dengan banyak negara agar bisa menjamin keberlangsungan hidup beragama umatnya.
Kanon 3 memberi perhatian khusus pada konkordat yang dibuat oleh Vatikan dengan entitas politik (negara maupun perserikatan politik). Yang terpenting dalam konkordat itu bukanlah nama tetapi isi dari konkordat itu sendiri. Ada dua jenis konkordat yakni konkordat umum yang mengatur semua hal terkait hubungan bilateral Gereja dengan negara. Sementara yang kedua adalah konkordat khusus yang lebih membahas soal protokol, cara hidup dan perjanjian yang lebih sederhana.Tujuan dari konkordat khusus ini adalah untuk mengamankan hak-hak Gereja mengenai pendidikan,
4 Agustinus Tri Edy, “Buku I Norma-norma umum bagian 1” (Diktat kuliah Pengantar Kitab Hukum Kanonik, 26 Oktober 2021), 11.
5 John P. Beal, James A Coriden, Thomas J. Green (ed.), New Commentary on The Code of Canon Law, (New York: Paulist Press, 2000), 50.
6 Roland Minnerath, “The Position of The Catholic Church Regarding Concordats from a Doctrinal and Pragmatic Perspective,” Catholic University Law Review47 (1998), 468.
kepemilikan dan penggunaan properti, kebebasan menjalankan iman.7 Pemberlakuan konkordat dibatasi oleh adanya kesepakatan dan penandatangan perjanjian oleh otoritas tertinggi dari Gereja dan sipil.
Di samping itu terdapat tiga teori sifat konkordat yaitu teori legal di mana negara menjadi sumber utama hukum dan pembuat konkordat. Yang kedua adalah teori previlegi dimana Gereja menjadi pembuat konkordat. Yang ketiga adalah teori kerjasama dimana Gereja dan negara bersama-sama membuat konkordat.
Yang menjadi dasar dari pemberlakuan kanon 3 ini adalah asas pacta sunt servanda. Asas tersebut memiliki arti bahwa pakta perjanjian haruslah ditaati dan mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Hal mengikat juga persetujuan yang dibuat antar badan hukum di dalam Gereja atau juga dengan rekanan di luar Gereja.
Asas ini pula yang dianut sebagai aturan dasar hubungan internasional. Pemberlakuan asas tersebut sebagai dasar bertujuan untuk melindungi isi pakta dari penolakan sepihak.8 Dengan menganut asas ini maka Kitab Hukum Kanonik dapat melindungi hak Gereja di negara yang tidak mau mengakui eksistensi Gereja. Dengan demikian misi pastoral Gereja tetap dapat berjalan.
Pada dasarnya ada beberapa hak Gereja Katolik yang wajib berlaku bagi semua komunitas katolik di dunia9 Hak-hak tersebut misalnya adalah otonomi otoritas yuridiksi Gereja Katolik (kan 113 §1 §2 §3). Dalam kanon tersebut disebutkan bahwa Gereja Katolik dan Takhta Apotolik merupakan persona moral atas penetapan hukum ilahi. Yang kedua adalah hal untuk mewartakan Injil dan memberi penilaian moral atas segala urusan manusia (kan. 747). Yang ketiga adalah hak untuk mendirikan dan mengarahkan sekolah Katolik (kan. 800), Hak untuk memajukan pembinaan dan pendidikan agama Kaolik di semua jenjang pendidikan (kan. 194,804,805,812). Hak untuk melatih menterinya sendiri (kan. 232). Yang keempat hak untuk mengankat dan mengirim utusan kepausan (kan.
362). Yang kelima hak untuk menetapkan aturan perkawinan bagi umatnya (kan. 1055 §2
7 John P. Beal, James A Coriden, Thomas J. Green (ed.), New Commentary on The Code of Canon Law, 51.
8 Angel Marzoa, Jorge Miras, and Rafael Rodriguez-Ocana (ed.), Exegetical Commentary on The Code Of Canon Law Volume I, (Illinois: Midwest Theological Forum Downers Grove, 2004), 231.
9 Angel Marzoa, Jorge Miras, and Rafael Rodriguez-Ocana (ed.), Exegetical Commentary on The Code Of Canon Law Volume I, 234-235.
dan 1059). Hak yang keenam adalah untuk memperoleh, mempertahankan, atau menjual barang-barang sementara untuk mencapai tujuannya sendiri (kan. 1259). Yang ketujuh adalah hak untuk menghukum dengan sanksi pidana bagi orang beriman yang melakukan delik (kan. 1311). Yang kedelapan hak untuk mengadili sendiri kasus gerejani (kan.
1404). Yang kesembilan hak dan kewajiban anaknya dalam pendidikan anak-anaknya (kan. 793, 796, 799). Yang kesepuluh adalah hak istimewa untuk menunjuk dan mengangkat uskup (kan. 377 § 5). Semua hak tersebut bersifat mengikat. Sehingga dengan demikian wajib dipatuhi tidak hanya oleh komunitas katolik di berbagai negara tetapi juga oleh pemerintah sipil di semua negara yang memilki komunitas katolik.
Ketika ada penolakan atas hak-hak tersebut barulah dibuat konkordat atas dasar kesepakatan bersama.
Adanya perjanjian internasional dengan berbagai pihak menunjukkan status yuridis Vatikan sebagai negara Internasional. Namun meskipun begitu dalam praktik bernegara Vatikan tidaklah membawakan diri sebagai komunitas politik. Vatikan hadir sebagai komunitas agama. Maka perjanjian yang dibuat Vatikan dengan negara lain bukanlah perjanjian antara institusi politik tertentu dengan Vatikan, tetapi lebih kepada otoritas berwenang dari Gereja Katolik dan sipil. Oleh karena itu gereja tidak bisa diintervensi oleh negara tertentu. Bahkan putusan pengadilan arbitrase internasional juga tidak bisa mengintervensi Gereja.10
4. Implikasi Yuridis
Implikasi yuridis dari kanon 3 dalam KHK 1983 adalah tetap berlakunya perjanjian yang dibuat oleh Vatikan dengan negara sebagai otoritas sipil. Sebagaimana dijelaskan di awal, perjanjian yang tetap berlaku itu terkait dengan pelaksanaan hak Gereja Katolik di seluruh dunia. Perjanjian tersebut sebenarnya berlaku untuk semua negara yang mengakui eksistesi Gereja Katolik sebagai komunitas keagamaan. Perjanjian baru dibuat bila ada negara-negara tertentu memiliki kebijakan berbeda terkait praktik keagamaan. Hal ini berlaku juga untuk negara yang tidak mengakui eksistensi Gereja katolik.
10 John P. Beal, James A Coriden, Thomas J. Green (ed.), New Commentary on The Code of Canon Law, 51.
Sementara itu bagi negara-negara yang membuat konkordat, bila ada keinginan untuk mengubah perjanjian tersebut maka harus ada pertemuan dan kesepakatan bersama sebagai bentuk pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda. Ketika perjanjian itu sudah ditegakkan maka otoritas sipil dalam hal ini negara-negara lain haruslah menghormati apa yang menjadi hak Gereja Katolik. Terlebih lagi hak tersebut sangat terkait dengan aspek keagamaan bukan politik. Maka di sini hak kebebasan beragama dijunjung tinggi.
Di samping itu hak-hak Gereja Katolik sebagai komunitas agama berlaku untuk semua negara secara khusus yang mengakui eksistensi Gereja Katolik. Hal yang sama berlaku pula bagi negara yang tidak mengakui eksistensi Gereja Katolik dan kemudian membuat konkordat bersama takhta suci Vatikan. Mereka wajib menerapkan hal yang sama dengan negara yang mengakui eksistensi Gereja Katolik. Pemberlakuan perjanjian yang dibuat berdasarkan kanon 3 berlaku untuk semua keuskupan di berbagai negara. Di mana ada komunitas umat katolik, maka di situ jugalah perjanjian itu berlaku. Sebab pada akhirnya, konkordat bukanlah soal hak istimewa belaka, tetapi lebih dari itu adalah pemenuhan hak asasi manusia. Melalui konkordat, Vatikan memenuhi tugasnya untuk memperlakukan umatnya secara setara.11
5. Daftar Pustaka
Beal, John P., James A Coriden, Thomas J. Green (ed.). New Commentary on The Code of Canon Law. New York: Paulist Press, 2000.
Dea, “China-Vatikan Perbarui Kesepakatan soal Pengangkatan Uskup,” CNN Indonesia, 22 Oktober 2020.
Edy, Agustinus Tri. “Buku I Norma-norma umum bagian 1” Diktat kuliah Pengantar Kitab Hukum Kanonik, 26 Oktober 2021.
Follo, Francesco. Pontifical Diplomacy, hence of the Pope with the Pope: State Diplomacy
and Church Diplomacy,
https://www.assau.org/IMG/pdf/pontifical_diplomacy_msgr_francesco_follo.pdf, diakses pada 26 Oktober 2021.
11 Roland Minnerath, “The Position of The Catholic Church Regarding Concordats from a Doctrinal and Pragmatic Perspective,” Catholic University Law Review47 (1998), 476.
Konfrensi Waligeraja Indonesia. Kitab Hukum kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia.
Bogor: Percetakan Grafika Mardi Yuana, 2016.
Marzoa, Angel., Jorge Miras, and Rafael Rodriguez-Ocana (ed.). Exegetical Commentary on The Code Of Canon Law Volume I. Illinois: Midwest Theological Forum Downers Grove, 2004.
Minnerath, Roland. “The Position of The Catholic Church Regarding Concordats from a Doctrinal and Pragmatic Perspective,” Catholic University Law Review 47 (1998), 467-476.