• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Reina dan Bayu: Antara Kesepian dan Kekaguman

N/A
N/A
Dwi Purwati

Academic year: 2025

Membagikan "Kisah Reina dan Bayu: Antara Kesepian dan Kekaguman"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Judul: “Dibalik Senyummu”

Reina selalu menjadi sosok yang mudah disukai. Ia tidak terlalu mencolok, namun kehangatannya membuat orang merasa nyaman di dekatnya. Mahasiswi baru di jurusan psikologi ini sudah terkenal karena prestasinya yang gemilang. Namun, ada satu hal yang tak banyak orang tahu:

meskipun ia memiliki banyak teman, Reina selalu merasa kesepian. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang pernah dimiliki, namun kini entah di mana.

Hari pertama kuliah, ia langsung bertemu dengan Bayu Adi Saputra, dosen muda yang mengajar mata kuliah Psikologi Perilaku Sosial. Bayu tampak seperti sosok yang sempurna: tampan, cerdas, dan sangat dihormati oleh mahasiswanya. Ia tidak pernah menunjukkan sisi lain dari dirinya—selalu tenang, selalu karismatik, selalu bijaksana.

Bayu yang menjadi idola kampus. Semua orang suka padanya.

Tapi ada satu hal yang membuat Reina terpesona lebih dari sekedar penampilan luar Bayu. Bayu memiliki cara berbicara yang bisa membuat seseorang merasa didengarkan. Setiap kata yang diucapkannya, meskipun sederhana, terasa begitu mendalam. Bayu bisa melihat apa yang orang lain coba sembunyikan, entah itu di kelas atau dalam percakapan santai.

Pada sesi perkenalan pertama, Bayu menyapa setiap mahasiswa di kelas dengan senyuman yang hangat. Ketika ia melihat Reina, ia menyebutkan namanya dengan penuh perhatian.

“Reina, ya? Senang bertemu denganmu.”

Reina hanya tersenyum kaku, namun hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kenapa nama ini terasa begitu familiar?

Tidak ada yang istimewa pada awalnya. Reina hanya menganggap Bayu sebagai seorang dosen yang kompeten, dan Bayu hanya melihat Reina sebagai mahasiswa yang cukup cerdas.

Namun, pertemuan demi pertemuan, mereka semakin dekat. Bayu mulai memperhatikan Reina lebih dari sekadar mahasiswa biasa. Terkadang ia memberi perhatian lebih pada tugas-tugas Reina, dan sering kali mereka menghabiskan waktu berbicara setelah kelas berakhir.

Malam itu, selepas kuliah Psikologi Sosial, Bayu menawari Reina untuk ikut berdiskusi tentang teori-teori psikologi yang baru saja diajarkan.

(2)

“Reina, kalau kamu ada waktu, aku ingin mendengar pandanganmu tentang beberapa teori ini,”

kata Bayu sambil tersenyum. “Kamu bisa datang ke kantor saya besok?”

Reina mengangguk. “Tentu, Pak Bayu. Saya akan datang.”

Bukan hanya karena ia tertarik pada materi kuliah, tapi juga karena ada rasa ingin tahu yang semakin besar terhadap Bayu—si dosen muda yang tampaknya selalu tahu cara berbicara tepat pada hati orang lain.

Keesokan harinya, Reina pergi ke kantor Bayu. Di dalam ruangan itu, suasananya terasa akrab meski pertama kali mereka berbicara lebih pribadi. Bayu bercerita tentang masa kuliahnya, tentang bagaimana ia memulai karier sebagai dosen, dan tentang berbagai hal yang kadang membuatnya merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan.

Reina mendengarkan dengan seksama, sesekali memberi komentar atau bertanya, dan Bayu selalu menjawab dengan serius. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Di ujung percakapan, Bayu menyarankan, “Mungkin kita bisa makan malam besok setelah kamu selesai kuliah. Aku ingin tahu lebih banyak tentang pandanganmu, Reina.”

Reina terkejut, tapi hatinya merasa hangat. “Baiklah, Pak Bayu.”

Sejak malam itu, hubungan mereka semakin dekat. Meskipun Bayu selalu berhati-hati dalam sikapnya, ada sesuatu dalam tatapannya yang tak bisa disembunyikan. Ada ketulusan, ada minat yang lebih dari sekadar hubungan dosen-mahasiswa. Dan untuk pertama kalinya, Reina merasakan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia tidak sendirian lagi.

Mereka mulai keluar bersama setelah kuliah, makan di tempat-tempat yang sederhana, berbicara tentang segala hal, dari psikologi hingga kehidupan pribadi. Bayu selalu bisa membuatnya tertawa, merasa nyaman, dan—entah kenapa—membuat Reina merasa lebih hidup.

Namun, semakin dalam perasaan itu tumbuh, semakin pula Reina merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ia tidak bisa menjelaskan perasaan itu, tapi kadang-kadang Bayu terlihat seolah-olah menyembunyikan sesuatu—sebuah rahasia gelap yang sulit terungkap.

Suatu malam, Reina memutuskan untuk bertanya langsung.

(3)

“Bayu, ada yang ingin saya tanyakan,” katanya, duduk di seberang meja di restoran tempat mereka biasa makan.

Bayu tersenyum. “Apa itu?”

“Ada yang terasa aneh. Kamu… terasa begitu baik, begitu sempurna. Kadang aku merasa ada sisi lain yang kamu sembunyikan. Tapi, mungkin aku hanya merasa aneh saja.”

Bayu menatap Reina dengan senyuman yang sedikit meredup. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Reina. Aku hanya… ingin kamu merasa nyaman. Itu saja.”

Reina hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang belum terungkap

—sesuatu yang begitu besar hingga kadang-kadang ia merasa dunia yang ia kenal seakan runtuh.

Namun ia tidak bisa menjauh. Semakin ia berusaha memahami Bayu, semakin ia terjebak dalam jaring yang dibuat oleh Bayu sendiri. Dan Bayu, dengan segala pesonanya, dengan segala kebaikannya, tampaknya tidak ingin melepaskannya.

Semakin Reina menginginkan kebenaran, semakin ia terperangkap dalam kebohongan yang tak ia sadari ada di depan matanya.

Bayu adalah lelaki yang sempurna—dan ia adalah rahasia yang tidak ingin Reina ungkapkan.

Sebab dalam hatinya, ia tahu: ada sesuatu yang buruk di balik senyum itu.

Dan, suatu saat nanti, semua akan terungkap dengan cara yang paling tak terduga.

Referensi

Dokumen terkait

Slripsi yang berjudul " Hubungan Kesepian dan Agresi Pada Anak Jalanan Usia Remaja', telah diujikan dalam sidang skripsi Fahltas Psikologi Universitas Mercu

Berangkat dari permsalahan di atas, penulis merasa perlu untuk membahasnya dikarenakan segmen paling menarik dalam kisah Yusuf ini adalah terkait bahwa bagaimana

Peserta diarahkan untuk merasakan kondisi psikologi yang tidak menyenangkan yang dirasakan pada saat melakukan Set-Up, yang pada penelitian ini mengarah pada perasaan kesepian yang

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim, LaRose, & Peng 2009 menunjukkan bahwa individu yang merasa kesepian serta tidak memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga