Nama : Fadilla Lukita Putri NPM : 213507072
Kelas : C
Mata kuliah : Manajemen konflik dan consensus politik
KONFLIK AMBON-POSO
Konflik Ambon dan Poso adalah dua konflik komunal besar yang terjadi di Indonesia pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, yang melibatkan kekerasan sektarian antara orang-orang Muslim dan Kristen. Ada beberapa penyebab terjadinya konflik ini yaitu Dimensi ekonomi (stratifikasi sosial) memegang peran penting dalam eskalasi konflik di Ambon, dengan perbedaan status sosial dan ekonomi antara penduduk Muslim dan Kristen dan Salah satu penyebab konflik Poso yaitu permasalahan yang berkaitan dengan problema historis yang menyangkut masalah penduduk asli Poso yang merasa termarjinalkan dengan keberadaan penduduk pendatang dari luar Poso. Perbedaan agama dan etnis antara penduduk Muslim dan Kristen di Ambon dan Poso, yang menyebabkan saling curiga dan adanya kekerasan seperti pembunuhan, pembakaran, dan pengrusakan tempat ibadah, Konflik di Ambon dan Poso juga dipengaruhi oleh pertikaian politik dan ekonomi, seperti persaingan antar pejabat pemerintah daerah mengenai posisi birokrasi dan pembagian kekuasaan tingkat kabupaten antara pihak Kristen dan Islam yang tidak seimbang, Factor pemicu dari konflik ambon sendiri itu adanya insiden kecil antara seorang sopir angkot Kristen Bernama yopi dan pemuda islam, yang segera membesar menjadi konflik agama (Islam dan Kristen) di Ambon, Maluku dan sekitarnya. Sedangkan konflik poso dipicu oleh pertikaian antar pemuda yang berbeda agama kemudian menjadi isu konflik masalah antar agama yang berbeda di Poso. Pada kenyataannya konflik paling banyak terjadi lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama. Actor utama dalam konflik Ambon dan Poso mencakup berbagai kelompok milisi local, pemimpin lokal, laskar jihad serta pemerintah. Keterlibatan mereka dalam konflik ini
menunjukkan kompleksitas dan multidimensionalitas konflik komunal yang terjadi, dengan campuran kepentingan agama, politik, dan sosial dan ekonomi.
Konflik Ambon dan Poso terjadi dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Kedua wilayah ini memiliki populasi yang beragam secara etnis dan agama dengan ketegangan lama antara orang-orang Muslim dan Kristen. Krisis ekonomi Asia 1997-1998, jatuhnya Suharto pada 1998, dan transisi politik menuju reformasi membawa ketidakstabilan yang memperburuk situasi. Program transmigrasi mengubah demografi lokal, sementara kesenjangan ekonomi dan perebutan kekuasaan politik menambah ketegangan. Intervensi militan eksternal seperti Laskar Jihad di Ambon dan Jemaah Islamiyah di Poso memperburuk konflik. Media sering memperburuk persepsi melalui penyebaran informasi yang tidak akurat, menambah dimensi terorisme dan kekerasan sectarian.
Konflik ambon dan poso ini melibatkan pihak lain seperti aparat keamanan, militer yang Dimana pada konflik ambon yang pada saat itu berlanjut ketika gereja Silo di kota Ambon dibakar masyarakat tanpa ada pencegahan yang berarti dari aparat keamanan. Adanya Bantuan militer kepada pihak Muslim. Peristiwa perusakan gereja Silo hanya sejauh 300 meter dari masjid Al Fatah, dan para tentara tampak menunjukan keberpihakan mereka. Perusakan gereja Silo itu merupakan pukulan yang simbolis bagi umat Kristen. Namun orang-orang Muslim tetap terperangkap di daerah kumuh yang sempit didekat pelabuhan kota. Atas kerusakan gereja Silo itu orang-orang Kristen membalas dengan cara membakar masjid terdekat yaitu masjid An-Nur. Dari situ dapat disimpulkan bahwa tidak siapnya aparat keamanan dalam menangani kerusuhan di Ambon akibat adanya “perang” antara kelompok sendiri di tubuh militer. Di satu sisi ada kelompok militer yang dikenal sebagai militer hijau, yang disebut-sebut dekat dengan kelompok Islam, disisi lain, ada kelompok yang dikenal sebagai militer nasionalis, dan dikenal dekat dengan kelompok pelangi, sebutan untuk gabungan kelompok “berwarna” . Ada persepsi bahwa pihak TNI/POLRI terlibat, atau minimal tidak netral, dalam konflik Maluku telah berkembang cukup luas di masyarakat. Bahkan, ketidak percayaan komunitas Maluku terhadap TNI/POLRI dalam mengatasi konflik Maluku boleh dikatakan demikian sangat besar. Pada konflik poso ini menimbulkan sentiment agama yang cukup tajam bagi agama Islam dan Kristen, karena momentum kejadian ini bertepatan dengan perayaan natal dan bulan
puasa yang juga kebetulan bertepatan dengan situasi politik yang sedang memanas terhadap isu permasalahan pemilihan Bupati di Poso. Terjadinya peristiwa ini kemudian oleh oknum elit politik lokal dijadikan alat untuk menghimpun dan memobilisasi massa berdasarkan agama untuk mendukung kepentingan politiknya dalam persaingan pemilihan jabatan bupati baru di Poso, sehingga peristiwa yang awalnya berupa perkelahian antar pemuda ini kemudian menjadi isu konflik masalah antar agama yang berbeda di Poso. Terlibatnya sejumlah tokoh agama ataupun elit sosial dalam konflik sungguh sangat disesalkan karena bukannya membuat massa kelompoknya untuk berdamai dan menghentikan konflik, di sini justru terlibat atau melibatkan diri dalam konflik, sehingga membuat konflik menjadi semakin rumit dengan nuansa perang agama. Idealnya tokoh agama dan elit sosial ini ketika konflik terjadi di Poso hendaknya berperan untuk memberikan pemahaman dan pengarahan kepada masyarakat agar tidak terpancing ataupun terlibat dalam kerusuhan, karena sesungguhnya konflik yang terjadi bukanlah kekerasaan yang bernuansa agama tetapi konflik pertikaian antar elit politik yang mempolitisasi agama dan etnis untuk mencapai kepentingannya.
Kedua konflik ini banyak memakan korban jiwa tercatat 3.257 orang tewas dan 2.635 orang luka-luka. Ironisnya korban yang berjatuhan adalah perempuan dan anak-anak yang tidak bersalah, dan dari peristiwa tersebut menyebabkan kerusakan Tempat-tempat ibadah baik umat Islam maupun Kristen rusak/terbakar banyak juga yang dirugikan dari konflik tersebut seperti pada konflik ambon yang Dimana seluruh pusat ekonomi (kebanyakan Cina) di Jalan A.J. Patty dibakar habis sehingga para pengusaha Cina eksodus dari Ambon. Konflik di poso semula berupa konflik realistik yaitu konflik persaingan antar elit politik yang sedang memperebutkan jabatan kekuasaan di Poso, kini berubah menjadi konflik non realistik yaitu konflik yang jadi bernuasa SARA. Konflik yang terjadi telah mengindikasikan ke arah perang saudara yang melibatkan ideologi berdasarkan isu agama dan etnis.
Kerusuhan yang terjadi di ambon dan poso merupakan hasil rekayasa yang sudah disetting untuk tujuan tertentu. Upaya penyelesaian dari konflik poso Salah satu yang paling berarti dan berpengaruh adalah Deklarasi Damai Malino I pada desember 2001, dan juga melakukan perbincangan antar kedua pemuka agama. Upaya damai ini bermula dari inisiatif pendeta A. Tobondo yang menghubungi Menteri Koordinasi
Politik Hukum dan Keamanan (Susilo Bambang Yudhoyono), Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat (Jusuf Kalla) dan Menteri Pertahanan (Abdul Jalil), untuk segera mengupayakan perdamaian di Poso yang Dimana didilam isinya terdapat 10 point penting salah satunya yaitu menghentikan segala bentuk konflik. Deklarasi ini diwadahi pemerintah yang diwakili oleh Jusuf Kalla selaku Menteri dengan 25 wakil kelompok Muslim, 25 wakil kelompok Kristen, 7 orang mediator, dan 24 unsur peninjau (Awaludin, 2009: 58). Walaupun konflik di Poso sudah bisa diredam dan kondisi keamanan sudah kembali kondusif Pasca Deklarasi Malino. Konflik Poso ternyata masih menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah karena pasca konflik muncul permasalahan baru yakni isu terorisme di Poso, Sulawesi Tengah. Selain itu ada beberapa resoljsi lain yaitu Rujuk Sintuwu Maroso atau ‘Membangun Kesatuan yang Kuat’. Pada 22 Agustus 2000, Presiden Wahid datang ke Poso dan kesepakatan Rujuk Sintuwu Maroso dibacakan didepan Presiden, dan Instruksi Presiden No.14/2005 yang menekankan pendekatan yang terkoordinasi dan komprehensif untuk menyelesaikan konflik Poso dengan melaksanakan Deklarasi Malino. Hal ini menunjukkan bahwa Deklarasi Malino masih jauh dari hasil yang diinginkan. POKJA- RKP (kelompok kerja rekonsiliasi konflik Poso) melakukan beberapa aktivitas di Palu sebelum Malino I, termasuk menjadi tempat netral untuk kedua belah pihak yang berselisih untuk berbicara satu sama lain. Hal ini membangun kesadaran yang lebih besar di Palu mengenai situasi di Poso dan meningkatkan keyakinan mereka yang terlibat konflik untuk berbicara mengenai masalahnya. Namun, kerja-kerja Pokja ini tidak cukup berhasil karena dilakukan dari Palu dan bukan dari Poso sendiri. Akhirnya kelompok kerja ini menjadi Pusat Rekonsiliasi Konflik Poso (PRKP) dan memindahkan basis aktivitasnya ke Poso. Untuk konflik di maluku/ambon sendiri, Pada 12 Februari 2002 perdamaian mulai terwujud di antara kedua kelompok yang bertikai, ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Malino II di Sulawesi.
Penandatanganan perjanjian tersebut membuat aksi kekerasan mengalami penurunan secara signifikan, di mana 87 orang dilaporkan meninggal dunia selama kurun Maret-Desember 2002 (Ansori, 2015: 30). Perjanjian Malino II juga menandai sebuah titik balik dalam pendekatan pemerintah untuk mengelola konflik. Baik pemerintah daerah dan pusat menganggap perjanjian damai tersebut menandai dimulainya fase pemulihan konflik. Berbagai LSM dan masyarakat sipil juga beralih dari penyedia bantuan darurat ke aktivitas pembangunan perdamaian.
Actors Kepentingan Terbuka
Kepentingan Tersembunyi
Keterkaitan Dengan Isu Lain
Sumberdaya yang dimiliki
Sumberdaya yang Diperlukan
Local Konflik agama (SARA)
karena adanya mayoritas dan minoritas agama islam dan Kristen.
besarnya konflik kepentingan politik yang Dimana
adanya perebutan kekuasaan.
Ketimpangan ekonomi/
kesenjangan sosial dan Persaingan ekonomi,sosia l dan politik.
1. Lahan pertanian dan
perkebunan 2. Jabatan
penting dalam
pemerintaha n lokal
1. Tanah dan properti seperti lahan 2. Jabatan
Nationa l
Pemerintah pusat
berkepentinga
n untuk
mengendalika
n serta
menyeleaikan kekerasan agar tidak menyebar ke wilayah lain dan
mengancam integritas nasional.
Politisi dan pemimpin tertentu mungkin memanfaatka n sentimen agama dan etnis untuk memperoleh dukungan politik
Kebijakan desentralisasi pasca-
Soeharto menciptakan persaingan
baru dan
ketidakpastian dalam
distribusi kekuasaan dan sumber daya.
1. Militer 2. Kekuasaan
politik 3. Anggaran
nasional
1. stabilitas dan keamanan nasional 2. legitimasi
politik
3. partisipasi dan inklusi sosial untuk efektif menyelesaika n konflik di Ambon dan Poso