BAB V
PROSES RELASI KOMUNITAS MUDA-MUDI
DALAM MEMBANGUN JARINGAN
Latar Belakang
Mengenai peran komunitas muda-mudi yang menggunakan media sosial untuk menghadapi pengaruh segregasi masa konflik dan pascakonflik di Maluku, harus diperhatikan secara komperhensif. Pengaruh mereka sesungguhnya telah hadir pada masa konflik bahkan jauh lebih berkembang pada masa pascakonflik. Karena itu, proses ini akan dimulai dengan memberikan gambaran terkait dengan komunitas muda-mudi masa konflik dan pascakonflik.
Komunitas Muda-Mudi Masa Konflik
1. Provokator Damaia. Latar Belakang
Istilah“Peace Provocateurs” menjadi populer ketika Sidney Jones
merilisnya dalam laporan International Crisis Group (ICG) tentang peristiwa di Ambon, September 2011. Sejak saat itu konsep ini selalu dikaitkan dengan penggunaan multimedia untuk mencegah perluasan kericuhan bernuansa agama di Kota Ambon menjadi konflik masa, pada bulan Sepetember 2011.
Provokator damai hadir dari aktivitas seorang rohaniawan Kristen, yakni Jack Manuputy dan rohaniawan Islam, yakni Abidin Wakano. Disadari sungguh bahwa sejak zaman kolonial, secara geografis masyarakat Maluku sudah tersegregasi menurut agama [Negeri Islam, Negeri Kristen]. Meskipun di kota Ambon terjadi percampuran antara dua komunitas tersebut, tetapi masih tetap ada wilayah yang diduduki mayoritas umat tertentu, seperti di Batu Merah, Kudamati, Kebun Cengkih dan Wayame. Setelah kerusuhan tahun 1999, segregasi itu menjadi total di seluruh wilayah Ambon, kecuali di daerah Wayame masih bercampur karena dihuni oleh tentara, dosen-dosen dan karyawan pertamina.1 Lantas dengan kenyataan itu, apa yang mesti dilakukan? Hal demikian, coba dijawab dengan jalan mendirikan komunitas provokator damai. Pertanyaan dasar
menyangkut terminologi ini adalah “apakah etis menggunakan istilah provokator damai dalam membangun jurnalisme damai?”
Provokator selama ini selalu diidentikan dengan “orang yang menggerakan,” memprovokasi orang lain untuk melakukan kekerasan, atau bahkan konflik. Secara etimologis makna denotatif dari provokator adalah “menggerakan.” Provokasi menunjuk pada sebuah tindakan atau kondisi yang mendorong orang untuk merasakan atau bertindak. Ini makna yang sifatnya sangat netral. Ia menjadi negatif, ketika makna konotatif dibingkaikan terhadapnya. Karena itu, penggunaan istilah provokator damai bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan secara etis. Provokator damai artinya orang yang menggerakan orang lain untuk membangun perdamaian.2
Dalam kaitan dengan damai, istilah ini memaknakan sebuah gerakan untuk mengkondisikan dan mempercepat perdamaian, atau gerakan untuk mencegah berkembang dan meluasnya konflik. Pertanyaan berikutnya yang dialamatkan pada kami, “apakah damai perlu digerakan, bukankah itu harus terjadi secara alamiah”? Terkait dengan upaya pengelolaan konflik dan perdamaian, banyak orang mengatakan perdamaian akan terjadi secara natural bila kondisi-kondisi yang dibutuhkan telah tersedia. Pandangan ini tentunya benar, tetapi kondisi yang dibutuhkan bisa juga dikreasi dan didorong percepatan pembentukannya.
Kedamaian masyarakat merupakan akumulasi dari rasa damai setiap individu, yang disumbangkan ke dalam jalinan dan jaringan sosial yang ada (kemudian dikompilasi dan diverifikasi untuk memperoleh standar minimum bersama tentang perdamaian kolektif). Persoalannya, tidak semua orang memiliki dinamika yang sama untuk mendorong percepatan kontribusi kedamaian individual itu menjadi kedamaian bersama.
b. Tujuan
Tujuan Provokator Damai adalah
1. Menyuarakan Perdamaian Bagi Masyarakat Maluku
2. Mengantisipasi seruan-seruan perpecahan yang dapat menambah aura konflik di Maluku
3. Menggunakan media sosial, sarana individu, serta berbagai dakwah agama untuk mengubah paradigma berpikir masyarakat Maluku.3
Gambar 4.1 salah satu aktivis Provokator Damai, Suretz Tomaluweng Sumber foto: Fileks. Tanggal 4 Oktober 2016
c. Pola Pengembangan
Pola Pengembangan Provokator damai dapat dilihat berikut ini : 1. Menggunakan media alternatif untuk melawan media
mainstream. Saat kericuhan yang terjadi pada September 2011 lalu, media massa nasional sudah memposisikan peristiwa itu seperti tahun 1999 dengan bahasa “kerusuhan”. Gerakan ini kemudian berusaha “mengepung” media-media tersebut supaya tidak menyajikan bahasa yang provokatif, dan akhirnya 4 jam kemudian kata “kerusuhan” diganti menjadi “kericuhan”. Setelah itu, gerakan yang terdiri dari pemuda lintas iman ini, terus memonitor perkembangannya dan melakukan updating data selama 24 jam. Dalam hal ini mereka membagi-bagi tugas, ada yang collecting data, verifikasi data, klasifikasi isu-isu dan ada yang melakukan perlawanan terhadap media nasional.
2. Menggunakan diri sendiri dan relasi untuk mempromosikan perdamaian. Dari segi tempat, mereka melakukan promosi secara
berpindah-pindah, memperbanyak kelompok dan jaringan untuk menjamin keamanan bagi mereka sendiri. Selain itu, karena masyarakat di Ambon sudah tersegregasi berdasarkan agama, maka mereka juga menciptakan ruang-ruang integrasi dengan metode mengkreasi pertemanan dari individu ke kelompok, lalu melebarkan dan memperbanyaknya.
3. Dalam setiap pertemuan ada agenda menulis [story telling] tentang perjumpaan, pertemuan dan persahabatan masing-masing dalam konteks lintas iman. Tulisan tersebut kemudian dikirim ke media dan juga ke publik lewat berbagai forum, termasuk ketika beribadah di gereja.
4. Ruang domestik. Perlu memperbanyak aktor-aktor perdamaian di ruang domestik dengan asumsi: pertama, bahwa tidak ada yang bisa menjamin ketika seseorang sudah mempunyai perspektif “damai” di ruang publik, ketika kembali ke rumah tetap dengan perspektif yang sama. Narasi-narasi perang tetap hidup di ruang domestik meski narasi-narasi damai juga hidup di ruang publik. Kedua, bahwa tidak ada penjelasan sejarah yang baik kepada anak-anak di ruang domestik, misalnya cerita tentang perang salib. Selama ini cerita tentang perang salib selalu dihubung-hubungkan dengan peristiwa kerusuhan tahun 99. Selain itu korban anak-anak yang mengalami trauma terus mewarisi cerita-cerita konflik yang tidak tuntas. Ketiga, bahwa masih banyak stereotype di kalangan individu maupun masyarakat, misalnya Muslim itu adalah teroris dan pendukung NKRI, sedangkan Kristen adalah separatis dan pendukung RMS. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa politisi, tentara dan polisi adalah provokator yang melanggengkan stereotype dan segregasi yang ada.
5. perjumpaan pada pusat komunitas, karena sejak terjadinya kerusuhan nyaris tidak ada atau kehilangan ruang perjumpaan tersebut. Padahal dari perjumpaan itulah sensitivitas sosial bisa terbangun. Contohnya tradisi Kopi Badati, di mana setiap malam beberapa orang [kebanyakan anak muda] membawa kopi dan gula serta air panas ke setiap perbatasan untuk menjaga keamanaan bersama-sama. Disinilah terjadi perjumpaan korban dengan korban, kemudian terjadi dialog di antara mereka.
7. Membuat khotbah-khotbah damai [peace sermons]. Intervensi yang dilakukan adalah:
a. Untuk komunitas Protestan mengintegrasikannya dengan tema-tema khotbah yang sudah disusun selama setahun. b. Untuk komunitas Muslim pada dasarnya lebih mudah,
karena tidak ada kurikulum atau tema-tema yang tersusun di setiap masjid. Khutbah-khutbah yang biasa dipakai di masjid-masjid bersumber dari MUI Maluku. Akan tetapi untuk masjid adat belum bisa diintervensi, mengingat mereka mempunyai aturan sendiri-sendiri yang sangat membatasi orang luar adat berkiprah menjadi imam/khatib.
c. Untuk komunitas Katolik agak sulit melakukan intervensi karena mereka sudah menyusun khotbah tahunan.4
2. Badati
a. Latar Belakang
Coffee Badati kelompok aksi yang digagas oleh kawan-kawan berbeda agama, sebagai bentuk kepedulian dan dukungan pada warga yang telah berinisiatif melakukan penjagaan keamanan di wilayah tinggal mereka. Badati dalam istilah lokal biasa diartikan sebagai urunan, patungan, atau secara bersama-sama. Demikian aksi ini merupakan wujud kepedulian bersama dari kelompok campur baur beda agama. Dalam komunitas ini terdapat relasi bersama satu dengan yang lainnya, sekalipun mereka berbeda secara agama. Karena kesadaran untuk menciptakan kedamaian bagi Maluku, mereka tampil sebagai seorang saudara bagi yang lain. Aksi-aksi bersama dilakukan dengan membagikan konsumsi di pos-pos jaga warga, di daerah batas Salam-Sarane. Proses ini terjadi bukan untuk mendukung proses konflik yang terjadi, melainkan untuk menunjukan bahwa ada banyak orang yang begitu berharap kondisi tersebut dapat terselesaikan. Mekanisme aksi ini dilakukan secara bercampur, tidak dilakukan antara orang Kristen di wilayah Kristen semata, begitupun sebaliknya, melainkan dilakukan secara bersama, sehingga ada relasi positif yang
terbangun di dalamnya. Demikian spirit perdamaian yang semestinya ditampilkan dalam komunitas ini.5
Sekelompok orang yang tidak biasa, lintas agama suku dan kawasan di Maluku menamakan dirinya Coffee Badati. Mereka “Terbentuk ” dengan sendirinya oleh bentrok antar warga di Ambon pada 11 September 2011. Kelompok yang tidak biasa ini ada karena keterpanggilan jiwa untuk menyebarkan perdamaian dengan cara sederhana namun tidak biasa. Mereka membagikan kopi dan roti kepada masyarakat yang telah berpartisipasi menjaga keamanan di lingkungan masing-masing.6
Badati merupakan bahasa tanah (bahasa Leluhur orang Maluku) yang artinya berkumpul, bersama-sama, mengumpulan sesuatu secara bersama-sama. Sama juga dengan urunan, patungan dan semacamnya. Plesetannya badati: Baku Bage Dari Timur.7
Coffee Badati adalah suatu komunitas perdamaian yang dilakukan oleh anak-anak muda Salam-Sarane yang mencintai Maluku dan menginginkan kedamaian di Maluku. Kesadaran bersama dengan adanya perbedaan dalam hal ini agama, ingin dtunjukan oleh mereka
2. Menyaring Isu yang bernilai provokatif, sehingga tidak mem-pengaruhi masyarakat Maluku untuk berkonflik.
3. Berbagi kisah-kisah perdamaian, dibalik proses yang dilakukan sebagai nuansa positif yang dimunculkan.9
c. Pola Pengembangan
Pola pengembangan coffee badati sesungguhnya mengarah pada proses membangun jaringan antar wilayah konflik. Di mana proses itu
5Catatan MANISNYA DAMAI DALAM PEKAT KOPI PAHAT Revelino Berivon Nepa 12 Oktober
2011 facebook Grup badati.
6CatatanYANG TIDAK BIASA Syravena Ardhanavari 10 Oktober 2011 facebook Grup badatai.
ditempuh dengan jalan, mengedarkan coffee secara gratis pada pos-pos jaga di wilayah yang sementara berkonflik. Proses membangun jaringan ini juga, berorientasi kepada penyaringan isu, sehingga isu yang menguak kepada masyarakat tidak lalu menjadi isu yang diprovokasi demi perpecahan yang semakin besar dalam kehidupan masyarakat Maluku. Selain itu, aksi mereka berfungsi untuk merajut perdamaian, melalui penyebaran kisah-kisah bersama yang sesungguhnya dapat dijadikan sebagai kekuatan pemersatu masyarakat Maluku masa konflik. Hal ini terjadi ketika momentum bagi coffee
bersama lintas agama itu berlangsung, mereka saling berdiskusi dan berbagi pengalaman untuk membangun perdamaian Maluku. Ketika konflik itu sementara terjadi kenyataan masyarakat lintas iman di dalam coffee badati, menjadi simbol perdamaian yang bernuansa positif bagi masyarakat. Bagi mereka, konflik Maluku sesungguhnya harus segera diselesaikan.10
Gambar 4.2 Peneliti dengan salah satu pendiri Coffee Badati. Ibu Elsye Latuheru dan
Bapak Angky Syauta
Sumber foto: Fileks. Tanggal 10 Oktober 2016
Komunitas Muda-Mudi Pascakonflik
Molluca Hip-Hop Community (Komunitas Musik)
Latar Belakang
Latar belakang lahirnya Mollucas Hip-Hop Community atau yang disingkat (MHC), terjadi saat pertemuan bulan Juli 2008, di Rumah Tiga Ambon, yang bertempat di keluarga Tetelepta. Berperan sebagai tuan rumah waktu itu adalah Morika Tetelepta dan Berry Revalino. Mereka menyambut
kedatangan dua orang rekan, yakni Althien Pesurnay dan Frans Nendissa, yang baru datang dari Tanah Jawa. Di saat terjadi pertemuan tersebut, Morika Tetelepta memetik gitar sambil mengiringi keempat orang sahabat yang sedang melepas kangen antara satu dengan yang lain. Dibalik proses itu, kemudian melahirkan sebuah diskusi serius, menyikapi kenyataan Maluku yang mereka cintai bersama. Maluku yang telah hancur karena konflik dan meluluhlantahkan kehidupan persaudaraan antarmasyarakat. Kenyataan ini akhirnya, membuat tumbuhnya segregasi yang kuat di antara relasi antar komunitas beragama di Maluku.11
Gambar 4.3 Peneliti dengan salah satu pendiri MHC, Bung Morica. Tetelepta Sumber foto: Fileks. Tanggal 18 Oktober 2016
Menghadapi realitas demikian, maka sebagai kaula muda, empat orang bersahabat ini mencoba memberi kontribusi bagi Maluku, melalui karya musik yang mereka berempat minati. Mereka sepakat untuk membangun Komunitas Hip-Hop di Maluku, dimana Musik Hip-Hop bukan sekedar musik, namun sebuah sarana sosial yang mampu mentransformasikan konteks sekitarnya dibalik lagu-lagu yang disampaikan.12
Siang itu juga, konsep Moluka Hip-Hop Community (MHC) dimatangkan dan disepakati. Saking semangat, mereka mengabadikan peristiwa itu dengan menggarap sebuah lagu. Liriknya ditulis dan diperbaiki secara bersama. Jadilah lagu MHC Anthem. Sepenggal liriknya menggambarkan situasi Maluku masa itu, sekaligus ajakan untuk bersatu bersama.
“Kapan tempo dengar tahuri babunyi
Dalam kampong sunyi Tagal samua Manusia lari basambunyi”.13
Pada hari yang sama, lagu MHC Anthem langsung masuk proses
recording di home studio milik Morika. Dari sana, setelah proses mixing yang memakan waktu dua pekan, lagu tersebut diluncurkan ke publik. Para kaum muda ini memilih internet sebagai media publikasi dan sosialisasi keberadaan mereka. Morika dkk., ini ternyata mendapat respon dari berbagai kalangan. Para netters di berbagai kota menyambut kehadiran MHC. Mereka memberi dukungan supaya hip hop bisa terus hidup di Maluku. Morika dkk., juga mendapat dukungan motivasi penyanyi hip hop senior di Ambon seperti Hanny Wattimena. Dalam suatu kesempatan, Hanny mengaku bangga ada anak-anak muda di kota ini tertarik hip-hop. Dia bahkan bersedia membantu jika diperlukan. MHC kemudian melebarkan sayap. Para anggotanya membangun jaringan di Jakarta, Yogyakarta dan Salatiga. Saat ini, MHC sudah menyebar sampai ke Jawa. Di Jakarta ada Althien Pesurnay. Ia menggandeng kawan-kawan dari Ambon seperti Iki, Idrus Salampessy dan Ecek Sialana. Di Yogyakarta, MHC dihidupkan oleh The Baku Tumbu
dengan personil Dharma dan Adith Angwarmase, Edek Yanyaan, Iqbal Sangadji, Gilang Ayuba. MHC Salatiga, ada Kelompok Bounty (Kiong Hehanusa dkk). Dalam dua tahun belakangan ini, ternyata MHC di Ambon makin mendapat dukungan. Beberapa kelompok datang bergabung. Mereka antara lain The New Saaru (Felix Sopamena, Aries de Lima dan Cyntia Tengens), Nunusaku Tribe (Nixon Pormes dan Hendry Tetelepta), Rap 57
(Eyang Malawat dan Yudhis), Rap Till Die (RTD) yang digagas Revelino Berry. Ada Brown Familly yang terdiri dari sekitar 10 orang muda. Beberapa lainnya bersolo karier seperti Mark Ufie, Kiki Latupapua dan lainnya. Morika bangga, sebab selain MHC, di Ambon saat ini ada pula komunitas lainnya seperti White Hip Hop Community (anak-anak muda Waihaong), Akom BTN Kebun Cengkeh – Batumerah, Boven Alles (Jalan Permi Waihaong) dan
Triple House Generation (Rumahtiga). Tahun 2007, belum nampak peminat
hip-hop secara nyata seperti sekarang. Namun 2009, di mana-mana di Ambon ada kelompok hip-hop. Jadi ada pertumbuhan kuantitas, walaupun secara kualitas, masih harus terus berbenah,” papar Morika. Dalam satu tahun belakangan ini, warga Maluku di seluruh dunia makin mengenal MHC. Pasalnya, mereka mendapat kesempatan tampil di panggung festival Ambon Jazz Plus Festival 2009. Saat itu, publik Ambon tidak saja melihat penyanyi Maluku kelas dunia, tapi juga wajah-wajah personil MHC. Para kaum muda mulai dikenal dekat dengan grup-grup MHC, seperti: The Baku Tumbu, Sageru dan beberapa person. Selain penampilan di AJPF 2009, publik makin mengenal grup-grup ini, terutama karena mereka secara koloboratif bersama penyanyi Belanda, yakni Ambon whena Rafaelo Aratuaman, yang menelurkan klip lagu Maluku Panggil Pulang. Klip ini diluncurkan di You Tube.com dan sudah diakses puluhan ribu pengunjung, sedangkan di Belanda, klip ini beredar dalam bentuk CD. 14
Tujuan
Tujuan MHC adalah
1. Penggembangan Minta dan Bakat Pada Dunia Musik 2. Menumbuhkan Rasa Sayang dan Cinta Maluku
3. Menumbuhkan kembali Spirit Orang Basudara Masyarakat Maluku tanpa bingkai-bingkai agama, suku, budaya.
Pola Pengembangan Komunitas
Pola pengembangan yang dilakukan komunitas MHC adalah merekrut sebanyak mungkin orang-orang Maluku dari berbagai kalangan yang hendak menggembangkan potensi mereka. Selain itu, tetap menjaga harmonisasi antar komunitas hip-hop yang ada, dengan senantiasa memaknai bahwa music hip-hop sebagai sebuah musik yang mampu mendatangkan kritik sosial untuk sebuah tranformasi, demi hidup yang lebih baik. Proses pengembangan yang dilakukan kebanyakan menggunakan media sosial melalui facebook, youtobe, blogger. Proses ini dilakukan agar sejumlah karya yang dihasilkan bisa dinikmati oleh banyak orang, serta mampu memberi pengaruh perubahan dengan makna dibalik karya-karya tersebut.15
Kanvas Allifuru Latar Belakang
Kanvas Alifuru merupakan komunitas anak muda yang bergerak dalam bidang seni rupa Maluku. Aktifitas seni mereka mencakup bidang intelektual, emosional dan spritualitas anak Maluku. Aktifitas kesenian tersebut sudah ada sejak lama. Dalam sejarah peradaban manusia Maluku menunjukan telah adanya hakekat seni yang jelas tergambar dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Seni dianggap sebagai dasar keindahan untuk membentuk keindahan hidup pada bagian terdalam manusia Maluku. Tanpa disadari, seni sudah menjadi orientasi perilaku manusia Maluku secara totalitas. Sejalan dengan itu, Seni Rupa disadari juga telah menjadi sarana komunikasi masyarakat semenjak zaman para leluhur orang Maluku.16
Keyakinan komunitas ini, bahwa para pendahulu manusia Maluku telah mewariskan sebuah genetik seni yaitu kemampuan menciptakan lukisan-lukisan atau ukiran-ukiran yang bercirikan kemalukuan. Pada dasarnya seni rupa di Maluku ada pada zaman pra-sejarah dengan bukti lukisan-lukisan di dinding-dinding goa yang berada di hutan atau pegunungan-pegunungan, bahkan di berbagai tempat keramat (pamali) dan juga pada benda-benda seperti pada batu-batu, kain-kain dan benda-benda lainnya. Lukisan-lukisan tersebut dibuat dari bahan-bahan alam (warna sebuah objek lukisan sepertinya diambil dari dedaunan, kulit kayu, kulit buah, dan batang-batang pepohonan). Lukisan digaris dengan batu, arang, atau barang-barang tajam lainnya. Karena di zaman itu barang-barang alam sajalah yang dapat dimanfaatkan menjadi alat lukis atau alat ukir yang gampang di dapat. Lukisan berupa cetakan atau simbol-simbol kebudayaan dengan bahasa dan makna pada tempat masyarakat tertentu. Ukiran berupa patung-patung atau simbol-simbol kepercayaan kepada dewa-dewi tertinggi atau manusia-manusia yang dihormati di zaman dan tempatnya. Selain itu, terdapat ukiran atau gambar yang diletakan di kain-kain tenun di kebudayaan orang kisar, tanimbar, dobo dan lain-lain.17
Lukisan ataupun ukiran pra-sejarah adalah catatan-catatan pelaku seni yang tidak kita tahu siapa nama mereka. Manusia Maluku di zaman itu, mungkin ingin meninggalkan suatu pengalaman sosial-ekonomi, adat-kebudayaan supaya tetap diingat selama-lamanya. Naskah-naskah seni yang mereka hasilkan saat itu, termasuk dalam naskah yang tertua di Maluku. Pada perkambangan kemudian, ada banyak seniman Maluku yang tertarik
dan mulai menggeluti dunia seni lukis, sebut saja seperti Opa Bing Lewakabessy, Oce Leleulya, mereka berdua termasuk pelukis senior. Sementara di zaman sekarang, ada pelukis muda berbakat seperti Viktoria Tahalea, Andro, Thesar Saiya, Petra Ayoembun, Emus Larmawata, Deny Boy, Alen Kesturia, Jen, Skivo, vandy, Valdo, Kevin, Erick, Adrian dan masih banyak teman-teman lainnya yang tidak sempat disebutkan namanya.18
Belakangan ini ada satu komunitas lukis yang sangat familiar di dunia
facebook, yaitu Group Kanvas Alifuru yang terbentuk sejak bulan Agustus 2012. Bahwa mereka keseluruhannya adalah anak-anak Maluku asli yang tinggal di Maluku maupun di luar Maluku. Mereka berkarya lewat seni lukis, sketsa, lukisan kontemporer dan lainnya untuk mengangkat budaya Maluku. Cikal bakal terbentknya grup ini adalah bersumber dari dorongan para aktivis perdamaian dan budayawan, seperti: Rudy Fofit, Jacky Manuputty, Abidin Wakano. Selain itu, dorongan tersebut bersumber kuat dari beberapa anak muda pecinta seni dan budaya, sekaligus terlibat dalam aktivis perdamaian, seperti: Morika Tetlepta, Wesly Yohanes, Pier Ajawaila, Wirol Haurissa, Juliando Soplanit Revelino Berry, Hayaka Nendissa, Arie Rumihin, Putry Soumeru, Yezco Tomahua, Rahma Alaydrua (Ipeh), Rifky Husein, Rais Rumahlutur, Maryo Nussy, Elsye Syauta, Ignor Palenbang, Tirta Triana, Ronal Regan dan teman-teman lainnya.19
Berbeda dari seni lukis, seni ukir di Maluku hanya beberapa orang yang mengelutinya bahkan aktifitas mereka tidak terlalu kelihatan. Tercatat ada lima orang seniman ukiran yaitu Max, Hanry Tapotubun, Deni Lelulya, Oce Leleulya, Almarhum Soter Anaktototi. Selain itu, perkembangan dunia
designer di Maluku semakin diminati oleh banyak anak muda. Disini mereka memberikan kontribusi sangat penting dengan karya masing-masing dalam dunia seni rupa di Maluku dan bagi Komunitas Kanfas Alifuru secara khususnya.20
Gambar 4.4 Peneliti dengan salah satu pendiri Kanvas Alifuru, Bung Joner Lakburlawal
Sumber foto: Fileks. Tanggal 04 november 2016
Tujuan
Tujuan Kanvas Alifuru :
1. Menarik sebanyak mungkin kaula muda-mudi Maluku yang memiliki bakat seni lukis untuk proses penggembangan talenta mereka.
2. Menunjukan dan mempublikasi keindahan Maluku melalui seni lukis 3. Menampakan Pluralisme Maluku yang diikat oleh kehidupan bersama
(warna khas Maluku) melalui lukisan.21
Pola Pengembangan komunitas
Pola Pengembangan kanvas alifuru mengarah pada sebuah proses penggembangan minat dan bakat, dan kelanjutannya adalah menggambarkan citra dan rekaman manusia Maluku dalam kekayaan budaya dan kesatuan hidupnya. Konstruksi dibalik penggembangan kanvas allifuru, tampak sebagai berikut:
Gambar 4.5 salah satu kegiatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Ambon dengan Komunitas Kanvas Alifuru
Sumber foto: Femri. Tanggal 17 Oktober 2016
Bengkel Sastra
Latar Belakang , Tujuan dan Pola
Bengkel Sastra Maluku merupakan ruang perjumpaan para penulis puisi dan penggemar puisi.22
Penyair dan karya-karyanya sudah ada jauh sebelumnya, akan tetapi pengembangan komunitas sastra baru menemukan bentuk pada periode pasca konflik dan menjadi ruang perjumpaan yang baru di Kota Ambon, Provinsi Maluku.
Tujuan
Tujuan dari Bengkel Sastra Maluku sendiri sangat sederhana, yaitu membangun maluku lewat kesusasteran.23
22 Wawancara: Wesly Johanes 23
Gambar 4.6 salah satu pentas sastra yang rutin selalu dilakukan
Sumber foto: Femri. Tanggal 24 Oktober 2016
Pola Pengembangan komunitas
Bengkel sastra Maluku menjadi salah satu komunitas paling majemuk di Ambon. Dikembangkan lewat acara-acara seperti malam kapata yang berlangsung sebulan sekali, dan pertemuan-pertemuan biasa yang berlangsung kurang lebih setiap minggu. Di samping kegiatan rutin ini, bengkel sastra Maluku juga ikut terlibat membantu acara komunitas lainnya, sehingga perjumpaan anak-anak bengkel sastra Maluku menjadi luas tidak hanya kepada orang yang menyukai sastra, tetapi juga pecinta seni yang beragam: musik, rupa, tari, bahkan pecinta sepak pecinta sepak bola.24
Adapun, kolaborasi yang dimuculkan. Sastra dengan Hip-Hop untuk Save Aru Island dan juga sastra dengan seni rupa untuk pameran Urban Genitals.
Gambar 4.7 Seorang Guru Islam ketika berbicara mengenai sastra di Negeri Asilulu Sumber foto: Femri. Tanggal 24 Oktober 2016
Non Violence
Latar Belakang
Provinsi Maluku saat ini tersegregasi antara dua kelompok agama, yaitu Komunitas Muslim dan Kristen, serta segregasi berdasarkan etnis/suku. Segregasi antar agama dan etnis yang paling tajam terlihat di mana lokasi pemukiman penduduk terkonsentrasi pada kelompoknya. Kondisi ini terbawa dalam pergaulan sosial, terpelihara dalam tatanan politik dan pemerintahan yang sering mengabaikan aspek kualitas. Segregasi antar kelompok ini semakin tajam setelah konflik Maluku 1999, yang jika tidak diperhatikan dengan bijak, maka dapat berpotensi untuk memunculkan konflik kembali. Hal ini terindikasi dari masih adanya pertikaian yang terjadi atas dasar kepentingan pribadi dan golongan, kemudian digiring pada isu etnis dan agama. Pemberian makna terhadap beragam identitas sosial ini sering berujung pada cederanya rasa keadilan bagi kelompok yang berlainan identitas.25
Segregasi ini juga dirasakan dalam sendi-sendi kehidupan kampus, Universitas Negeri Pattimura (UNPATTI) dan kampus (IAIN). Kampus yang menjadi sentral peradaban Maluku ini, seharusnya menjadi tempat transformasi pemikiran justru ikut terjebak dalam politisasi agama. Gerbong-gerbong politik yang mengusung kepentingan kelompok tertentu justru memanfaatkan segregasi ini untuk melanggengkan kekuasaannya. Perlahan tapi pasti, ruang-ruang interaksi dari level birokrasi sampai pada proses
belajar-mengajar pun terkontaminasi. Dalam konteks mahasiswa, gerbong-gerbong ini dibangun melalui organisasi mahasiswa dan kepemudaan.26
Keresahan terhadap kondisi segregasi ini, mendorong spirit mahasiswa yang cinta perdamaian untuk menghibahkan pikiran, tenaga, dan waktu guna melawan segregasi yang menjadi penyebab konflik Maluku. Hal tersebut muncul dalam komunitas non-violence dengan program-program mereka, seperti: non violent study circles (lingkar belajar nir kekerasan) yang didesain oleh Lembaga Inspiring Development (InDev) Research, Training & Consultancy. Ruang perdamaian melalui NVSC-InDev,
mengemban misi “Sustaining Peace From Campus To Community”
(melestarikan perdamaian dari kampus ke komunitas). Di mana mahasiswa sebagai target utama, karena mereka percaya semangat muda yang dimiliki dapat ditransformasikan menjadi semangat perdamaian. Dengan demikian, ketika mereka selesai menjadi sarjana, mereka akan menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan anti kekerasan terutama di daerah mereka masing-masing.27
Gambar 4.8 Diskusi bersama teman-teman Non-Violence Sumber foto: Yudi. Tangga l3 November 2016
Tujuan
Tujuan Komunitas non-violence yakni:
1. Menjaring seluruh mahasiswa untuk terlibat dalam komunitas dimaksud dengan tujuan agar dapat menggembangkan diri serta menyimbungkan sejumlah pemikiran terkait dengan praktek segregasi yang semakin kuat
26 Wawancara: Yan Awath
2. Menjadi jembatan ataupun sarana penghubung terhadap mainstream berpikir yang telah terkontaminasi dengan praktek segregasi.
3. Mahasiswa menjadi para agen perdamaian yang melawan praktek segregasi dalam ruang kehidupan bermasyarakat, maupun dalam konteks-konteks pergaulan.28
Gambar 4.9 Dialog Keberagaman
Sumber foto: Femri. Tanggal 16 November 2016
Pola Pengembangan komunitas
Pola pengembangan komunitas non-violence mengarah pada proses merubah paradigma untuk menghasilkan pola-pola tingkah laku mahasiswa yang tidak lagi dibatasi pada praktek-praktek segregasi. Kenyataan ini, dilakukan dengan jalan proses dialog, diskusi, seminar dan berbagai karya berupa pentas seni yang mengarah pada prespektif kebersamaan. Hal demikian, diyakini akan memperkuat kebersamaan dan menghilangkan kenyataan-kenyatan segregasi yang ada saat ini.29
28 Wawancara: Yan Awath
Pandangan Komunitas Muda-Mudi mengenai Pengaruh Segregasi dan Konflik Maluku di Masa Depan
Segregasi telah menjadi sarana pemicu konflik dalam ruang kehidupan masyarakat Maluku. Pemetaaan hidup masyarakat Maluku secara agama diakui telah terjadi semenjak masa kolonialisme, sehingga pengaruhnya semakin kuat ketika konflik Maluku terjadi pada tahun 1999. Menurut Morika Tetelepta sebagai pendiri komunitas MHC, bahwa segregasi dipandang sebagai akar yang melekat erat dalam proses pertumbuhan masyarakat Maluku di zaman Kolonialisme. Sekalipun demikian, proses segregasi ini dinilai tidak menggangu kebersamaan hidup masyarakat Maluku itu sendiri. Karena umat kristiani di Kudamati, masih dapat berbaur dengan umat muslim di Batu Merah secara harmonis, begitupun sebaliknya. Hal ini membuat segregasi tersebut, ibarat realitas yang menjadi selaput pembingkai kehidupan bersama manusia Maluku yang berlebel katong s’mua orang basudara. Akan tetapi lebel Maluku daerah orang basudara menjadi tercoreng dan selaput segregasi kemudian menjadi tiang-tiang yang tidak lagi bisa ditembusi, ketika konflik melanda Maluku. Kenyataan inilah yang mesti disadari dan diruntuhkan, melalui ruang bersama yang diciptakan, agar hakekat manusia Maluku itu bisa dirasakan kembali.30 Hal yang sama juga disampaikan oleh Els Syauta sebagai seorang aktivis, tetapi juga seorang yang sempat terlibat aktif dalam proses komunitas badati. Segregasi menurut Syauta sangat berpengaruh bagi perdamaian di Maluku, di mana dampak segregasi yang berpuncak pada konflik telah menghadirkan keresahan hidup bagi manusia manusia lintas agama, rasa saling curiga yang terus membekas, ditambah pula dengan menghilangnya nilai kebersamaan hidup. Nuansa dan situasi demikian, menempatkan manusia Maluku dalam tirani, sehingga tidak bebas untuk mengaktakan dirinya, yang berbeda secara agama.31 Hal yang sama juga disampaikan oleh Fileks Talakua, salah seorang anggota komunitas badati, bahwa segregasi bagaikan bom waktu yang siap menempatkan kenyataan hidup masyarakat diambang kehancuran. Di mana kehidupan bersama masyarakat sebagai orang-orang yang memiliki rasa kesatuan satu dengan yang lainnya dibatasi dan menjadi rusak.32 Hal yang sama pula disampaikan oleh teman-teman dari komunitas non violence, bahwa segregasi sebagai pembatas ruang kehidupan masyarakat Maluku bukan hanya terjadi di ruang-ruang sosial, tetapi juga terjadi dalam ruang-ruang akademis di kampus. Kampus yang mestinya menjadi sarana pendidikan untuk mendewasakan kehidupan masyarakat Maluku, malah menjadi salah satu ruang bertumbuhnya praktek segregasi. Kampus melegitimasi adanya
pengelompokkan orang-orang Maluku berdasarkan agama, suku, ras dan golongan. Kenyataan tersebut membuat bahaya segregasi dapat mengakar semakin kuat ke depan. Apalagi jika jika hal demikian, tidak diantisipasi secara seksama, sebab ancamannya akan semakin melebar bukan hanya konflik agama, melainkan juga suku, ras dan golongan.33
Semua kenyataan yang menggambarkan realitas segregasi dan konflik sebagai dampaknya terhadap keutuhan masyarakat Maluku telah menggelisahkan masyarakat, khususnya komunitas muda-mudi Maluku, untuk menyelesaikan realitas tersebut dengan berbagai cara, antara lain:
Provokator Damai, yang menggunakan isu-isu perdamaian sebagai salah satu upaya menunjukan Maluku bebas konflik, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap segregasi. Isu-isu perdamaian ini, tidak hanya menggunakan media-media komunikasi langsung, seperti mimbar gerejadan masjid, tetapi juga menggunakan media-media non-verbal, seperti: tulisan-tulisan, potret-potret, serta media sosial sebagai jaringan utama untuk menyebarluaskan isu-isu perdamaian kepada seluruh masyarakat Maluku.
Badati, menggunakan relasi dan interaksi simbolik dengan jalan membagi-bagikan kopi kepada masyarakat lintas agama yang berkonflik di posko-posko penjagaan. Di mana Relasi yang dimaksukan adalah sebuah proses klarifikasi antar komunitas terkait dengan isu konflik yang terjadi di satu wilayah, sehingga isu itu tidak menjadi sarana yang berkembang dan melebar. Proses membagikan kopi dilakukan pada masyarakat lintas anggota komunitas, anggota komunitas Kristen membagikan kopi di wilayah Muslim dan anggota komunitas Muslim berbagi kopi diwilayah Nasrani, merupakan upaya untuk mengantisipasi segregasi yang meluas menjadi konflik dan perpecahan bagi masyarakat Maluku.
MHC bergerak dibidang seni, akan tetapi seni melalui musik hip-hop ini dimaknai sebagai jalan pembaharuan, jikalau sesuatu dibuat dan dipandang tidak memberi arti bernilai, maka itu bukan lalu menjadi muatan yang tersirat dalam MHC.