• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

67 BAB IV

TINJAUAN TERHADAP PERAN IDENTITAS AGAMA DALAM PEREBUTAN KEKUASAAN DI SEKTOR-SEKTOR

PUBLIK DALAM PEMERINTAHAN

4.1 Konstruksi Politik Belanda dalam membentuk Identitas antara dua komunitas Agama:

Peran identitas melihat penguasa mempunyai pengaruh dalam mengatur struktur yang

dilakukan mealui simbol-simbol dan juga nilai, contohnya seperti pengistimewaan

pemerintah kolonial Belanda terhadap komunitas Kristen, kemudian juga mempengaruhi

kepentingan politis oleh kedua kelompok agama di Ambon. Hubungan antar agama

berkembang sesuai dengan struktur kekuasaan yang dibentuk oleh Belanda untuk mengatur

interaksi antar kelompok agama di Ambon secara politis. Jika satu komunitas agama

berkompetisi dengan komunitas agama lain yang berbeda dan kepentingannya juga maka

dapat terjadi konflik kekerasan karena dipahami dalam hubungan relasi-relas kekuasaan.

Proses perjumpaan kedua komunitas agama islam-kristen di Ambon dapat membentuk

identitas yang merupakan arti dari salah satu komunitas yang mendapat suport kekuasaan

karena legitimasi dari penguasa pemerintah kolonial dan kelompok islam yang termarginal

dapat memicu munculnya identitas perlawanan dalam bentuk kompetisi yang tidak sehat bisa

berujung terjadinya konflik komunal. Dalam hubungan dengan itu Castells berpendapat

identitas selalu dibangun berdasarkan dalam pengertin yang positif di mana satu kelompok

dapat membedakan kelompoknya dengan kelompok lain, tetapi jika identitas itu dipahami

dalam hubungan dengan relasi-reasi kekuasaan maka akan muncul perlawanan atas dasar

dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain. Dalam konteks seperti ini pembentukan

(2)

68 pihak yang mengkonstruksi identitas tersebut: pertama adalah disokong oleh institusi

dominan di dalam masyarakat. Kedua, dikonstruksi oleh kelompok-kelompok perlawanan.

Ketiga adalah oleh kelompok-kelompok yang ingin meredefinisikan posisinya terhadap

masyarakat.

Dalam situasi yang demikian komunitas Islam dan Kristen dapat mendefinisi situasi

yang berbentuk kolektif dan interaksi yang dibuat mempunyai hubungan-hubungan sosial

dengan individu lain. Hubugan sosial dalam masyarakat juga bisa timbul sikap streotype

kelompok-kelompok sosial yang berawal dari komunitas muslim yang berada dalam kondisi

termarginal karena struktur yang diatur oleh pemerintah Belanda dianggap tidak adil.

Perbedaan dan pertentangan dapat juga terjadi karena munculnya dominasi oleh kelompok

Kristen yang mendapat legitimasi dari pemerintah kolonial sehingga komunitas Kristen

merasa berkuasa dan secara tidak sadar telah menimbulkan benih-benih konflik yang

kemudian hari terjadi di awal tahun 1999.

Bila dipahami dalam sejarah dalam konteks di Ambon, komunitas Kristen pada

mulanya mempunyai posisi yang lebih baik dari pada komunitas Islam karena proses

segregasi yang diberlakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu. Pemerintahan

Kolonial Belanda dilihat sebagai sebagai penguasa yang memberikan pengaruhnya dalam

mengatur relasi antara Kristen yang dilihat sangat unggul dipakai sebagai komunitas yang

sangat berkuasa dan Islam dilihat sebagai komunitas termarginal karena struktur yang diatur

oleh Belanda. Dari interaksi yang telah terjadi, komunitas Muslim menjadi sangat termarginal

dalam setaipa struktur masyarakat di Ambon periode yang lalu akibatnya persoalan tersebut

menimbulkan rasa kompetisi politiki maupun ekonomi dengan komuntas Kristen.

Belanda sebagai penguasa dalam membentuk struktur masyarakat Ambon dalam

kategori kaum terdidik dan kaum terpinggirkan. Struktur kelompok masyarakat yang semula

(3)

69 yang berada dalam posisi tidak diuntungkan. Kondisi sosial ekonomi yang berbeda dapat

menyebabkan interpretasi dan definisi situasi pada satu kelompok bahwa telah terjadi

kesenjangan dan ketidakadilan dalam pendistribusian kekuasaan yang dirasa tidak adil antara

dua komunitas agama. Struktur yang tidak adil ini yang kemudian menjadikan konflik

mengeskalasi dengan menggunakan identitas agama secara berhadap-hadapan dalam konteks

perebutan kekuasaan.

Penulis menarik kesimpulan bahwa dengan analisa teori identitas mengenai hubungan

antar agama dalam berbagai perbedaan-perbedaan yang terjadi antara dua komunitas agama

yaitu Kristen dan Islam di Kota Ambon pada mulanya merupakan hasil konstruksi

pemerintahan kolonial Beanda dan pada waktu pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini,

pemerintah memainkan struktur yang ada dalam masyarakat di kota Ambon sehingga

mengakibatkan ketimpangan yang selalu dirasakan dengan komunitas agama yang

berbeda-beda.

4.2 Resisitensi komunitas Islam bagian dari Penguatan Identitas

Menurut pendapat penulis, kebijakan Akib Latuconsina mungkin saja benar, sebab

dengan kebanjiran tenaga-tenaga produktif yang mengisi sektor industri dan sektor informal,

maka Maluku bisa dibangun dengan cepat. Untuk mengkselerasi pembangunan mungkin

dibutuhkan para masyarakat mayoritas beragama Islam, bukan berarti terdapat alasan yang

cukup untuk secara langsung mengatakan bahwa faktor agama islamlah yang menjadi alasan

terpinggirkan sejumlah orang dalam masyarakat, bahkan mengatakan Belanda dan Kristen

dianggap sebagai orang kafir oleh umat islam.

Perimbanagan penduduk ternyata juga memberikan implikasi politik terhadap upaya

perebutan kekuasaan di Maluku. Perebutan kekuasaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan

(4)

70 tertentu) mersa menjadi mayoritas. Dengan demikian basis politik mejadi lebih kuat.

Akibatnya kelompok mayoritas baru (yang direncanakan secara sistematis) merasa yang

paling berhak memegang kendali kekuasaan, apalagi jika diduga ada motif “balas dendam”

akibat dari marginalisasi politik yang pernah dialami sebelumnya oleh Pemerintah Kolonial

Belanda.

Konflik yang terjadi selama ini adalah faktor ketidaksukaan atas pencapaian

ekonomi-politik kelompok Kristen pada zaman kolonial Belanda sehingga mengakibatkan

kecemburuan sosial dari komunitas Muslim. Maka pada akhirnya, negara hanya menuruti

suara mayoritas sebagai aktor dalam memicu konflik dan mengerdilkan suara minoritas

sebagai korban. Artinya negara masih setengah hati dalam penyelesaian konflik komunal di

Maluku dan hanya memandangnya sebagai konflik yang disebabkan perbedaan mahzab

teologis tertentu yang kemudian dianggap sesat seperti menganggap orang-orang Kristen

sebagai kafir. Pola pikir sektarian inilah yang kemudian menyebabkan anarkisme agama

selalu berlanjut dari hari ke hari dan negara membiarkan hal tersebut sebagai masalah intern

umat.

Kaum terdidik dari kalangan pendatang (komunitas agama Islam) berdatangan dan

mulai ikut dalam bersaing dan menantang para elit Kristen dalam memperebutkan

posisi-posisi strategis di birokrasi. Dalam situasi inilah menurut penulis mulai terjadi

sentimen-sentimen keagamaan, komunitas Kristen yang semula mendominasi mulai diperhadapkan

dalam bentuk persaingan baru dari kalangan Islam. Kekuatan rezim Orde Baru juga menjadi

bom waktu yang ikut andil menjadi faktor penyebab terjadinya konflik komunal di Ambon.

Terjadinya marginalisasi politik oleh rezim orde baru dengan pendistribusian kekuasaan yang

penulis anggap kurang adil bagi kelompok Kristen di Maluku.

Penulis berpendapat seiring berjalannya waktu bangkitnya kader-kader Muslim

(5)

71 dikuasai oleh komunitas Kristen. Dalam Birokrasi pemerintahan terutama dalam

Pemerintahan di Maluku di mana semua Bupati pada waktu itu di wilayah muslim maupun

non-muslim diganti oleh Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku. Dalam pandangan

penulis hal ini dilihat sebagai identitas perlawanan yang selalu mendominasi yang

kemukakan menurut teori identitas Manuel Castells1, Pemahaman identitas ini digunakan

oleh aktor yang selalu berda dalam keadaan dan posisi yang dan selalu dicap rendah dengan

logika yang selalu mendominasi, untuk itu dalam membangun kemampuan dalam bentuk

resistensi atas dasar suatu prinsip yang berbeda dengan yang dipaksakan oleh aktor

masyarakat. Dalam pandangan Manuel Castells, konsep identitas ini selalu di bangun dalam

bentuk resistensi yang sangat kolektif dalam suatu model kebijaksanaan dalam memberikan

bermacam-macam tekanan yang sudah tidak dapat di tahan, yang menjadi dasar dari

pembentukan identitas ini di bentuk juga oleh sejarah, karena perasaan teralienasi atau dilain

pihak hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, dalam bidang ekonomi dan

sosial.

4.3 Persoalan Perimbangan antara dua Komunitas Agama

Dalam konteks Unpatti Penulis melihat hal ini sebagai Resistance identity atau Identitas Perlawanan yang dijelaskan dalam Teori Manuel Castells2, identitas ini

dimunculkan oleh komunitas muslim yang mersa berda dalam posisi atau kondisi yang

tertindas dicap rendah oleh logika dominasi komunitas krsten bertahun-tahun lamanya di

lembaga tersebut, karena itu komunitas muslim di lembaga tersebut membangun kekuatan

penolakan dan survival atas dasar prinsip yang berbeda atau bertentangan dengan yang dipaksakan oleh masyarakat. Menurut Castells, identitas ini di bangun atas dasar suatu bentuk

perlawanan kolektif terhadap suatu bentuk kebijaksanaan yang memberikan sebuah tekanan

1 Op Cit Manuel Castells hlm 12

(6)

72 yang tidak dapat di tahan, yang menjadi dasar dari pembentukan identitas ini di bentuk juga

oleh sejarah, karena perasaan teralenasi atau dilain pihak hadir sebagai bentuk perlawanan

terhadap ketidakadilan, dalam jabatan struktural maupun dalam penerimaan mahasiswa.

Dalam konteks konflik di Unpatti kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan

menghilangnya solidaritas mereka sebagai anak negeri Maluku dalam konsep pela gandong

menjadi terkikis habis karena melihat perwakilan agama dan etnis mereka tidak terwakili

dalam jabatan-jabatan struktural maupun dalam penerimaan mahasiswa baru dan

mengakiatkan munculnya solidaritas dalam bentuk identitas agama maupun etnis yang tidak

tewakili, memmunculkan rasa emosional dan dilmapiaskan melalui mobilisasi massa

sehingga menimbulakn konflik. Menurut Michael Hogg, dalam the social identity menjelaskan Kategorisasi, yaitu upaya untuk mengelompokkan dan memeberi pemaknaan

terhadap sesuatu. Dalam konteks pembahasan tentang identias, maka kategorisasi merupakan

upaya manusia untuk mengelompokkan dan memberi pemaknaan terhadap

kelompok-kelompok sosial dan peran sosial yang menjadi bagian dari dirinya. Di sini penulis meilhat

kelompok atau komunitas muslim di Maluku merasa keterwakilan kelompok mereka tidak

terwakili dalam struktur pegawai, dosen, dan dalam penerimaaan mahasisiwa baru dianggap

kurang berimbang, akhirnya memobilisasi massa dari kelompok mereka untuk melakukan

suatu bentuk perlawanan.

Dalam konteks ini pengaruh identitas sosial dalam melihat perilaku individu, Identitas

sosial juga sangat berhubungan dengan interpertasi, karena proses pembentukan identitas

sosial juga peran pembentukan makna sangatlah penting. Hubungan kelompok individu

dalam suatu masyarakat tidak secara langsung membuat persepsinya pada komunitas sendiri

dan komunitas lain akan dikenal. Menurut Henry Tajfel kelompok sosial juga membuat

kecenderungan dalam membuat kategori sosial dalam mengklasifikasikan individu dan

(7)

73 Biasanya kelompok-kelompok identitas membagi ruang sosial di dalam dua bentuk kategori

yang berbeda-beda yaitu “kita” dan “mereka”, “kita” yaitu kelompok Kristen sebagai in group sedangkan out group adalah kelompok muslim di Unpatti yang selama ini mersa tersisi dalam konteks persaingan yang berujung pada rasa ketidakadilan. Ketika klasifikasi dalam

gruop-group sosial terjadi dapat dilihat kompetisi antara dua kelompok dan maka kelompok

Islam sebagai out-group dikategorikan sebagai musuh karena melakukan perlawnan terhadap

kelompok Kristen di lembaga tersebut.

Penulis melihat dalam konteks tersebut, kata Perjanjian Malino II perlu diapresiasi

sebagai hasil torehan sejarah anak negeri Maluku lewat tokoh-tokoh agama, akademisi,

masyarakat, pemuda, media masa dan lainnya. Namun sering dengan berjalannya waktu, dan

disetting sosial serta realitas yang cenderung menunjukan pergeseran spirit perjanjian

tersebut harus senantiasa dilihat oleh semua komponen sehingga tidak menjadi komoditi

politik transaksional oleh kelompok tertentu yang pragmatis di Unpatti. “Penulis

mengapresiasi momentum sejarah tersebut secara kritis, rasional dan tidak mengutakatik

momentum sejarah, tetapi apresiasi di tengah determinasi penggiringan isu perimbangan

sebagai komoditas politik dan mengatasnamakan agama teretentu yang terdiskriminasi yang

katanya oleh struktur yang tidak adil. Penulis melihat pertama Mengembalikan spirit

perjanjian Malino II pada lokusnya, dan menghimbau kepada semua komponen di lembaga

untuk tidak mengkooptasikan sprit perjanjian tersebut dengan kepentingan-kepentingan elit

dan kelompok tertentu serta memberikan ruang kritik dan diskursus mengenai relevansi

perjanjian Malino II dalam konteks sosial kekinian.

Konteks kompetisi dan persaingan di Unpatti Penulis dapat berbagai masukan yang

berhubungan juga dengan konsep manggurebe maju. Dalam konteks di Maluku muncul

berbagai wacana yang bermunculan dalam konteks tersebut juga dalam pandangan Prof

(8)

74 berlangsung negatif yang sesuai juga dengan kata manggurebe sendiri juga dapat

menyiratkan bentuk perlombaan yang kurang terstruktur dan kacau ketika yang kuat akan

menindas yang berada dalam posisi lemah. Manggurebe maju dalam konteks persaingan

sebetulnya sangat bisa diterima karena proses persaingan juga merupakan model dari upaya

dalam menciptakan proses perubahan sosial.3 Dengan cara tersebut suatu perlombaan yang

terus melahirkan suatu konflik yang bersifat fungsional masih dapat dibenarkan karena

persoalan demikian masih berada pada jalan transformasi sosial. Konflik bisa terjadi secara

fungsional yang dikarenakan oleh persaingan yang dapat terjadi sewaktu-waktu dapat

menjadi bagian dari proses dialektika dalam realita kehidupan. Yang juga perlu dihindari iaah

konflik kekerasan yang mengarah pada tindakan-tindakan anarkis dan destruktif.

Dalam kaitan dengan kondisi ini muncul perlombaan antara Kristen-Islam dengan alasan atas nama agama. Agama akan dimunculkan sebagai bentuk identitas kolektif dalam domain sosial politik seputar persoalan pemerataan di Unpatti antara dua komunitas agama

di lembaga ini. Mereka yang mengaspirasikan kepada pihak Rekorat supaya harus

mengakomodir tuntutan mereka dengan melihat presentase perekrutan mahasiswa dan dosen

yang tidak berimbang antara kedua agama maupun etnis. Persoalan ini sangat kuat ketika

dilam hubungan Kristen-Islam di Maluku. Tensi persaingan kekuasaan yang kurang sportif sangat terasa kuat ketika Kristen-Islam telah beusaha terlepas dari ikatan budayanya dan masuk di dalam birokrasi pendidikan di Unpatti. Tentu saja persepktif ini memperlihatkan

bahwa katub yang selalu melestarikan kultur budaya tidak begitu cukup efektif bekerja

dakam wilayah birokrasi.

Kompetisi dan persaingan ketika agama dipakai sebagai identitas Kristen dan Islam masih sangat kuat sampai saat ini. Dapat dilihat ketika rekrutmen-rekrutmen lembaga

pendidikan di Unpatti dilihat sangat “beraroma” agama bagi kaum muslim di lembaga

(9)

75 tersebut. Contoh saja kamunitas pelajaar muslim di Unpatti menganggap pemilihan Dekan

fakultas Ekonomi juga harus representase dari komunitas muslim supaya ada perimbangan

Referensi

Dokumen terkait

 The procedure described above can be used to obtain an independent SDoF equation for each mode of vibration of the undamped structure.. a home base

 Mahasiswa dapat menghitung respon struktur MDoF akibat beban gempa bumi.. a home base

[r]

dengMn RMkPu penyeles MiMn mMks imMl 1 jMm unPuk 2 jenis. periz inMn dMn non

[r]

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ PERILAKU IBU DALAM PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN PADA DUKUN BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LABUHAN RASOKI

They include: the development or empowerment of Islamic educational institutions for pesantren, madrasah, Islamic schools, and universities, by raising the consciousness

[r]