9
BAB II
IDENTITAS SOSIAL DAN KONFLIK
2.1Pendahuluan
Dalam bab ini penulis akan membahas dua hal penting yaitu “teori identitas” dan
“konflik sosial”, penulis merasa perlu mengkaji konflik Ambon dari prespektif yang berbeda
dengan menggunakan prespektif teori identitas, karena menurut penulis teori identitas sangat potensial dalam menjelaskan fenomena konflik di Ambon. Terutama dengan menggunakan teori identitas Manuel Castells. Khususnya dalam melihat hubungan relasi kekuasaan dalam
perebutan jabatan-jabatan publik sehingga terjadi saling mendominasi antar dua komunitas Islam dan Kristen di kota Ambon. Dalam hubungan dengan itu Castells menyimpulkan
bahwa pemaknaan identitas sosial selalu mengambil tempat dalam sebuah konteks yang ditandai dengan relasi-relasi kekuasaan.
Untuk itu Castells menjelaskan identitas kelompk yang selalu mendominasi mencoba
meperluas kekuasaannya melalui identitas pembenaran “Legitimizing Identity”, identitas
seperti ini dibutuhkan pada institusi yang mendominasi dalam suatau komunitas masyarakat
dalam mempertegas dan menunjukan dominasinya dalam hubungan dengan komunitas sosial. Dalam hal ini, kelompok identitas dapat menginterpretasikan kelompok identitas lain dan membedakan kelompok yang didominasi dan yang mendominasi sehingga struktur inipun
merupakan hasil dari konstruksi dan interaksi identitas tersebut. Dalam konstruksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok identitas etnik maupun agama di kota Ambon, dapat juga
memicu konflik jika terdapat prasangka yang bertentangan. Akhirnya muncul identitas
perlawanan “Resistance identity” dimunculkan oleh aktor yang berada dengan kondisi yang
10 “Project Identity”. Identitas ini sebagai alternatif bila aktor-aktor sosial atas dasar materi
budaya yang berada bagi suatu komunitas untuk membangun identitas baru yang meredefinisi
posisi mereka dalam masyarakat, dan dengan cara itu berusaha mentransformasi seluruh stuktur masyarakat/sosial. Identitas proyek dipakai pasca konflik sebagai identitas kultural, seperti pela gandong direvitalisasi kembali sebagai perekat dalam mendamaikan kedua
kelompok identitas agama yang berkonflik di Ambon. Tinjauan teoritik ini juga diperkuat dengan teori identitas lainya seperti Richard Jenkins, Henry Tajfel, Jan E. Stets & Peter J.
Burke yang di rasa sangat potensial dalam menganalisa penyebab konflik ketika terjadi kategorisasi dan identifikasi dalam konteks masyarakat yang segregatif dan berada dalam konteks persaingan sehingga mangakibatkan konflik terjadi.
2.2 Apa itu Identitas
a. Identitas Sosial
Dalam sub-bab “The Construction of Identity” pada bab pertama buku “The Power of
Identity”,1 Castells mengemukakan bahwa identitas menjadi awal dari sumber pemaknaan
dalam hubungan dengan realitas pengalamn suatu komunitas masyarakat. Identitas menjadi
sesuatu yang mengarah pada aktor-aktor sosial, dapat dilihat sebagai bagian dari proses pemaknaan dengan dasar simbol atau atribut budaya, atau semacam kumpulan pemaknaan dalam suatu kelompok sosial yang selalu berkaitan dan dapat didahulukan untuk melampaui
sumber pemaknaan yang lain. Pemaknaan yang bersifat simbolik dalam hubungan dengan aktor atau pelaku sosial sesuai dengan tujuan dan tindakannya. Akibatnya, kejamakan
identitas menjadi sumber tekanan dan kontradiksi baik dalam self-representation maupun social action.
1
Manuel Castells, The Information Age : Ekonomy, Society and Kultur Volume I : The Rise of The Network
11 Dalam masyarakat jaringan (network society): pemakanaan diri dan suatu identitas pada umumnya aktor sosial dibentuk berhubungan dengan identitas primer, yakni identitas
yang selalu mengatur dan memberi makna kepada identitas kelompok lain, yang selalu bersifat mempertahankan identitas dari kelompok mereka. Dapat dikatakan bahwa identitas merupakan hasil dari konstruksi yang diciptakan dan dibangun. Identitas ini mempunyai
jenis-jenis bentuk sejarah, biologi, geografi, dari institusi produktif dan reproduksi, dari memori kolektif, dari bentuk-bentuk kekuasaan dan dalam pemaknaan dengan agama.
Manuel Castells memahami proses pembangunan makna pada landasan dari sebuah atribut budaya, atau yang berhubungan dengan menetapkan atribut-budaya, yang diberikan prioritas terhadap sumber makna lain. Untuk diberikan individu, atau untuk aktor kolektif,
mungkin ada suatu kelompok dari identitas. Namun seperti sebuah bentuk jamaknya adalah sumber dari kontradiksi di dalam kedua perwakilan sosial dan tindakan sosial. Hal ini karena
identitas harus dibedakan dari apa yang secara tradisional. Peran (misalnya, untuk menjadi seorang pekerja, seorang ibu, seorang tetangga, seorang sosialis militan, seorang anggota
pemain bola basket.2
Hubungan primodial sesungguhnya bertumpu dengan identitas dasar yang dipunyai dengan para anggota sesama komunitas etnis, seperti tubuh, nama, bahasa dan agama atau
keyakinan, dalam hubungan dengan latar belakang historis dan asalnya3 Bentuk identitas dasar juga berasal dari sumber dan acuan bagi para individu suatu komunitas etnis dalam
melaksanakan hubungan sosialnya. Untuk itu, identitas dasar pada umumnya menjadi satu acuan yang sangat prinsipil dan bersifat umum, juga merupakan kerangka bagi perwujudan suatu komunitas etnis
2
Manuel Castells, The Information Age : Economy, Society and Cultur Volume II : The Power Of
Identity, London : Blackwell Publishing 2010 hlm 6 3
12 Bentuk Identitas dasar dilihat secara askriptif sehingga tidak mudah untuk mengabaikannya, identitas tersebut muncul dalam perjumpaan sosial antara kelompok etnis.
Dalam perjumpaan itu para aktor dari barmacam-macam komunitas etnis akan mengetahui bahwa akan terdapat begitu banyak perbedaan antara kelompok mereka dengan kelompok lain. Identitas tersebut akan menjadi semacam pembeda dari bermacam-macam komunitas
etnis yang sedang melakukan interaksi. Identitas tersebut menjadi sumber ikatan primodial, dan suatu ikatan yang lahir dari berbagai interaksi keluarga-keluarga dan hubungan garis
keturunan, hubungan ras, hubungan kepercayaan atau religius.4
Individualisme yang berbeda-beda dari identitas juga merupakan suatu bentuk identitas yang kolektif, sebagai analisanya kultur narsisme akan memuja diri sendiri. Untuk
setuju dengan fakta dari makna sosiologis, semua identitas ini dibangun. Persoalan sebetulnya adalah dari apa dan melalui siapa, dan untuk kepentingan apa. Pembentukan
identitas memakai sumber-sumber dari latar belakang historois dan biologi, geografi, dari kerangka kerja lembaga yang berwewenang dan dari makna kolektifitas dan dari tujuan
pribadi, dalam hubungan kekuasaan. Akan tetapi bentuk individu, komunitas sosial, dengan kelompok dalam hubungan dengan proses semua materi dalam membentuk ulang maksud mereka menurut konteks sosial-budaya. Manuel Castells menekankan sebagai bentuk dugaan
yang dalam hubungan untuk membentuk identitas kolektif untuk menentukan simbolik konten dari berbagai identitas dan maknanya bagi kelompok untuk memahami dalam
menempatkan diri mereka dengan kelompok identitas lain di luar.5
Dalam pandangan Manuel Castells suatu identitas adalah bentuk dari suatu kerangka, yang berawal dari bentuk histori, biologi, geografi, lembaga yang aktif dalam
hubungan dengan reproduksi, ingataan kolektif, elit kekuasaan dan respons agama-agama. terbentuknya indentitas, individu, komunitas sosial, dan kelompok masyarakat juga harus
4
Clifford Greetz, Politik Kebudayaan (terjemahan), Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1992, hal.3.
5
13 membentuk seluruh bentuk materi ini, meninjau kembali maknanya, supaya sesuai dengan nilai-nilai dan ketetapan dalam komunitas sosial dalam pembentukan budaya yang berasal
dari konstruksi sosial dalam suatu masyarakat. Pembentukan sosial dari suatu identitas akan berlangsung dalam hubungan dengan persoalan yang dimulai dengan hubungannya dengan kekuasaan.6
Berhubungan dengan konsep-konsep identitas di atas, Manuel Castells menjelaskan beberapa hal penting secara tegas tentang apa itu identitas dalam kelompok masyarakat di
bawah ini:7
Identitas dapat berbentuk makna konstruksi makna yang bersumber dari sebuah
atribut budaya dan struktur-struktur budaya, yang selalu diutamakan di atas berbagai bentuk pemaknaan lain.
Dalam pandanagan Castells Identitas sangat berbentuk beragam. Tapi pada
prinsipnya identitas juga diklasifikasi dalam bentuk identitas individual dan juga
identitas kolektif.
Menurut Castells Identitas merupakan sumber dari konstruksi makna dengan
aktor sosial dalam hubungan dengan suatu komunitas masyarakat itu sendiri dan dimaknai lewat proses kolektif dalam hubungan dengan masyarakat lain.
Menurut Manuel Castells Identitas sangat berkaitan dalam proses pemaknaan
nilai-nilai, dan simbol-simbol religius dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Manuel Castells ada tiga jenis identitas yaitu identitas yang menguasai
dan identitas yang melakuan perlawanan dan identitas proyek untuk
meredefenisi posisis mereka dalam masyarakat.
6
Ibid Manuel Castells Volume II hlm 8
7 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutik Pascakolonial – Soal Identitas,Yogyakarta : Kanisius,
14 Richard Jenkins8 dalam bukunya Social Identity menjelaskan Pertama, identitas dalam pencapaian yang praktis adalah sebuah proses. Kedua, individu dan kolektif identitas dapat
dipahami dengan menggunakan satu model dari proses dialektik dalam definisi internal dan eksternal. Untuk kembali kepada pemahaman tentang model tiga 'urutan', ada lebih dipertaruhkan di sini, namun, dari pemahaman yang lebih baik tentang identifikasi. Mungkin
yang paling gigih masalah dalam teori sosial adalah struktur-tindakan masalah paling baru diterjemahkan sebagai perdebatan tentang 'structuration' (Parker tahun 2000).
Peneknan relasi antara identitas individual dan identitas sosial semakin jelas ketika memperhatikan pendapat Jenkins bahwa seluruh identitas manusia ditentukan oleh definisi identitas sosoial. Mengidentifikasi diri sendiri atau mengidentifikasi orang lain adalah
persoalan makna, dan pemakanaan ini selalu melibatkan interaksi yang akan meliputi persetujuan atau ketidaksetujuan, inovasi, komunikasi, dan negosiasi.9
Membicarakan seputar identitas seolah-olah tidak terlalu penting karena identitas seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat saja megklaim
bahwa dirinya telah mengetahui tentang identitas dirinya maupun identitas orang lain. Ada banyak kategori identitas yang diperkenalkan dalam keseharian misalnya ayah, ibu, anak, guru, pegawai, direktur dll. Bahkan kadang-kadang dianggap bahwa identitas itu merupakan
sesuatu yang ada begitu saja pada diri seseorang (sui generis) atau juga merupakan pemberian dari orang lain yang berada di lingkungan sekitar sebagai sebuah proses yang
begitu saja terjadi.
Meskipun identitas terkadang dianggap sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja secara ilmiah namun pernakah terpikirkan persoalan identitas pada dasarnya tidak sederhana parktek
seperti yang terjadi yang dilakukan oleh manusia sehari-hari. Pergumulan pemahaman tentang identitas merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Sebagai contoh misalnya
8 Richard Jenkins, Social Identity
First published in the USA and Canada: Routledge 2004 Hlm 23-24
9 Richard Jenikins, Social Identity, Second Edition (New York Routledge Taylor & Francis e-Liberary, 2004),
15 seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai guru, apakah dengan penyebutan seperti itu maka orang tersebut telah memberikan identitas pada dirinya? Atau hanya memperkenalkan kepada
orang lain tentang pekerjaannya yang ia lakukan sehari-hari. Dari situ dapat dilihat bahwa pada level tertentu ternyata identitas itu berkenaan dengan tindakan. Menurut Richard Jenkins, apapun identitas itu, menurut dirinya sendiri, dapat dipastikan menyebabkan
tindakan.10 Dalam korelasi yang ditemukan oleh Jenkins ini tampaknya mengandaikan identitas sebagai sebuah kategori, entah individual atau sosial yang menuntut seseorang
berperilaku sesuai dengan identitas yang ia emban. Pada sisi lain mungkin juga korelasi ini memahami identitas adalah peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami identitas lebih mendalam lagi, maka perlu terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan identitas secara paling sederhana dan mendasar.
Menurut Jenkins, intinya bahwa identitas adalah kemampuan manusia untuk mengetahui siapa adalah siapa atau apa adalah apa. Hal ini melibatkan kemampuan untuk mengetahui
atau mengenal siapa diri kita, mengetahui siapa orang lain, orang lain mengenal siapa diri kita, kita mengetahui siapa diri kita menurut orang lain, dan seterusnya; sebuah klasifikasi atau sebuah pemetaan multi-dimensional terhadap dunia manusia dan tempat diri kita di
dalamnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok.11 Berdasarkan penjelasan ini maka koponen penting dalam sebuah upaya untuk mengerti sebuah identitas itu
adalah sebuah proses identifikasi.
b. Identitas Individual
Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersumber dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan mereka dalam suatu kelompok sosial dengan
16 berbagai jenis nilai, norma, dan ikatan emosional yang berkembang dalam kelompok tersebut. Identitas tersebut merupakan identitas kolektif yang tidak mensyaratkan
masing-masing angota kelompok sosial tersebut untuk saling mengenal dan memiliki hubungan personal yang dekat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya selama berada dalam
kelompok sosial tertentu dengan disertai internalisasi nilai-nilai, emosi partisipasi, rasa peduli dan bangga sebagai anggota kelompok tersebut.12
Verhaar memandang bahwa persoalan identitas pertama-tama berangkat dari pertanyaan siapa itu manusia, pertanyaan itu menurutnya dapat dijawab dengan dua pendekatan yaitu pendekatan “keakuan” dan pendekatan “kedirian”. Pendekatan pertama
memandang bahwa identitas manusia itu berada.13 Kedirian itu mencakup juga fungsi interaksi individu dengan lingkungan yang tidak pernah statis.
Tidak jarang dalam interaksi tersebut ditemukan seperangkat nilai, bentuk, dan ideologi yang sama atau berbeda antar individu. Semua hal “yang sama” tersebut dalam
kumpulan individu, kemudian menjadi identitas sosial yaitu sebuah kumpulan individu dengan identitas yang sama. Dengan kata lain identitas sering dipahami sebagai sebuah nilai atau gambaran tertentu yang membedakan atau menyamakan membatasi sekaligus
menyatukan individu dengan individu lain atau kelompok lain.14 Identitas sosial kemudian
berkembang menjadi sebuah “pengetahuan” individu tentang keanggotaanya dalam kelompok
yang disertai internalisasi nilai dan keterlibatan emosi sebagai anggota kelompok.15
12 John C. Turner. 1982. ”Toward Kognitive Redefenition Of The Social Group”. In Henri Taifel (ed.). Social
Identity and Group Relations. Cambridge: Cabridge University Press. Hlm 17-18
13 Jhon W.M. Verhaar, SJ, Identitas Manusia menurut Psikologi dan Psikiatri Abad-20 (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius & BPK Gunung Mulia
14 Harold R. Isaacs, Pemujaan Kelompok Etnis : Identitas Kelompokdan Perubahan Politik. (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1993), p. 40-43.
15 Pemahaman Henry Tajfel yang dikutip oleh M.J. Nasrul Huda dalam M.J. Nasrul Huda, Imajinasi
17 Dalam teori identitas sosial, sebuah identitas sosial adalah seseorang yang mengetahui bahwa ia memiliki sebuah kategori atau kelompok sosial mengatakan suatu
kelompok sosial dan individu yang memegang peranan sosial yang sama yaitu identifikasi dalam melihat diri mereka sebagai anggota dari kategori sosial yang sama. Melalui sebuah proses perbandingan Sosial, orang yang mirip dengan diri sendiri adalah dikategorikan
dengan diri sendiri dan diberi label yang di kelompok; orang yang berbeda dari diri sendiri yang dikategorikan dari kelompoknya. Di awal, identitas sosial termasuk emosional, evaluatif
dan psikologis lain berkorelasi dari dalam klasifikasi dalam kelompok.
Pendekatan Interaksionisme simbolis struktural diatas mengindikasikan pendapat Richard Jenkins yang menyatakan bahwa identitas manusia selalu merupakan identitas sosial
karena selalu berkaitan dengan keberadaan orang lain yang ada disekitar. Mengidentifikasi diri sendiri, atau mengidentifikasi orang lain, adalah persoalan pemaknaan selanjutnya,
pemaknaan selalu melibatkan interaksi dan persetujuan atau ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi, komunikasi dan negosiasi.16 Dari situ secara implisit memberikan pemahaman bahwa seorang individu mempengaruhi masyarakat melalui tindakan individual misalnya membuat kelompok, organisasi, jaringan keja dan lembaga. Demikian juga sebaliknya masyarakat mempengaruhi seorang individu melalui berbagai bahasa, makna, dan struktur yang telah
tersedia, sehingga memampukan seseorang untuk memainkan peran ketika bertemu dengan orang lain, ikut serta dalam interaksi sosial dan merefleksikan diri oraang lain sebagai objek.
Hal ini sejalan dengan pemaknaan bahwa identitas sosial itu pada dasarnya pemahaman seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari sebuah kategori sosial atau kelompok. Suatu kelompok sosial adalah sejumlah individu yang berpegang pada identifikasi sosial yang sama
atau memandang diri mereka sebagai anggota dari sebuah kategori sosial.17 Dari situ
16 Jan E.Stecets And Peter J.Burje, A Sosiological Aparoch to self And Identity (Depatement Of Sosiology:
Washington State University, tanpa tahun), 10, http//.www.people. fas.harvard.edu
17 Jen E.Stets And Peter J. Burke, Identity Theory and Social Identity Theory, Washington State University,
18 tampaklah bahwa suatu tema penting lainnya dalam memahami identitas adalah kategorisasi, atau dengan kata lai bagaimana seseorang mengkategorikan dirinya dalam masyarakat atau
komunitas. Kategori ini juga akan berdampak pada klasifikasi tentang in-group dan out-group.
Ketika seseorang menjadi anggota kelompok tertentu atau mengidentifikasi dirinya
dalam sebuah kelompok maka dapat dikatakan dia memiliki identitas sosial. Menurut Tajfel, identitas sosial merupakan pengetahuan individu di mana dia merasa sebagai bagian dari
komunitas suatu anggota masyarakat yang mempunyai emosi dan norma yang sama.18 Karena itu menurut Abraham dan Hogg bahwa identitas, khususnya identitas sosial, memiliki keterhubungan dengan persaan menjadi bagian dari satu kelompok. Keterhubungan ini dalam
pengertian bahwa konsep diri seseorang atau identitas seseorang itu merupakan gambaran diri yang adalah pendefinisian karakteristik kelompok sosial yang ada di dalamnya seseorang itu
mersa menjadi bagiannya.19 Karakterristik kelompok sosial dapat juga merupakan kategori sosial yang berbentuk bangsa, ras, etnis, golongan, pekerja, umur, agama, suku, gender.20 Keberedaan seorang individu dalam sebuah kelompok tentunya akan membawanya pada perilaku dan cara pandang yang sama dengan anggota kelopok lainya. Menurut Jan E. Stets dan Peter J.Burke, ketika sesorang telah memiliki identitas sosial dan menjadi bagian dari
sebuah kelompok, maka ia akan melihat segala sesuatunya berdasarkan prespektif dari kelompok tersebut.21
Selain merujuk pada kategori sosial sebagaimana yang dijelaskan di atas, ternyata identitas sosial juga dihubungkan dengan kategori-kategori peran yang dimainkan oleh seseorang dalam masyarakat. Menurut David Snow, peran-peran tersebut misalnya sebagai
18 H. Tajfel, Sosial Categorization, dalam S Moscovici (ed.) Introduction a la Psycology Social, Vol I, Paris:
Larausse 19 72), 31, dalam Michael A. Hogg dan Dominic Abraham, Social Identification – Sosial
Pyshcology of Intergroup Relation And Group Processes (Routledge : New York 1998), hlm 7
19 Michael A. Hogg dan Dominic Abrahams, Social Identification-A Social Psychology of Intergroup Relation
and Group Processes, (Routledge: New York, 1998), hlm 7
20 Ibid hlm 13.
19 ibu, guru, dll. Bahkan dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat juga bekenan dengan peran-peran sosial berdasarkan kategori gender atau etnik. Namun apapun kategori sosial yang
dihubungkan dengan identitas seseorang, tetap saja identitas tersebut sangat signifikan dalam interaksi sosial sebgai titik orientasi untuk menentukan orang lain sebagai objek sosial.22
Dalam pandangan Hogg23 proses identitas sosial melalui terjadi melalui tiga tahapan
yaitu Social Categorization, Prototype, dan Depersonalization. Untuk memahami apa yang dimaksud oleh Hogg diatas penulis akan membahasnya satu persatu. Kategorisasi sosial
berdampak pada definisi diri, perilaku, persepsi pada prototype yang menjelaskan dan menentukan perilaku. Ketika ketidakmenentuan identitas ini terjadi, maka konsepsi tentang diri dan sosialnya juga tidak jelas. Prototype juga bisa menjadi sebuah momok bagi kelompok
sosial. Dengan memberikan prototype yang berlebihan pada kelompoknya, maka penilaian yang dilakukan kepada kelompok lain adalah jelek. Sterotype akan muncul pada kondisi
seperti ini. Pada dasarnya stereotype muncul dari kognisi individu dalam sebuah kelompok. Stereotype juga bisa muncul dari kelomopok satu terhadap kelompok lain yang berada diluar
dirinya.
Secara kognitif, orang akan merepresentasikan kelompok-kelompoknya dalam bentuk prototype- prototype. Selain itu atribut-atribut yang menggambarkan kesamaan dan hubungan
struktur dalam kelompok. Hal ini dilakukan untuk membedakan dan menentukan keanggotaan kelompok.24
Sampai pada tahap ini penulis tidak berupaya untuk mengeliminasi atau juga menerima teori-teori tertentu, namun minimal terdapat beberapa konsep penting yang dibutuhkan dalam eksplorasi tentang identitas yaitu:
22 David Snow, ”Collective Identity and Expressive Forms”, (University of California, 2001), hlm 23
23 Hogg, Michael A. the social identity Prespective: intergroup relation. Self-Conception, and small Group,
small Group research, Vol 35 No. 3 June 2004. (sage publication,2004). Hlm 254.
20 Identifikasi, yaitu upaya untuk memilah dan memilih berbagai kategori yang ada
dalam dunia manusia untuk dijadikan identitas diri atau kelompok.
Kualifikasi, yaitu upaya untuk menentukan rentang antara suatu kategori dengan kategori laiannya. Kualifikasi tertentu juga berhubungan dengan “kualitas” yang
dapat dimengerti sebagai apa-apa saja yang dapat disebutkan pada diri seseorang atau kelompok. Dalam konteks pembahasan tentang identitas maka kualitas lebih
mengarah pada aspek dari seseorang atau kelompok yang dianggap baik dan bermanfaat.
Kategorisasi, yaitu upaya untuk mengelompokkan dan memeberi pemaknaan
terhadap sesuatu. Dalam konteks pembahasan tentang identias, maka kategorisasi
merupakan upaya manusia untuk mengelompokkan dan memberi pemaknaan terhadap kelompok-kelompok sosial dan peran sosial yang menjadi bagian dari dirinya.
Transaksi atau dialktika sosial, yaitu proses saling mempengaruhi antara
kenyataan subjektif dengan masyarakat sebagai struktur sosial sehingga dapat membentuk, memelihara, dan mengembangkan identitas tersebut.
Ketika sebuah kelompok atau komunitas tertentu menjadi wadah bagi individu
untuk mengkategorikan identitas sehingga menjadi identitas sosial, maka pada dasarnya individu-individu itu mempunyai pemahaman dan permasalahan yang juga
sama sehingga dapat saja menghasilkan representasi sosial. Dalam hal ini representasi sosial ini para ahli memiliki beberapa pandangan yang bervariasi. Menurut Doise, representasi hubungan sosial juga diartikan sebagai persoalan prinsipal antara
hubungan simbolik yang juga terorganisasi.25
25 W. Doise, Les representations sociales: un label de qualite, 1988, 106, dalam Annamaria Silvina de Rose,
21
2.3 Proses Pembentukan Identitas26
Karya berikutnya yang akan dikaji adalah karya sosiolog strukturalis bernama Peter J. Burke yang ditulis bersama istrinya, Jan E. Stets27 berjudulkan “Identity Theory”. Agar tidak terpesona dengan grand title buku tersebut, terlebih dahulu diuraikan sekilas konteks atau latar belakang buku tersebut. Buku ini Identity Theory (tampaknya) dapat dikatakan seperti buku teks tentang teori identitas. Metode penelitian yang dikembangkan untuk buku ini adalah kuantitatif dengan survei ke banyak responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat terukur untuk membuktikan hipotesa-hipotesa yang diajukan oleh kedua penulis ini
tentang identitas. Respondennya jelas adalah masyarakat Barat. Displin ilmu yang digunakan untuk Identity Theory ini adalah sosiologi, sesuai dengan latar belakang keilmuan kedua penulis, terutama Burke.
Letak perbedaan antara karya Burke dan Stets dengan Castells sebenarnya terletak pada fokus kajiannya. Jika Castells merampatkan kajiannya pada identitas kolektif, maka
Burke dan Stets menempatkannya pada identitas personal. Alasan yang dikemukakan oleh Burke dan Stets sangat jelas, bahwa esensi atau dasar dari identitas terletak pada identitas
personal sebuah kenyataan yang diakui oleh Castells, tetapi Castells memiliki fokus di identitas kolektif karena konteks yang dipilih adalah masyarakat jaringan. Basis teori yang digunakan oleh Burke dan Stets untuk membangun Identity Theory adalah interaksionisme
simbolik (symbolic interactionism), agen dan struktur sosial sebagai penyangganya terkait bahwa pemfokusannya pada level personal (identitas individu) tidak bisa dilepaskan dari
peran agen (aktor) dan struktur yang mendominasi si individu. Melalui interaksionisme simbolik, Burke dan Stets dalam menyentuh kedalaman Identitas yang berasal dari individu,
26
Jan E. Stets & Peter J. Burke, Identity Theory And Social Identity Theory, (Washington State University 1998) hlm 2-4
22 yaitu dengan menggunakan instrumen utama the self, language, sign, and symbols, dan interaction yang menjadi fondasi interaksionisme simbolik.
Kemudian, oleh Burke dan Stets interaksionisme simbolik ini ditopang dengan teori control system, namun basis utamanya tetap interaksionisme simbolik. Terkait dengan agen atau aktor yang menjadi fokus kajian Burke dan Stets berpendapat bahwa perbedaan antara
person dan agent pusat teori identitas, di mana dalam teori identitas, sebuah identitas adalah seorang agen, dan setiap orang memiliki banyak identitas (lebih dari satu identitas).28
Ini yang mempertegas keduanya untuk tetap kukuh pada perspektif interaksi simbolik struktural untuk membidani dan mengkonstruksikan teori identitas, dan berpandangan bahwa sebuah identitas juga merupakan sebuah kontruksi teoritis.29 Perbedaan yang mencolok antara Castells dengan Burke dan Stets adalah pada basis identitasnya. Castells lebih menyeluruh dalam menyusun dan menguraikan basis identitas. Burke dan Stets membasiskan identitas
pada peran (role), grup / kelompok (group), dan perorangan / individu (person). Meskipun terlihat sangat sempit dan kaku, namun basis identitas yang digunakan Burke dan Stets tidak
dapat dilepaskan dari fondasi teori yang digunakannya, serta metode kuantitatif yang digunakan untuk mendapatkan validitas data untuk teori identitasnya.
Dengan kata lain, dalam teori identitasnya, Burke dan Stets menjadikan identitas itu
benar-benar terstruktur dengan rapi terhadap identitas individu melalui interasi simbolik struktural-nya, dan dengannya teori identitas dikontruksikan. Keunggulan dari pendekatan
yang digunakan oleh Burke dan Stets adalah pada ketegasan dan kejelasan tentang Identitas yang dikonstruksikan melalui pendekatan interaksionisme simboliknya. Sasarannya tepat untuk membidik identitas itu sendiri yang berhulu pada individu. Ini yang menyebabkan
pengkonstruksian teori identitas yang dilakukan keduanya menjadi tegas dan jelas. Tepat digunakan sebagai buku teks, tetapi dengan catatan, bahwa teori ini dibangun pada satu
23 perspektif dan satu konteks yang sangat terbatas pada masyarakat modern yang menurut mereka sudah secara rapi terstruktural.
Dari pandangan psikologi sosial, kita perlu membangun teori umum. Karena itu, Stets dan Burke mengulas mengenai teori identitas dan teori identitas sosial. Meskipun ada perbedaan dalam kedua teori ini pada penekanannya tetapi kedua teori ini dapat dihubungkan
guna membangun pandangan integritas diri. Sebelumnya kita lihat konsep mengenai diri. Dalam kedua teori ini, diri itu refleksif yang bisa menjadikan dirinya sendiri sebagai objek
dan bisa dikategorikan, diklasifikasi atau menamakan dirinya sendiri dalam cara tertentu dalam kaitannya dengan klasifikasi atau kategori sosial lainnya. Proses ini disebut self-categorization dalam teori identitas sosial sedangkan dalam teori identitas disebut identifikasi. Melalui kedua proses inilah terbentuknya identitas. Identitas seseorang terdiri dari pandangan diri yang muncul dari aktivitas refleksi self-categorization atau identifikasi
dari keanggotaan dalam kelompok atau peran tertentu.
Dalam teori sosial dan identitas teori, diri sendiri adalah refleksi yang dapat
mengambil sendiri sebagai obyek dan dapat mengkategorikan, menggolongkan, atau nama itu sendiri dalam cara tertentu dalam kaitannya dengan hubungan sosial dengan yang lainnya atau klasifikasi kategori. Proses ini disebut sebagai konsep diri dalam pengkategorian
identitas teori sosial (Turner, Hogg, Oakes, Reicher, dan Wetherell 1987); dalam identitas teori ini disebut identifikasi (McCall dan Simmons 1978). Melalui proses pengkategorian
atau identifikasi, sebuah identitas ini terbentuk.
Terhadap dua prespektif yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pembahasan tentang identitas, yaitu konsep Barth yang berlatar belakang antropologi sosial, dan konsep
Tajfel yang berlatar belakang psikologi sosial. Menurut Barth, bahwa identifikasi dan kolektifitas itu dihasilkan atau muncul dari proses transaksi dan negosiasi individu dalam
24 identitas mereka, khusus keanggotaan mereka dalam kelompok atau budaya tertentu, misalnya kelompok sepermainan, klan, dan suku.30
Pada pihak lain Tajfel berpendapat bahwa keanggotaan kelompok adalah cukup dalam dirinya sendiri untuk menghasilkan identifikasi dengan kelompok tersebut dan meneruskan perilaku terhadap anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan anggota kelompok hal
ini menekankan psikologi sosial yang menekankan kompetisi realistis dan konflik kepentingan sebagai basis bagi kerjasama dan formasi kelompok.31
Dua prespektif di atas setidaknya dapat memberi gambaran umum tentang persoalan identitas. meskipun demikian tidaklah mudah untuk memberikan kesimpulan yang komperhensif tentang identitas. Setidaknya identitas tidak dapat dibatasi hanya pada manusia
semata. Identitas merupakan sesuatu yang dapat diaplikasikan terhadap seluruh ciptaan di alam semesta, entah yang menyangkut manusia, benda, atau bahkan substansi. Karena itu hal
yang membatasinya adalah sebuah spesifikasi terhadap identitas yang dikenakan kepada manusia dalam ruang lingkup dan cara pandang tertentu apabila identitas tersebut
diselaraskan dengan ide pokok tesis ini yang mengetengakan identitas sosial, maka pendapat Barth lebih cenderung cocok dipergunakan. Pandangan atau teori barth masi dinamis untuk di bawah persinggungan dengan bidang sosial (sosiologis). Sebelum lebih jauh mengeksplorasi
lebih jauh tentang identitas dari sudut pandang sosiologis, tampaknya perlu untuk mempertanyakan apakah sesungguhnya identitas dalam bingkai sosial, apakah merupakan
kenyataan objektif atau merupaakan kenyataan subjektif.
Dari gambara Berger dan Luckman ini diperoleh gambaran bahwa dialektika antara identitas dan struktur sosial. Kalau demikian maka hal pokok yang penting untuk
diperhatikan adalah pengaruh struktur sosial. Pertanyaannya apa yang dimaksud dengan struktur sosial dalam konteks identitas ini? apakah kemudian identitas secara otomatis
30 Ibid hlm 7
31
25 merupakan identitas sosial. Dengan referensi pada pendapat Berger dan Luckman di atas maka pembahasan telah masuk pada ranah sosiologi karena pendekatan yang digunakan oleh
mereka telah masuk dalam ranah sosiologi dalam menjelaskan identitas, yaitu salah satu pandngan yang muncul dari iteraksionisme simbol struktural (structural simbolic Interactionism).
2.4 Identitas Dalam Masyarakat Jaringan
Dalam bagian pengantar bukunya The Rise of the Network Society,32 Manuel Castells membeberkan transformasi sosial yang sedang terjadi dalam kecepatan tinggi, di dunia ini
kita hidup menjelang akhir millenium kedua. Revolusi teknologi yang berpusat pada teknologi informasi mulai kembali membentuk basis material dari masyarakat kita.
Perubahan-perubahan terjadi tidak hanya terjadi di bidang teknologi informasi, namun juga di bidang politik, kultural, ekonomi, dan hubungan sosial. Sekedar deskripsi dari Era Informasi ini: paradigma patriakalisme banyak diserang oleh kaum feminis, relasi antara laki-laki,
perempuan dan anak-anak dalam keluarga berarti juga seksualitas dan personalitas, telah didefenisikan ulang. Kesadaran lingkungan juga semakin menrobos masuk lembaga-lembaga
masyarakat yang tadinya tidak peduli. Sistem-sistem politik dilanda krisis legitimasi, terkoyak di antara skandal dan intrik, survivalitasnya amat tergantung pada bagaimana media (yang tidak selalu massa) mengeksposnya. Gerakan-gerakan sosial cenderung semakin
terfragmentasi, lokalitas, dan berorientasi pada satu isu tunggal saja. Dalam dunia yang dengan kadar perubahan yang membingungkan semacam ini orang cenderung membentuk
kelompok-kelompok yang berbasis pada identitas primer mereka seperti religius, etnis, teritorial, nasional. Fundamentalisme religius entah itu datang dari Kristen, Islam, Yahudi,
32
Manuel Castells, The Information Age : Ekonomy, Society and Kultur Volume I : The Rise of The Network
26 Hindu dan bahkan Buddha mungkin menjdi kekuatan yang paling mengerikan yang mengancam rasa aman kita yang berada di dunia ini.
Dalam dunia dengan pusaran arus kekayaan, kekuasaan dan imaji berskala global, pencarian identitas, baik itu kolektif maupun individual menjadi sumber paling dasar dari makna (pemaknaan), the fundamental source of meaning. Pencarian identitas dan makna,
diakui bukanlah sesuatu yang sama sekali baru sebab identitas, khusunya identitas berbasis agama dan etnis, memang sudah menjadi akar makna hidup manusia sejak peradaban hadir di
atas muka bumi ini. Namun dewasa ini, dalam sebuah periode destrukturasi, organisasi, delegitimasi institusi, melenyapnya gerakan-gerakan sosial yang berdampak besar, dan ekspresi kultural yang bersifat sementara (ephemereal), identitas semakin menjadi sumber makna yang utama untuk tidak mengatakan satu-satunya. Orang semakin mengatur, menata makna hidup mereka bukan diseputar apa yang mereka lakukan, tapi lebih berbasis pada
apa-nya mereka, atau apa yang mereka percaya.
2.5 Bagaimana Masyarakat Mengkonstruksi Identitas
Menurut pandangan Manuell Castells terbentuknya indentitas dan individu, komunitas
sosial, dan hubungan dengan masyarakat sosoial dalam membentuk seluruh berkas-berkas ini dan mengatur juga maknanya suapaya sesuai determinasi dalam konteks sosial dan proyek-proyek kultural yang bertumbuh dalam masyarakat sosial mereka, dengan kerangka waktu
dan tempat dalam komunitas masyarakat. Konstruksi sosial dalam hubungan dengan identitas akan berlangsung dengan konteks yang diikuti dalam hubungan relasi-relasi kekuasaan,
dalam hubungan dengan itu maka ada 3 macam proses pembentukan identitas: a. Identitas Pembenaran
27 Dalam proses pebentukan identitas mempunyai dampak yang sangat berbeda dalam suatu kelompok masyarakat. Identitas pembenaran pada umumnya mempunyai makna
sama dengan kelompok masyarakat sipil, macam-macam organisasi dan lembaga intitusi, beberapa segi dari pembentukan dengan aktor organisasi sosial yang produktif dan terkadang berlangsung dalam keadaan kolektifitas, identitas yang
dimaknai menjadi sumber dominasi struktural terhadap kelompok identitas lain. b. Identitas Perlawanan
Identitas Perlawanan diperlihatkan oleh kelompok sosial yang berada dalam kondisi posisi tertindas dan dicap sangat rendah oleh aktor yang mendominasi, oleh sebab
itu untuk membangun tindakan menolak atas dasar struktur yang tidak adil karena bertentangan dengan kondisi kelompok yang didominasi. Identitas tersebut dilakuakan atas alasan dan bentuk penolakan secara kolektif akan suatu proses yang
mendominasi dalam memberikan suatu bentuk tekanan yang sudah tidak dapat di tahan dan menjadi dasar dari pembentukan identitas ini di bentuk juga oleh latar
belakang historis dan geografi juga biologi. Contohnya: salah satu komunitas di Ambon yang merasa didominasi sekian lama dalam birokrasi pemerintahan melakukan perlawanan balik sehingga mengakibatkan konflik terjadi atas suatu
bentuk perlawanan karena kebijakan-kebijakan yang tidak adil atas satu kelompok di Ambon.
c. Identitas Proyek
Menurt Castells Identitas proyek dapat terjadi bila kelompok-kelompok sosial atas
dasar proses budaya yang ada bagi kelompok suatu masyarakat dalam mengembangkan suatu identitas baru dalam melihat peran suatu kelompok dalam masyarakat, dan cara itu berusaha untuk membaharui suatu stuktur masyarakat.
28 direvitalisasi kembali sebagai perekat dalam mendamaikan kedua komunitas agama yang berkonflik di Ambon.
Dari penjelasan tadi, dapat dilihat bahwa identitas adalah hasil pemaknaan oleh aktor-aktor kelompok sosial yang terjadi dalam suatu komunitas masyarakat. Dari pemaknaan tersebut (dalam hubungan dengan identitas), dan didasarkan pada suatu persamaan dalam
usaha untuk memetakan sutu komunitas sosial yang bermacam-macam “identitas dalam hubungan dengan identitas yang positif”. Identitas tersebut dipahami dalam hubungan dengan
hubungan kekuasaan, oleh karena itu identitas ini menjadi penyebab persoalan seperti yang dijelaskan oleh Manuel Castells dalam hubungan dengan tiga bentuk dan asal dari pemaknaan identitas. Castells menjelaskan tentang identitas yang bersifat kolektif. Identitas yang bersifat
kolektif akan selalu mempunyai hubungan antar kelompok masyarakat. Menurut Castells ketika suatu kelompok yang nampak mendominasi identitas yang didominasi pasti muncul
pertentangan dalam hubungan dengan identitas baru. Oleh sebab itu teori ini sangat potensial sebagai tools dalam melihat persoalan-peroalan konstruksi identitas Islam-Kristen dalam relasi-relasi kekuasaan sehingga menyebabkan konflik berkepanjangan.
2.6Konflik Sosial
Konflik adalah suatu benturan seperti “benturan” seperti perbedaan pendapat,
persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik terjadi antara kelompok yang memperebutkan hal yang sama.33
Digirolamo menuliskan konflik adalah suatu proses yang dimulai ketika seorang individu atau kelompok tertentu merasa berbeda dan berlawanan antara dirinya sendiri dan
29 individu atau kelompok lainnya tentang kepentingan dan sumberdaya, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, atau praktek-praktek yang menyangkut hal tersebut bagi mereka.34
Konflik adalah suatu situasi yang dipenuhi oleh tingkat kompleksitas yang tinggi. Tingkat kompleksitas tersebut menandai perjalanan konflik pada posisi pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Interaksi sosial masyarakat yang dipenuhi dengan
berbagai dinamika merupakan fakor utama pemicu suatu situasi konflik.
Karena itu suatu konflik terutama menyangkut bidang-bidang kehidupan aktual
manusia, sangat bersifat kompleks. Dalam berbagai bidang kehidupan manusia, konflik dihasilkan oleh hubungan antara berbagai faktor dari segi-segi kompleksitas struktur suatu masyarakat.35 Ada beberapa contoh konflik di bawah ini.
a. Konflik Ekonomi
Manusia seringkali menghadapi keterbatasan sumber-sumber penghidupan.
Jumlah manusia berkembang lebih cepat dari pada sumber daya yang mereka butuhkan. Walaupun manusia mengembangkan berbagai teknologi yang dapat
melipatgandakan produksi, sebagian manusia masih hidup dalam situasi kelaparan dan kemiskinan karena keterbatasan produksi makanan dan sumber penghidupan lainnya. Konflik ekonomi sering disebabkan karena perebutan sumber ekonomi
yang sangat terbatas.36
b. Konflik Politik
Setiap negara yang ada di dunia ini seringkali mengalami persoalan yang
dikatakan sebagai persoalan konflik politik, bahkan secara terus menerus. Politik adalah pengumpulan kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan dan penggunaan kekuasan untuk mencapai tujuan atau merealisasikan ideologi. Jadi, persoalan
34 Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penelitian (Jakarta Salemba Humanika
2010), hlm 5
30 konflik politik juga adalah konflik yang terus terjadi karena oknum-oknum yang terlibat konflik berupaya mendapatkan dan mengumpulkan kekuasaan dan
menggunakan kekuasaan itu untuk mencapai tujuan ideologinya.37
c. Konflik Agama
Sepanjang sejarah perjalanan masyarakat sosial, juga terjadi terjadi bermacam-macam konflik yang berhubungan dengan agama. Persoalan konflik agama juga
bisa sering terjadi karen kedua pemeluk agama yang sanagat berbeda dan antara pemeluk satu agama yang sama. Konflik yang menyangkut dengan agama merupakan konflik diantara pemeluk, bukan konflik diantara ajaran atau kitab suci
ajaran agama. Dari segi ajaran dan kitab suci agama, memang ada perbedaan mengenai ajaran agama. Ajaran agama Islam berbeda dengan agama Katolik,
Protestan, Hindu atau Budha. Perbedaan diantara ajaran agama merupakan objek dari ilmu perbandingan agama. Akan tetapi, pihak yang terlibat konflik bukan
kitab suci, doktrin, atau ajaran agamanya, melainkan para penganut agamanya atau umatnya. Kitab suci tidak bisa berpikir atau berbicara. Pihak yang bisa berpikir merupakan para pemeluk agama yang melaksanakan pemaknaan terhadap
kitab suci dalam kehidupan. Konflik antara penganut suatu agama, konflik antara agama dan ilmu pengetahuan, konflik diantara para penganut agama yang
berbeda, konflik karena pemanfaatan agama untuk mencapai tujuan tertentu seperti tujuan ekonomi, politik, sosial dari seseorang individu atau suatu kelompok tertentu.38
37 Ibid hlm 67
31 d. Konflik Sosial
Fenomena konflik sosial dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Pertama,
konflik sosial timbul karena masyrakat terdiri atas sejumlah kelompok sosial yang mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Masyarakat tersusun dalam kelompok dan strata sosial yang berbeda-beda. Dalam masyarakat feodal,
masyarakat dikelompokan dalam golongan bangsawan, golongan priyai, dan golongan rakyat biasa. Marx mengklasifikasi beberapa kelompok masyarakat
dalam kategori golongan kapitalis (borjuis) dan golongan proletar. Konflik sosial dapat terjadi antara kelompok masyarakat yang berstrata sosial yang berbeda atau berstrata sosial yang sama. Kedua, kemiskinan bisa memicu terjadinya konflik
sosial. Sosiolog mengelompokan masyrakat menjadi golongan atas (golongan kaya raya), golongan menengah (golongan kaya), dan golongan bawah (golongan
miskin). Perbandingan ketiga golongan ini adalah seperti piramida. Golongan kaya berdiri di puncak piramida dengan jumlah yang sedikit disusul golongan
menengah, lalu golongan miskin di bawah piramida dengan jumah yang makin besar atau banyak. Ketiga, konflik sosial bisa terjadi karena terjadinya migrasi manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya. Konflik biasanya terjadi antara
penduduk asli dengan kelompok migran. Keempat, konflik sosial bisa terjadi antara kelompok sosial yang mempunyai karakteristik dan perilaku yang inklusif.
Kelompok-kelompok sosial tersebut saling terpisah dan ingin mendominasi kehidupan politik, ekonomi, dan kemasyrakatan. Pemisahan antara kelompok sering menimbulkan prototype, prasangka, stigma dan curiga atau kecemburuan
suatu kelompok sosial terhadap kelompok sosial lainnya. Keadaan ini dapat memicu terjadinya konflik sosial.39
32
2.7 Penyebab Konflik
Winardi40 menjelaskan ada beberapa penyebab yang menimbulkan konflik terjadi: a. Adanya kelebihan peran, menerima terlampau banyak tanggung jawab dan terjadi
karena berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai, hal inilah yang sering menyebabkan terjadinya konflik di dalam diri individu. Salah satu prespektif
tentang konflik di dalam individu mencakup empat macam situasi sebagai berikut: melakukan pendekatan positif terhadap persoalan (approach-approach connflic), melakukan pendekatan sekaligus melakukan penghindaran terhadap persoalan
(approach aviodance-aviodance conflict).
b. Adanya kesalahan dan perbedaan antar individu, atau antara kelompok, kesalahan
atau perbedaan itu adalah dalam prespsi, pendapat, komunikasi, tujuan, nilai-nilai, latar belakang budaya, sosial-ekonomi, sifat-sifat pribadi, dan masih banayak lagi penyebab lainya.
c. Konflik terjadi karena adanya perbedaan pendapat antar kelompok.
d. Konflik ini disebabkan karena adanya situasi-situasi yang tidak sesuai dalam
mencapai tujuan, maksud-maksud atau alokasi yang tidak sesuai untuk mencapai tujuan.
e. Perebutan sumber daya.
f. Sumber daya yang terbatas. g. Prasangka atau diskriminasi.
h. Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Widiarto,41 menyebutkan beberapa penyebab konflik, Seperti:
40
Winardi. Manajemen Konflik. Konflik Perubahan dan Pengembangan. (Bandung : Mandar Maju 1994
33 a. Perbedaan antara orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin
menyebabkan bentrokan orang per orang.
b. Bentrokan anatara kepentingan. Kepentingan dapat bermacam-macam perwujudannya, misalnya kepentingan bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya yang adapat menimbulkan pertentangan atau konflik antara satu
manusia dengan manusia yang lain.
c. Perubahan sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk
sementara waktu merubah sistem nilai dalam masyarakat, untuk sementara waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya berbagai golongan yang berbeda pendiriannya mengenai reorganisasi dan sistem nilai.