• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB IV"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Empat

ORANG AMBON DALAM

DINAMIKA SEJARAH

Pengantar

Untuk mengkonstruksikan orang Ambon dalam dinamika sejarah secara objektif, banyak dibantu oleh hasil-hasil karya dari Z.J. Manusama, Rijali, R.Z. Leirissa, Paramita R. Abdurachman, G.E. Rumphius. F.L. Cooley dan Ziwar Effendi yang pernah melakukan penelitian di Maluku Tengah [khususnya yang berkaitan dengan aspek sejarah]. Di samping itu, tuturan sejarah dari tokoh-tokoh masyarakat juga menjadi penting dalam menggambarkan realitas social tersebut.

(2)

Catatan Sejarah: Kontak dengan Dunia Luar

Tahun 1475 sampai tahun 1675 telah terjadi beberapa peristiwa yang membawa pengaruh-pengaruh besar dari luar, pengaruh-penga-ruh tersebut sangat menggoncang serta mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang luas dalam kehidupan masyarakat-masyarakat kecil di pulau Ambon dan kepulauan Lease. Cooley [1962] mencatat bahwa ada 2 (dua) dorongan atau motif utama yang menjadi penyebab, yakni: rempah-rempah yang sangat digemari dan dibutuhkan oleh orang-orang luar1

• Kontak dengan Kesultanan Ternate dan Tidore

, serta agama-agama yang didatangkan dari luar Maluku. Menurutnya, dalam mengejar dorongan-dorongan utama ter-sebut, banyak motif tambahan menampakkan diri pula, seperti politik kekuasaan, keunggulan militer, perkembangan pendidikan dan lainnya.

Hasil penelitian Cooley [1962] di Alang sebuah Desa di pulau Ambon menunjukkan bahwa, pengaruh penting yang pertama adalah agama Islam yang datang ke Maluku Tengah sebagian besar dari Maluku Utara. Kurang lebih tahun 1480 kekuasaan kesultanan Ternate dan Tidore meluas ke selatan dengan membawa agama Islam ke negeri-negeri di pesisir utara pulau-pulau di Maluku Tengah. Proses peng-islaman itu berlangsung sampai pertengahan abad ketujuhbelas, walau-pun secara lebih pelan-pelan setelah kedatangan Portugis dan Belanda yang membawa agama Kristen. Dengan demikian, proses pengislaman tidak dapat diselesaikan dan berhenti. Menurut Cooley [1962] tidaklah mudah untuk memberikan dokumentasi yang lengkap mengenai proses pengislaman yang terjadi serta akibat-akibatnya, namun ada beberapa perubahan sosial-kultural yang terjadi disebabkan masuknya agama Islam, yakni praktik pemotongan kepala [kepala manusia] guna meme-nuhi kewajiban-kewajiban adat pada saat perkawinan dan pembangun-an-pembangunan tertentu telah dilarang oleh pihak Islam dengan segala konsekuensi perubahan yang nampak dalam bidang adat, misal-nya tuntutan penyerahan harta kawin sebagai ganti penyerahan kepala

1 Lihat, R.Z. Leirissa “Tiga Pengertian Istilah Maluku Dalam Sejarah”. dalam Bungan

(3)

manusia dari pihak pengantin laki-laki kepada orang tua pengantin perempuan. Cooley mencatat bahwa dalam bidang kekerabatan, ada bukti-bukti tertentu bahwa di Ambon, Lease dan Seram sebelum kedatangan pengaruh-pengaruh dari luar, sistem kekerabatan disusun berdasarkan garis keibuan (matrilineal), kemudian mengalami perubahan hingga sekarang penduduk yang mendiami seluruh pulau Ambon, Lease dan Seram mengikuti garis kebapaan (patrilineal). Perubahan ini mungkin saja adalah akibat pengaruh dari luar, khususnya agama Islam yang kemudian diperkuat oleh agama Kristen dan kebudayaan Eropa yang semuanya menganut secara tegas garis kebapaan dalam sistem kekerabatannya. Tentu saja, perpindahan dari agama suku ke agama Islam telah membawa perubahan-perubahan lain juga, terutama dalam lembaga-lembaga keagamaan, tetapi juga dalam lembaga lain seperti ekonomi rakyat, nilai-nilai dan sebagainya. • Kontak dengan Portugis

Sebelum proses Islamisasi itu dapat terselesaikan, telah muncul kekuasaan Portugis di Ambon pada permulaan abad ke-enam belas. Menurut Paramitha R Abduerachman [1972], kekuasaan tersebut telah berlangsung dari tahun 1512 sampai dengan 1605, lebih dari sembilan puluh tahun lamanya dan menampakkan pengaruhnya terutama dalam bidang perdagangan rempah-rempah yang dibarengi dengan penyebar-an agama Kristen, terutama misi Katolik kepada penduduk asli.

(4)

penting yang perlu dijelaskan; pertama, usaha-usaha misi Katolik terutama yang dilakukan oleh Pr. Fransiskus Xaverius pada tahun 1546, maka agama Kristen Katolik telah diterima oleh sebagian dari pendu-duk di Ambon-Lease [Muller-Kruger,1959]2, yang berarti agama suku

atau agama asli diganti dengan agama Kristen dengan segala implikasi dan konsekwensi lain dari kebudayaan asli itu. Pada hal dalam kebu-dayaan asli, agama merupakan unsur pokok yang tidak dapat dipisah-kan dari adat, bahasa, dan lain segi dari kebudayaan; kedua, untuk memudahkan kepentingan perdagangan dan terutama pengawasan, Portugis menempuh kebijakan untuk menurunkan penduduk asli di pulau Ambon dan Lease dari negeri-negeri lama [tempat tinggal per-tama yang letaknya di pegunungan] ke tempat-tempat baru di pesisir pantai. Proses perpindahan ini, ternyata membawa perubahan sosial yang sangat luas dan penting, terutama dalam susunan masyarakat. Dari perspektif sosiologis, kebijakan perpindahan tersebut dapat digam-barkan sebagai realitas yang amat radikal, karena telah menggoncang-kan manusia Ambon dan meninggalmenggoncang-kan pengalaman-pengalaman dalam kejiwaan mereka. Demikian pula dalam interaksi sehari-hari antara orang-orang Portugis dengan orang Ambon dalam berbagai konteks hubungan sosial, telah membawa perubahan sebagai konse-kuensi dari pemasukan unsur-unsur kebudayaan Portuguis ke dalam kebudayaan Ambon, misalnya nama-nama dari beberapa mata rumah3

Sekalipun kehadiran Portugis di Ambon khususnya dan Maluku pada umumnya kurang dari seratus tahun lamanya, dan diganti dengan kehadiran Belanda yang berlangsung jauh lebih lama, namun per-sentuhan kebudayaan Ambon dan kebudayaan Portugis telah mengaki-batkan perobahan dan perkembangan yang cukup mendalam dan abadi sifatnya. Menurut Paramitha R Abdoerachman [1972] bahwa, karena .

2 Muller-Kruger, Th., “Sedjarah Gereja di Indonesia”. Jakarta, 1959. hal.26. Muller mencatat bahwa dari laporan yang disampaikan oleh Pater Marta hingga puncak kekuasaan Portugis di Maluku, jumlah orang Kristen di Ambon kurang lebih 47.000 orang. Bandingkan dengan catatan dari sumber yang sama dari Paramitha R. Abdoerachman [1972].

3 Mata rumah tersebut seperti: de Fretes, de Costa, de Lima, Gomis, Gasperz dan

(5)

itu tidak sedikit orang Portugis yang kawin dengan gadis Ambon dan dengan demikian muncullah suatu golongan Portugis-Mestizo yang menjadi pembawa kebudayaan Portugis di Maluku.

• Kontak dengan Belanda

Pada abad tujuhbelas ditandai dengan kedatangan Belanda di Maluku. Menurut R Z Leirissa [1972] bahwa kedatangan Belanda adalah untuk mendapatkan monopoli perdagangan cengkih di Maluku Tengah antara tahun 1615 dan 1652, bukan bidang keagamaan [Kristen] yang dipentingkan melainkan bidang perdagangan, seperti yang dilakukan oleh misi Katolik sebelumnya. Belanda segera mulai memperluas kekuasaannya atas dasar-dasar yang telah diletakkan oleh Portugis dalam bidang perdagangan, politik dan militer. Menurut C.P.F Luhulima [1971], di dalam waktu tujuh puluh tahun [1605-1675] Belanda berhasil mempertahankan suatu tujuan politik-ekonomi yang juga dikejar Portugis tanpa berhasil, yakni menguasai secara mutlak perdagangan rempah-rempah.

Untuk mencapai tujuan utama tersebut guna memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari daerah Maluku, Belanda tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: pertama, pusat produksi rempah-rempah terutama cengkih dipindahkannya dari Maluku Utara4

4 Di Maluku Utara, Belanda menghadapi saingan dalam perdagangan menghadapi

Inggeris dan Spanyol serta perlawanan gigih dari penduduk asli dan pemimpin-pemimpin mereka.

(6)

negeri di Maluku Tengah mengalami kegoncangan yang besar sebagai akibat penurunan dari pegunungan ke pesisir pantai tersebut; ketiga, politik Belanda mengadakan hongitochten-nya guna mendirikan dan mempertahankan kekuasaannya yang mutlak atas rempah-rempah.

Hongitochten ini tidak lain daripada ekspedisi-ekspedisi perang atau operasi pembersihan [extirpasi] terhadap mereka yang tidak mentaati peraturan Belanda yang mengharuskan supaya produksi rempah-rempah dijual kepada companie saja. Kebijakan politik Belanda yang berlaku saat itu adalah setiap tahun negeri-negeri harus menyediakan sekian banyak kora-kora [perahu perang] lengkap dengan tenaga pendayung untuk membentuk pasukan yang dipimpin oleh Gubernur di Ambon dan dipergunakan untuk memukul negeri-negeri yang menjual rempah-rempah kepada Inggeris dan pihak-pihak lain. Apabila dijumpai masyarakat yang melanggar aturan maka kebun-kebun cengkih dan pala miliknya dirusakkan dan para pelanggar diusir atau dibunuh. Akibat dari pada hongitochten terhadap kehidupan negeri-negeri di Maluku Tengah adalah tidak begitu disenangi oleh mereka yang terpaksa turut. Anak-anak negeri yang pergi tidak semuanya kembali. Ada yang gugur, ada yang hilang dan ada yang melarikan diri.

Sistem Pemerintahan

Dari berbagai sumber sejarah, diketahui bahwa jauh sebelum masuknya budaya dan agama Islam serta masuknya budaya Barat yang membawa agama Kristen pada abad limabelas dan enambelas, di Maluku sudah ada kesatuan-kesatuan masyarakat dengan stuktur dan pemerintahan yang teratur. Seperti telah disebutkan pada bab sebelum-nya bahwa wilayah kebudayaan yang meliputi pulau-pulau, Seram, Buru, Ambon dan Lease memiliki ciri yang menonjol yakni setiap

negeri adalah wilayah otonom yang dikepalai oleh seorang raja atau

upu latu sebagai primus inter pares. Wilayah ini dinamakan oleh Huliselan [2009] sebagai wilayah budaya raja-raja.

(7)

masyarakat-masyarakat kecil yang baru di pegunungan-pegunungan pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut. Masyarakat-masyarakat kecil tersebut sangat sederhana terdiri dari beberapa keluarga saja yang menduduki suatu tempat tertentu. Kelompok kecil ini dikepalai oleh seorang upu atau latu. Dia diakui kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi oleh karena kekuatan yang unggul, baik dalam perang maupun dalam “charisma”. Dia dibantu dalam urusan pertahanan oleh seorang yang disebut malessi [panglima pasukan] dan dalam urusan keagamaan dibantu oleh seorang maweng [imam-dukun] yang mengu-rus segala hal yang berhubungan dengan “dunia yang tak kelihatan itu”. Oleh karena kebanyakan penduduk asli yang mendiami pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut datang dari pulau Seram, maka pola-pola kemasyarakatan dan kebudayaan yang berkembang sangat mirip dengan apa yang terdapat di Seram Barat dan Selatan. Itu lah sebabnya mengapa sampai sekarang pulau Seram disebut oleh orang Ambon sebagai Nusa Ina [pulau Ibu] dan dianggap sumber pokok daripada baik manusia Maluku maupun pola-pola dasar dari masya-rakat dan kebudayaannya [Cooley, 1962].

Lama-kelamaan karena perkembangan dari dalam [kedatangan banyaknya orang serta peperangan antara kelompok-kelompok penda-tang baru dan penduduk yang sudah ada] suatu proses pertumbuhan dan perubahan terjadi di mana masyarakat-masyarakat kecil tersebut bertambah besar atau bergabung satu dengan yang lain sehingga terbentuklah satuan-satuan yang lebih besar yang disebut aman. Salah seorang di antara para upu muncul sebagai yang terkuat dan terpandai; dan dialah yang menjadi latu [yang berkuasa]. Upu-upu lain diberi atau memperoleh jabatan sebagai Soa. Soa adalah bagian dari masyarakat negeri [hena] yang lebih besar, yang terdiri dari beberapa rumahtau

(8)

Cooley [1962] mencatat bahwa akibat pengaruh-pengaruh yang datang dari luar [Maluku Utara, khususnya] dan mungkin dari pulau Jawa dan Irian Jaya, telah berkembang masyarakat-masyarakat yang lebih majemuk lagi, yang di pulau Ambon di sebut Uli [artinya, suatu kelompok aman menjadi satuan pemerintahan dan kemasyarakatan] yang dalam urusan-urusan umum dipimpin oleh seorang Upulatu [yang kemudian disebut raja] dan dalam urusan-urusan perang dipimpin oleh seorang Kapitan [gelaran mana mencerminkan pengaruh dari Jawa dan Portugis], dibantu oleh pemimpin dari masing-masing aman yang secara umum disebut orang kaya. Di kepulauan Lease, ulisiwa dan

ulilima lazim disebut patasiwa dan patalima [pata artinya bagian].

Pengelompokan Masyarakat

Menurut Huliselan [2009], jauh sebelum masuknya budaya dan agama Islam serta masuknya budaya Barat yang membawa agama Kristen pada abad limabelas dan enambelas, di Maluku sudah ada kesatuan-kesatuan masyarakat dengan struktur dan pemerintahan yang teratur. Lebih lanjut dikatakan Huliselan bahwa, setiap wilayah kebu-dayaan terdiri dari berbagai sub-etnik dengan beraneka ragam budaya yang hampir sama sampai dengan memiliki karakteristik tersendiri. Sub-sub etnik membentuk struktur dan sistem pengelompokan masya-rakat yang berbeda satu dengan lain baik di dalam wilayah kebudayaan itu sendiri, maupun antar wilayah kebudayaan. Misalnya di Pulau Seram terdapat tiga kelompok besar yaitu: (1) Kelompok orang-orang Seram Timur; (2) Kelompok Alune di Seram Barat dan Seram Tengah; dan (3) Kelompok Wemale di Seram Tengah. Kemudian kelompok-kelompok ini menyebar mendiami kepulauan Lease, Ambon dan Buru. Kelompok Alune juga disebut sebagai Pata Alune dan kelompok

Wemale disebut Pata Wemale. Pata Alune kemudian menyatakan diri sebagai patasiwa yaitu satu persekutuan adat bagi orang-orang yang memiliki adat yang sama, dan Pata Wemale menyatakan diri sebagai

(9)

Perbedaan antara kedua persekutuan ini sangat jelas kelihatan dalam sistem penamaan kelompok masyarakat di wilayah adat Seram, Ambon dan di pulau Lease. Dalam persekutuan patasiwa, kelompok yang terkecil dinamakan Luma Tau atau Mata Ruma, satu atau beberapa mata ruma membentuk satu uku dan paling banyak sembilan uku membentuk satu aman (Kampung atau Negeri) dan semua aman berada dalam satu persekutuan, yaitu Patasiwa atau Uli Siwa [untuk pulau Ambon dan pulau Lease]. Sebaliknya dalam persekutuan Pata Lima kelompok yang terkecil dinamakan Mata Ruma atau Luma Tau

dan paling banyak lima membentuk satu uku; beberapa uku dan paling banyak lima uku membentuk satu Hena (Kampung atau Negri). Aman dan Uli berada dalam satu persekutuan yang disebut Patalima dan Uli Lima [untuk pulau Ambon dan pulau Lease].

Pola-pola pengelompokan di atas memperlihatkan adanya perbe-daan antara budaya Seram, Lease dan Ambon dengan budaya masya-rakat kepulauan lainnya di Maluku. Bagi orang-orang Ambon, pembe-daan telah dibangun pada tingkat kelompok yang lebih rendah yaitu

aman dan hena. Aman berasal dari kata ama yang berarti Ayah dan

hena berasal dari kata ina yang berarti Ibu. Itu berarti pata siwa

mengklasifikasikan diri mereka sebagai Laki-laki dan pata lima sebagai

Perempuan. Pembedaan ini kemudian mempunyai pengaruh yang luas terhadap berbagai segi kehidupan masyarakatnya pada tingkat aman

dan hena.

Jika ditelusuri secara saksama, maka dapat dikatakan bahwa kelompok patasiwa dan patalima tersebut menganut pandangan hidup monodualistis [Huliselan, 2009] yang mengganggap bahwa suatu kesempurnaan adalah hasil dari dua yang berbeda. Hal ini nyata dari bagaimana mereka memandang kosmosnya. Orang-orang patasiwa dan

(10)

versus pantai (perempuan); Lautan (laki-laki) versus dataran (perempuan) dan lainnya. Dengan demikian patasiwa dan aman adalah

laki-laki serta patalima dan hena adalah perempuan. Dualistis oposisi seperti ini memberikan pengertian bahwa bukan Siwa [Siuw] atau Lima [Lim] yang menentukan jenis kelaminnya, tetapi nilai perempuan dan laki-laki dari fisik manusia telah diambil sebagai satu sistem nilai budaya dalam mengklasifikasi masyarakat dan dunianya dan ini telah dipakai sebagai pedoman hidup para pendukungnya.

Perempuan dan laki-laki adalah dua unsur yang berbeda tetapi satu membutuhkan yang lain, satu tergantung pada yang lain dan satu tidak bisa hidup tanpa yang lain, dengan demikian yang satu tidak bisa eksis didunia tanpa yang lain. Perpaduan keduanya adalah suatu ke-sempurnaan. Dalam kepercayaan asli dapat diketahui bahwa terben-tuknya dunia dan lahirnya manusia adalah hasil pertemuan antara dua unsur yaitu langit [yang laki-laki] dan bumi [yang perempuan]. Pandangan ini mengandung nilai bahwa perbedaan menjamin adanya keseimbangan kosmos, karena satu membutuhkan yang lain dan satu tergantung kepada yang lain. Oleh karena itu, maka untuk mencapai keseimbangan kosmos perlu adanya keharmonisan hubungan atau relasi antar dua yang berbeda [langit dan tanah atau laki-laki dan perempuan].

Patasiwa membutuhkan patalima. Dengan demikian, kebudaya-an ykebudaya-ang tumbuh dalam masyarakat kedua persekutukebudaya-an ini adalah kebudayaan yang saling menjaga keseimbangan hubungan antar keduanya. Artinya dalam nilai budaya yang dikandung oleh kedua persekutuan ini, tidak ada nilai-nilai yang satu harus menguasai atau menundukan yang lain atau yang satu harus menghancurkan yang lain, karena itu dapat merusak keseimbangan kosmos.

(11)

yang sama sekaligus pelindungnya dan mendukung kepercayaan atau adat istiadat yang sama sekaligus melaksanakannya. Oleh karena itu didalam satu hena atau aman tidak boleh didiami oleh orang yang berbeda Pata. Masing-masing mempunyai teritori sendiri, leluhur sendiri dan adat-istiadat sendiri. Orang akan tersinggung kalau tanah-nya diambil, orang akan tersinggung kalau leluhurtanah-nya di hina dan orang akan tersinggung kalau adatnya direndahkan atau dilanggar.

Sesuai dengan pandangan dan sistem nilai yang dianut maka segala pelaksanaan adat yang berdampak pada kekerasan satu kepada yang lain harus dilihat dalam teritori tatanan nilai budaya patasiwa dan

patalima. Segala kekerasan dalam pemenuhan tuntutan adat seperti mengayau tidak bisa dilihat sebagai konflik antar keduanya. Patasiwa

harus mengayau pada patalima dan sebaliknya tidak bisa dilihat sebagai satu konflik parmanen dalam pengertian moderen. Keduanya saling membutuhkan dalam menunaikan adat mereka. Pelanggaran atas tanah milik juga tidak bisa mendorong orang untuk saling menghancurkan atau menundukan atau menguasai karena satu membutuhkan yang lain dalam pemenuhan adat yang lebih tinggi yaitu mangayau. Patasiwa

tidak mungkin mengayau dalam dirinya sendiri [yaitu orang sesama

patasiwa] demikian pula sebaliknya. Karena itu, untuk keperluan tersebut perlu ada orang lain yang sanggup memberi atau menyediakan kelengkapan adat. Di sinilah letak keseimbangan itu.

Dalam perjalanan kehidupan mereka, ternyata nilai-nilai budaya

patasiwa dan patalima tidak mampu bertahan atas gempuran nilai-nilai baru yang datang melalui kekerasan dan paksaan. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai-nilai budaya satu masyarakat dapat mengalami perubahan apabila pendukungnya dipaksa melalui kekerasan untuk menganut nilai baru. Nilai baru yang dimaksud disini adalah nilai kekuasaan dan penaklukan atas kelompok yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan sejarah yang dialami oleh kelompok patasiwa dan patalima.

(12)

berdiam di pegunungan dan tetap pada kepercayaan aslinya. Ini menunjukkan bahwa nilai adanya perbedaan ingin tetap dipertahankan dalam kehidupan bersama kedua kelompok. Di sini tidak ada pemak-saan atau kekerasan yang digunakan dalam penyebaran agama islam.

Seiring dengan itu muncul kekuatan baru yaitu kesultanan Ternate dan Tidore yang ingin memperluas kekuasaan dan pengaruh-nya di wilayah patasiwa dan patalima. Kalau kelompok persekutuan

patasiwa dan patalima merupakan satu persekutuan adat yang tidak memiliki seorang pemimpin sebagai satu kesatuan politik dan tidak memiliki ambisi perluasan kekuasaan dan pengaruh satu terhadap yang lain, ini berbeda dengan kesultanan sebagai satu kesatuan politik dengan ambisi penaklukan dan perluasan wilayah kekuasaan.

Kedatangan kedua kesultanan ini telah merubah berbagai sistem nilai dalam kebudayaan orang-orang patasiwa dan patalima. Patalima

bersekutu dengan kesultanan Ternate yang mengembangkan agama Islam dan untuk tetap mempertahankan perbedaan maka patasiwa

bersekutu dengan kesultanan Tidore dengan tetap mempertahankan kepercayaan aslinya. Tanpa sadar kedua kelompok ini telah masuk dalam satu sistem nilai baru yang berbeda dengan yang mereka anut selama ini yaitu nilai menguasai, ingin menaklukkan, ingin berkuasa sendiri, dan ingin memiliki kosmos sendiri dalam arti tidak ingin berbagi dengan orang lain. Keseimbangan kosmos yang dijaga selama ini melalui penegakan adat, lenyap.

(13)

dalam tatanan nilai kedua kelompok. Dengan lenyapnya nilai menjaga keseimbangan dan keharmonisan kosmos maka bersamaan dengan itu pula lenyaplah pengaruh kelompok tengah sebagai katup pengaman antara keduanya.

Kedatangan bangsa Portogis pada abad enambelas di Maluku disamping untuk berdagang rempah-rempah juga untuk menyiarkan agama Kristen Katolik. Pada tahun 1512 ketika Fransisco Serrao tiba di Maluku [Hitu], sementara terjadi peperangan antara orang-orang Ternate dan Hitu, melawan orang-orang Seram dan Tidore [peperang-an [peperang-antara patasiwa dan patalima saat itu telah berjalan lebih dari será-tus tahun] [R.Z. Leirissa,1972]. Walaupun pada kenyataannya Ternate sudah menguasai sebagian besar daerah, tetapi untuk menguasai secara mutlak mereka [Orang Ternate dan Hitu] meminta bantuan Portogis untuk memerangi musuh mereka dan ini berhasil. Persekutuan ini ternyata karena usaha monopoli rempah-rempah dan penyiaran agama Kristen Katolik oleh Portogis.

Portogis bersekutu dengan patasiwa yang kemudian memeluk agama Kristen Katolik. Dua kelompok baru lahir yaitu Patalima dan Ternate yang memeluk agama Islam di satu pihak dan Patasiwa dan Portogis yang memeluk agama Kristen Katholik yang saling menguasai dan menghancurkan [perang antara keduanya berlangsung dari tahun 1538 – 1605]. Pada saat inilah identitas berdasarkan Agama Islam dan Kristen mulai dipakai sebagai pembeda juga pemaksaan untuk meng-anutnya.

Peperangan sengit di antara kedua kelompok berjalan sampai abad tujuhbelas dengan kedatangan bangsa Belanda yang tujuan utamanya adalah berdagang rempah-rempah, namun dibalik itu seka-ligus juga menyiarkan agama Kristen Protestan. Belanda membantu Ternate dan Patalima melawan Portugis dan Patasiwa. Kekalahan Portugis mendorong Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Untuk itu maka persekutuan dengan Ternate dan Patalima hancur dan terjadi peperangan antara Belanda melawan Ternate dan

(14)

Pada masa yang penuh kekacauan mulai dari masuknya penga-ruh Ternate dan Tidore, kemudian disusul oleh Portugis dan Belanda, telah mengacaukan tatanan budaya masyarakat Maluku. Konsep hidup harmonis dalam perbedaan demi menjaga keseimbangan kosmos hilang, diganti dengan kekerasan, permusuhan dan penaklukkan. Akibatnya, nilai-nilai budaya patasiwa dan patalima tidak mampu bertahan lagi. Karena kekerasan dan pemaksaan maka terjadilah orang dipaksa untuk mengganti Pata dan Agama [kepercayaan] sehingga

patasiwa dan patalima tidak dapat dipakai lagi sebagai identitas utama kelompok. Aman dan hena yang berlokasi di pegunungan [perbukitan] dipaksa turun membuat permukiman di pesisir pantai dan berganti nama menjadi negeri.

Struktur Kekerabatan Orang Ambon

Perjalanan sejarah masyarakat Seram, Ambon dan Lease mem-perlihatkan bahwa nilai-nilai budaya mereka beratus-ratus tahun sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya asing yang tentu sebagian-nya telah diambil alih menjadi miliksebagian-nya. Nilai budaya yang hilang justeru nilai yang sangat pokok dan hakiki bagi masyarakat yang beragam yaitu nilai hidup berdampingan secara bersama dalam satu kosmos.

(15)

leluhur yang sama dan memeluk agama yang sama [Islam atau Kristen]. Di sinilah terjadi segregasi atas dasar agama. Masyarakat yang mendiami satu Negeri adalah hanya mereka yang memeluk satu agama [Islam atau Kristen). Mereka yang berbeda agama walaupun berasal dari satu mata rumah dari negeri itu, harus berpindah mendiami negeri yang ada anggotanya menganut agama lain dari mayoritas penduduk dan dapat bermukim di negerinya tetepi pada lokasi lain yang di-tentukan.

Masa-masa kegelapan di Ambon, dan Lease [termasuk Seram] yang membuat masyarakat menderita dan memecah masyarakat se-luma tau [mata rumah] dan masyarakat se Aman, Hena [negeri], ternyata telah menyadarkan para pemimpin [tua-tua Adat] untuk mengenal jati diri mereka melalui pengenalan kembali nilai-nilai budayanya. Pengenalan diri kembali ini ternyata telah melahirkan ikatan-ikatan baru yang didasarkan atas persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong lintas agama. Para tua adat mulai mencari lagi kerabat-kerabat mereka yang terpisah oleh karena perbedaan agama atau akibat peperangan untuk kembali menjalin hubungan persaudara-an. Bersamaan dengan itu, tumbuh ikatan-ikatan persaudaraan yang didasarkan pada nilai tolong-menolong antar sesama. Ini semua lahir sebagai upaya peredam konflik dan keinginan untuk hidup berdam-pingan secara damai.

Ikatan-ikatan baru tersebut dikenal dengan nama Pela, Bongso, Adi-Kakak dan Gandong, yang lahir sebagai upaya peredaan ketegang-an dketegang-an penghentiketegang-an kekerasketegang-an ketegang-antar sesama ketegang-anak negeri sebagai upaya mengharmoniskan kembali kosmos, ketika nilai-nilai budaya patasiwa

dan patalima tidak mampu dipakai lagi untuk satu kehidupan yang seimbang dalam kosmos.

Apa makna nilai dari ikatan-ikatan baru ini bagi kehidupan kebersamaan?

(16)

negeri atau lebih yang terikat dalam ikatan bongso saling menyapa satu dengan yang lain sebagai bongso. Makna yang terkandung dalam ikatan ini adalah saling menyayangi dan melindungi, layaknya orang tua kepada anak bungsunya atau kakak terhadap adik bungsunya;

• Gandong [sekandung], adalah satu istilah [term] kekerabatan yang digunakan untuk menyatakan hubungan persaudaraan antar anak-anak yang lahir dan berasal dari satu kandungan (rahin Ibu). Ada perbedaan jelas antara saudara sekandung dan bukan. Dalam adat [Seram, Ambon dan Lease] relasi antara saudara sekandung lebih erat dari relasi antar saudara yang bukan sekandung. Hubungan antar saudara sekandung sangat erat dan selalu dalam suasana saling menyayangi, saling melindungi dan saling tolong-menolong. Negeri-negeri yang terkait dalam ikatan gandong, akan saling menyapa gandong satu pada yang lain apabila bertemu;

• Adi-Kaka [Adik-Kakak], adalah satu istilah [term] kekerabatan yang digunakan oleh orang Seram, Ambon dan Lease untuk menjelaskan hubungan atau relasi antara dua orang atau lebih yang berkerabat baik dalam satu keluarga luas maupun keluarga batih dari garis Ibu maupun Ayah, di mana yang lebih tua dianggap sebagai Kakak dan sebaliknya Adik. Hubungan adi-kakak antara dua negeri merupakan hubungan kerabat [ikatan kerabat] yang saling menghormati dan menjaga, yang tua [kakak] kepada yang lebih muda [adik] dan sebaliknya disertai hubungan tolong-menolong antar kedua negeri. Anggota masyarakat negeri yang dianggap sebagai kaka akan me-nyapa adi kepada anggota masyarakat negeri yang dianggap sebagai adik dan sebaliknya;

(17)

ikatan saling membantu, dan masyarakatnya saling menyapa “pela” satu pada yang lainnya.

Dari uraian di atas terlihat bahwa ada dua nilai persaudaraan yang dibangun dalam kebudayaan Seram, Ambon dan Lease oleh pen-dukungnya untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di antara mereka dan ingin hidup bersama sebagai orang bersaudara. Bongso, Gandong dan Adi-Kaka adalah ikatan berdasarkan hubungan geneo-logis. Ikatan ini mengingatkan kita pada ikatan Aman dan Hena yang telah hancur itu. Ikatan Pela adalah ikatan persaudaraan yang lebih luas mencakup kelompok-kelompok yang tidak memiliki hubungan geneologis. Dalam konteks ini yang diharapkan adalah ketenteraman, kedamaian dan keharmonisan hidup walaupun mereka berbeda.

Bongso, Gandong, Adi-Kaka dan Pela ternyata telah mampu meredam nilai-nilai perbedaan, pertentangan dan permusuhan dan membangkitkan lagi nilai-nilai persaudaraan, keluarga, kebersamaan, persatuan, saling menghormati, saling menghargai, saling mengasihi, saling mempercayai, dan saling membantu. Hubungan ini ditegakan melalui nilai-nilai kekerabatan yang mengandung arti tidak mungkin anggota sekerabat [adik dan kakak, saudara sekandung] akan saling membunuh saling menghancurkan dan saling memerangi. Bagaimana nilai kerukunan ini telah diwujudkan dapat kita lihat dari nilai-nilai tolong-menolong untuk sama-sama membangun negeri melalui sum-bangan tenaga maupun materi dari satu negeri pada negeri yang lain, misalnya dalam membangun Mesjid, Gereja, Baileu5

5Baileu adalah rumah adat yang dipergunakan masyarakat suatu negeri sebagai tempat dilakukan pertemuan dan pelaksanaan acara-acara adat.

(18)

Kesimpulan

Dinamika sejarah yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa masuknya para penjajah selain dengan tujuan untuk memperluas wilayah kekuasaan politik dan menerapkan monopoli perdagangan rempah-rempah [cengkih dan pala] di Maluku, sekaligus menyiarkan agama samawi mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang luar biasa dalam kehidupan orang Ambon.

Orang Ambon mulai meninggalkan struktur sosial lama [pata, hena, uli] dan mulai menggunakan struktur baru [agama, negeri] dan lainnya. Saat itu lah, agama mulai dipakai sebagai pembeda antara orang Ambon satu dengan yang lainnya. Konflik antar kelompok yang terjadi kala itu, merupakan strategi yang diciptakan untuk menga-mankan kepentingan politik kolonial.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedia barang Nomor : 602.3/11/RGK/77/2016 tanggal 29 April 2016, maka dengan ini diumumkan penyedia barang pengadaan langsung untuk :. Nama

Rata-rata motivasi berprestasi karyawan tetap RSAU DR Soemitro Surabaya adalah tinggi, karena dalam setiap diri individu karyawan mempunyai usaha dan kemauan

Data dan Hasil Uji Coba Skala Faktor yang Mempengaruhi Impulsive Buying a. Data Uji Coba Skala Faktor yang Mempengaruhi Impulsive

PENGUMUMAN PENGADAAN LANGSUNG PEKERJAAN KONSTRUKSI PADA DINAS CIPTA KARYA DAN TATA RUANG KABUPATEN CILACAP SUMBER DANA APBDP KABUPATEN CILACAP TAHUN ANGGARAN 20161. (BIDANG PP

Pada tahap awal, penelitian ini dilaksanakan untuk: (a) Menemukan kultur akademik yang dibutuhkan dunia kerja bagi mahasiswa vokasi bidang manufaktur; (b) Menggali strategi

MALANG - Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ditunjuk oleh tiga Kementerian, yakni Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Riset dan

[r]