• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB XI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB XI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Sebelas

Dinamika Sosial Dua Komunitas

yang Tidak Memiliki Hubungan

Gandong Pasca Konflik Maluku

di Kota Ambon

Pengantar

Realitas sosial yang digambarkan pada bagian ini terutama dibuat dalam rangka memberikan latarbelakang tentang proses reintegrasi sosial di kota Ambon. Karena itu, proses-proses sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada sejumlah ruang sosial [field] merupakan pintu masuk untuk menggambarkan realitas tersebut. Di samping itu, prakarsa dan intervensi berbagai kebijakan publik oleh pemerintah sehingga mendorong terjadinya proses-proses sosial antar warga kedua komunitas, juga diwarnai oleh kebutuhan ini.

Dengan cara seperti ini, kita dapat memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang dinamika sosial dua komunitas pasca konflik Maluku di kota Ambon.

(2)

Sebuah Catatan Perjalanan

Jangan Sampai Indonesia Terbelah

Keributan di Ambon-Maluku meruyak lagi.

Tidak Seorang Warga Bangsa ini, yang loyal kepada Sang Saka Merah Putih dan Pancasila, menghendaki “perpecahan masyarakat” di Ambon-Maluku.

Kita tidak ingin disintegrasi sosial, Kita ingin integrasi sosial pulih.

Disintegrasi sosial hanya membawa kehancuran Tradisi Salam-Serani, Pela-Gandong yang berakar ratusan tahun, tak mungkin sirna.

Persaudaraan dan hati nurani, tetap akan

membangkitkannya balik dalam kehidupan nyata.

Demi hari depan Maluku !

Jeritan Salah Seorang Tokoh Masyarakat Maluku Om, Dullah Souissa

[Suara Maluku, Senin 7 September 1999]

Upaya mewujudkan rekonsialiasi antar warga kedua komunitas telah menjadi issue sejak kurang lebih empat bulan setelah konflik Maluku terjadi di kota Ambon [tahun 1999]. Wacana ini mengemuka sebagai jawaban terhadap kemungkinan warga kedua komunitas dapat berhenti untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan. Pada bulan Mei tahun 1999, Pemerintah Daerah [Maluku] mengambil prakarsa untuk memfasilitasi proses rekonsiliasi melalui perjalanan obor perda-maian yang dilarikan melintasi pulau Seram hingga ke kota Ambon. Kemudian ‘deklarasi menahan diri’ yang diumumkan oleh Pemerintah Daerah tanggal 7 Desember tahun 1999, yang dilanjutkan dengan Pertemuan antar para pemuka masyarakat dan agama kedua komunitas [dihadiri oleh Wakil Presiden Megawati] di atas Kapal Perang KRI Multatuli dan KRI Arun pada tanggal 25 April tahun 2000 ketika digelar Operasi Surya Bhaskara Jaya [SBY]1

1Lihat, Tonny D Pariela, ‘Damai Di Tengah Konflik Maluku’ Disertasi untuk memper-oleh gelar Doktor, pada Program Studi Studi Pembangunan-Universitas Kristen Satya Wacana, Tahun 2008.

(3)

negeri Galala dan raja negeri Hative Kecil sehingga terbentuklan sebuah lembaga yang diberi nama Forum Masyarakat Adat Ambon dan Lease [Harian Suara Maluku, 31 Mei tahun 2000]. Di samping itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga [baik pemerintah maupun LSM] serta prakarsa dari masing-masing tokoh masyarakat dan agama, maupun masyarakat secara perseorangan dan kelompok [dari kedua komunitas] dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi, dan beru-jung pada kesepakatan yang dicapai dalam Pertemuan Maluku di Malino tanggal 12 Pebruari tahun 2002.

Seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya rekonsiliasi tersebut dicapai, sehingga dari wacana berubah menjadi kenyataan sosial yang terus diwujudkan. Tidak dipungkiri, dalam perjalanan tersebut banyak anggota masyarakat kedua komunitas yang skeptis mengenai realitas sosial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat di kota Ambon, dan ini sah-sah saja sebagai bagian dari upaya ‘mewujudkan keharmonisan di tengah perbedaan’. Hanya masalahnya, seringkali persoalan ini terlalu disederhanakan oleh “orang-orang yang senantiasa berusaha untuk meraup keuntungan” sehingga mereka berusaha untuk kembali memelihara situasi ‘chaos’ dalam masyarakat. Namun, usaha tersebut tidak mendapat respons positif dari warga kedua komunitas di kota Ambon. Ketika hasil kesepakatan Pertemuan Maluku di Malino tahun 2002 akan diimplementasikan, oleh sejumlah kalangan di kota Ambon, hal ini dipandang sangat agresif dan menantang, karena dinilai ber-hasil, sehingga dapat dianggap sebagai proses rekonsiliasi tercepat dalam sejarah konflik antar kelompok di Indonesia.

(4)

Reintegrasi Sosial di Kota Ambon

• Hubungan antar Komunitas di Daerah Perkotaan

P a s a r

Ketika stabilitas keamanan sudah benar-benar pulih di kota Ambon, pada akhir tahun 2003 pemerintah kota mulai memfungsikan kembali pasar Mardika dan menertibkan ‘pasar kaget2

Sekalipun dalam jumlah yang masih terbatas, namun pada awal tahun 2004 prakarsa pelaku ekonomi dari kalangan grass root dari komunitas Kristen sudah mulai berdatangan untuk bertransaksi di pasar Mardika. Ketika berada di lokasi pasar saat itu, umumnya mereka masih mengelompok pada masing-masing komunitas. Karena itu, dinamika interaksi timbal-balik masih nampak terpolarisasi berdasar-kan agama yang dianut. Di sisi lain, prakarsa tersebut paling tidak telah memberikan sumbangan yang positif bagi mencairnya kebekuan interaksi yang terjadi selama konflik berlangsung. Satu minggu kemu-dian aktivitas di pasar sempat terhenti beberapa hari, ketika terjadi perkelahian antara salah seorang penjual ikan asal Buton [Islam] dengan salah seorang pemuda Ambon [Islam] dari negeri Kailolo. Walaupun kejadian itu secara cepat dapat diatasi oleh aparat keamanan [Kepolisian], namun situasi tersebut mengakibatkan para pedagang dan ’ yang banyak terdapat di dalam kota. Penertiban itu sesungguhnya dilakukan karena aktivitas jual beli yang terjadi di pasar kaget selain sangat mengganggu arus lalu lintas kenderaan bermotor, juga menghambat upaya pemerin-tah kota untuk menata kembali kota Ambon pasca konflik. Kebijakan tersebut ternyata belum sepenuhnya mendapat respons positif dari para pedagang [khususnya dari komunitas Kristen]. Mereka masih sangat ragu-ragu dan merasa khawatir terhadap keselamatan jiwa, jika dipaksa untuk beraktivitas di pasar Mardika. Keragu-raguan ini tentu sangat beralasan, karena pada saat itu insiden-insiden kecil [sekalipun tidak bertahan lama] masih terjadi di dalam kota, sehingga mereka memilih untuk tetap bertahan beraktivitas di pasar kaget.

(5)

warga masyarakat Kristen yang berada di pasar saat itu terpaksa harus melarikan diri [dan meninggalkan barang dagangan serta belanjaan mereka] untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman. Tindakan penyelamatan diri tersebut dilakukan karena mereka masih troma dengan pengalaman yang pernah dialami3

3 Hasil wawancara mendalam tanggal 21 Nopember 2009, dengan EL, 34 tahun, Kristen [Penjual Ikan di pasar Mardika].

. Setelah situasi di pasar kembali mulai normal, namun para pedagang dan warga masyarakat Kristen sudah meninggalkan lokasi pasar.

Sejak saat itu, aparat keamanan mengintensifkan kegiatan patroli untuk memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat yang sedang melakukan berbagai beraktivitas di pasar. Dua hari kemudian ketika kondisi keamanan di pasar sudah benar-benar terkendali, para peda-gang dan warga komunitas Kristen mulai kembali untuk melakukan berbagai aktivitas. Sejak saat itu, secara bertahap warga kedua komu-nitas mulai menjalin interaksi timbal-balik, lama-kelamaan situasi tersebut mulai mencair. Sampai dengan saat penelitian ini berlangsung, aktivitas di pasar sudah berlangsung normal kembali. Warga kedua komunitas terlibat dalam proses-proses sosial yang cukup intensif. Ketika diwawancarai salah seorang Ibu [WT, 39 tahun, Islam] yang sehari-hari biasanya menjual sayur di badan jalan samping bangunan pasar ikan, ia menuturkan bahwa:

Sebelum konflik terjadi di kota Ambon, basudara Kristen yang menjadi pelanggan sayur dari beta [saya]. Dulu [sebelum konflik] katorang [kami] tinggal sama-sama di wilayah pemu-kiman Kristen sebagai tetangga, dan katorang sangat saling mengenal antara satu dengan yang lain. Hanya konflik saja yang memisahkan katorang. Karena itu, meskipun saat ini kami sudah tinggal terpisah, namun senantiasa beta berusaha mencari apabila datang ke pasar.

(6)

Aktivitas jual-beli yang berlangsung pada ‘badan jalan’ [atas trotoar] di samping bangunan pasar ikan.

(7)

menangani hal ini, untuk jangka panjang kedepan realitas tersebut dapat saja menjadi pemicu terjadinya benturan sosial di antara mereka [para pedagang].

Berbeda dengan proses-proses sosial yang terjadi antar warga kedua komunitas di pusat-pusat perbelanjaan, restoran maupun di berbagai hotel yang terdapat dipusat kota Ambon. Sekalipun letaknya di wilayah pemukiman salah satu komunitas, saat ini warga kedua komunitas sangat bebas untuk pergi berbelanja di pusat-pusat perbe-lanjaan atau melakukan acara makan bersama di restoran, tanpa ada rasa keragu-raguan sedikit pun dari mereka. Dua orang warga dari kedua komunitas [JU, 32 tahun, Islam; dan AL, 41 tahun, Kristen] yang dijumpai secara terpisah4

4 Wawancara tanggal 12 Desember 2010 dengan JU di depan salah satu Restoran yang letaknya di wilayah pemukiman Kristen, dan dengan AL di salah satu Swalayan yang letaknya di wilayah pemukiman Islam.

menuturkan bahwa:

Bukan baru saat ini saja kami mengunjungi pusat perbelanjaan dan restoran yang berada di dalam wilayah salah satu komu-nitas, tetapi sejak akhir tahun 2004 kami sudah masuk-keluar [pulang-balik] tanpa sedikitpun ada rasa takut. Lebih lanjut di-katakan bahwa, kapan saja [siang atau malam hari] jika ada ke-perluan maka kami akan datang untuk berbelanja atau melaku-kan acara mamelaku-kan bersama keluarga. Kami sudah tidak mau hidup terkotak-kotak lagi, kami mau hidup bersama di kota ini [Ambon] secara berdampingan antara satu dengan yang lain se-perti sebelumnya. Konflik yang terjadi tahun 1999 hingga 2001 hanya menyengsarakan, karena itu kami tidak mau peristiwa itu terulang lagi.

(8)

Tidak ada keraguan sedikitpun untuk masuk ke wilayah pemu-kiman Kristen. Pada saat masih sekolah, beta [saya] sekolah di skolahan Kristen. Beta punya mama [Ibu] dulunya seorang Kristen dan salah seorang kakak perempuan [saudara] juga kawin dengan orang Kristen. Beta punya banyak teman bergaul yang beragama Kristen. Selama konflik berlangsung di kota Ambon, komunikasi dengan basudara Kristen [Saudara keluarga Ibu dan keluarga Kakak] tidak pernah berhenti. Setelah situasi keamanan di kota Ambon sudah kondusif, sejak tahun 2004 jika Kakak dan keluarganya dari Jakarta datang berlibur ke Ambon, beta [saya] biasanya menggunakan hotel “X” untuk mereka tinggal [menginap] selama satu minggu, ada kalanya lebih dari satu minggu. Mereka tidak bisa tinggal di rumah, katong [kami] punya rumah tua [rumah warisan orang tua] tapi terbakar habis pada saat konflik terjadi tahun 1999. Rumah yang beta [saya] tinggal [tempati] saat ini sangat sempit.

Pola hubungan saling percaya yang kuat antar warga yang dirasakan seperti ini, telah mendorong mereka untuk memikirkan cara guna meningkatkan kualitas hubungan seperti yang pernah terjalin sebelumnya. Tidaklah mengherankan jika membangun kepercayaan [trust building] melalui kapitalisasi kebiasaan sosial orang Ambon dila-kukan oleh warga salah satu komunitas dengan secara rutin melaku-kan hubungan dengan warga komunitas lain yang terus berlangsung hingga kini. Berangkat dari kenyataan bahwa ‘kepedulian untuk menjaga kualitas hubungan sekerabat’ merupakan bahasa bersama yang senantiasa dipraktekkan dan mengakar dalam kebiasaan orang Ambon. Kepedulian untuk menjaga hubungan tersebut merupakan medium sosial penting dalam mengintegrasikan kembali warga kedua komuni-tas di kota Ambon ke dalam rasa yang sama.

Jasa Angkutan Umum

(9)

tahapan penting ke arah tersebut adalah sebagai berikut5

Setelah situasi keamanan semakin kondusif, jasa angkutan umum yang melayani warga di dalam kota ternyata berperan cukup baik untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komunitas di kota Ambon. Sejak awal tahun 2005 warga kedua komunitas sudah secara bebas dapat memanfaatkannya, baik di terminal angkutan umum maupun pada saat berhenti untuk menurunkan penumpang di samping-samping jalan. Hasil wawancara dengan salah seorang peng-guna jasa angkot [penumpang]

: pertama, membangun kembali saling percaya di antara para pengemudi yang setiap saat melayani para pengguna jasa angkot di dalam wilayah kota Ambon. Langkah penting yang diambil oleh Dinas Perhubungan kota adalah mereduksi secara bertahap sekat-sekat segregasi antar para pengemudi. Sebagai contoh, memberikan arahan dua kali seminggu di terminal angkutan kota dengan melibatkan para pengemudi dari dua komunitas; kedua, penataan parsial ijin trayek angkutan kota. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan rute angkot seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Langkah ini dilakukan berdasarkan pengalaman bahwa fenomena “mengejar setoran,” para pengemudi dengan sengaja menyerobot ke rute-rute lain yang tidak sesuai dengan ijin trayek yang dikeluarkan. Sebagai contoh, melakukan penertiban melalui pemeriksaan kembali terhadap ijin-ijin trayek yang dimiliki setiap kenderaan [angkot].

Langkah-langkah yang diambil sebagaimana digambarkan di atas sebagai ekspresi dari sebuah kesadaran baru tentang pentingnya ketertiban dalam melayani para pengguna jasa angkutan umum pasca konflik di kota Ambon. Oleh karena itu, setelah meliwati tahapan penertiban tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari warga kota.

6

5 Wawancara mendalam dengan Kepala Dinas Perhubungan Kota, 21 Nopember 2009. 6 Wawancara tanggal 12 Oktober 2010, dengan Ibu Hj AL, 59 tahun, Islam, yang saat itu pergi untuk menjenguk saudaranya yang sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah, dr Haulussy, di Kudamati [Pemukiman Kristen].

(10)

Sekalipun pengemudinya [Angkot] basudara Sarani [Kristen], beta seng [tidak] takut dan ragu. Beta naik oto [angkot] Kudamati untuk mengunjungi basudara [saudara] yang sedang di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] dr. Haulussy [wilayah pemukiman Kristen].

Terminal Angkutan Umum, di Mardika- Kota Ambon

Kesan yang sama dikemukakan oleh salah seorang pengemudi angkot jalur Terminal-Kudamati [YS, 32 tahun, Kristen] bahwa, sejak situasi keamanan di kota Ambon benar-benar telah pulih dan bahkan hingga saat ini, ia sama-sekali tidak merasa keberatan tetapi dengan senang hati bersedia untuk mengantar para penumpang dari komunitas Islam pada saat menaiki angkot yang dibawanya. Hal yang sama terjadi pula pada jalur angkot dari terminal yang hendak ke luar pusat kota Ambon. Sekalipun para pengemudinya berbeda agama, namun tidak pernah dipersoalkan oleh para penumpang dari kedua komunitas. Bagi mereka,7

7 Pengakuan MS, 17 tahun [Islam]. Salah seorang Mahasiswi Politeknik Negeri Ambon yang setiap hari menggunakan jasa angkot jalur Ambon-Laha [yang dikemudikan oleh seorang pengemudi Kristen] dari terminal menuju ke Kampus di Negeri Rumahtiga.

(11)

tidak perjumpaan tersebut telah memberikan sumbangan yang positif untuk mencairkan kebekuan interaksi sekaligus mendekatkan jarak sosial di antara mereka.

Lembaga Pendidikan

Dari realitas sosial yang nampak dewasa ini maka dapat dikata-kan bahwa secara umum performance pelayanan pendidikan di kota Ambon sudah jauh meningkat dibanding kondisi awal setelah stabilitas sosial keamanan mulai kondusif sejak tahun 2003 hingga tahun 2005. Konflik yang terjadi pada tahun 1999 menyebabkan segregasi secara total terhadap pemilihan dan pemanfaatan sekolah-sekolah, penyebar-an Guru dpenyebar-an pegawai-pegawai. Situasi seperti ini berlpenyebar-angsung hingga tahun 2005. Memasuki tahun ajaran 2006-2007 berbagai sekolah telah didorong oleh Walikota Ambon8

8 M. J. Papilaya, sebagai Walikota Ambon [saat itu]. Lihat juga, Tamrin Amal Tomagola, dkk [2007], Format Ulang Birokrasi Kota Ambon.

(12)

Sejak tahun 2007 hingga saat penelitian ini dilaksanakan, pengamatan langsung di beberapa sekolah menunjukkan bahwa sudah banyak Guru Kristen yang mengajar di sekolah yang letaknya di pemukiman komunitas Islam, dan sebaliknya. Demikian pula sudah terdapat banyak siswa Islam yang telah mengikuti pendidikan pada sekolah-sekolah yang letaknya di wilayah pemukiman komunitas Kristen, dan sebaliknya. Di samping itu, interaksi antar Siswa, Siswa dengan Guru, serta antar para Guru ternyata sudah berlangsung sangat intensif. Perbedaan agama yang dianut tidak lagi dijadikan sebagai hambatan bagi mereka untuk menjalin kehidupan bersama sebagai satu komunitas di sekolah tempat mereka beraktivitas sehari-hari.

Proses Belajar-mengajar di SMU Negeri 1 Ambon [Kondisi Pebruari 2010]

(13)

bangunan sekolah tersebut senantiasa menyapa mereka dengan santun. Tidak ada sikap apriori yang ditunjukkan oleh siswa, para Guru maupun warga masyarakat terhadap kehadiran mereka. Salah seorang murid9

Informasi yang sama juga diberikan salah seorang Mahasiswa yang diwawancarai menuturkan bahwa:

Ketika mereka diberikan tugas oleh para Guru yang harus dise-lesaikan di rumah, biasanya ia pergi ke rumah teman [Kristen] untuk sama-sama mengerjakannya. Dalam perjalanan, ia tidak pernah merasa takut. Oleh karena itu, kapan saja mau pergi ke rumah teman yang beragama Kristen [siang atau malam hari], ia akan pergi.

10,

bahwa ia tidak ragu-ragu pergi ke rumah teman [Islam] untuk mengerjakannya tugas yang diberikan para Dosen. Lebih lanjut dikata-kan bahwa:

Dalam proses belajar-mengajar hingga saat ini, para Dosen tidak pernah memberikan perlakuan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Yang terjadi justeru sebaliknya, kami sering dibim-bing dan diarahkan untuk senantiasa meningkatkan prestasi belajar sehingga dapat menyelesaikan studi secara baik dan tepat waktu.

Aktivitas Mahasiswa di Kampus PGSD-UNPATTI [Kodisi Pebruari 2010]

9 Wawancara tanggal 12 Juli, tahun 2009 dengan AL, 17 tahun [Islam] salah seorang Siswa SMU Negeri 1 Ambon.

(14)

Pegawai

Upaya untuk menormalkan kembali hubungan para pegawai di lingkungan pemerintahan, merupakan suatu tantangan yang telah ditangani secara bijaksana oleh pemerintah daerah. Situasi konflik yang keras dan berkepanjangan dan telah merenggut banyak korban jiwa, harta benda serta hancurnya sarana-prasarana pelayanan publik, diikuti oleh derajat ketidakpercayaan yang tinggi atas lembaga-lembaga publik adalah beban berat tersendiri yang telah dapat diselesaikan oleh pemerintah Provinsi dan Kota Ambon. Di samping itu, pola hubungan saling tidak percaya yang kuat antar pegawai, antar pegawai dengan atasan yang dirasakannya pada saat situasi keamanan mulai kondusif di Kota Ambon, telah mendorong pemerintah daerah memikirkan cara yang tepat untuk mencairkan kebekuan interaksi tersebut. Sementara itu, terpuruknya pelayanan publik akibat konflik, menjadi persoalan lain yang sama peliknya.

Membangun kembali saling percaya di antara para pegawai dan pejabat di lingkungan kantor pemerintah Kota pasca konflik merupa-kan sebuah harapan yang senantiasa didambamerupa-kan warga masyarakat. Langkah penting yang telah ditempuh oleh Walikota dan Wakil Walikota11 saat itu adalah mereduksi secara bertahap sekat-sekat

segre-gasi antar pegawai.12

11 M.J. Papilaya, sebagai Walikota dan Syarif Hadler sebagai wakil Walikota [periode 2001-2006].

12 Thamrin Amal Tomagola, dkk [2007], Format Ulang Birokrasi Kota Ambon.

(15)

hasil. Pada bulan pebruari tahun 2002 Walikota menghimbau setiap pegawai dan guru yang belum masuk kantor untuk segera masuk. Himbauan tersebut ternyata mendapat respons positif, menandai era awal normalisasi kehidupan pemerintahan di kota Ambon. Pada tahun 2003, interaksi timbal-balik antar pegawai maupun pejabat yang ber-beda agama mulai terbangun, sekalipun belum sepenuhnya sebagai-mana yang diharapkan.

Hingga tahun 2009 saat penelitian ini dilaksanakan, realitas yang dijumpai menunjukkan tidak ada jarak sosial antar pegawai baik yang ada di bawa koordinasi pemerintah Kota maupun pemerintah Provinsi. Mereka terlibat secara bersama-sama dalam berbagai aktivitas di tempat kerja tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada. Hasil wawan-cara dengan empat orang pegawai13 dari instansi yang berbeda

me-nunjukkan bahwa rasa saling percaya antar sesama pegawai dari kedua komunitas bukan baru terjalin pasca konflik, tetapi sudah terjalin jauh sebelum konflik terjadi. Diakui bahwa ketika konflik terjadi, aktivitas perkantoran berlangsung sangat tersegregasi mengakibatkan mereka terpisah antara satu dengan yang lain. Sekalipun demikian, mereka tetap berkomunikasi secara timbal-balik antara satu dengan yang lain [melalui telpon seluler]. Ketika situasi keamanan sudah berangsur-angsur pulih, mereka bersepakat untuk berjumpa di kantor Gubernur Maluku.14

Pola hubungan saling tidak percaya kini kembali ke situasi normal. Kepercayan antar sesama pegawai pun mengalami peningkatan cukup signifikan. Kendatipun demikian, terjalinnya hubungan tersebut hingga saat ini tidak bisa secara langsung dikatakan sebagai prakarsa maupun inisiatif yang dilakukan sendiri oleh para pegawai. Banyak Perjumpaan tersebut berlangsung dua hingga tiga kali dalam seminggu. Pada saat aktivitas perkantoran suda mulai berlangsung, intensitas pertemuan di antara mereka semakin tinggi.

13 Wawancara mendalam dengan dua orang pegawai [AP, 49 tahun, Kristen dan NS, 43 tahun, Islam] dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon [tanggal 12 Pebruari 2010], serta dengan dua orang pegawai [UL, 41 tahun, Islam dan HK, 39 tahun, Kristen] dari Dinas Sosial Provinsi Maluku [tanggal 13 Pebruari 2010].

(16)

variasi program dan aktor yang turut berinvestasi bagi terciptanya situasi tersebut.

• Peran Pemerintah

Ketika situasi keamanan di kota Ambon sudah berangsur-angsur mulai pulih pada awal tahun 2002, namun belum menjamin kehadiran pegawai untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat secara maksimal. Tugas-tugas tersebut sebagian masih di-laksanakan pada kantor-kantor alternatif.

Saat itu, penanganan pengungsi di kota Ambon dilakukan oleh pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota, instansi terkait, donatur dan lembaga swadaya masyarakat lokal dan internasional. Untuk mengatasi hambatan dalam bidang pendidikan, kebijakan yang diambil pemerin-tah kota saat itu adalah para siswa diperbolehkan untuk mengikuti proses belajar-mengajar pada sekolah terdekat yang relatif aman termasuk anak-anak di lokasi pengungsian, sesuai jenjang. Sedangkan Dinas Kesehatan Kota membangun kerja sama dengan MSF dalam rangka memberi pelayanan kesehatan di tempat-tempat pengungsian, di puskesmas-puskesmas dan pos kesehatan lain secara cuma-cuma.

Pada akhir tahun 2002, pemerintah kota mulai melakukan reha-bilitasi fisik kota. Kegiatan ini dapat terwujud karena adanya bantuan dana pemerintah serta berbagai upaya yang dilakukan pemerintah kota untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara sahabat. Operasional-nya ditindak lanjuti melalui kerjasama pemerintah kota dengan dinas Pekerjaan Umum [PU] provinsi untuk membersihkan puing-puing kerusuran. Di samping itu, juga melakukan rekonstruksi rumah-rumah penduduk yang rusak dan terbakar pada 15 lokasi, 5 unit pasar, bangunan sekolah dasar [SD] dan menengah pertama [SLTP] serta 4 unit kantor.

(17)

Upaya-upaya konkrit yang telah dilaksanakan meliputi: pertama, pertemuan satu atap antara pemerintah daerah, pihak keamanan dan berbagai komponen masyarakat terkait untuk membahas upaya pemulihan kondisi sekaligus berusaha meredam isu-isu yang berkembang; kedua, menumbuhkan kembali sistem adat dengan melakukan aksi nyata hubungan pela dan gandong antar negeri; ketiga, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, agama duduk dalam badan independen yang dikenal dengan Pusat Rujuk Sosial Provinsi Maluku agar mengagendakan langkah kebijakan mencari solusi pemecahan; serta mengadakan pe-nyuluhan dan dialog antar umat beragama dengan melibatkan unsur-unsur cendekiawan, tokoh masyarakat, tokoh agama, ketua-ketua pemuda yang mewakili Desa/Negeri/Kelurahan pada tiga kecamatan di kota Ambon.

Langkah yang diprakarsai Menko Polkam dan Menko Kesra, menghasilkan Perjanjian Maluku di Malino dengan 11 butir kesepakat-an. Sebagai tindaklanjut hasil kesepakatn Malino tersebut, ditetapkan program penanganan yang meliputi sosialisasi, penanganan pengungsi, rehabilitasi, santunan sosial, pemantauan dan evaluasi. Sejak perjanjian Malino disepakati dan mulai ditindaklanjuti, stabilitas sosial dan ke-amanan di kota Ambon berangsur-angsur pulih. Aktivitas pemerintah-an dpemerintah-an masyarakat berjalpemerintah-an mulai normal kembali.

Di samping itu, sejalan dengan kebijakan politik yang diambil oleh Pemerintah dan DPRD kota Ambon pada bulan Maret tahun 2002 untuk menormalisasikan kembali kehidupan ekonomi, kehidupan sosial kemasyarakatan serta mendorong dilakukan penegakan hukum secara konsisten untuk mewujudkan rasa aman bagi seluruh warga kota, ternyata mendorong mulai munculnya kesadaran secara bertahap dari warga kedua komunitas. Karena itu, sebagian kecil para pelaku ekonomi kedua komunitas dari kalangan grass roots [khususnya] sudah menjalin interaksi di pasar kota Ambon, lama-kelamaan kemudian ber-kembang hingga saat ini.

(18)

terutama dalam kaitannya dalam rekruitmen dan promosi jabatan-jabatan publik. Komunitas ini merasa sebagai korban elite birokrasi pemerintah kota Ambon, terutama dalam penerimaan dan penempatan pegawai-terutama dalam jabatan-jabatan strategis-baik birokrasi maupun Guru. Lebih dari itu, kondisi ini dibaca sebagai upaya elite birokrasi Kristen mempertahankan dominasi [Tomagola, dkk, 2007]. Terlepas dari penilaian subjektif seperti itubenar atau salah, namun untuk mengeliminir image tersebut maka pada tahun 2002 pemerintah kota di bawa kepemimpinan M.J. Papilaya [Walikota] dan Syarif Hadler [wakil Walikota] melakukan format ulang birokrasi kota Ambon. Salah satu wujud nyata pengembangan kebijakan di bidang kepegawaian adalah pengembangan program yang diberi label Standar Kompetensi Jabatan [SKJ]. Program ini diimplementasikan pertama kali dalam proses pemilihan Sekretaris Kota pada awal tahun 2003, untuk kemudian secara berturut-turut diberlakukan terhadap semua eselon dalam tubuh birokrasi.15

Memasuki tahun 2003 hingga kini, Walikota

16 Ambon mulai

menggelorakan kembali dilaksanakan peringatan hari Pattimura setiap tanggal 15 Mei17

15 Wawancara mendalam dengan Walikota ambon, 28 Mei 2011. 16 M.J. Papilaya, sebagai Walikota Ambon [saat itu].

17 Perayaan Hari Pattimura tersebut selama kurang lebih tiga tahun tidak dapat dilak-sanakan, karena kota Ambon dilanda konflik sosial.

(19)

Pada tanggal 16 Agustus tahun 2005, Pemerintah Provinsi me-laksanakan perayaan Hari Ulang Tahun [HUT] Provinsi Maluku yang pertama kali dirayakan pada usia ke 60. Perayaan tersebut dimeriahkan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan perlombaan yang meli-batkan warga kedua komunitas. Salah satu jenis perlombaan yang dinilai berpotensi untuk mendekatkan jarak sosial sekaligus menghi-dupkan kembali ikatan pela antar negeri-negeri [kedua komunitas] yakni lomba perahu manggurebe. Para pendayung pada masing-masing perahu hanya ditempati oleh warga kedua komunitas yang terikat dalam satu hubungan pela. Warga kedua komunitas menyambut dengan sangat positif kebijakan tersebut sehingga mereka berpartisipasi secara aktif untuk mendukung seluruh agenda HUT.

Kemudian pada tahun 2006 ketika diselenggarakan Pemilihan Umum dalam rangka memilih wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPRD I dan DPRD II [Kota Ambon] kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, kesa-daran warga kedua komunitas sangat tinggi untuk mensukseskannya. Sekalipun berbeda agama yang dianut tetapi karena memiliki kesamaan dalam idiologi salah satu partai tertentu, ternyata mendorong mereka untuk terlibat secara bersama tanpa mempertimbangkan perbedaan yang ada.

(20)

terjadi pada tanggal 16 Mei tahun 2011 yang lalu ketika dilakukan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Ambon [untuk periode 2011-2016] yang diikuti oleh 8 pasangan calon Walikota dan wakil Walikota Ambon.

Upaya untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komu-nitas di kota Ambon tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi terus dilakukan oleh pemerintah Kota Ambon dan pemerintah Provinsi. Dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Dunia tahun 2009 ditandai dengan pemasangan Gong Perdamaian Dunia [World Peace Gong] di kota Ambon. Kota Ambon merupakan kota ke 34 di Dunia yang ditetapkan oleh PBB sebagai situs Perdamaian Dunia. Pada tanggal 15 Nopember 2009, Gong Perdamaian Dunia [GPD] tiba di kota Ambon dan disimpan di ruang VVIP bandara internasional Pattimura di negeri Laha. Pada tanggal 23 Nopember 2009 GPD dikirab menuju lokasi monumen di kota Ambon yang diawali dengan penyerahan GPD oleh Wali Kota Ambon18 kepada Gubernur Maluku19 selanjutnya

diangkut dengan mobil truk terbuka dan diarak sepanjang tiga puluh enam km menuju lokasi monumen dengan dukungan ratusan unit sepeda motor dan kendaraan roda empat yang dihiasi. Kemudian pada tanggal 25 Nopember, GPD tersebut ditabuh secara resmi oleh Presiden Repumbil Indonesia.20

Dua orang anggota DPRD Provinsi Maluku [FK, 59 tahun, Kristen dan LS, 53 tahun, Islam] yang diwawancarai saat itu menya-takan bahwa, semoga dengan penempatan GPD di kota Ambon ini dapat mengakhiri peristiwa yang pernah terjadi di Maluku. Peristiwa tersebut harus menjadi yang pertama dan yang terakhir. Oleh sebab Antusiasme warga kedua komunitas menyambut kehadiran GPD di kota Ambon relatif cukup tinggi. Hal tersebut nampak ketika diarak mengelilingi Kota sampai dengan diresmikannya, warga Kota berbondong-bondong mengikuti. Hingga kini, monumen tersebut ramai dikunjungi dan dijadikan oleh warga Kota sebagai tempat rekreasi di malam hari.

(21)

itu, dengan ditabuhnya GPD diharapkan menjadi pertanda konflik sudah berakhir dan perdamaian membuka sejarah baru bagi rakyat Maluku.

Monumen Gong Perdamaian Dunia, di Kota Ambon

Untuk mensukseskan Visit Indonesia Year semester ke dua [Juli hingga Desember 2010], dilaksanakan kegiatan Sail Banda yang ber-langsung dari tanggal 24 Juli hingga 17 Agustus di Maluku. Ada sejumlah kegiatan yang dilaksanakan di kota Ambon antara lain; seminar internasional tentang tanaman sagu, simposium internasional ilmu pengetahuan teknologi kelautan dan perikanan serta seminar teknologi eksplorasi bawah laut, yang diikuti oleh para cendekiawan dari kedua komunitas. Sedangkan kegiatan yang bertema Pulau-pulau Kecil Untuk Masa Depan [Small Island For Our Future] diisi dengan kegiatan sosial yaitu operasi Bhakti Surya Baskara Jaya berupa pembe-rian bantuan kesehatan bagi masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai bagian selatan dan utara Maluku.

(22)

internasional bahwa provinsi Maluku, khususnya Kota Ambon meru-pakan wilayah yang damai, nyaman pasca tragedi kemanusiaan yang pernah berlangsung lebih dari tiga tahun. Di sisi lain, kegiatan-kegiatan yang diprakarsai pemerintah tersebut dinilai sangat potensial untuk mengukuhkan kembali hubungan sosial antar warga kedua komunitas.

Tampaknya, upaya-upaya untuk membangun kembali kehidupan berdampingan secara serasi, dimaknai secara positif oleh mereka. Karena itu, setelah situasi berangsur-angsur kondusif, dijumpai banyaknya warga masyarakat kedua kelompok yang pernah berkonflik mulai terlibat dalam interaksi timbal-balik secara intensif dalam ber-bagai konteks hubungan sosial, tanpa mempertimbangkan pengalaman traumatik yang pernah dialami bersama. Karena itu, sekalipun menem-pati pemukiman yang tersegregasi menurut garis keagamaan yang dianut dewasa ini, namun hubungan kerja sama timbal-balik di antara mereka tidak dijumpai tampak terpolarisasi. Realitas ini mengindikasi-kan munculnya keinginan yang kuat dari orang Ambon khususnya, dan orang Maluku pada umumnya akan hal-hal sepeleh yang dapat menyebabkan konflik itu meluas dan menjadi malapetaka baru bagi kehidupan mereka selanjutnya. Karena itu, beberapa kasus konflik baru yang bersifat sporadis yang terjadi belakangan ini tidak menimbulkan konflik yang meluas dan berkepanjangan; misalnya, kasus konflik yang terjadi di kota Ambon (Mei 2007) pada saat Harganas; konflik antar kelompok (Islam-Kristen) di kota Masohi (Desember 2008); konflik yang terjadi di kota Ambon antar warga desa Kailolo dengan desa Pelau (awal 2009); konflik yang terjadi di pasar (kota Ambon) antara salah satu warga Buton dengan salah satu warga desa Kailolo, (Juli 2009), Konflik antar kelompok yang terjadi di Kota Ambon [tanggal 9 September 2011], dan kasus-kasus konflik antar individu lainnya.

Kesimpulan

(23)

yang intens [antara pemerintah dengan para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama serta aparat keamanan], barulah sebuah gambaran lebih utuh mengenai apa yang harus dilakukannya muncul. Saat itu, gagasannya semakin mengental yang memunculkan tekad dari kedua komunitas untuk menghentikan konflik yang sedang terjadi. Gagasan tersebut kendatipun secara formal merupakan bagian dari dorongan pemerintah, namun sesungguhnya berangkat dari keresahan warga kedua komunitas.

Setelah melewati rentang waktu yang cukup panjang ketika stabilitas sosial dan keamanan mulai kondusif di kota Ambon tahun 2002, dinamika interaksi yang terjadi di ruang-ruang sosial secara bertahap mulai berkembang secara positif. Hingga saat ini, proses-proses sosial antar dua komunitas sudah berlangsung sangat intensif.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan Surat Penetapan Penyedia barang Nomor : 602.3/11/RGK/77/2016 tanggal 29 April 2016, maka dengan ini diumumkan penyedia barang pengadaan langsung untuk :. Nama

Rata-rata motivasi berprestasi karyawan tetap RSAU DR Soemitro Surabaya adalah tinggi, karena dalam setiap diri individu karyawan mempunyai usaha dan kemauan

Data dan Hasil Uji Coba Skala Faktor yang Mempengaruhi Impulsive Buying a. Data Uji Coba Skala Faktor yang Mempengaruhi Impulsive

Pada tahap awal, penelitian ini dilaksanakan untuk: (a) Menemukan kultur akademik yang dibutuhkan dunia kerja bagi mahasiswa vokasi bidang manufaktur; (b) Menggali strategi

MALANG - Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ditunjuk oleh tiga Kementerian, yakni Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Riset dan

[r]

Seperti diketahui dalam webometrics, ada empat indikator yang dinilai, yaitu: size (ukuran), visibility (banyaknya website luar yang link ke website UMM), rich files (banyak