KONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA POPULER DAKWAHTAINMENT DALAM LENSA PROGRAM ‘SIRAMAN QOLBU’ DI MNCTV
A.
PENDAHULUANMedia massa memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan masyarakat.
Mereka memiliki kemampuan untuk membentuk opini dan memperkuat sikap kritis masyarakat, bahkan mampu mengubah perilaku manusia. Perilaku sosial dalam masyarakat saat ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana media membangun narasi.
Meskipun dianggap memiliki dampak positif, media massa juga dapat menyebabkan dampak negatif.1 Sobur menjelaskan bahwa esensi dari konten media adalah produk dari proses konstruksi realitas. Media massa memiliki kesempatan yang besar untuk memengaruhi interpretasi dan citra yang timbul dari realitas yang mereka konstruksi.2
Televisi merupakan salah satu media massa yang memiliki perkembangan yang luar biasa di seluruh dunia. Di masyarakat, televisi tidak lagi dianggap sebagai barang mewah, melainkan sebagai kebutuhan yang penting bagi sebagian besar orang. Sampai saat ini, televisi tetap menjadi salah satu sarana komunikasi massa yang sangat penting dan mampu menarik perhatian penonton. Kekuatan gabungan antara audiovisual dan beragamnya program yang disajikan menjadikan televisi pilihan utama bagi banyak orang daripada media massa sebelumnya seperti media cetak dan radio. Kelebihan audiovisual televisi dalam menyajikan informasi, pendidikan, dan hiburan merupakan faktor kunci yang menarik pemirsa televisi.3
Kegiatan dakwah secara tradisional saat ini mengalami penurunan terutama di kalangan generasi muda. Kegiatan dakwah di tempat ibadah umumnya hanya dihadiri oleh kyai, santri, dan kaum tua yang tengah mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah ini. Sebagian besar generasi muda lebih tertarik untuk menyaksikan dan mendengarkan tausiah yang disajikan dengan menggunakan unsur budaya populer melalui berbagai media massa, termasuk televisi, radio, media cetak, dan platform media sosial. Dakwah yang disajikan dengan memanfaatkan budaya populer melalui media ini sering disebut sebagai dakwahtainment.
1 Nurul Syobah, “Konstruksi Media Massa,” Jurnal Dakwah Tabligh Vol. 1, no. 2, Desember (2013): 153–68.
2 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2018).
3 Tabrani, “Jurnal Pendidikan Dan Konseling,” Jurnal Pendidikan Dan Konseling 4 (2022): 1349–58.
Dakwahtainment, dalam konteks era kontemporer belakangan ini, telah merajai ruang digital di berbagai platform media sosial, bahkan terus hadir di layar televisi, terutama selama pagi hari dan bulan Ramadhan. Gabungan dakwah dengan unsur hiburan atau humor saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.4 Dakwahtainment memiliki peran yang signifikan dalam memfasilitasi pertumbuhan spiritual di sejumlah segmen masyarakat kita, yang berpotensi memberikan dampak positif pada perkembangan Islam secara keseluruhan. Namun demikian, saat melihat tujuan sejati dari dakwah dan interaksi dengan budaya populer, kita dihadapkan pada dilema. Meskipun agama pada dasarnya bersifat religius, dalam prakteknya sering kali terdapat elemen materialistik yang dapat mengancam esensi keberagamaan itu sendiri.
Dakwahtainment sendiri memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi pengelola media. Selain itu, kehadiran dakwah di layar televisi mampu dengan cepat mengangkat seseorang menjadi figur yang fenomenal, yang mendorong banyak kalangan, khususnya generasi muda, untuk terlibat dalam dakwahtainment.
Media televisi, sebagai bagian dari industri hiburan, secara alami mempertimbangkan aspek keuntungan dalam pembuatan program-programnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya rekontruksi pada setiap program yang disajikan. Rekontruksi ini tidak hanya berlaku pada program-program hiburan, tetapi juga mencakup program- program keagamaan yang dianggap suci oleh masyarakat. Dengan demikian, terjadi situasi di mana nilai-nilai agama, yang semula dianggap sebagai hal yang bermakna secara spiritual bagi masyarakat, berubah menjadi komoditas yang dijual demi memperoleh keuntungan dari peningkatan jumlah pemirsa dan rating yang berdampak pada pendapatan iklan. Hampir setiap stasiun televisi memiliki program keagamaan dalam berbagai formatnya sendiri. Salah satu contoh program keagamaan yang menarik perhatian peneliti adalah Program Siraman Qolbu bersama Mamah Dedeh yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta MNC TV.
Secara umum, program-program religi sering kali menampilkan ustadz-ustadz nasional yang membawakan kajian dengan gaya yang ringan, sering kali disertai dengan humor untuk menghibur penonton. Pesan kajian disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami agar mudah dinikmati oleh penonton dan sekaligus menarik minat pengiklan.
Oleh karena itu, pesan-pesan tersebut disajikan dengan cara yang menarik. Dampaknya
4 Nur Ahmad, “Rekonstruksi Dakwahtainment Sebagai Media Dakwah,” Jurnal Dakwah 19, no. 02 (2018): 113–
34.
adalah unsur hiburan seringkali lebih mendominasi konten dibandingkan dengan nilai- nilai keagamaan yang disampaikan, padahal seharusnya pesan dan nilai-nilai agama lebih diutamakan daripada aspek hiburan.
Program Acara Siraman Qolbu bersama Mamah Dedeh adalah Program yang mengupas tentang fenoneman-fenomena yang terjadi dan ajaran Islam sebagai solusinya.
Dakwah yang disampaikan dengan santai dengan dibalut komedi yang menambah hangat suasana tapi tetap memiliki pesan berbobot dalam ceramahnya. Dalam program ini, hadir Mamah Dedeh yang merupakan Ustadzah yang juga aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Depok Jawa Barat dan juga seorang pendakwah yang malang-melintang di radio.
Beliau juga merupakan lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.5 Mamah Dedeh tidak hanya tampil sendiri, beliau ditemani oleh host Irfan Hakim. Program ini selalu dihadiri oleh Ibu-Ibu anggota Majelis Taklim sebagai audiencenya. Selain para audience di studio yang bisa bertanya langsung mengenai tema yang sedang dibahas, pemirsa di rumah pun bisa bertanya melalui telepon interaktif, e-mail dan media sosial seperti Facebook, twitter dan Skype.
Beberapa penelitian mengenai dakwahtainment, seperti yang dilakukan oleh Pradesa dan Ardilla, telah menganalisis tayangan program Islam Itu Indah di Trans TV dengan menggunakan teori Komodifikasi dari Vincent Mosco serta teori Efek Eksternalitas dari Edward S. Herman dalam konteks penyiaran televisi. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa fenomena komodifikasi terlihat dalam berbagai aspek, termasuk isi konten komunikasi, respons dari pemirsa, tenaga kerja yang terlibat, dan nilai-nilai agama yang disampaikan. Meskipun beberapa efek eksternalitas yang positif dapat terlihat, namun mayoritas cenderung mengarah pada efek eksternalitas yang memiliki dampak negatif.6
Kemudian, Fajariyah dan Digarizki membahas dakwahtainment dengan memeriksa praktik diskursif dalam resitasi al-Qur'an dalam segmen Indonesia Mengaji yang diselenggarakan dalam acara "Ramadhan di Rumah Saja" yang ditayangkan oleh Indosiar. Dalam praktik resitasi al-Qur'an ini, para artis dangdut mengekspresikan spiritualitas mereka dan menyampaikan pesan-pesan Islam. Popularitas artis-artis ini menjadi faktor utama dalam menarik perhatian penonton, sambil tetap mempertahankan
5 https://www.dailysia.com/biodata-profil-dan-fakta-mamah-dedeh/ diakses tanggal 21 oktober 2020
6 Dedy Pradesa and Yunda Presti Ardilla, “Komodifikasi Dan Efek Eksternalitas Program Dakwahtainment Islam Itu Indah,” INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah 2, no. 1 (2020): 81–106,
https://doi.org/10.55372/inteleksiajpid.v2i1.85.
daya tarik pribadi mereka dan menjaga keakuratan penyampaian konten Islam. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam era komersialisasi televisi yang berkembang pesat, bisa terjadi kolaborasi yang berhasil antara format penyiaran televisi dengan konten Islam.7
Berdakwah melalui media hiburan ini adalah merupakan tugas yang mulia dengan harapan mereka para pelaku media hiburan dapat memperjuangkan kebenaran dengan menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam skala lebih luas melalui media tanpa membiaskan makna dakwah tersebut. Berbagai persoalan yang mengiringi pola dan intensitas perilaku keagamaan masyarakat tidak terlepas dari besarnya pengaruh media massa. Hal ini menarik dicermati dalam paradigma akademik. Justru aspek yang cukup menarik namun belum mendapat perhatian akademik yang baik, adalah pada dimensi media. Hal ini dianggap urgen untuk mengukur konstruksi sosial media massa dalam proses pengembangan dakwah.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti menjadi tertarik untuk menyelidiki melalui kerangka teori konstruksi sosial yang diajukan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dengan merumuskan pertanyaan penelitian tentang tahapan pembentukan konstruksi dakwahtainment. Pertanyaan penelitian tersebut mencakup tahapan pembuatan materi konstruksi, penyebaran konstruksi, pembentukan realitas konstruksi, dan tahapan konfirmasi. Selanjutnya, penelitian juga mengeksplorasi bagaimana pembentukan realitas konstruksi budaya populer dakwahtainment melalui proses dialektika yang dijelaskan oleh Berger dan Luckmann, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi?.
B.
METODOLOGIPendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam dalamnya melalui pengumpulan data. Secara spesifik, ruang lingkup penelitian ini berfokus pada konstruksi sosial budaya populer dakwahtainment sebagai topik pembahasan utama.
Kemudian, peneliti melimitasi proses pengambilan data dengan terfokus pada pembentukan konstruksi sosial budaya populer dakwahtainment pada ajang pencarian bakat dai di media massa. Untuk memvalidasi keabsahan, studi dilakukan bersumber dari data yang diperoleh dari tayangan pada program Siraman Qolbu di MNCTV.
7 Lukman Fajariyah And Iftahul Digarizki, “Volume 11 No . 2 Desember 2020 Dakwahtainment : Resitasi Al- Qur
’ An Oleh Kalangan Artis Dangdut Dakwahtainment : Al- Qur ’ An Resitation By Dangdut Artists” 11, No. 2 (2020): 163–72.
Sumber data primer dalam penelitian ini yaitu wawancara. Wawancara dilakukan bersama dengan (...). Sedangkan sumber data sekunder Observasi dilakukan dengan cara mengamati tayangan-tayangan Siraman Qolbu melalui televisi ataupun tayangan ulang yang ada di YouTube, serta media sosial resminya.
Analisis data pada penelitian mengacu pada teori konstruksi sosial teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. langkah dalam proses pembuatan konstruksi sosial adalah:
1. Tahapan menyiapkan materi konstruksi. Pada tahap ini, terdapat tiga isu penting:
keberpihakan media massa terhadap kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, dan keberpihakan dengan kepentingan publik.
2. Tahapan sebaran konstruksi. Prinsip dasar sebaran konstruksi sosial pada media massa adalah semua informasi sampai ke kelompok sasaran secara tepat waktu sesuai dengan agenda media. Apa yang penting bagi media juga penting bagi khalayak atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi terjadi sebagai berikut. (1) Konstruksi pembenaran, yakni upaya membangun pembenaran dengan menyajikan sebuah realitas yang dijadikan sebagai sebuah realitas kebenaran di masyarakat melalui media massa, (2) Kesediaan sebagai pemirsa dan dikonstruksi oleh realitas yang dibangun melalui media massa. (3) Menjadikan media massa sebagai pilihan konsumtif.
4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi merupakan langkah yang memberikan validasi dan akuntabilitas terhadap keputusan media dan publik untuk terlibat dalam konstruk tersebut.
Berger dan Luckman mengatakan bahwa ada dialektika antara individu yang membentuk masyarakat dan masyarakat yang membentuk individu. Proses dialektika ini berlangsung melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ada tiga tahap dalam proses dialektis tersebut:
1. Eksternalisasi adalah tahapan atau proses di mana produk sosial menjadi bagian penting dan diperlukan individu dalam masyarakat. Produk sosial ini menjadi materi atau objek khusus masyarakat. Dengan kata lain, eksternalisasi adalah proses individu melihat kenyataan sosial, realitas sosial, lalu akan memahami sesuai dengan subjektif dirinya.
2. Objektivasi adalah proses di mana produksi sosial berada pada tahap pelembagaan, di mana individu muncul sebagai produk aktivitas manusia, tersedia baik bagi produsen maupun orang lain sebagai elemen dunia bersama. Kemampuan ekspresi diri manusia untuk mempertahankan objektivitas berarti memanifestasikan dirinya dalam produk aktivitas manusia yang tersedia.
3. Internalisasi merupakan penyerapan dunia objektif ke dalam kesadaran, sehingga subjektivitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai elemen dunia yang terobyektifkasi terekam sebagai manifestasi realitas di luar kesadaran dan sebagai manifestasi internal kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi produk masyarakat (Santoso 2016).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Budaya Populer dan Media Massa
Budaya populer berkembang pesat dan memiliki dampak yang luas pada berbagai kelompok umur, tidak hanya terbatas pada generasi muda tetapi meliputi berbagai rentang usia, selama individu tersebut dianggap sebagai konsumen yang relevan dalam pasar.
Bagi kaum muda, mengadopsi budaya populer menjadi salah satu cara untuk mengeksplorasi makna hidup dan menggali identitas diri mereka. Oleh karena itu, produk-produk budaya populer seperti musik, majalah, konser, festival, komik, dan acara televisi memiliki peran yang signifikan dalam membentuk sikap, psikologi, karakter, dan pandangan hidup individu. Dalam konteks ini, media, dengan semua kemajuan teknologinya, memainkan peran kunci dalam penyebaran pesan-pesan budaya yang meresap ke dalam masyarakat.8
Dalam era globalisasi ini, Domenico Strinati mengindikasikan bahwa peran media telah berevolusi dari sekadar memberikan informasi menjadi aktif dalam membentuk dan menciptakan berita, citra, preferensi, bahkan realitas itu sendiri. Baik media cetak maupun elektronik menjadi alat untuk menyebarkan ideologi kelompok berkuasa dan untuk kepentingan pemilik modal. Menurut Strinati, konstruksi media memiliki kemampuan untuk meresap ke dalam pikiran masyarakat dan tanpa disadari membentuk arah pandangan mereka sesuai dengan kepentingan kelompok atau individu tertentu.9
8 Miftahul Hijrah, Ayu Cahyanii, and Abdurahman Sakka, “Kajian Budaya Populer : Analisis Terhadap Pengaruh Media Massa,” Jurnal Socia Logica 3, no. 1 (2023): 1–7.
9 Dominic Strinati, Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010).
Budaya populer merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Sering kali, budaya populer menjadi sesuatu yang diminati dan dihargai oleh masyarakat ketika pengkajian budaya populer berfokus pada unsur-unsur budaya yang merupakan hasil dari kreativitas yang berkembang. Ini bukanlah sesuatu yang salah, namun perlu diakui bahwa kekuatan kreativitas tidak secara otomatis menjadi populer kecuali jika mampu berinteraksi dengan elemen-elemen yang dihadapinya. Sebuah karya juga bisa memiliki nilai bagi sebagian masyarakat jika dapat menyesuaikan diri dengan preferensi pasar. Dalam konteks ini, budaya populer sering kali merupakan unsur budaya yang telah ada atau dibuat dengan kreativitas yang disesuaikan dengan selera, visi, dan logika pasar yang berkembang, kapitalis, dan berorientasi pada kepentingan ekonomi.
Jika suatu aset budaya tidak sesuai dengan selera masyarakat, maka kemungkinan besar hal tersebut tidak akan menjadi bagian dari budaya populer.10
Budaya populer merupakan hasil karya dari individu-individu yang berada dalam posisi subordinasi, dimana mereka membuatnya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri, meskipun sumber daya yang mereka gunakan pada akhirnya juga melayani kepentingan ekonomi yang dominan, meski dalam situasi yang kontradiktif. Budaya populer lahir dari bawah, dihasilkan dari masyarakat itu sendiri, bukan dipaksakan dari luar atau dari atas seperti yang sering dianggap oleh para ahli teori budaya massa. Selalu terdapat elemen-elemen budaya populer yang melampaui atau menentang kendali sosial, yang terlepas dari atau menolak kekuatan hegemonik. Budaya populer senantiasa dipenuhi dengan konflik, menjadi panggung bagi perjuangan untuk membentuk makna sosial yang sesuai dengan kepentingan para subordinat dan yang bertentangan dengan ideologi yang dominan.11
2.
DakwahtainmentDakwahtainment salah satu istilah yang mungkin hanya ada di indonesia, kini menjadi hal yang sangat akrab di tengah maraknya para pelaku bisnis komersial, khususnya dalamdunia pertelevisian. Menyadari akan kekhasan masyarakat yang beragama, para pelaku bisnis entertainment menjadikan fenomena keberagaman masyarakat sebagai media pemerolehan minat dan animo masyarakat untuk lebih memilih produk-produknya.12 Untuk menarik minat konsumen berbagai acara bernuansa dakwah
10 Bing Bedjo Tanudjaja, “Pengaruh Media Komunikasi Massa Terhadap Popular Culture Dalam Kajian Budaya/Cultural Studies,” Nirmana 9, no. 2 (2009): 96–105.
11 E Soesilo, “Konstruksi Budaya Populer Di Media Sosial.,” Jurnal Ilmu Komunikasi 17, no. 2 (2019): 89–102.
12 Aep Kusnawan, 2004, Komunikasi dan Penyiaran Islam, Bandung, Benang Merah Press.
bertaburan dan masyarakat pun begitu menggandrunginya. Bisa kita lihat sebagaimana acara televisi seperti sinetron yang religius, film religius dan sajian iklan yang menggunakan bahasa agama terutama dalam menyambut bulan Ramadhan hingga idul fitri.
Fenomena dakwahtainment di satu sisi memberikan penyegaran kepada masyarakat untuk membangkitkan semangat dan wacana dakwah. Artinya media televisi bisa memberikan wawasan kepada masyarakat pemirsa bahwa dakwah dapat dilakukan dalam berbagai setting yang didalamnya terdapat diselipkan pesan-pesan moral agama.
Bahwa televisi merupakan perwujudan para pelaku industri mengembangkan kreasi dan inovasinya melalui media audiovisual televisi. Sampai kini telah beragam stasiun televisi swasta yang tiada hneti berkompetisi menampilkan produk-produk siarannya untukmendapatkan perhatian permisa.13 Begitu akrabnya televise dengan kehidupan masyarakat, keberadaannya telah mampu mengubah dan membentuk pola pikir, cara pandang, dan tradisi yang membudaya dalam aktivitas keseharian di masyarakat.
Meskipun, di era sekarang ini televise sudah harus berkompetisi dengan kehadiran media komunikasi berupa gadget atau media android yang juga pesat berkembang, namun masih tampak signifikannya di tengah kesibukan masyarakat.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa televise merupakan media komunikasi yang strategis untuk menyampaikan berbagai informasi kepada khalayak secara efektif.
Sifatnya yang audiovisual memiliki daya tarik tersendiri sehingga mampu menarik perhatian masyarakat pemirsa yang seakan memberikan nuansa dinamis dan menghidupkan daya imajinasi yang begitu kuat pada para pemirsanya. Hal tersebut membuat masyarakat menganggap bahwa televise sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kehidupannya. Keberadaan televisi sebagai media komunikasi dan informasi yang efektif untuk menyampaikan pesan secara audiovisual, memberikan peluang cukup besar bagi pengembangan dakwah dan syiar Islam. Berdakwah yang meliputi segala keadaan tidak hanya dilakukan secara langsung dalam sebuah komunikasi interaktif antara Pendakwah atau lembaga keagamaan dengan jamaah atau masyarakat sasaran dakwah.
Kebutuhan masyarakat untuk terpenuhinya aspek penguatan spiritual telah memicu berbagai inovasi terkait metode dakwah yang paling efektif telah memicu berbagai inovasi berbagai metode dakwah yang paling efektif dan mampu menjawab
13 Dicky Sohjan, 2013, Agama dan Televisi di Indonesia Seputar Dakwahtainment, Yogyakarta, Globethics.net
kebutuhan pasar. Sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya, telah sangat akrab dengan beberapa tema acara pengajian yang banyak dijumpai dibeberapa stasiun televisi baik negeri maupun swasta yang mengusung bergam tema bernuansa agama dalam bingkai dakwah yang bersifat satu arah maupun dakwah interaktif. Fenomena tersebut menunjukkan peneybaran dan penguatan Islam populer, dimana penggemar dan pengikut berpartisipasi melalui media televisis dan mengubah diri mereka menjadi jamaah. Melalui televisi para pendakwah mendapatkan kredibilitas dan otoritas mereka untuk menantang kekuatan konvensional dan pengaruh serta daya tarik kerismatik para pendakwah yang hanya berbasis sebagian besar berpusat di dalam dan sekitar pesantren.
Dakwahtainment di Indonesia berawal dari caranya memadukan pencerahan spiritual dan hiburan secara sistematis sehingga menimbulkan efek dumbing down atau pembodohan. Hal ini terlihat dengan cara hanya berfokus pada kebutuhan yang diminta konsumen dengan sedikit pertimbangan yang membuat khalayak lebih pintar. Ini mengasumsikan bahwa produk budaya tidak perlu berat secara intelektual jika tujuan yang dimaksud adalah untuk mencapai aksesibilitas, komprehensibilitas dan daya jual.
Pada dasarnya melakukan dakwah melalui pendekatan Etika dan agama seperti ini juga memiliki keuntungan dan kerugian. Karena kalau kita berkaca dengan cakupan audien pasti lebih banyak memperoleh sambutan dari masyarakat, akan tetapi walaupun begitu feedback yang ditunjukkan oleh masyarakat tentang keterkaitan antara etika dan agama pastinya kabur dari genggaman pendakwah, karena dalam konteks ini audien tidak berhadapan langsung dengan sang Pendakwah.14 Di sisi lain, dengan fenomena yang terdapat dalam warna dakwahtainment saat ini, tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa model dakwahtainment pun kerap memiliki kekaburan esensi dan tujuan yang ingin di capai dari tujuan dakwah bila kita tidak berpijak pada tujuan dari dakwah yang seutuhnya.
Interfensi dari hal-hal yang bersifat materialistis, hedonisme, dan kapitalis kerap menjadi contributor yang ikut mengemas sajian dakwahtainment. Tentunya hal ini akan menjadi ancaman bagi eksistensi nilai dakwah yang luhur dan bermartabat.
Memang bukanlah hal yang mudah untuk melepaskan secara utuh peran dari unsur yang bersifat materialistis dalam sebuah model dakwahtainment mengingat tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu acara khususnya di stasiun televise swasta sering disandarkan pada peran keikutsertaan iklan sebagai pendukung dari
14 Sayyid Muhammad Nuh, 2005, Mari Berdakwah Strategi Dakwah dan pendidikan Umat, Yogyakarta, Bina Media
keberlangsungan acara itu sendiri. Disisi lain, menarik tidaknya suatu acara juga sering tidak terlepas dari bagaimana acara itu disajikan oleh elemen-elemen yang terlibat didalamnya seperti penyiar (pembawa acara), artis/actor, musisi yang terlibat didalamnya.15 Kondisi tersebut sering menjadi dilematis bagi para dai maupun eksistensi dari nilai dakwah yang di bawakan terlebih bila pelaku dakwah tidak dapat mengatisipasi keberadaannya agar tetap sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki Agama Islam seperti konsistensi dalam berhijab, kesederhanaan dalam bertabarruj (berhias), zuhud, dan nilai- nilai keluhuran yang terdapat dalam Islam yang harus melekat pada para da’i maupun yang terlibat dari program acara dakwah di televisi.
3. Program Siraman Qolbu bersama Mamah Dedeh di MNCTV
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti melalui analisis dan pemantauan rekaman tayangan acara Siraman Qolbu di MNCTV, banyak yang memilih televisi sebagai media utama untuk menyebarkan dakwah. Televisi ditempatkan pada urutan pertama dalam "The Big Five of Mass Media", diikuti oleh film, radio, majalah, dan koran. Televisi memiliki dua fungsi komunikasi yang saling melengkapi, yaitu fungsi sosial dan fungsi individual. Fungsi terhadap masyarakat bersifat sosiologis, sementara fungsi terhadap individu bersifat psikologis.16
15 Yusuf Zainal Abidin, 2013, Pengantar Retorika, Bandung, CV. Pustaka Setia.
16 S. Djuarsa. Sendjaja, Teori Komunikasi (Jakarta: Universitas Terbuka, n.d.).