• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontekstualisasi Pemahaman Hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Kontekstualisasi Pemahaman Hadis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial dan Budaya, Vol. 5 (2), 2023, (Juli-Desember)

ISSN Print : 2714-7762 ISSN Online : 2716-3539

Tersedia online di: https://ejournal.uinmybatusangkar.ac.id/ojs/index.php/istinarah/index

Kontekstualisasi Pemahaman Hadis

Muhammad Rizqi1, Ahmad Deski 2, Muhammad Ikhwan3

1 STAI Darul Quran Payakumbuh, Sumatera Barat, Indonesia

2 STAI Darul Quran Payakumbuh, Sumatera Barat, Indonesia

3 STAI Darul Quran Payakumbuh, Sumatera Barat, Indonesia muhammadrizqi@staidapayakumbuh.ac.id

Abstract

This research aims to reveal the meaning of the hadiths of the Prophet Muhammad by explaining the text of the hadith along with an understanding of the hadith in accordance with the current context without departing from the meaning of its content. This research is library research using the content analysis method, approaching hadith texts and analyzed using related hadith explanation. This research found that every hadith of the Prophet Muhammad did not always correspond to the textual editorial because when he conveyed the hadith, he was sometimes in his position as an apostle, judge, mufti and as an ordinary human being. Sometimes some hadiths are intended for certain people, places and times, so it is necessary to study the asbabul wurud and the socio-historical conditions of society at the time of the hadith narration, so that the understanding of modern situations and conditions becomes different, in accordance with the information of the hadith narrating scholars.

Keywords: Hadith, Contextual, Text, Understanding

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menyingkap makna dari hadis-hadis Rasulullah Saw dengan memaparkan teks hadis disertai pemahaman terhadap hadis tersebut sesuai dengan konteks kekinian tanpa keluar dari maksud kandungannya. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan metode content analysis pendekatan teks hadis dan dianalisis menggunakan keterangan syarah hadis terkait.

Penelitian ini menemukan bahwa setiap hadis Rasulullah Saw tidak selalu sesuai dengan redaksi tekstualnya karena ketika menyampaikan hadis, adakalanya dalam posisi beliau sebagai rasul, hakim, mufti dan sebagai manusia biasa. Adakalanya beberapa hadis dituju untuk kaum, tempat dan waktu tertentu sehingga perlu dikaji asbabul wurud dan kondisi sosio-historis masyarakat pada waktu periwayatan hadis, sehingga pemahaman untuk situasi dan kondisi modern ini menjadi berbeda, sesuai dengan keterangan para ulama pensyarah hadis.

Kata Kunci: Hadis, Kontekstual, Teks, Pemahaman

PENDAHULUAN

Hadis Nabi Muhammad Saw merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran al-Karim. Salah satu fungsi hadis terhadap al-Qur’an adalah sebagai bayân atau penjelas bagi al-Qur’an. Hadis-hadis Nabi Saw yang sampai pada zaman sekarang, melalui proses yang sangat panjang, sejak munculnya hadis tersebut kemudian diriwayatkan oleh para sahabat hingga dibukukan oleh para ulama hadis belakangan. Banyaknya para sahabat yang meriwayatkan hadis Nabi Saw menjadikan hadis-hadis dalam tema yang sama diriwayatkan oleh banyak rawi dan dengan jalur yang beragam. Selain itu banyaknya persoalan yang terjadi menimbulkan hadis Nabi Saw yang cukup banyak. Dalam memahami hadis-hadis tersebut, pada masa Nabi Saw dan sahabat tidak terlalu sulit untuk memahaminya karena dekatnya jarak mereka dengan Nabi Saw sebagai sumber hadis dan keterangan Nabi Saw mengenai hadis tersebut. Namun, dengan berjalannya waktu, hadis-hadis Nabi Saw mulai agak sukar dipahami terutama hadis dengan memakai istilah-istilah yang jarang dipakai dalam bahasa Arab, maupun hadis yang redaksinya agak sulit dipahami. Begitupun dengan

(2)

hadis-hadis yang menerangkan tentang suatu tema atau persoalan, namun terdapat banyak hadis yang satu sama lain secara lahiriyahnya tampak bertentangan.

Menanggapi hal tersebut maka timbullah suatu disiplin ilmu hadis yang dinamakan dengan fiqh al-hadîts, yaitu bagaimana memahami hadis Nabi Saw dengan tepat dan benar serta mengambil isi kandungan di dalamnya dan bisa diterima dalam konteks kekinian.

Masa penyampaian hadis dengan masa sekarang merupakan masa yang sangat lama yang memungkinkan situasi dan kondisi yang juga jauh berbeda dengan masa sekarang. Hadis-hadis yang disampaikan Nabi Saw mempunyai sebab-sebab tertentu, yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Adapun maksud hadis-hadis yang disampaikan Nabi Saw tidak selamanya bisa dipahami secara tekstual, adakalanya maksud dan tujuan dari hadis tersebut mesti dipahami secara kontekstual.

Maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah:

1. Bagaimana posisi Nabi Saw, ketika menyampaikan hadis?

2. Apa yang menjadi acuan dasar dalam memahami hadis?

3. Apakah upaya kontekstualisasi pemahaman hadis bisa diterapkan pada semua hadis.

4. Mengapa upaya kontekstualisasi pemahaman hadis perlu dilakukan?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau library research, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, serta laporan-laporan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dipecahkan (Nazir, 2013).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode content analysis.

Andi Rahman mengutip pendapat Klaus Klippendorff menjelaskan bahwa content analysis atau disebut juga dengan analisis isi adalah suatu metode penelitian teks yang pada awalnya dilakukan dengan melihat kepada bentuk dan struktur teks itu sendiri.

Metode ini membutuhkan konsentrasi membaca yang sistematis terhadap suatu teks, gambar, ataupun simbol, tanpa perlu menggunakan perspektif dari penulis atau menggambarnya. Penggunaan metode content analysis sebagai suatu metode penelitian, baru muncul pada tahun 1941. Namun, pada abad ke-17 Gereja telah menggunakan metode tersebut dalam kegiatan inkuisisi karena banyaknya selebaran yang bertentangan dengan dogma gereja (Rahman, 2014).

Maka dalam penelitian ini penulis fokus kepada teks hadis dengan menelaah kandungan hadis dan dibantu dengan teks pada syarah hadis sebagai otoritas dalam menjelaskan kandungan makna dalam setiap hadis, sehingga bisa ditarik kesimpulan dari setiap hadis tersebut. Analisis yang ada dalam penelitian merupakan suatu bagian penting karena dengan analisis inilah, data yang ada akan tampak manfaatnya, terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian. (Mahmud, 2011). Dalam penelitian ini dilakukan analisis isi dan makna hadis dengan mengacu kepada keterangan syarah hadis, sehingga makna dan kandugan hadis bisa disimpulkan dengan tepat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri, adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan

(3)

peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya (Safri, 1999).

Penambahan ‘isasi’, perspektif bahasa Indonesia berarti menunjukkan suatu proses. Jadi, kontekstualisasi pemahaman hadis berarti suatu proses memahami hadis dengan melihat kepada kejadian, situasi dan kondisi yang terjadi atau yang melatarbelakangi hadis tersebut disampaikan. Ini bermaksud, beberapa hadis Nabi Saw tidak bisa dipahami hanya dengan pemahaman tekstual saja namun, maksud hadis tersebut dapat dipahami dengan melihat kontekstual hadis.

Memahami hadis secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosiohistoris. Ketika lingkungan sosiohistoris tersebut berubah, tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. Upaya seperti ini disebut dengan kontekstualisasi pemahaman hadis.

Secara umum M. Sa`ad Ibrahim (Ibrahim, 2004)menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu:

Pertama; Untuk bidang ibadah murni (Ibadah Mahdhah) dan aqidah tidak ada kontekstualisasi, dalam arti penambahan ataupun pengurangan untuk kepentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian berarti membuat bid’ah, khurafat dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang dalam Islam.

Kedua; Untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik yang baru yang menggantikan legal-spesifik lamanya.

Di samping itu, ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman hadis menjadi sebuah keharusan. Menurut M. Sa`ad Ibrahim (Ibrahim, 2004)alasan- alasan tersebut adalah:

1. Masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad Saw bukan sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nash-nash yang menyebabakan sebagianya bersifat tipikal. Misalnya pranata dzihâr"يمأ رهظك يلع تنأ" (bagiku engkau seperti punggung ibuku). Ungkapan tersebut hanya berlaku bagi konteks budaya Arab, jika ditransfer ke dalam budaya ke-Indonesiaan maka jelas maknanya beda.

2. Dalam keputusan Nabi Saw sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda cengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekhawatiran terjebak kepada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.

3. Peran sahabat sebagai pewaris Nabi Saw -yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati hadis Nabi Saw dengan risalah yang diembannya- telah mencontohkan kontekstualisasi nash (teks). Misalnya `Umar bin al- Khattâb pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.

4. Implementasi pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual sering kali tidak sejalan dengan kemashlahatan yang justru menjadi reason d’etre kehadiran islam itu sendiri.

5. Pemahaman tekstual secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintroduksi oleh nash itu sendiri.

(4)

6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.

7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks secara kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade mark dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan Muhammad Rasyid Ridha berbunyi: ركفلا و لقعلا نيد مالس ٍالا(Islam itu agama rasional dan intelektual) (Ridha, 1935).

8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung kemaslahatan) yang dirumuskan dengan kaedah: ةمكحم ةداعلا– Tradisi itu dipandang sebagai sesuatu yang legal (Al-Suyûthi, n.d.).

9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tesebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interprestasi yang tepat.

Secara umum Sa`ad Ibrahim, seperti yang penulis kutip di atas, mengemukakan alasan perlunya dilakukan kontekstualisasi pemahaman terhadap teks-teks Islam. Di antara teks-teks tersebut, yang terpenting adalah pemahaman terhadap hadis-hadis Nabi Saw.

Pemahaman para ulama terhadap suatu teks hadis berbeda-beda. Ada yang memahami secara tekstual dan ada pula yang memahami secara kontekstual. Kedua cara ini sebenarnya sudah dikenal bahkan telah dipraktekkan oleh para sahabat Nabi Saw.

Misalnya, pernah suatu ketika Nabi Saw memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, beliau berpesan dalam suatu riwayat hadis, sebagaimana juga dikutip oleh Al-Ghazali:(Al-Ghazali, 1993).

نع نبا رمع يضر للها امهنع لاق :

« لاق يبنلا ىلص للها هيلع ملسو موي دحأ نيلصي ال :بازحألا

الإ رصعلا رصعلا مهضعب كردأف ةظيرق ينب يف

،اهيتأن ىتح يلصن ال :مهضعب لاقف ،قيرطلا يف

كلذ انم دري مل ،يلصن لب :مهضعب لاقو ادحاو فنعي ملف ملسو هيلع للها ىلص يبنلل كلذ ركذف

مهنم

‘Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: ‘Nabi, sallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda pada peperangan Al-Ahzab: “Tidak seorang pun boleh salat zuhur kecuali di kalangan Banu Quraizah.” Ada di antara mereka yang sampai salat Ashar dalam perjalanan, dan ada pula yang berkata: Kami tidak akan salat sampai kami tiba di sana, dan ada pula yang berkata: Sebaliknya, kami akan salat. Hal itu tidak kami niatkan.

Dia (Ibnu Umar) menyebutkan hal itu kepada Nabi, tapi Beliau tidak menegur satu pun dari mereka.’ (Bukhari, 1992)

(5)

Perjalanan ke kampung tersebut ternyata begitu jauh, sehingga sebelum mereka tiba di tempat yang dituju, waktu Ashar telah habis. Di sini mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi Saw tersebut. Ternyata sebagian memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di sana pada waktu masih Ashar. Jadi, bukan seperti bunyi teks yang melarang shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Dengan demikian mereka boleh shalat Ashar sebelum tiba di tempat yang mereka tuju. Tetapi sebagian yang lain memahami dengan tekstual. Oleh karena itu mereka baru shalat Ashar setelah waktu Ashar berlalu, karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah setelah waktu Ashar berlalu.

Quraish Shihab menyebutkan, Imam al-Qarâfi dianggap sebagai orang pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap Nabi Muhammad Saw. Menurutnya Nabi Saw terkadang berperan sebagai Imam agung, Qâdhi, (penetap hukum yang bijaksana), atau Mufti yang amat dalam pengetahuannya. Pendapat di atas, bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis harus dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/diperankan oleh manusia agung itu dalam kedudukan beliau sebagai:

1. Rasul, dan kerana itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah Swt.

2. Mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah Swt kepadanya. Ini pun pasti benar serta berlaku umum dan berlaku bagi setiap muslim.

3. Hakim yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara meterial adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak bersengketa.

4. Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang beliau temui.

Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyaraktnya. Namun bagi masyarakat yang lain mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing Masyarakat (Al-Ghazali, 1993).

Pribadi, baik karena beliau; a) memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dibebankan atau dibebankan oleh Allah Swt dalam rangka tugas kenabiannya, seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan menghimpun lebih dari empat orang istri dalam waktu yang bersamaan, maupun karena b) kekhususan- kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia yang berbeda antara seorang dengan orang lain seperti perasaan suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Soal yang terakhir ini tidak menjadi fokus utama perhatian mereka yang menitikberatkan pandangannya pada ucapan atau sikap yang berkaitan dengan hukum.

Menurut Mahmûd Syaltut, mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi Saw dengan mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya (Syaltut, 1996).

Sebagai contoh, Nabi Saw melarang salah seorang Anshar mengawinkan pohon kurma. Maka orang Anshar tersebut mematuhinya karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah keagamaan. Ternyata hasilnya kurang memuaskan

(6)

dibanding dengan mengawinkannya, karena para rasul diutus tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral keagamaan. Rasul pun bersabda: “Saya melarang dengan ra’yi saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya…” sampai akhirnya beliau bersabda:

مكايند رمأب ملعأ متنأ”, kamu lebih mengetahui urusan yang seperti ini. Jadi, Nabi Saw menyerahkan urusan mengawinkan pohon kurma itu kepada sahabat, yang beliau rasa lebih mengetahui hal tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi Saw mengatakan bahwa beliau melarang hanya dengan ra`yi saja, dalam arti dalam posisi beliau sebagai manusia biasa, kemudian menyerahkan urusan kepada sahabat yang lebih mengetahui.

Keberadaan Rasulullah Saw ini, menjadi acuan untuk memahami hadis secara tepat dan proporsional. Maka, melalui pendekatan tekstual atau kontekstual ini diharapkan hadis tetap menjadi shâlih likulli zamân wa makân.

Secara lebih kongkrit, Hamim Ilyas (Ilyas, 2002)memaparkan faktor-faktor kontekstualisasi hadis atau sunnah sebagai berikut:

1. Jumlah umat muslim yang semakin pesat dan penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda-beda, berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstualisasi hadis atau sunnah yang lebih luas.

2. Banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut pemerintah Arab –dalam hal ini yang bertanggung jawab- untuk melakukan kontekstualisasi hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabît bi Mina dan sa`i, selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur, serta masalah miqât karena kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.

3. Takdir geografis bagi muslim yang berada di kutub selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan waktu siang dan malam akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis atau sunnah mengenai shalat, masuk bulan puasa dan sahurnya.

4. Kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik pada Daulah Islamiyah, maka konsekuensinya mereka harus mengikuti aturan main setiap negara dimana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas.

Akibatnya konsepsi hadis atau sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai dengan adat dan budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularisme ekstrim. Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau sunnah misalnya yang berkaitan dengan aurat dan kurban.

5. Faktor utama terbukanya ‘kran’ kontekstualisasi hadis atau sunnah di abad ini adalah serbuan modernisme dari barat yang menjadi kiblat pembangunan setiap negara. Tak pelak, hal tersebut berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama dan kependudukan secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu pengetahuan dunia barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai transmisi. Misalnya; kelahiran HAM, demokrasi dan paradigma modern tentang hal ihwal terkait penciptaan manusia, yang menuntut kaum muslim melakukan kontekstualisasi hadis atau sunnah.

(7)

Dari beberapa uraian di atas dapat dipahami bahwa banyak faktor yang mengharuskan dilakukan kontekstualisasi terhadap pemahaman hadis-hadis Nabi Saw, karena maksud dan tujuan hadis yang disampaikan Nabi Saw tidak hanya bisa dipahami secara tekstual saja, namun pada beberapa hadis perlu dilihat dari sisi posisi Nabi Saw dalam menyampaikan hadis, situasi dan kondisi yang menyebabkan Nabi Saw serta sebab-sebab lain atas munculnya hadis tersebut. Semua hal ini disebut dengan asbab al-wurûd. Kajian asbab al-wurud ini merupakan hal penting dalam kontekstualisasi pemahaman hadis-hadis Nabi Saw.

Kontekstualisasi pemahaman hadis merupakan suatu hal yang wajar sebagai upaya untuk sampai kepada maksud dan tujuan yang terkandung dalam hadis Nabi Saw. Namun bukan berarti dapat dilakukan secara bebas. Ada batasan-batasan yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum melakukan proses ini. Batasan-batasan tersebut adalah; Pertama, menyangkut objeknya. Tidak semua hal bisa/boleh menjadi objek kontekstualisasi. Melainkan ada beberapa perkara yang sama sekali tidak dapat dipahami secara kontekstual, seperti ibadah dan akidah.Sedangkan lapangan ijtihâd, dapat dilakukan kontekstualisasi seperti mu`âmalât. Kedua, menyangkut subjek atau pelakunya. Tidak semua orang boleh melakukan kontekstualisasi, diperlukan perangkat keilmuan yang cukup dan mapan dalam kontekstualilsasi hadis.

Sebagai contoh kontekstualisasi pemahaman hadis, berikut penulis kutip hadis Rasulullah SAW (Al-Naisâburiy, n.d.):

لاق ةركب يبأ نب نمحرلادبع نع ريمع نب كلملادبع نع ةناوع وبأ انثدح ديعس نب ةبيتق انثدح تنأو نينثا نيب مكحت ال نأ ناتسجسب ضاق وهو ةركب يبأ نب للهاديبع ىلإ ) هل تبتكو ( يبأ بتك بضغ لوقي ملس و هيلع للها ىلص للها لوسر تعمس ينإف : نا :

} وهو نينثا نيب دحأ مكحي ال

غ نابض {

Qutaybah bin Sa`id menceritakan kepada kami, Abu Awanah menceritakan kepada kami, dari Abd al-Malik bin Umair, dari Abd al-Rahman bin Abi Bakra, yang berkata:

Ayahku menulis (dan aku menulis kepadanya) kepada Ubaidillah bin Abi Bakrah, seorang hakim di Sijistan, bahwa kamu tidak boleh menghakimi antara dua orang ketika kamu sedang marah: karena aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada yang menghakimi antara dua orang sementara dia marah”.

Al-Shan`âniy menjelaskan di dalam kitab Subul al-Salam (Al-Shan`âniy, n.d.) bahwa secara tekstual larangan tersebut jatuh pada tingkat haram. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa larangan dalam hadis tersebut hukumnya makruh. Imâm al- Nawâwi dalam kitab syarahnya bab ‘Karâhat Qadhâ’ al-Qâdhi wa huwa Ghadhbân’

menjelaskan alasan jumhur berpendapat larangan tersebut adalah makruh karena melihat kepada `illat yang terdapat dalam hal tersebut (Amir, 2021). `Illat marah pada larangan tersebut tidak ada kaitannya dengan hukum, karena ‘marah’ hanya berkaitan dengan diri pribadi hakim.

Al-Shan`âniy menambahkan jika hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah, berakibat pada bercampurnya antara sesuatu yang hak dan batil, maka tidak ada yang menolak keharaman memutuskan perkara tersebut.

(8)

Namun, kalau tidak sampai berakibat pada bercampurnya antara yang hak dan yang batil maka hukumnya makruh.

Jadi kontekstualisasi pemahaman hadis di atas terletak pada penetapan hukum bagi seorang hakim yang menetapkan/memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah. Penulis berkesimpulan, jika marahnya kepada orang yang sedang dihakimi maka hakim haram untuk memutuskan perkara, karena dikhawatirkan putusan hakim tersebut dipengaruhi oleh emosinya kepada orang yang sedang dihakimi. Namun, kalau kemarahan hakim berkaitan dengan diri pribadinya atau menyangkut hal lain, maka bagi hakim yang memutuskan perkara dalam keadaan demikian hukumnya jatuh pada makruh, dengan alasan marahnya yang di luar perkara tersebut, tidak akan mempengaruhi putusannya dalam menetapkan hukum/perkara.

Contoh lain, Nabi Saw bersabda:

َسَي ِراَد ىِف ٍقو ُر ْسَم َعَم اَّنُ ك َ

لاَ

ق ٍمِل ْس ُم ْنَع ُشَم ْعَألا اَنَث َّد َح ُناَيْف ُس اَنَث َّد َح ُّى ِدْيَمُحْ لا اَنَ

ث َّد َح ِنْب ِرا

ٍرْي َمُن

َلاَق ِ َّ

للها َد ْب َع ُت ْع ِم َس َ لاقَف َ َ

ليِثاَمَت ِهِتَّفُص ىِف ىَ أ َرف ،َ َّى ِبَّنلا ُت ْع ِم َس :

- ملسو هيلع للها ىلص

- ُ

لوقَيُ

َ «

نو ُر ِ و َصُمْلا ِةَماَي ِقْ

لا َم ْوَي ِ َّ

للها َدْن ِع اًباَ

ذ َع ِساَّنلا َّد َشَ أ َّ

ن ِإ

»

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Muslim dia berkata: Kami bersama Masruq berada di rumah Yasar bin Numair, lantas dia melihat patung di dalam (gambar) patung rumahnya, lantas Masruq berkata: "Saya pernah mendengar Abdullah berkata: saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksa paling dahsyat pada hari kiamat di hadirat Allah adalah para pelukis”. (Al-Naisâburiy, n.d.)

Banyak hadis yang menjelaskan larangan melukis makhluk yang bernyawa. Di antaranya hadis yang mengatakan bahwa para pelukis pada hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kapada apa yang dilukiskannya. Ada juga yang mengatakan bahwa malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang ada lukisannya.

Hadis di atas kalau dipahami secara tekstual maka kegiatan melukis tidak dibolehkan bahkan diharamkan, begitu juga hasil karya lukisan tersebut. Hal seperti ini kalau dilihat zaman sekarang tentunya akan menghambat kreatifitas manusia untuk berkarya.

Berbagai hadis yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk bernyawa tersebut dinyatakan oleh Nabi Saw dalam kapasitas beliau sebagai rasul.

Dikatakan demikian, antara lain karena dalam hadis itu dikemukakan berita tentang nasib masa depan para pelukis di hari kiamat. Informasi yang demikian itu hanya dapat dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai rasul.

Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi Saw itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum tertentu. Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan syirik, yakni penyembahan kepada patung dan semacamnya. Dalam kapasitasnya sebagai rasul, beliau berusaha keras untuk menyelamatkan umat dari perbuatan musyrik tersebut. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan mengeluarkan larangan melukis dan memajang lukisan, yang diancam siksa berat tidak hanya yang membuat saja, tetapi juga yang memajangnya.

(9)

Kalau `illat hukumnya memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan untuk terjerumus ke dalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajang lukisan diperbolehkan. Sebagaimana kaidah ushul fiqh menyatakan:

لع عم رودي مكحلا هت

امدع و ادوجو

“Hukum berlaku sesuai latar belakang keberadaan ‘illatnya, ada `illat maka ada hukum, jika tidak ada `illat maka hukum tidak berlaku”. (Ahmad al-Raisuni, 2013)

Maksudnya hukum itu ditentukan dengan ‘illatnya, bila ada `illat, maka ada hukum, dan bila ‘illatnya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.

Pemahaman secara kontekstual seperti ini bisa saja terjadi. Misalnya saja, lukisan dilukis pada saat masyarakat berkeyakinan bahwa menyembah patung adalah musyrik, jadi `illat (dikhawatirkan lukisan akan menjadi sesembahan orang) tidak akan ada. Di samping itu, melukis juga banyak mengandung sisi positif, misalnya kegiatan melukis itu merupakan suatu bentuk kreatifitas manusia dan lama kelamaan bisa mengasah kecerdasannya dalam seni melukis. Hal seperti inilah yang dimaksud dengan kontekstualisasi pemahaman hadis.

Contoh lain, ketika Nabi Saw bersabda, yang tercatat dalam kitab Shahih Muslimno. 4490:

َمَّ

ل َس َو ِهْيَ ل َع ُ َّ

للها ىَّ

ل َص ِ َّ

للها ُ لو ُس َر َ

لاق: ْتَ َ لاَ

ق َنيِن ِم ْؤ ُمْ لا ِ مُ

أ َة َشِئاَع ْنَع :

ا ًدَي َّنُ كُ

ل َو ْطَ أ يِب اقاَحً َ

ل َّنُ ك ُع َر ْسَ

أ ،

ْتَ لاقَ ِب ُ :

ل َم ْعَت ْتَناَ ك ا َهَّنَ

أ ِل ُبنْي َز ا ًدَي اَنَ َ ل َو ْطَ

أ ْتَناَ كَ

ف ْتَ

لاق ا ًدَي َ ُ ل َو ْطَ

أ َّنُهُتَّيَ أ َنْ

ل َوا َطَتَي َّنُ كَ ا َه ِدَي ف

ُق َّد َصَت َو Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di antara kalian yang lebih dahulu bertemu denganku di hari kiamat kelak adalah yang paling panjang Iangannya”. Aisyah berkata; “Lalu mereka, para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mungukur tangan siapakah yang paling panjang.” Aisyah berkata; “Ternyata setelah di ukur-ukur Zainablah yang paling panjang di antara kami, karena ia sering beramal dan bersedekah dengan tangannya. (Al-Naisâburiy, n.d.)

“Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang tangannya di antara kalian” Mendengar ucapan Rasul Saw ini, para isteri beliau ada yang memahaminya secara hakiki, yaitu tangan yang panjang. Melihat fenomena ini Aisyah berkomentar, bahwa mereka (para isteri Nabi Saw yang lain) saling memanjangkan tangannya guna mengetahui siapa di antara mereka yang paling panjang tangannya guna mengetahui siapa di antara mereka yang cepat menyusul Rasul. Padahal Rasul Saw tidak bermaksud demikian. “Panjang tangan” yang dimaksud adalah dalam makna kiasan, yakni orang yang tinggi etos kerjanya (banyak melakukan kebaikan).

Dalam hal ini, ternyata isteri Nabi Saw yang paling pertama menyusul Nabi Saw adalah Zainab binti Jahsy, seorang wanita yang kreatif, banyak berkarya dan suka bersedekah (Hariyanto, 2011).

Contoh hadis lain, Rasul Saw pernah bersabda, tercatat dalam kitab Shahih Imam Muslim kitab Thaharah bab siwak No.370:

(10)

اَنَ ث َد َح ُةَب ْيتَقُ دي ِع َس نْب

ور ْم َع َو ُد ِقا َنلا َو ُرْي َه ُز نْب ب ْر َح اوُ

لاقَ اَنَ

ث َد َح

ْناَيْف ُس ِيِبَ ن َع

ْداَن ِزلا أ ِنَع

ْا لأ ْجَر ْع ي ِبَ ن َع

أ

َ ْة َرْيَر ُه ن َع ي ِب َنلاِ ى َ

ل َص ا لله ه ْيَ

ل َع َم َ

ل َسَ و

َلاَق ل ْوَ

ل ا نأ ق ُشَ

أ ىَ نيِن ِم ْؤ ُمْ ل َع

لا يِف َو

ثي ِد َحِ

ىَ ل َعرْي َه ُز ْي ِت َمُ

أ

َ ِم ُهُ لأ

ت ْر َم َكا َو ِسلاِب دْن ِع

لُ

َ ك ل َص اة

‘Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan Amru an-Naqid serta Zuhair bin Harb mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu az-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi Saw bersabda, "Seandainya jika tidak memberatkan bagi kaum mukminin, (pada lafaz hadis dari Zuhair: bagi umatku) niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat.” (Al-Naisâburiy, n.d.)

Tujuan atau maksud dari hadis ini sebenarnya adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha karena kebersihan itu. Sedangkan siwak merupakan media untuk mencuci mulut. Disebutkan siwak oleh Rasul Saw, menurut Yusuf al- Qaradhawi (Qaradhawi, 1994), karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah Arab. Kalau pemahaman hadis ini dikontekstualisasikan, maka pada zaman sekarang bisa dipahami bahwa siwak dapat diganti dengan barang lain, seperti odol dan sikat gigi karena fungsi dan tujuannya sama dengan siwak. Pada hakikatnya maksud dari hadis tersebut adalah untuk membersihkan mulut, sehingga dengan kebersihan tersebut bisa mendapatkan keridhaan dari Allah Swt.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diambil kesimpulan:

Pertama; Nabi Saw, ketika menyampaikan hadis, adakalanya dalam posisi beliau sebagai rasul, hakim, mufti dan juga sebagai manusia biasa. Hal ini menjadi dasar, -di samping hadis dipahami secara tekstual- juga perlu dipahami secara kontekstual. Upaya memahami secara kontekstual ini dinamakan kontekstualisasi pemahaman hadis.

Kedua; Dalam kontekstualisasi pemahaman hadis, salah satu hal mendasar yang menjadi acuannya adalah asbab al-wurud hadis.

Ketiga; Kontekstualisasi pemahaman hadis tidak bisa diterapkan pada semua hadis. Hadis-hadis yang berbicara mengenai hal-hal atau ibadah mahdhah (qath`iy) tidak bisa dikontekstualisasikan. Selain itu, kalau memungkinkan, maka bisa dikontekstualisasikan.

Keempat; Upaya kontekstualisasi pemahaman hadis dilakukan adakalanya karena situasi dan kondisi zaman Nabi Saw menyampaikan hadis jauh berbeda dengan situasi dan kondisi zaman sekarang, yang menuntut pemahaman hadis, untuk hal-hal tertentu perlu dikontesktualisasikan.

Penelitian ini hanya salah satu perspektif dari pemahaman hadis, maka penulis merekomendasikan kepada para peneliti berikutnya untuk melakukan riset tentang hadis-hadis Rasulullah Saw dari perspektif-perspektif yang lainnya, sehingga khazanah ilmu pengetahuan akan lebih kaya dengan hasil penelitian terbaru yang lebih baik.

(11)

REFERENSI

Ahmad al-Raisuni. (2013). Muhadharat fi Maqashid al-Syari`ah. Dār al-Kalimah lil- Nashr wa-al-Tawzīʻ.

Al-Ghazali, M. (1993). Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw. Mizan.

Al-Naisâburiy, M. bin H. al-Q. (n.d.). Shahîh Muslim. Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Shan`âniy. (n.d.). Subul al-Salâm. Maktabah Dahlan.

Amir, A. N. (2021). Imam Al-Nawawi : Riwayat Ringkas Tentang Latar Pemikiran Dan Pengaruhnya ( Imam Al-Nawawi : A Brief History of his Thought Background and Influence ). 6(2), 58–68.

Bukhari, A. M. bin I. al. (1992). Shahih al Bukhari. Dar al Kitab al ‘Ilmiyyah.

Hariyanto, M. (2011). Pemahaman Kontekstual atas Hadis Nabi. Wawasan al-Sunnah.

Ibrahim, M. S. (2004). Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam. At Tahrir, 4, 168–169.

Ilyas, H. (2002). Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama. Tiara Wacana.

Mahmud. (2011). Metodologi Penelitian Pendidikan. Pustaka Setia.

Nazir, M. (2013). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.

Qaradhawi, Y. Al. (1994). Kajian Kritis Pemahaman Hadis: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (terj). Islamuna Press.

Rahman, A. (2014). Penggunaan Metode Content Analysis dalam Penelitian Hadis.

Journal of Qur’an and Hadith Studies, 3(1), 101–117.

https://doi.org/10.15408/quhas.v3i1.1165

Safri, E. (1999). al-Imâm al-Syâfi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif. IAIN IB Press.

Syaltut, M. (1996). Al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah. Kairo: Dâr al-Qalam.

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan tekstual adalah pendekatan yang paling awal digunakan dalam memahami hadis-hadis Nabi SAW. Sebab memahami sebuah teks adalah terlebih dahulu dengan mencoba menangkap

Dalam upaya memperoleh pemahaman yang sesungguhnya terhadap makna dan tunjukan ( dalâlah ) dari matan suatu hadis, kontribusi ilmu (teori) tentang makna yang dikenal dengan

yang dialami oleh Nabi saw. pada saat itu juga lahir hadis Nabi Muhammad saw. dan itulah yang disebut : ا بةـسا ضـنللل Sejarah membuktikan bahwa Nabi saw. memiliki dua

Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa meode yang dapat digunakan dalam memahami hadis Nabi SAW iaitu (i) Memahami hadis sesuai petunjuk al-Quran; (2) Memahami hadis sesuai dengan latar

Menurut al-Ghazali, metode pemahaman hadis Nabi harus diukur dari empat kriteria keshahihan matan hadis, yaitu: matan hadis harus sesuai dengan Alquran, matan

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan membaca buku, jurnal, kitab yang berhubungan dengan hadis Nabi Saw meletakkan pelepah kurma

Disamping itu, mereka juga berpendapat bahwa ketika Nabi saw menyampaikan hadis tersebut ia tidak dalam kapasitas sebagai nabi atau rasul, akan tetapi perlu dipahami

Akan tetapi berdasarkan penelaahan terhadap literatur yang ada, maka yang dimaksudkan dengan pemahaman hadis metode tekstual adalah: ”Memahami hadis nabi sesuai dengan pesan atau