• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI 1 PERCOBAAN 3A OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT

N/A
N/A
Wilandani Sabilla

Academic year: 2023

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI 1 PERCOBAAN 3A OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI 1 PERCOBAAN 3A

OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT

(AKTIVITAS ANESTETIKA UMUM DARI KETAMIN)

Disusun Oleh:

Wilandani Sabilla (10060320057) Arsy Auliyana Dewi (10060320058) Pedriantini Iqlima Subekti (10060320059) Natasya Delarespita

Siti Alifa Dzulnadifa

(10060320060) (10060320061)

Shift/Kelompok : B / 6

Tanggal Praktikum : Selasa, 11 Oktober 2022 Tanggal Penyerahan : Selasa, 18 Oktober 2022 Asisten Penanggung Jawab : Dinda Ayu Fauziah, S. Farm.

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT D PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2022 M / 1444 H

(2)

PERCOBAAN 3A

OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT

(AKTIVITAS ANESTETIKA UMUM DARI KETAMIN)

I PENDAHULUAN 1.1 Sistem Saraf Pusat

Sistem saraf adalah kumpulan saraf yang kompleks dan sel-sel khusus yang dikenal sebagai neuron yang mengirimkan sinyal antara berbagai bagian tubuh. Ini pada dasarnya adalah kabel listrik tubuh. Secara struktural, sistem saraf memiliki dua komponen: sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak, sumsum tulang belakang, dan saraf. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron sensorik, ganglia (kelompok neuron) dan saraf yang terhubung satu sama lain dan ke sistem saraf pusat. Sistem saraf yang mengoordinasi semua jenis gerakan dan stimulasi dari satu bagian tubuh ke bagian lainnya. Sistem saraf pusat adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri atas otak dan saraf tulang belakang, sedangkan sistem saraf periferal adalah saraf-saraf berupa serabut panjang yang menghubungkan sistem saraf pusat ke semua bagian tubuh. SSP memiliki fungsi untuk mengkoordinasi segala aktivitas bagian tubuh manusia yang dibantu oleh sistem saraf perifer yang merupakan penghubung impuls dari SSP menuju sel organ efektor (Nugroho, 2013).

Sistem saraf tepi merupakan saraf-saraf yang membawa impuls dari dan ke sistem saraf pusat. sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar yang rangsangannya disampaikan ke pusat reseptor yaitu kepusat motoris pada serebrum dan sistem saraf tidak sadar yang rangsangannya tidak disampaikan ke otak. Sistem saraf otonom mengontrol kegiatan organ-organ dalam. (Chalik, 2016).

1.2 Anestetika

Anestesia berarti hilangnya sensasi nyeri dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Anestesia adalah obat yang digunakan untuk menerapkan anestesi, dan kelompok obat ini dibagi menjadi anestesi umum dan anestesi lokal. Tergantung pada kedalaman anestesi, anestesi umum dapat memiliki efek analgesik. H.

Hilangnya sensasi nyeri, atau efek anestesi, yaitu analgesia yang tidak disadari.

Anestesi lokal, di sisi lain, hanya memiliki efek analgesik.

(3)

Anestesi umum bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan anestesi lokal bekerja langsung pada serabut saraf perifer (Elysabeth, 2009).

Anestesi umum adalah menghilangkan kesadaran dengan pemberian obat- obat tertentu, sehingga tidak merasakan sakit walaupun diberikan rangsangan nyeri, dan bersifat reversibel. Kemampuan untuk mempertahankan fungi ventilasi hilang, depresi fungsi neuromuskular, dan juga gangguan kardiovaskular (Musi, 2021).

General anestesi atau anestesi umum bertujuan untuk menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar anestesi umum meliputi hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau mengantuk/ tenang, analgesia atau tidak merasa sakit, rileksasi otot, yaitu kelumpuhan otot skelet, dan stabilitas otonom antara saraf simpatis dan parasimpatis (Pramono, 2015). Anestetika umum dapat menekan SSP secara bertingkat dan berturut-turut menghentikan aktifitas bagian-bagiannya. Menurut (Setiadi, 2017) dikenal empat taraf dalam narkosa, yaitu:

1. Analgesia, kesadaran bekurang, rasa nyeri hilang dan terjadi euphobia (rasa nyaman) yang disertai impian yang mirip halusinasi.

2. Eksitasi, kesadaran hilang dan terjadi kegelisahan yang disebut juga taraf induksi.

3. Anatesia, pernapasan menjadi dangkal dan cepat, secara teratur seperti keadaan tidur (pernapasan perut), gerakan-gerakan mata dan refleks mata hilang sedangkan otot-otot menjadi lemas.

4. Perlumpuhan sumsum tulang, kerja jantung dan pernapasan terhenti sehingga harus dihindari.

Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu:

1. Topikal misalnya melalui kutaneus atau membrana mukosa

2. Injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskular, dan intraperitoneal 3. Gastrointestinal secara oral atau rektal

4. Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas

(4)

Ketamin adalah satu-satunya anestesik intravena yang selain bersifat analgesik kuat juga mampu merangsang kardiovaskuler, meningkatkan frekuensi jantung, tekanan darah arteri, dan curah jantung. Ketamin adalah derivate phencyclidine yang meyebabkan disosiative anesthesia yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Ketamin memiliki keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate, ketamin larut dalam air dan dapat menyebabkan analgesic pada dosis subanestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabk andelirium. Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada reseptor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitive voltase. Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapatmengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofilsebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokininilah yang menimbulkan efek analgesia (Katzung, 2013).

II TUJUAN PERCOBAAN

1. Mempunyai keterampilan dalam melakukan pengujian aktivitas anestetika umum

2. Dapat menjelaskan kembali mekanisme kerja dan menjelaskan perbedaan mekanisme kerja antar berbagai golongan anestetika umum

III ALAT DAN BAHAN

Alat Bahan

Alat suntik 1 ml Ketamin

Beban (anak timbangan) NaCl fisiologis Bejana plastik

Platform Sonde oral Stopwatch Tali

Timbangan mencit

(5)

Pertama-tama sebelum dilakukan percobaan mencit, ditimbang terlebih dahulu BB mencit untuk dilakukan konversi dosis, kemudian ekor mencit diberi tanda

IV PROSEDUR

V DATA PENGAMATAN 5.1 Perhitungan

5.1.1 Perhitungan NaCl Fisiologis Dosis 4 Mg/KgBB

Diketahui: Bobot Mencit = 22 gram

Volume untuk 20 g BB mencit = 0,5 mL

• Konversi Dosis

4 mg/KgBB x 70 kg x 0,0026

= 0,728 mg/KgBB

Ditentukan juga durasi efek sedasi dan hipnotik Dicatat onset efek sedatif dan hipnotik pada mencit

Sebelum diberikan bahan uji, diamati parameter-parameter perilaku mencit di atas platform sesuai tabel pengamatan dan diamati dalam durasi 120 menit pengamatan

Kelompok 1 : kontrol NaCl fisiologis Kelompok 2 : Ketamin

Hewan dibagi menjadi 2 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 2 ekor mencit, yaitu :

(6)

• Kekuatan Sediaan

0,728 mg/20gBB mencit 0,5 mL

= 1,456 mg/mL

• Volume yang Diberikan

22 gram

20 gram x 0,25 mL

= 0,275 mL

5.1.2 Perhitungan Ketamin Dosis 2 Mg/KgBB

Perhitungan dosis mencit ketamin 2mg Diketahui: Bobot mencit = 28 gram

Faktor konversi = 0,0026/20 g BB mencit Ditanyakan: Dosis konversi untuk mencit?

Jawaban:

Konversi dosis = 2 mg x 70 x 0,0026 = 0,364 mg/20 g BB mencit Konversi dosis = 4 mg x 70 x 0,0026 = 0,728 mg/20 g BB mencit Kekuatan sediaan = 0,728

0,5 = 1,456 𝑚𝑔/𝑚𝑙 Dosis = 28

20 𝑥 0,364 = 0,5096 𝑚𝑙 Volume pemberian IP = 1,456

1 = 0,5096

𝑥

X = 0,5096

1,456 = 0,35 ml/ 28 BB mencit 5.1.3 Perhitungan Ketamin Dosis 4 Mg/KgBB

Diketahui: Bobot Mencit = 32 gram

Volume untuk 20 g BB mencit = 0,5 mL

• Konversi Dosis

4 mg/KgBB x 70 kg x 0,0026

= 0,728 mg/KgB

• Kekuatan Sediaan

0,728 mg

0,5 = 1,456 mg/ml

• Dosis

32 gram

20 gram x 0,728

= 1,1648 mg/bb

(7)

• Volume Pemberian

1,1648 𝑚𝑔/𝑏𝑏

1,456 𝑚𝑔/𝑏𝑏 = 0,8 ml

5.2 Data Pengamatan

5.2.1 Data Pengamatan NaCl Fisiologis Dosis 4 Mg/KgBB

Efek yang diamati Hasil pengamatan tiap 5 menit

t0 T15 T30 T45

Platform

(menjengukkan kepala ke bawah)

15 10 2 1

Sikap tubuh Normal

Tidak normal

Aktivitas motorik Naik

Normal

Turun Diam

Straub (ekor berdiri) - - -

Piloereksi (rambut berdiri) - - - -

Ptosis (turun kelopak mata) - - - -

Lakrimasi (keluar air mata secara spontan)

- - -

Grooming (membersihkan bulu) - -

Defekasi (mengeluarkan feses) - - -

Urinasi (mengeluarkan urin) - - - -

Salivasi (mengeluarkan saliva) - - - -

Vokalisasi (bersuara) - - - -

Tremor (bergetar) - - - -

Kejang (bergetar dan cepat tak terkendali)

- - - -

Writhing (mengeliat) - - - -

Pernafasan Cepat

Normal - -

Sesak

Menggelantung (kaki depan) + + + + + + + + + + + + + + + +

Retablishmen (kaki depan dan belakang)

+ + + + + + + + + + + + + + + + Fleksi (menolak saat kaki

belakang dijepit)

+ + + + + + + + + + + + + + + + Hafner (menolak saat ekor

dijepit)

+ + + + + + + + + + + + + + + + Refleks pineal (telinga disentuh

kawat)

+ + + + + + + + + + + + + + + + Refleks kornea (mengedip

disentuh kawat)

+ + + + + + + + + + + + + + + + Righting refleks (dibalik

badannya)

+ + + + + + + + + + + + + + + +

(8)

5.2.2 Data Pengamatan Ketamin Dosis 2 Mg/KgBB

Efek yang diamati Hasil pengamatan tiap 5 menit

t0 T15 T30 T45

Platform

(menjengukkan kepala ke bawah)

15 - 3 11

Sikap tubuh Normal

Tidak normal

Aktivitas motorik Naik

Normal

Turun

Diam

Straub (ekor berdiri) - - -

Piloereksi (rambut berdiri)

Ptosis (turun kelopak mata) - - - -

Lakrimasi (keluar air mata secara spontan)

- - - -

Grooming (membersihkan bulu) - - -

Defekasi (mengeluarkan feses) - - -

Urinasi (mengeluarkan urin) - - -

Salivasi (mengeluarkan saliva) - - - -

Vokalisasi (bersuara) - - - -

Tremor (bergetar) -

Kejang (bergetar dan cepat tak terkendali)

- - - -

Writhing (mengeliat) - - -

Pernafasan Cepat

Normal

Sesak

Menggelantung (kaki depan) + + + + + + +

Retablishmen (kaki depan dan belakang)

+ + + + + + +

Fleksi (menolak saat kaki belakang dijepit)

+ + + + + + + + + +

Hafner (menolak saat ekor dijepit)

+ + + + + + + + + + + +

Refleks pineal (telinga disentuh kawat)

+ + + + + + + + + + + Refleks kornea (mengedip

disentuh kawat)

+ + + + + + + + + + + Righting refleks (dibalik

badannya)

+ + + + + + + + + +

(9)

5.2.3 Data Pengamatan Ketamin Dosis 4 Mg/KgBB

Efek yang diamati Hasil pengamatan tiap 5 menit

t0 T15 T30 T45

Platform

(menjengukkan kepala ke bawah)

10 - - -

Sikap tubuh Normal

Tidak normal

Aktivitas motorik Naik

Normal

Turun

Diam

Straub (ekor berdiri) -

Piloereksi (rambut berdiri)

Ptosis (turun kelopak mata) - - -

Lakrimasi (keluar air mata secara spontan)

- - - -

Grooming (membersihkan bulu) - - -

Defekasi (mengeluarkan feses) - - -

Urinasi (mengeluarkan urin) - - -

Salivasi (mengeluarkan saliva) - - - -

Vokalisasi (bersuara) - - - -

Tremor (bergetar) - -

Kejang (bergetar dan cepat tak terkendali)

- - - -

Writhing (mengeliat) - - - -

Pernafasan Cepat

Normal

Sesak

Menggelantung (kaki depan) + + + + + + +

Retablishmen (kaki depan dan belakang)

+ + + + + + +

Fleksi (menolak saat kaki belakang dijepit)

+ + + + + + + +

Hafner (menolak saat ekor dijepit)

+ + + + + + +

Refleks pineal (telinga disentuh kawat)

+ + + + + + + +

Refleks kornea (mengedip disentuh kawat)

+ + + + + + + + + + + Righting refleks (dibalik

badannya)

+ + + + + + +

Keterangan :

a. t0=sebelum pemberian sediaan uji; t0=0 menit setelah pemberian sediaan uji;

t5=5menit setelah pemberian sediaan uji; t15=15menit setelah pemberian sediaan uji:

t30=30 menit setelah pemberiaan sediaan uji: t45= 45 menit setelah pemberian sediaan uji

(10)

b. + = terdapat efek ; - = tidak terdapat efek + + + + = sangat kuat

+ + + = kuat + + = lemah

+ = sangat lemah

VI PEMBAHASAN

Pada percobaan kali ini membahas mengenai cara suatu obat yang bekerja pada sistem saraf pusat (anastetika umum) dan diamati juga durasi dari efek-efek terapeutik yang timbul setelah zat uji diberikan pada hewan hewan uji dimana pada percobaan ini hewan uji yang digunakan yaitu mencit. Mencit dipilih karena merupakan salah satu hewan yang memiliki kesamaan struktur, sistem organ, komponen darah dengan manusia, serta mempunyai organ terlengkap sebagai hewan mamalia. Seperti yang diketahui sistem saraf pusat (SSP) merupakan bagian dari sistem saraf yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SSP mempunyai fungsi mengkoordinasi segala aktivitas bagian tubuh manusia (Tjay, 2013). Sistem Saraf Pusat (SSP) terdiri dari otak dan medula spinalis yang merupakan pusat dan kontrol seluruh aktivitas tubuh. Susunan dari sistem saraf pusat adalah neuron akson sebagai penghubung dan transmisi elektrik antar neuron yang dikelilingi glial yang memanjang (Baharudin, 2012). Obat dapat mempengaruhi sistem saraf pusat dengan merangsang (stimulasi) atau menekan (depresi), dan dapat menekan sesuatu fungsi sekaligus merangsang fungsi yang lain.

Efek obat bergantung pada jenis dan sensitivitas reseptor yang dipengaruhinya. Obat yang efeknya mempengaruhi SSP antara lain adalah anestetika umum, obat hipnotik sedatif, obat psikotropik, obat antikonvulsi, obat analgetik antipiretik, obat analgetik-narkotik, dan obat perangsang SSP (Rahardjo, 2014).

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dalam praktikum kali ini yaitu pengamatan aktivitas anestetika umum dari ketamin. Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologis atau penekanan sensorik pada syaraf (Transquilli M, 2007).

(11)

Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi reflex terhadap manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi). Anestesi umum yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka pada anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan kombinasi hipnotika, analgetika, dan relaksasi otot (Munaf, 2018).

Anestetika dibedakan menjadi dua berdasarkan bentuknya yaitu anestesi volatile yaitu anestesi yang menghasilkan efek ketika uap yang dihasilkan dihirup dan anestesi nonvolatile yaitu anestesi yang diberikan dengan cara diinjeksikan secara langsung kedalam tubuh (Beggs, 2015). Sedangkan berdasarkan cara pemberiannnya anestesi dibedakan menjadi dua, yaitu inhalasi merupakan anestesia yang diberikan dengan cara diberikan dengan oksigen melalui pernafasan dan injeksi adalah anestesia yang diberikan dengan cara diinjeksikan langsung kedalam tubuh melalui vena (Katzung, 2013). Obat anestetika yang digunakan adalah ketamin. Ketamin adalah suatu obat penghilang sakit kuat pada konsentrasi plasma subanestetik, dan efek anestetik dan analgesia mungkin diperantarai oleh mekanisme yang berbeda. Yang secara rinci, analgesia mungkin dalam kaitan dengan suatu interaksi antara ketamin dan opioid reseptor di dalam sistem saraf pusat. Ketamin dan campuran seperti phencyclidin telah memperlihatkan blok nonkompetitif eksitansi neural induksi dengan asam amin N-methyl-D-aspartate (NMDA).

Ketamin memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat, menghambat refleks polisinaptik di medulla spinalis dan NT eksitasi di area tertentu otak.

Ketamin bekerja sebagai antagonis nonkompetitif pada reseptor NMDA (N-metil- D- asparatat) yang tidak bergantung pada tegangan, ikatan pada tempat ikatan fensiklidin. Reseptor NMDA merupakan suatu reseptor kanal ion (untuk ion Na+.

Ca2+, dan K+) (Hirota, 1996).

(12)

Ketamin dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang ringan. Efek terhadap kardiovaskuler adalah peningkatan tekanan darah arteri paru dan sistemik, laju jantung dan kebutuhan oksigen jantung. Ketamin dapat pula meningkatkan isi semenit jantung pada menit ke 5 – 15 sejak induksi. Ketamin tidak menyebabkan pengeluaran histamin (Stoelting, 2016). Ketamin dilaporkan berinteraksi dengan mu (µ), delta (δ) dan kappa (κ) reseptor dari opioid. Interaksi dengan opioid reseptor ini pada berbagai studi NH – O menduga bahwa ketamin sebagai antagonis pada µ reseptor dan agonis pada k reseptor. N-methyl-D-aspartate adalah suatu asam amino yang bekerja sebagai reseptor dan merupakan sub grup dari opioid reseptor. Ketamin bekerja sebagai suatu antagonis reseptor untuk memblok spinal nociceptive refleks. Toleransi silang antara ketamin dan opioid suatu reseptor umum untuk induksi analgesia ketamin. Suatu opioid reseptor teori akan lebih lanjut didukung oleh pembalikan efek ketamin dengan naloxone. Sampai saat ini, pembahasan efek naloxone atau respon ketamin belum selesai. Dalam klinik dilaporkan ketamin tidak hanya digunakan dalam general anestesi tetapi juga regional anestesi. Neuronal system mungkin melibatkan kerja antinosiseptif dari ketamin, blokade norepinefrin dan serotonin reseptor merupakan kerja ketamin sebagai analgesia. Dari berbagai data menduga bahwa aksi antinosiseptif dari ketamin mungkin menghambat jalur monoaminergik pain. Ketamin juga saling berhubungan dengan reseptor kolinergik muskarinik dalam sistem saraf pusat, yang berpusat pada kerja agen antikolinesterase seperti physostigmine mungkin menjelaskan anestesi dari ketamin (Reves GJ, 2018).

Pada percobaan kali ini mencit diberikan dosis ketamin dengan dosis yang diberikan yaitu 4 mg dan bobot mencit 32 gram. Efek yang pertama kali diamati yaitu pada jengukan kepala diwaktu t0-t45. Pada waktu t0 mencit menjegukkan kepala ke bawah sebanyak 10 kali. Dan pada menit ke 15, 30 dan 45 mencit tidak menjegukkan kepala. Sikap tubuh pada menit ke t0 masih normal tetapi pada menit ke 15, 30 dan 45 mengalami ketidaknormalan hal ini disebabkan ketamin sudah bekerja menurunkan kesadaran terhadap aktivitas mencit sehingga tubuhnya hanya diam saja.

(13)

Pada aktivitas motorik menit ke t0 dan t15 ketamin masih menunjukan konsisten atau normal tetapi pada menit t30 aktivitas motoriknya diam dan t45 menjadi turun. Pengamatan selanjutnya yaitu straub (ekor berdiri) pada menit t0 ekornya masih berdiri, namun pada menit t15 dan t30 ekornya tidak berdiri dan pada menit t45 ekor kembali berdiri yang menandakan anestesi sudah hampir habis atau habis. Pada pengamatan piloereksi (rambut berdiri) dari menit t0, t15, t30 dan t60 rambut mencit tetap berdiri. Pada pengamatan ptosis (Penurunan kelopak mata) dari menit t0 tidak mengalami penurunan kelopak mata, sedangkan pada menit t15, t30 dan t45 mencit mengalami penurunan kelopak mata. Pada pengamatan lakrimasi (air mata) dari menit t0, t15, t30 dan t45 mencit tidak mengeluarkan air mata. Pada pengamatan grooming (membersihkan rambut-rambut dari menit t0 mengalami grooming, sedangkan pada menit t15, t30 dan t45 mencit tidak mengalami grooming. Pada pengamatan defekasi (pup) dari menit t0 mengeluarkan pup, sedangkan pada menit t15, t30 dan t45 mencit tidak mengeluarkan pup. Pada pengamatan urinasi (pipis) dari menit t0 mengalami urinasi, sedangkan pada menit t15, t30 dan t45 mencit tidak mengalami urinasi. Pada pengamatan salivasi (mengeluarkan liur) dan vokalisasi (bersuara) dari menit t0, t15, t30 dan t45 mencit tidak mengalami salivasi dan vokalisasi. Pada pengamatan tremor (bergetar) dari menit t0 dan t15 tidak mengalami tremor, sedangkan pada menit t30 dan t45 mencit mengalami penurunan tremor. Pada pengamatan kejang (bergetar cepat dan tidak terkendali) dan writhing (menggeliat) dari menit t0, t15, t30 dan t45 mencit tidak mengalami kejang dan writhing.

Pada pengamatan pernafasan dari menit t0 mencit bernafas dengan normal sedangkan pada menit t15 dan t30 mencit bernafas tidak normal dan pada menit t45 mencit bernafas normal kembali. Sarton dkk (2001) ketamin dalam kadar yang besar pada susunan saraf pusat akan menyebabkan terjadinya depresi nafas. Hal tersebut diakibatkan mekanisme kerja ketamin pada reseptor opioid µ (mu).

Dimana opioid endogen memiliki peran dalam pengaturan ritme nafas. Ketamin juga bekerja dengan menghambat NMDA yang mempunyai peran dipusat kemoreseptor CO2 dan juga mengatur irama pernafasan.

(14)

Pada pengamatan dengan menggelantung dari menit t0 mencit masih bisa menggelantung sangat kuat, sedangkan pada menit t15, t30 dan t45 mencit tidak bisa menggelantung. Pada pengamatan retablishmen (kaki depan dan belakang menggelantung) dari menit t0 mencitmmasih mengalami ratblishmen sangat kuat, sedangkan pada menit t15, t30 dan t45 mencit tidak mengalami ratblishmen. Pada pengamatan fleksi (respon mendadak saat kaki dijepit) dari menit t0 mencit mengalami fleksi sangat kuat, sedangkan pada menit t15 dan t30 mencit tidak mengalami fleksi, dan pada menit t45 mencit mengalami fleksi kembali dalam keadaan lemah. Pada pengamatan hafner (respon mendadak saat ekor dijepit) dari menit t0 mencit mengalami hafner sangat kuat, sedangkan pada menit t15 dan t30 mencit tidak mengalami hafner, dan pada menit t45 mencit mengalami fleksi kembali dalam keadaan yang lemah. Pada pengamatan refleks pineal (respon saat telinga disentuh) dari menit t0 mencit mengalami refleks pineal sangat kuat, sedangkan pada menit t15 dan t30 mencit tidak mengalami refleks pineal, dan pada menit t45 mencit mengalami refleks pineal kembali dalam keadaan lemah. Pada pengamatan refleks kornea (respon mengedipkan mata) dari menit t0 mencit mengalami refleks kornea sangat kuat, sedangkan pada menit t15 dan t30 mencit mengalamirefleks kornea sangat lemah, dan pada menit t45 mencit mengalami refleks kornea yang kuat. Pada pengamatan righting refleks (respon berbalik ketika badannya dibalik) dari menit t0 mencit mengalami righting refleks sangat kuat, sedangkan pada menit t15, t30 dan t45 mencit tidak mengalami righting refleks.

Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 5 (dosis ketamin 2 mg) dan kelompok 6 (dosis ketamin 4 mg) didapatkan sikap tubuh mencit, menjengukkan kepala mencit kebawah, aktivitas motoric, temor, respon retablishmen, hafner, refleks pineal, dan righting refleks pada mencit yang diberikan dosis 2 mg jauh lebih cepat kembali ke keadaan semula (normal) dibandingan dengan mencit yang diberikan dosis ketamin 4 mg. Mencit yang diberikan dosis 2 mg dan 4 mg memiliki onset sedatif dan hipnotik yang sama yaitu menit ke 1 dan menit ke 4.

Namun durasi pada mencit yang diberikan dosis 2 mg yaitu 37 menit, sedangkan durasi pada mencit yang diberikan dosis 4 mg yaitu 41 menit. Hal tersebut terjadi karena mencit yang diberikan dosis 4 mg jauh lebih besar 2x dari dosis yang diberikan 2 mg, sehingga menyebabkan penurunan frekuensi nafas yang dapat menyebabkan hipoksia.

(15)

Bila proses hipoksia terus berlanjut akan mengakibatkan iskemik jaringan. Di sisi lain pemberian ketamin pada dosis besar akan menyebabkan peningkatan stimulasi pada sistem simpatis, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah serta peningkatan oksigenasi jaringan. Efek iskemia adalah reversibel jika iskemia terjadi dalam waktu singkat, dimana sel dapat kembali menjadi normal setelah adanya reoksigenasi. Jika iskemia berlangsung lama, maka sel akan mengalami iskemia yang ireversibel dan bila terjadi reperfusi, maka terjadi kerusakan baru pada sel melalui peningkatan pembentukan reactive oxygen species (ROS) (Sarton E, 2001).

Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 4 (dosis NaCl 2 mg dan NaCl 4 mg) dan kelompok 6 (dosis ketamin 4 mg) didapatkan sikap tubuh mencit, menjengukkan kepala mencit kebawah, aktivitas motoric, temor, respon retablishmen, hafner, refleks pineal, dan righting refleks pada mencit yang diberikan dosis 2 mg jauh lebih cepat kembali ke keadaan semula (normal) dibandingan dengan mencit yang diberikan dosis ketamin 4 mg. Mencit yang diberikan dosis 2 mg dan 4 mg memiliki onset sedatif dan hipnotik yang sama yaitu menit ke 1 dan menit ke 4. Namun durasi pada mencit yang diberikan dosis 2 mg yaitu 39 menit, sedangkan durasi pada mencit yang diberikan dosis 4 mg yaitu 41 menit. Hal tersebut terjadi karena mencit yang diberikan dosis 4 mg jauh lebih besar 2x dari dosis yang diberikan 2 mg, alhasil menyebabkan penurunan frekuensi nafas yang dapat menyebabkan hipoksia.

Bila proses hipoksia terus berlanjut akan mengakibatkan iskemik jaringan.

Di sisi lain pemberian ketamin pada dosis besar akan menyebabkan peningkatan stimulasi pada sistem simpatis, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah serta peningkatan oksigenasi jaringan. (Sarton E, 2001).

VII KESIMPULAN

1. Pengujian anastetika umum dilakukan terhadap mencit dengan meilihat aktivitas pada parameter-parameter yang diamati.

2. Pengujian mekanisme kerja antar berbagai golongan SSP anestetik umum pada ketamin menyebabkan depresi umum yang bersifat reversible. Mekanisme golongan anastetika umum (ketamine) yaitu mengahambat efek membran eksitori neurotransmitter asam glutamate pada sub tipe reseptor NMDA (N- metil-Daspartat) atau antagonis nonkompetitif pada reseptor NMDA yang tidak bergantung pada tegangan, ikatan pada tempat ikatan fensiklidin.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Baharudin, M. (2012). Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. Malang:

UMM Press.

Beggs, S. C. (2015). Introductory Clinical Pharmacology. London: Wilwy.

Chalik, Raimundus. (2016). Modul Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Elysabeth & Zunilda, D. S. (2009). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:

Departemen Farmakologi Terapeutik Universitas Indonesia

Hirota, K. L. (1996). Ketamine: It’s Mechanism of Action and Unusual Clinical Uses.

British Journal of Anesthesia.

Katzung, B. (2013). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.

Musi, M. A., & Nurjannah. (2021). NEUROSAINS: Menjiwai Sistem Saraf dan Otak ed.

1. Jakarta: Kencana.

Nugroho. (2013). Anatomi Fisiologi Sistem Saraf. Jakarta: Gramedia.

Pramono, Ardi. (2015). Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC.

Reves GJ, G. A. (2018). Nonbarbiturate Intravenous Anesthetics. In: Miller DR.

Anesthesia.5th Ed. Philadelpia: Churchill Livingstone ; 229-72.

Sarton E, T. L. (2001). The Involvement of the Opioid Receptor in Ketamine-Induced Respiratory Depression and Antinociception. Anesthesia and Analgesia journal, 1495–500.

Setiadi. (2007). Farmakologi Terapan. Jakarta: Penerbit Erlangga

Stoelting, H. (2016). Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. 4th Ed. Philadelpia: Williams and Wilkins; p141-54.

Tjay, T. R. (2013). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek Efek Sampingnya, Edisi Keenam. . Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, hal 389.

Transquilli M, F. E. (2007). Straight Deep Hypothermic Arrest:Experience In 394 Patients Supports Its Effectiveness As A Sole Means Of Brain Preservation. Ann Thorac Surg , 84(3): 759–766.

(17)

Lampiran Pembagian Tugas

Nama NPM Pembagian Tugas

Wilandani Sabilla 10060320057 Pembahasan, Kesimpulan Arsy Auliyana Dewi 10060320058 Pembahasan, Kesimpulan Pedriantini Iqlima Subekti 10060320059 Teori Dasar, Daftar Pustaka

Natasya Delarespita 10060320060 Cover, Tujuan, Alat Bahan, Prosedur, Edit Siti Alifa Dzulnadifa 10060320061 Data Pengamatan

Referensi

Dokumen terkait