LAPORAN PENDAHULUAN KASUS PSIKOSA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Program Profesi Ners Angkatan 46 Stase Keperawatan Jiwa
Dosen Pembimbing:
Iceu Amira DA, S.Kep., Ners., M.Kes
Disusun oleh:
Reihana Rofilla - 220112230023
Program Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
2023
HARGA DIRI RENDAH KRONIS
Definisi
Harga diri rendah kronis adalah evaluasi atau perasaan negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan klien seperti tidak berarti, tidak berharga, tidak berdaya dan berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus (SDKI, 2016).
Harga diri rendah kronis adalah evaluasi diri atau perasaan negatif tentang diri sendiri atau kemampuan diri yang berlangsung minimal tiga bulan (NANDA, 2018-2020).
Harga diri rendah kronis merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai evaluasi atau perasaan negatif terhadap diri sendiri atau ketidakmampuan klien seperti tidak berarti, tidak berharga, tidak berdaya, yang berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus.
Harga diri rendah kronis merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri, termasuk kehilangan kepercayaan diri, tidak berharga, tidak berguna, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa (R Purwasih, Y Susilowati, 2016).
Harga Diri Rendah kronis adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri kronis atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, meras agagal karen atidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri (Yosep &
Sutini, 2014).
Rentang Respon
1. Aktualisasi diri merupakan pertanyaan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman yang nyata, sukses, dan diterima.
2. Konsep diri positif merupakan kondisi individu yang memiliki pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri.
3. Harga diri rendah: Keadaan dimana individu sedang mengalami penilaian negative terhadap dirinya sendiri.
4. Identitas kacau adalah kegagalan individu dalam mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi merupakan perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang memiliki kaitan dengan ansietas, kepanikam, serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
Teori Penyebab
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang.
Menurut tinjauan life span history pasien penyebab harga diri rendah pasien adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan atau pergaulan.Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntuk lebih dari kemampuannya (Yosep & Sutini, 2016)
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang menyebabkan timbulnya harga diri rendah, meliputi:
1. Biologis
Diartikan sebagai faktor heriditer (keturunan) seperti adanya anggota yang mengalami gangguan jiwa. Selain itu, adanya riwayat penyakit kronis atau trauma kepala.
2. Psikologis
Masalah psikologis yang dapat menyebabkan terjadinya harga diri rendah meliputi pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, penolakan dari lingkungan dan orang terdekat, harapan yang tidak realistis, kegagalan
berulang, kurang mempunyai tanggungjawab personal, dan memiliki ketergantungan tinggi pada orang lain
3. Sosial dan budaya
Pengaruh sosial budaya yang menyebabkan terjadinya harga diri rendah meliputi adanya penilaian negatif dari lingkungan kepada klien, sosial ekonomi rendah, pendidikan yang rendah dan adanya riwayat penolakan dari lingkungan
Faktor presipitasi
Faktor presipitasi yang menimbulkan harga diri rendah antara lain:
1. Riwayat trauma
Meliputi adanya pengalaman tidak menyenangkan, penganiayaan seksual, menjadi korban atau saksi dari perilaku kekerasan
2. Ketegangan peran
Ketegangan peran disebabkan oleh:
1) Transisi peran perkembangan merupakan perubahan yang berhubungan dengan pertumbuhan manusia.
2) Transisi peran situasi terjadi karena perubahan jumlah anggota keluarga yang disebabkan oleh kelahiran atau kematian.
3) Transisi peran sehat-sakit merupakan perubahan dari kondisi sehat menjadi sakit. Perubahan tersebut dapat disebabkan karena perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal dan kecacatan fisik.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang dapat muncul pada pasien harga diri rendah kronis adalah (Nurarif, 2015) :
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri, individu mempunyai perasaan kurang percaya diri
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri, individu yang selalu gagal dalam meraih sesuatu
3. Merendahkan martabat diri sendiri, merasa dirinya berada dibawah orang lain
4. Gangguan berhubungan sosial seperti menarik diri, lebih suka menyendiri dan tidak ingin bertemu orang lain
5. Rasa percaya diri kurang, merasa tidak percaya dengan kemampuan yang dimiliki
6. Sukar mengambil keputusan cenderung bingung dan ragu ragu dalam memilih sesuatu
7. Menciderai diri sendiri sebagai akibat harga diri yang rendah yang disertai harapan yang suram sehingga memungkinkan untuk mengakhiri kehidupan 8. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan
9. Perasaan negatif mengenai dirinya sendiri
10. Kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan menurun tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, dan berbicara lambat dengan nada lemah
11. Penyalahgunaan zat.
Untuk dapat mengangkat diagnosis harga diri rendah kronis, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:
Tanda dan Gejala Mayor Subjektif
1. Menilai diri negatif (misalnya. Tidak berguna, tidak tertolong) 2. Merasa tidak memiliki kelebihan atau kemampuan positif.
3. Meremehkan kemampuan mengatasi masalah.
4. Menolak penilaian positif tentang diri rendiri.
5. Merasa tidak mampu melakukan apapun.
6. Merasa malu/bersalah.
7. Melebih-lebihkan penilaian negatif tentang diri sendiri.
Objektif
1. Berjalan menunduk.
2. Postur tubuh menunduk 3. Enggan mencoba hal baru
Tanda dan Gejala Minor Subjektif
1. Sulit tidur.
2. Mengungkapkan keputusasaan.
3. Merasa sulit berkonsentrasi.
Objektif
1. Kontak mata kurang.
2. Pasif.
3. Berbicara pelan dan lirih.
4. Seringkali mencari penegasan.
5. Bergantung pada pendapat orang lain.
6. Perilaku tidak asertif.
7. Lesu dan tidak bergairah.
8. Mencari penguatan secara berlebihan.
9. Sulit membuat keputusan.
Psikopatologi
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan harga diri rendah kronis situasional yang tidak diselesaikan . Atau dapat juga terjadi karna individu tidak permah mendapat feed back dari lingkungan tentanng prilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah kronis.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressos (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus
menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).
Jenis-jenis
Klasifikasi harga diri rendah dapat terjadi secara:
A. Harga Diri Rendah Situsional adalah keadaan dimana individu yang sebelumnya memilki harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan)
B. Harga Diri Rendah Kronik adalah keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama. (Pardede, Keliat, & Yulia, 2020). Harga diri rendah kronik adalah harga diri yang terjadi akibat persepsi individu yang negatif terhadap diri yang telah berlangsung lama seperti pemikiran negatif sebelum sakit atau sebelum dirawat di rumah sakit.
Kejadian sakit dan akan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini dapat ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronik atau pada klien gangguan jiwa.
Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah kronis (D.0086)
Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
Harga Diri Rendah Kronis
Harga diri meningkat (L.09069)
Dengan kriteria hasil : 1. Penilaian diri positif
meningkat
2. Perasaan memiliki
kelebihan atau
kemampuan positif meningkat
3. Penerimaan penilaian
Manajemen Perilaku (I.12463) Observasi
1. Identifikasi harapan untuk mengendalikan perilaku
Terapeutik
1. Diskusikan tanggung jawab terhadap perilaku
2. Jadwalkan kegiatan terstruktur 3. Ciptakan dan pertahankan
positif terhadap diri sendiri meningkat 4. Minat mencoba hal
baru meningkat
5. Berjalan menampakkan wajah meningkat
6. Postur tubuh
menampakkan wajah meningkat
7. Perasaan malu menurun 8. Perasaan bersalah
menurun
9. Perasaan tidak mampu melakukan apapun menurun
10. Meremehkan
kemampuan mengatasi masalah menurun
lingkungan dan kegiatan perawatan konsisten setiap dinas
4. Tingkatkan aktivitas fisik sesuai kemampuan
5. Batasi jumlah pengunjung
6. Bicara dengan nada rendah dan tenang
7. Lakukan kegiatan pengalihan terhadap sumber agitasi
8. Cegah perilaku pasif dan agresif 9. Beri penguatan positif terhadap
keberhasilan mengendalikan perilaku
10. Lakukan pengekangan fisik sesuai indikasi
11. Hindari bersikap menyudutkan dan menghentikan pembicaraan
12. Hindari sikap mengancam atau berdebat
13. Hindari berdebat atau menawar batas perilaku yang telah ditetapkan
Edukasi
1. Informasikan keluarga bahwa keluarga sebagai dasar pembentukan kognitif
Promosi Harga Diri (I.09308) Observasi
1. Identifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia terhadap harga diri
2. Monitor verbalisasi yang
merendahkan diri sendiri
3. Monitor tingkat harga diri setiap waktu, sesuai kebutuhan
Terapeutik
1. Motivasi terlibat dalam verbalisasi positif untuk diri sendiri
2. Motivasi menerima tantangan atau hal baru
3. Diskusikan pernyataan tentang harga diri
4. Diskusikan kepercayaan terhadap penilaian diri
5. Diskusikan pengalaman yang meningkatkan harga diri
6. Diskusikan persepsi negatif diri 7. Diskusikan alasan mengkritik diri
atau rasa bersalah
8. Diskusikan penetapan tujuan realistis untuk mencapai harga diri yang lebih tinggi
9. Diskusikan Bersama keluarga untuk menetapkan harapan dan Batasan yang jelas
10. Berikan umpan balik positif atas peningkatan mencapai tujuan 11. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas
yang meningkatkan diri
Edukasi
1. Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan dalam perkembangan konsep positif diri
pasien
2. Anjurkan mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki
3. Anjurkan mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi dengan orang lain
4. Anjurkan membuka diri terhadap kritik negatif
5. Anjurkan mengevaluasi perilaku 6. Ajarkan cara mengatasi bullying 7. Latih peningkatan tanggung jawab
untuk diri sendiri
8. Latih pernyataan/kemampuan positif diri
9. Latih cara berfikir dan berperilaku positif
10. Latih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dalam menangani situasi
Promosi Koping (I.09312) Observasi
1. Identifikasi kegiatan jangka pendek dan Panjang sesuai tujuan
2. Identifikasi kemampuan yang dimiliki
3. Identifikasi sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tujuan 4. Identifikasi pemahaman proses
penyakit
5. Identifikasi dampak situasi terhadap peran dan hubungan 6. Identifikasi metode penyelesaian
masalah
7. Identifikasi kebutuhan dan keinginan terhadap dukungan social
Terapeutik
1. Diskusikan perubahan peran yang dialami
2. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
3. Diskusikan alasan mengkritik diri sendiri
4. Diskusikan untuk mengklarifikasi kesalahpahaman dan mengevaluasi perilaku sendiri
5. Diskusikan konsekuensi tidak menggunakan rasa bersalah dan rasa malu
6. Diskusikan risiko yang menimbulkan bahaya pada diri sendiri
7. Fasilitasi dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan
8. Berikan pilihan realistis mengenai aspek-aspek tertentu dalam perawatan
9. Motivasi untuk menentukan harapan yang realistis
10. Tinjau Kembali kemampuan dalam pengambilan keputusan
11. Hindari mengambil keputusan saat pasien berada dibawah tekanan 12. Motivasi terlibat dalam kegiatan
sosial
13. Motivasi mengidentifikasi sistem pendukung yang tersedia
14. Damping saat berduka (mis:
penyakit kronis, kecacatan)
15. Perkenalkan dengan orang atau kelompok yang berhasil mengalami pengalaman sama
16. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan yang tepat
17. Kurangi rangsangan lingkungan yang mengancam
Edukasi
1. Anjurkan menjalin hubungan yang memiliki kepentingan dan tujuan sama
2. Anjurkan penggunaan sumber spiritual, jika perlu
3. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
4. Anjurkan keluarga terlibat 5. Anjurkan membuat tujuan yang
lebih spesifik
6. Ajarkan cara memecahkan masalah secara konstruktif
7. Latih penggunaan Teknik relaksasi 8. Latih keterampilan sosial, sesuai
kebutuhan
9. Latih mengembangkan penilaian obyektif
ISOLASI SOSIAL Definisi
Ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat, terbuka, dan interdependen dengan orang lain. Kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul karena orang lain serta sebagai suatu keadaan negatif atau mengancam (Asuhan Keperawatan Jiwa, 2019).
Penyebab
1. Sulit berhubungan / berinteraksi dengan orang lain
2. Tidak mampu berhubungan / berinteraksi yang memuaskan 3. Perasaan malu
4. Perasaan tidak berharga
5. Pengalaman ditolak, dikucilkan, dan dihina
Tanda dan Gejala Tanda Gejala
Mayor Minor
Subjektif 1. Merasa ingin sendirian 2. Merasa tidak aman di
tempat umum
3. Merasa berbeda dengan orang lain
1. Menolak berinteraksi dengan orang lain 2. Merasa sendirian 3. Merasa tidak diterima 4. Merasa tidak
mempunyai tujuan yang jelas
Objektif 1. Menarik diri
2. Tidak berminat/ menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan 3. Afek datar
1. Riwayat ditolak 2. Menunjukkan
permusuhan 3. Tidak mampu
memenuhi harapan
4. Afek sedih 5. Afek tumpul
6. Tidak ada kontak mata 7. Tidak bergairah atau lesu
orang lain 4. Kondisi difabel 5. Tindakan tidak berarti 6. Perkembangan
terlambat
Rentang Respon Isolasi Sosial
Respon Adaptif 1. Solitude
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri menentukan langkah berikutnya.
2. Otonomi
Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran
3. Kebersamaan
Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk memberi dan menerima
4. Saling ketergantungan
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan interpersonal
Respon Maladaptif 1. Menarik diri
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.
2. Manipulasi
Adalah hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
3. Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
4. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak.
5. Narsisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan pujian, memiliki sikap egosentris, pecemburu dan marah jika orang lain tidak mendukung.
Tindakan Keperawatan
Diagnosa Tujuan Tindakan Evaluasi
Isolasi Sosial
Kognitif, klien mampu:
Mengidentifikasi keuntungan
berinteraksi dengan orang lain
Mengidentifikasi kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
1. Pengkajian: Kaji tanda dan gejala isolasi sosial serta penyebabnya 2. Diagnosis: Jelaskan
proses terjadinya isolasi sosial
3. Tindakan keperawatan ners
1) Diskusikan keuntungan berinteraksi dengan
1. Penurunan tanda dan gejala isolasi sosial.
2. Peningkatan kemampuan klien
bersosialisasi.
3. Peningkatan kemampuan
Memiliki keberanian berinteraksi Memiliki motivasi berinteraksi Memiliki inisiatif berinteraksi
Psikomotor, klien mampu:
Melakukan interaksi dengan orang lain
Melakukan kegiatan bersama dengan orang lain
Melakukan kegiatan sosial
Afektif, klien mampu:
Merasakan manfaat dari latihan
bersosialisasi Merasa nyaman berinteraksi dengan orang lain
orang lain
2) Diskusikan keuntungan melakukan kegiatan bersama orang lain 3) Latih klien berkenalan 4) Latih klien bercakap-
cakap saat melakukan kegiatan sehari-hari.
5) Latih klien kegiatan sosial: berbelanja, ke rumah ibadah, ke arisan, ke bank, dan lain-lain Tindakan keperawatan spesialis:
Latihan keterampilan sosial (social skill training) 1. Sesi 1: Latihan
bersosialisasi
2. Sesi 2: Latihan menjalin persahabatan
3. Sesi 3: Latihan bekerja sama dalam kelompok 4. Sesi 4: Latihan
menghadapi situasi sulit 5. Sesi 5: Evaluasi
kemampuan sosialisasi
Cognitive behaviour and social skill thetapy (CBSST)
1. Sesi 1: Orientasi kelompok, pengkajian
keluarga dalam merawat klien.
dan formulasi masalah 2. Sesi 2: Melatih memberi
tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif 3. Sesi 3: Melatih
keterampilan mengubah perilaku negatif
4. Sesi 4: Melatih komunikasi untuk menjalin persahabatan 5. Sesi 5: Melatih
komunikasi untuk mengatasi situasi sulit 6. Sesi 6: Melakukan
evaluasi manfaat latihan yang dilakukan
Terapi perilaku
1. Sesi 1: Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan dan menimbulkan perilaku negatif
2. Sesi 2: Mengubah perilaku negatif menjadi positif
3. Sesi 3: Memanfaatkan sistem pendukung 4. Sesi 4: Mengevaluasi
manfaat melawan perilaku negatif
TINDAKAN PADA KELUARGA
Tindakan Keperawatan Ners
1. Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
2. Menjelaskan proses terjadinya isolasi sosial yang dialami klien.
3. Mendiskusikan cara merawat isolasi sosial dan memutuskan cara merawat yang sesuai dengan kondisi klien.
4. Melatih keluarga cara merawat isolasi sosial:
1) Membuat jadwal bercakap-cakap dengan klien.
2) Membantu klien
berkenalan dengan orang baru.
3) Melibatkan klien melakukan kegiatan rumah tangga dan activity daily living secara bersama dan bercakap-cakap.
4) Melibatkan klien melakukan kegiatan sosial: berbelanja, menghadiri kegiatan
ibadah, terlibat kegiatan kelompok seperti arisan, kerja bakti dan lain-lain.
5) Memberikan dukungan, kesempatan terlibat dan pujian pada klien.
6) Melibatkan seluruh anggota keluarga dalam bersosialisasi dengan klien kegiatan keluarga bersama, jadwal
bercakap-cakap tiap anggota keluarga.
7) Menjelaskan tanda dan gejala isolasi sosial yang memerlukan rujukan segera serta melakukan follow up ke pelayanan kesehatan secara teratur
Tindakan Keperawatan spesialis: Psikoedukasi keluarga
1. Sesi 1: Mengidentifikasi masalah kesehatan klien dan masalah kesehatan keluarga dalam merawat klien
2. Sesi 2: Merawat masalah kesehatan klien
3. Sesi 3: Manajemen stres untuk keluarga
4. Sesi 4: Manajemen
beban untuk keluarga 5. Sesi 5: Memanfaatkan
sistem pendukung 6. Sesi 6: Mengevaluasi
manfaat psikoedukasi keluarga
TINDAKAN PADA KELOMPOK KLIEN Tindakan keperawatan ners: TAK sosialisasi 1. Sesi 1: Memperkenalkan
diri
2. Sesi 2: Berkenalan 3. Sesi 3: Bercakap-cakap
topik umum
4. Sesi 4: Bercakap-cakap topik tertentu
5. Sesi 5: Bercakap-cakap masalah pribadi
6. Sesi 6: Bekerja sama 7. Sesi 7: Evaluasi
kemampuan sosialisasi
Tindakan keperawatan spesialis : Terapi suportif 1. Sesi 1 : Identifikasi
masalah dan sumber pendukung di dalam dan di luar keluarga
2. Sesi 2 : Latihan menggunakkan sistem pendukung dalam
keluarga 3. Sesi 3 : Latihan
menggunakkan sistem pendukung luar keluarga 4. Sesi 4 : Evaluasi hasil
dan hambatan penggunaan sumber pendukung
TINDAKAN KOLABORASI
1. Melakukan kolaborasi dengan dokter
menggunakan ISBAR dan TBaK.
2. Memberikan program terapi dokter (obat):
Edukasi obat dan memberikan obat sesuai dengan konsep safety pemberian obat.
3. Mengobservasi manfaat dan efek samping obat.
DEFISIT PERAWATAN DIRI Definisi
Defisit perawatan diri merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan gangguan kejiwaan berat. Defisit perawatan diri merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kelelamahan atau kesulitan atau ketidakinginan melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK.
Teori penyebab
Menurut Depkes (2000), penyebab kurangnya perawatan diri adalah : A. Faktor Predisposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan Realitas Turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
B. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi dan perseptual, cemas, lelah dan lemas yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Wartonah (2006) ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang kurang perawatan diri. Faktor – faktor tersebut dapat
berasal dari berbagai stressor antara lain : 1)Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan polapersonal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
5) Kebiasaan Seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampoo, dan lain – lain.
6) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien dengan diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, hambatan lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu kurang mampu melakukan perawatan diri (Nanda, 2006)
Tanda gejala
1. Gangguan kebersihan diri
2. Ketidakmampuan berhias/berdandan
3. Ketidakmampuan makan mandiri 4. Ketidakmampuan BAB/BAK mandiri
Menurut SDKI tanda dan gejala DPD:
Tanda gejala mayor
Subjektif : Menolak melakukan perawatan diri
Objektif : Tidak mampu mandi/ mengenakan pakaian/ makan/ ke toilet/
berhias secara mandiri, Minat melakukan perawatan diri kurang
Tanda gejala minor Tidak tersedia
Psikopatologi
Penderita skizofrenia mengalami penurunan aktivitas sehari-hari terutama dalam perawatan diri karena hilangnya motivasi dan sikap apatis berarti kehilangan tenaga dan minat hidup. Hal ini membuat pasien menjadi malas, tidak bisa melakukan apa pun selain tidur dan makan. Kondisi apatis pada skizofrenia menyebabkan terganggunya aktivitas rutin sehari-hari seperti mandi, menyisir rambut, menggosok gigi dan tidak peduli terhadap kerapian atau berpakaian/berdandan.
Diagnosa Keperawatan Defisit Keperawatan diri
Intervensi
Terapi kelompok suportif, termasuk pada jadwal kegiatan sehari-hari, pendidikan kesehatan dengan pendidikan kesehatan oleh perawat, pasien bisa mengingat kebersihan pribadi, TAK, rehabilitasi terapi gerak, dan motivasi terapi seni kelompok.
Tujuan umum khusus
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat 1. Ekspresi wajah bersahabat.
2. Menunjukkan rasa senang.
3. Klien bersedia berjabat tangan.
4. Klien bersedia menyebutkan nama.
5. Ada kontakmata.
6. Mau bersedia berdampingan dengan perawat.
7. Mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
TUK 2 : klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri 1. Klien dapat menyebutkan pentingnya kebersihan diri.
2. Klien mampu menyebutkan tanda kebersihan diri.
3. Klien mampu menyebutkan fungsi kebersihan diri untuk kesehatan.
4. Klien mampu menyebutkan tujuan dari kebersihan diri.
5. Klien mampu menyebutkan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
6. Klien mampu mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
7. Klien mampu menyebutkan cara-cara melakukan kebersihan diri.
TUK 3 : Klien mampu melakukan berhias/berdandan dengan baik.
1. Klien mampu menyebutkan cara berhias yang baik.
2. Klien mampu menyebutkan cara menyisir rambut.
3. Klien mampu menyebutkan cara bercukur (laki-laki) dan berdandan (perempuan).
4. Klien mampu mempraktikkan cara berhias yang baik.
TUK 4 : Klien mampu melakukan makan dengan baik.
1. Klien mampu menyebutkan cara mempersiapkan makanan.
2. Klien mampu menyebutkan cara makan yang tertib.
3. Klien mampu menyebutkan cara merapikan peralatan makanan setelah makan.
4. Klien mampu mempraktikkan cara makan yang baik
TUK 5 : Klien mampu melakukan eliminasi dengan mandiri (buang air besar/buang air kecil).
1. Klien mampu menyebutkan tempat buang air besar/buang air kecil yang sesuai.
2. Klien mampu menyebutkan cara membersihkan diri setelah buang air besar/buang air kecil.
3. Klien mampu mempraktikkan cara buang air besar/buang air kecil yang sesuai
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI
Definisi
Gangguan persepsi sensori adalah perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal maupun eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan atau terdistorsi (SDKI, 2017). Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana klien merasakan suatu stimulus yang sebenarnya tidak ada. Klien mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman (Sutejo, 2017). Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksternal atau persepsi palsu.
(Prabowo, 2014).
Sehingga dapat disimpulkan definisi dari halusinasi adalah suatu gejala gangguan atau perubahan persepsi dimana klien merasakan sensasi palsu atau tidak terjadi melalui panca indra berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman
Etiologi
Menurut Yosep (2014) terdapat dua faktor penyebab terjadinya halusinasi, yaitu:
a. Faktor predisposisi Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.
Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungan sejak bayi sehingga akan merasa disingkirkan, kesepian, tidak percaya pada lingkungannya, konflik sosial budaya, kegagalan, dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
Faktor Biokimia
Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat halusiogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylchoin dan dopamine.
Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien mengambil keputusan tegas, klien lebih suka memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Rawlins dan Heacock (dalam Yosep, 2014) dalam hakikatnya seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur bio-psiko- sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:
Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama.
Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi.
Halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup menentang sehingga klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
Dimensi Intelektual
Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami penurunan fungsi ego.
Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan,namun menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien
Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial di dalam fase awal dan comforting menganggap bahwa bersosialisasi nyata sangat membahayakan.
Klien halusinasi lebih asyik dengan halusinasinya seolah-olah itu tempat untuk bersosialisasi.
Dimensi Spiritual
Klien halusinasi dalam spiritual mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, dan hilangnya aktivitas beribadah. Klien halusinasi dalam setiap bangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya
Tanda dan Gejala Tanda
Gejala
Mayor Minor
Subjektif 1. Mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya
2. Melihat benda, orang, atau sinar tanpa ada objeknya 3. Menghidu bau-bauan yang
tidak sedap, seperti bau badan padahal tidak
4. Merasakan pengecapan yang tidak enak
5. Merasakan rabaan atau gerakan badan
1. Bicara sendiri 2. Tertawa sendiri 3. Melihat ke satu arah 4. Mengarahkan telinga
ke arah tertentu 5. Tidak dapat
memfokuskan pikiran 6. Diam sambil
menikmati halusinasinya
Objektif 1. Sulit tidur 2. Khawatir 3. Takut
1. Konsentrasi buruk 2. Disorientasi waktu,
tempat orang, atau situasi
3. Afek datar 4. Curiga
5. Menyendiri, melamun 6. Mondar-mandir
7. Kurang mampu merawat diri
Tingkatan Halusinasi
Tingkat Karakteristik Halusinasi
Perilaku Klien
Tingkat I Comforting Tingkat ansietas sedang
Halusinasi merupakan suatu kesenangan
1. Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
2. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
3. Pikiran dan
pengalaman sensori masih ada dalam control kesadaran (jika ansietas dikontrol)
1. Tersenyum
2. Menggerakan bibir tanpa suara
3. Menggerakan mata dengan cepat
4. Respons verbal yang lambat
5. Diam dan konsentrasi
Tingkat II Condeming Menyalahkan Tingkat ansietas berat
Halusinasi
menyebabkan rasa antipati
1. Pengalaman sensori menakutkan
2. Mulai kehilangan kontrol
3. Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut 4. Menarik diri dari
orang lain
1. Peningkatan system saraf otak, tanda-tanda ansietas, seperti peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah 2. Rentang perhatian
menyemput
3. Konsentrasi dengan
pengalaman sensori 4. Kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realitas
Tingkat III Controlling Mengontrol Tingkat ansietas berat
Pengalaman sensori tidak dapat ditolak lagi
1. Klien menyerah dan menerima
pengalaman sensorinya 2. Isi halusinasi
menjadi atraktif 3. Kesepian bila
pengalaman sensori berakhir
1. Perintah halusinasi ditaati
2. Sulit berhubungan dengan orang lain 3. Rentang perhatian
hanya beberapa detik atau menit
4. Gejala fisik ansietas berat, berkeringat, tremor, dan tidak mampu mengikuti perintah
Tingkat IV Conquering Menguasai Tingkat ansietas panik yang diatur dan dipengaruhi oleh waham
1. Pengalaman sensori menjadi ancaman 2. Halusinasi dapat
berlangsung beberapa jam atau hari
1. Perilaku panik - Berpotensi untuk membunuh atau bunuh diri
2. Tindakan kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia 3. Tidak mampu
merespons perintah kompleks
4. Tidak mampu merespons terhadap lebih dari satu orang
Psikopatologi
Peningkatan kadar dopamin pada daerah mesolimbik
↓
Neuron dopaminergik hadir ke sistem limbik.
Sistem limbik berfungsi mengatur perilaku dan emosi
↓
Kelainan transmisi dopamin
↓ Halusinasi
Jenis Halusinasi
Jenis halusinasi
Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar/suara
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menyedengkan telinga ke arah tertentu
4. Menutup telinga
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap- cakap.
3. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya Halusinasi
Penglihatan
1. Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
2. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
1. Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartoon, melihat hantu atau monster
Halusinasi 1. Menghidu seperti 1. Membaui bau-bauan
Penghidu sedang membaui bau- bauan tertentu.
2. Menutup hidung.
seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan
Halusinasi Pengecapan
1. Sering meludah 2. Muntah
1. Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses Halusinasi
Perabaan
1. Menggaruk-garuk permukaan kulit
1. Mengatakan ada serangga di permukaan kulit
2. Merasa seperti tersengat listrik
Intervensi
Diagnosa Tujuan Tindakan Evaluasi
Halusina si
Kognitif, klien mampu:
1. Menyebutk an
penyebab halusinasi.
2. Menyebutk an
karakteristi k halusinasi yang dirasakan:
Jenis, isi, frekuensi, durasi, waktu, situasi yang
TINDAKAN PADA KLIEN Tindakan Keperawatan Ners 1. Pengkajian: Kaji tanda dan gejala
halusinasi, penyebab dan kemampuan klien mengatasinya. Jika ada halusinasi katakan Anda percaya, tetapi Anda sendiri tidak
mendengar/melihat/menghidu/merasak an.
2. Diagnosis: Jelaskan proses terjadinya halusinasi
3. Tindakan keperawatan:
1) Tidak mendukung dan tidak membantah halusinasi klien.
2) Latih klien melawan halusinasi dengan menghardik.
3) Latih klien mengabaikan halusinasi
1. Penurunan tanda dan gejala halusinasi.
2. Peningkata n
kemampua n klien mengendal ikan halusinasi.
3. Peningkata n
kemampua n keluarga dalam merawat
menyebabk an dan respons.
3. Menyebutk an akibat yang ditimbulka n dari halusinasi.
4. Menyebutk an cara yang selama ini digunakan untuk mengendali kan
halusinasi.
5. Menyebutk an cara mengendali kan
halusinasi yang tepat.
Psikomotor, klien mampu:
1. Melawan halusinasi dengan menghardi k.
2. Mengabaik
dengan bersikap cuek.
4) Latih klien mengalihkan halusinasi dengan bercakap-cakap dan
5) Melakukan kegiatan secara teratur.
6) Latih klien minum obat dengan prinsip 8 benar, yaitu benar nama klien, benar nama obat, benar manfaat obat, benar dosis obat,benar frekuensi, benar cara, benar tanggal kedaluwarsa dan benar dokumentasi.
7) Diskusikan manfaat yang didapatkan setelah mempraktikkan latihan mengendalikan halusinasi.
8) Berikan pujian pada klien saat mampu mempraktikkan latihan mengendalikan halusinasi.
Tindakan Keperawatan Spesialis Terapi kognitif perilaku
1. Sesi 1: Mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan dan
menimbulkan pikiran otomatis negatif dan perilaku negatif.Sesi 2: Melawan pikiran otomatis negatif.
2. Sesi 3: Mengubah perilaku negatif menjadi positif.
3. Sesi 4: Memanfaatkan sistem pendukung.
4. Sesi 5: Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif dan mengubah perilaku negatif.
Terapi penerimaan komitmen
klien.
an
halusinasi dengan bersikap cuek.
3. Mengalihk an
halusinasi dengan cara distraksi yaitu bercakap- cakap dan melakukan aktivitas.
4. Minum obat dengan prinsip 8 benar, yaitu benar nama, benar obat, benar manfaat, benar dosis, benar frekuensi, benar cara, benar tanggal
(acceptance commitment therapy) 1. Sesi 1: Mengidentifikasi
pengalaman/kejadian yang tidak menyenangkan.
2. Sesi 2: Mengenali keadaan saat ini dan menemukan nilai-nilai terkait
pengalaman yang tidak menyenangkan.
3. Sesi 3: Berlatih menerima pengalaman/kejadian tidak
menyenangkan menggunakan nilai- nilai yang dipilih klien
4. Sesi 4: Berkomitmen menggunakan nilai-nilai yang dipilih klien untuk mencegah kekambuhan
TINDAKAN PADA KELOMPOK KLIEN
Tindakan keperawatan ners: TAK stimulasi persepsi untuk halusinasi
1. Sesi 1: Mengenal halusinasi (jenis, isi, frekuensi, waktu, situasi, respons).
2. Sesi 2: Melawan halusinasi dengan menghardik.
3. Sesi 3: Melawan halusinasi dengan melakukan kegiatan terjadwal.
4. Sesi 4: Melawan halusinasi dengan bercakap-cakap dan de-eskalasi.
5. Sesi 5: Patuh 8 benar minum obat (benar nama klien, benar nama obat, benar dosis obat, benar waktu
pemberian, benar cara, benar manfaat, benar kedaluwarsa dan benar
dokumentasi).
kedaluwars a, dan benar dokumenta si.
Afektif
1. Merasakan manfaat caracara mengatasi halusinasi.
2. Membedak an perasaan sebelum dan sesudah latihan.
Tindakan keperawatan spesialis: Terapi suportif
1. Sesi 1: Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam dan di luar
keluarga.
2. Sesi 2: Latihan menggunakan sistem pendukung dalam keluarga.
3. Sesi 3: Latihan menggunakan sistem pendukung luar kcluarga.
4. Sesi 4: Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber pendukung.
TINDAKAN KOLABORASI
1. Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan ISBAR dan TBaK.
2. Memberikan program terapi dokter (obat): edukasi 8 benar pemberian obat dengan menggunakan konsep safety pemberian obat.
3. Mengobservasi manfaat dan efek samping obat
WAHAM Definisi
Penyakit waham adalah gangguan mental yang secara ilmiah, sering disebut sebagai "gangguan delusi." Waham adalah keyakinan yang salah atau tidak rasional yang dipertahankan dengan kuat, bahkan jika tidak ada bukti yang mendukungnya. Keyakinan ini biasanya bertentangan dengan pandangan umum atau kenyataan. Menurut Joseph & Siddiqui (2022), waham merupakan keyakinan yang salah berdasarkan interpretasi yang tidak benar dari realitas eksternal meskipun ada bukti sebaliknya. Keyakinan itu tidak sesuai dengan budaya atau subkultur seseorang, dan hampir semua orang tahu itu salah.
Waham terjadi pada berbagai gangguan mental seperti skizofrenia, gangguan bipolar (fase manik atau depresi), gangguan depresi berat, penyalahgunaan zat dan gangguan neurokognitif mayor. Diagnosis gangguan waham dibuat ketika seseorang memiliki satu atau lebih pikiran waham non-bizzare (kondisi yang tidak nyata tetapi juga bukan tidak mungkin) selama satu bulan atau lebih yang tidak dapat dijelaskan oleh kondisi lain.
Jenis jenis waham
1. Waham Kebesaran
Yaitu meyakini memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan
2. Waham Curiga
Yaitu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan / mencederai dirinya, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
3. Waham Agama
Yaitu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
4. Waham Somatik
Yaitu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Manifestasi klinis waham somatik yang paling umum adalah yang berhubungan dengan infestation (termasuk infestasi parasit); distorsi bentuk, ketiadaan, atau kerusakan bagian tubuh; nyeri dan kelemahan tubuh; atau kehilangan identitas di mana suatu bagian tubuh tampak terpisah atau asing. Pasien sangat yakin akan keparahan gejalanya.
5. Waham Nihilistik
Yaitu meyakini dirinya sudah tidak ada di dunia / meninggal, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Penyebab
Penyebab gangguan waham belum diketahui secara pasti. Banyak kondisi biologis seperti penggunaan zat, kondisi medis, kondisi neurologis dapat menyebabkan waham. Gangguan waham melibatkan sistem limbik dan basal ganglia pada mereka yang memiliki fungsi kortikal yang baik. Menurut Corlet, seseorang yang mengalami gangguan waham terdapat gangguan atau penyimpangan dalam sirkuit otak dalam menentukan prediksi dan bagaimana seseorang dalam merespon kesalahan prediksi tersebut seperti ekspektasi dan experience, diduga hal ini berhubungan dengan kadar dopamine di substantia nigra dan ventral tegmental area.
Ada beberapa faktor yang dapat berkontribusi pada perkembangan gangguan ini. Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam penyebab penyakit waham meliputi:
1. Faktor Genetik: Terdapat bukti bahwa ada kerentanan genetik terhadap gangguan delusi. Jika ada riwayat gangguan mental dalam keluarga, risiko seseorang untuk mengembangkan penyakit waham dapat meningkat.
2. Gangguan Kimia Otak: Ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak, seperti dopamin, serotonina, dan glutamat, telah dikaitkan dengan gangguan delusi. Perubahan kimia otak ini dapat mempengaruhi persepsi dan pemrosesan informasi yang salah.
3. Stres dan Trauma: Stres berat atau pengalaman traumatis dalam hidup seseorang dapat menjadi pemicu atau faktor risiko bagi perkembangan
gangguan delusi. Stres dapat mempengaruhi kerja otak dan memperburuk gejala.
4. Gangguan Mental Lain: Kadang-kadang, gangguan delusi dapat muncul sebagai gejala dari gangguan mental lain, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau gangguan paranoid lainnya.
5. Konsumsi Zat Tertentu: Penggunaan zat tertentu, seperti narkoba atau alkohol, bisa memicu atau memperburuk gejala gangguan delusi pada beberapa individu. 6. Kondisi Medis: Beberapa kondisi medis, seperti penyakit neurologis atau penyakit yang memengaruhi otak, dapat menyebabkan gejala delusi.
7. Stigmatisasi Sosial: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stigmatisasi sosial atau pengucilan sosial dapat mempengaruhi perkembangan gangguan delusi, terutama pada individu yang sudah rentan secara psikologis.
Tanda dan gejala
Mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, atau keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan)
1. Tampak tidak mempercayai orang lain 2. Curiga
3. Bermusuhan
4. Merusak (diri, orang lain dan lingkungan) 5. Takut, sangat waspada
6. Tidak tepat menilai lingkungan atau realitas 7. Ekspresi wajah tegang
8. Mudah tersinggung
Psikopatologi
Patofisiologi gangguan waham menetap atau persistent delusional disorder, melibatkan hiperaktivitas dopamin di area mesolimbik dan ganglia basalis. Berbeda dengan schizophrenia, fungsi kognitif pada pasien dengan gangguan waham relatif tidak terganggu dan tidak ada gejala-gejala negatif yang mengarah pada regresi fungsi peran. Kondisi neurologis yang sering berhubungan dengan timbulnya waham biasanya melibatkan sistem limbik dan ganglia basalis. Kerusakan pada dua struktur otak ini membuat pasien mengalami waham. Kerusakan biasanya terjadi pada area limbik dan struktur subkortikal hemisfer kiri, serta lobus frontalis kanan. Hal ini didukung oleh penelitian menggunakan pemeriksaan neuroimaging yang menunjukkan bahwa pasien gangguan waham mengalami disfungsi pada white matter atau area subkortikal pada lobus temporoparietal, ganglia basalis, dan korteks prefrontal.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Proses Pikir: Waham
2. Gangguan memori
Intervensi
Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan Strategi Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing-masing masalah utama. Pada masalah gangguan proses pikir : waham terdapat 4 macam SP yaitu :
SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, latihan orientasi realita : orientasi orang, tempat, dan waktu serta lingkungan sekitar.
SP 2 Pasien : Mengajarkan cara minum obat secara teratur
SP 3 Pasien : Mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktekkan pemenuhan kebutuhan yang tidak terpenuhi
SP 4 Pasien : Mengidentifikasi kemampuan positif pasien yang dimiliki dan membantu mempraktekkannya
Tujuan:
- Pasien dapat berorientasi kepada realistis secara bertahap - Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
- Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan - Pasien menggunakan obat
Tindakan keperawatan
1. Bina hubungan saling percaya (mengucapkan salam, perkenalkan diri, jelaskan tujuan, membuat kontrak asuhan)
2. Bantu orientasi realita
- Tidak mendukung atau membantah waham pasien - Yakinkan pasien berasa dalam keadaan aman
- Identifikasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari - Diskusikan kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, atau marah
- Tingkatkan tentang kemampuan positif yang dimiliki - Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki
- Berdiskusi tentang oba tyang diminum - Melatih minum obat yang benar
Intervensi generalis pada keluarga Tujuan:
- Keluarga mampu mengidentifikasi waham pasien
- Keluarga mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi oleh wahamnya
- Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal
Tindakan keperawatan:
- Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga saat merawat pasien di rumah
- Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien
- Diskusikan tentang cara merawat pasien, follow up dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang tepat untuk pasien
- Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek samping, akibat penghentian obat)
- Diskusikan dengan keluarga pasien yang memerlukan konsultasi segera
PERILAKU KEKERASAN
DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panik) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri (Stuart, 2009; Stuart, 2013). Keliat, Akemat, Helena dan Nurhaeni (2011) menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah salah satu respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan . Perasaan terancam ini dapat berasal dari stressor eksternal (penyerangan fisik, kehilangan orang berarti dan kritikan dari orang lain) dan internal (perasaan gagal di tempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit fisik).
Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis, berdasarkan definisi tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal , diarahkan pada diri sendiri , orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk , yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Damiyanti, 2012).
TEORI PENYEBAB
Menurut Stuart (2013) dalam Sutejo (2018), masalah perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh adanya faktor predisposisi (faktor yang melatar belakangi) munculnya masalah dan faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah).
Faktor Predisposisi 1. Faktor Biologis
2. Teori Dorongan Naluri
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
3. Teori Psikomatik
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respons psikologi terhadap stimulus eksternal maupun internal. Sehingga, sistem limbik memiliki peran sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
4. Faktor Psikologis
5. Teori Agresif Frustasi (Frustration Aggression Theory)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi jika keinginan individu untuk mencapai suatu gagal atau menghambat. Keadaan ini mendorong individu untuk berperilaku agresif karena perasaan frustasi dapat berkurang melalui perilaku kekerasan
6. Teori Perilaku (Behavior Theory)
Kemarahan merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung. Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan sering menimbulkan kekerasan di dalam maupun di luar rumah.
7. Teori Eksistensi
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertingkah laku, saat kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berperilaku konstruktif maka individu akan memenuhinya melalui berperilaku destruktif.
8. Faktor Sosial Budaya
9. Teori Lingkungan Sosial (Social Environment Theory)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu untuk mengekspresikan marahnya. Individu dalam merespon asertif atau agresif dapat didukung norma budaya.
10. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Perilaku kekerasan mampu dipelajari baik melalui langsung maupun melalui proses sosialisasi.
Faktor Presipitasi
Faktor ini berhubungan dengan pengaruh stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stressor yang berasal dari luar dapat berupa serangan fisik, kehilangan, kematian dan lain-lain. Stressor yang berasal dari dalam dapat berupa, kehilangan keluarga atau sahabat yang dicinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, penyakit dalam, dan lain-lain. Selain itu, lingkungan yang kurang kondusif dapat memicu perilaku kekerasan.
TANDA DAN GEJALA
1. Fisik: muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, postur tubuh kaku, jalan mondar mandir.
2. Verbal: bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam secara fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor.
3. Perilaku: melempar atau memukul benda pada orang lain, menyerang orang lain atau melukai diri sendiri, merusak lingkungan, amuk atau agresif.
4. Emosi: tidak adekuat, dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual: cerewet, kasar, berdebat, meremehkan.
6. Spiritual: merasa berkuasa, merasa benar sendiri, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung perasan orang lain, tidak peduli dan kasar.
7. Sosial: menarik diri, penolakan, ejekan, sindiran.
PSIKOPATOLOGI
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan marah.
Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal.
Secara eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif. Mengekspresikan rasa marah dengan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain. Selain memberikan rasa lega, ketegangan akan menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi. Rasa marah diekspresikan secara destruktif, misalnya dengan perilaku agresif, menantang biasanya cara tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat menimbulkan amuk yang ditunjukkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya, sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, pada suatu saat dapat menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan yang destruktif yang ditujukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN Perilaku Kekerasan
INTERVENSI N
o.
Dx Keperawa
tan
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1.
Perilaku Kekerasan
TUM Perilaku
Kekerasan tidak terjadi
TUK 1
Klien dapat membina
hubungan saling percaya
Klien menunjukan wajah
cerah, tersenyum, mau berkenalan, kontak mata ada, mau menceritakan perasaan yang dirasakan, mau menceritakan masalahnya.
Bina hubungan saling percaya dengan:
1. Beri salam setiap
interaksi 2. Perkenalkan
nama, nama panggilan perawat, dan perawat berkenalan.
3. Tanyakan dan panggilan kesukaan klien.
4. Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali
berinteraksi.
5. Tanyakan perasaan klien
dan masalah yang dihadapi klien.
6. Buat kontrak interaksi yang jelas.
7. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien.
TUK 2
Klien mampu mengidentifikasi penyebab risiko perilaku
kekerasan yang dilakukan.
Klien dapat
menceritakan penyebab perasaan baik diri sendiri maupun
lingkungan.
Bantu klien
mengungkapkan perasaan
amarahnya dengan:
1. Beri
kesempatan klien untuk mengungkapk an
perasaannya.
2. Bantu klien untuk
mengungkapk an penyebab perasaan jengkel/kesal.
TUK 3
Klien dapat mengidentifikasi
Klien dapat
menceritakan tanda tanda saat
Bantu klien
mengungkapkan tanda - tanda
tanda dan gejala perilaku
kekerasan
terjadi perilaku kekerasan yaitu tanda fisik : mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang. Tanda
emosional :
perasaan marah, bicara kasar.
Tanda sosial : bermusuhan yang
dialami sat
perilaku kekerasan.
perilaku kekerasan yang lainnya:
1. Motivasi klien
menceritakan kondisi fisik (tanda-tanda fisik)
2. Motivasi klien
menceritakan kondisi emosinva (tanda-tanda emosional) saat terjadi perilaku kekerasan.
3. Motivasi klien
menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain (tanda- tanda sosial) saat terjadi perilaku kekerasan TUK 4
Klien dapat mengidentifikasi
Klien mampu
menjelaskan : 1. Jenis - jenis
Diskusikan
dengan klien perilaku kekerasan
jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakuka nnya.
ekspresi kemarahan yang selama ini dilakukan.
2. Perasaannya saat
melakukan k ekerasan.
3. Efektivitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah.
yang selama ini dilakukannya:
1. Motivasi klien
menceritakan jenis jenis tindakan kekerasan yang selama ini
dilakukannya.
2. Motivasi klien
menceritakan perasaan klien setelah
tindakan kekerasan tersebut terjadi.
3. Diskusikan apakah dengan tindakan kekerasan yang
dilakukannya masalah yang dialami teratasi.
TUK 5 Klien dapat Diskusikan
Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
menjelaskan akibat tindakan perilaku kekerasan yang dilakukannya:
1. Diri sendiri:
luka, dijauhi teman dll.
2. Orang lain/
keluarga luka, tersingg ung, ketakutan dll.
3. Lingkungan : barang atau benda rusak
dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada:
1. Diri sendiri 2. Orang lain/
keluarga 3. Lingkungan
TUK 6
Klien dapat mengidentifikasi cara fisik untuk mencegah
perilaku kekerasan
Klien dapat
melakukan cara -
cara sehat
mengungkapkan marah.
Diskusikan dengan klien : 1. Apakah klien
mampu mempelajari cara baru mengungkapk
an marah
yang sehat.
2. Jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk mengungkapk
an marah
selain perilaku
kekerasan yang diketahui klien.
3. Jelaskan cara - cara sehat untuk
mengungkapk an marah : 4. Cara fisik:
nafas dalam, pukul bantal atau kasur, atau olahraga
5. Verbal :
mengungkapk
an bahwa
dirinya
sedang kesal kepada orang lain.
6. Sosial: latihan asertif dengan orang lain.
7. Spiritual : sembahyang/
doa, zikir, meditasi dsb.
TUK 7
Klien dapat mendokumentasi kan cara sosial
Klien
memperagakan mengontrol perilaku
Melatih klien memperagakan cara yang dipilih Peragakan cara
untuk mencegah perilaku
kekerasan.
kekerasan:
1. Fisik : tarik nafas dalam, memukul bantal/ kasur.
2. Verbal :
mengungkapk an rasa kesal atau jengkel kepada orang lain tanpa menyakiti.
3. Spiritual : dzikir/doa, meditasi sesuai agamanya.
melaksanakan cara yang dipilih.
1. Jelaskan manfaat cara tersebut.
2. Anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan.
3. Beri penguatan pada klien, perbaiki cara yang masih belum
sempurna.
4. Anjurkan klien
menggunakan cara yang sudah dilatih saat marah/
jengkel.
TUK 8 Klien
mendemonstrasik an kepatuhan
minum obat
untuk mencegah perilaku
Klien mampu
menjelaskan : 1. Manfaat
minum obat.
2. Kerugian tidak minum obat.
3. Nama obat.
1. Diskusikan dengan klien jenis obat yang
diminum (jenis, warna, besarnya),
kekerasan. 4. Bentuk dan warna obat.
5. Dosis yang diberikan kepadanya.
6. Waktu pemakaian 7. Cara
pemakaian 8. Efek yang
dirasakan 9. Klien mampu
menggunakan obat sesuai program
waktu minum obat, cara minum obat.
2. Diskusikan dengan klien manfaat minum obat secara teratur 3. Diskusikan
tentang proses minum obat 4. Susun jadwal
minum obat bersama klien 5. Beri pujian
atas
keberhasilan klien
6. Tanyakan bagaimana perasaan klien dengan
minum obat secara teratur
RISIKO BUNUH DIRI Definisi
Risiko bunuh diri merupakan upaya tindakan untuk menyakiti diri sendiri agar dapat mengakhiri hidupnya (SDKI DPP PPNI, 2018). Selain itu, bunuh diri juga merupakan kondisi kedaruratan psikiatri karena seseorang berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menerapkan koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri (Yusuf et al., 2015).
Teori Penyebab
1. Faktor Predisposisi
Lima faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan individu adalah sebagai berikut :
1. Diagnosis Psikiatrik
Statistik menunjukkan bahwa kurang lebih 90% orang dewasa yang memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka dengan melakukan bunuh diri memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya. Ada 3 gangguan jiwa yang dapat menyebabkan seorang individu menjadi berisiko untuk berupaya bunuh diri diantaranya gangguan afektif, penyalah gunaan zat serta skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian individu yang memiliki kaitan erat dengan perilaku bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman kehilangan orang atau benda berharga, kehilangan dukungan sosial, pengalaman negatif selama hidup, penyakit kritis, perpisahan, hingga perceraian. Kuatnya dukungan sosial sangatlah penting dalam terciptanya intervensi keperawatan yang terapeutik, penyebab masalah dan respons individu dalam menghadapi masalah tersebut dan lain-lain.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga terdahulu pernah melakukan percobaan bunuh diri merupakan salah satu faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
5. Faktor Biokimia
Data menunjukkan pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat diakibatkan oleh stress berlebihan yang dirasakan oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa pengalaman hidup yang memalukan. Faktor lainnya yang dapat menjadi penyebab perilaku destruktif adalah individu tersebut melihat atau membaca berita melalui media cetak maupun elektronik mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Pada individu individu yang sedang labil emosinya, hal yang seperti itu dapat memicu individu tersebut melakukan hal yang sama.
3. Perilaku Koping
Banyak hal yang mempengaruhi perilaku koping diantaranya pasien yang menderita penyakit menahun atau pasien-pasien dengan kondisi klinis berat seringkali berupaya bunuh diri dan tanpa disadari pasien pasien ini dengan sadar memikirkan upaya bunuh diri. Hal yang menyebabkan pasien beresiko melakukan bunuh diri diantaranya faktor sosial hingga budaya. Kehidupan sosial individu serta struktur sosial dalam masyarakat dapat menjadi pencetus atau sebaliknya dapat mencegah pasien melakukan bunuh diri. Klien yang merasa dirinya terisolasi secara sosial dapat menyebabkan klien merasa sendiri, klien merasa kesepian, hal ini juga dapat menumbuhkan rasa ingin bunuh diri pada klien dan hal ini biasanya jarang terjadi pada pasien yang cenderung aktif dalam kegiatan bermasyarakat biasanya individu tersebut lebih memiliki kemampuan dalam mengelola stress dan pada umumnya dapat mengurangi angka bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga cenderung dapat membantu individu menurunkan keinginan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
4. Mekanisme Koping
Ada beberapa jenis mekanisme koping adaptif yang keterkaitan dengan upaya klien dalam melakukan bunuh diri, diantaranya: denial, regression dan magical thinking. Semestinya tidak dilakukan pembatasan pada penggunaan mekanisme koping yang ada, contoh jika ada koping alternatif atau solusi lainnya.
Tanda dan Gejala
Solomon dalam Maramis (2004) menyatakan tanda-tanda seseorang yang berpotensi besar melakukan bunuh diri, yaitu :
1. Tanda resiko berat
1) Individu memiliki keinginan untuk mati yang serius, adanya ungkapan verbal yang berulang dan terus menerus.
2) Individu mengalami depresi menunjukkan tanda klinis memiliki perasaan guilty terhadap orang-orang yang sudah meninggal, merasa putus asa, individu menginginkan hukuman berat, rasa kuatir yang berlebihan, hingga pada gangguan tidur yang berat.
3) Terdapat gejala psikosa terutama pada klien dengan psikosa impulsive serta individu merasa curiga berlebihan, ketakutan hingga panik. Kondisi individu akan semakin berbahaya jika mulai mendengar suara yang menyuruh untuk bunuh diri.
2. Tanda-tanda bahaya
1) Individu tersebut sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri
2) Klien dengan penyakit kronis dan klien dengan penyakit terminal beresiko melakukan upaya bunuh diri disebabkan oleh depresi.
3) Klien memiliki ketergantungan pada obat-obatan tertentu dan alkohol yang memiliki efek kontrol dan membuat individu lebih berani sehingga memuluskan upaya bunuh diri.
4) Hipokondriasis, keluhan fisik dirasakan individu secara terus menerus dan bermacam-macam tanpa tanda klinis yang jelas sehingga individu depresi berat.
5) Kebangkrutan, individu yang tidak memiliki teman, pekerjaan ataupun uang, rasa kuatir individu akan masa depan, individu tidak memiliki keluarga, serta individu tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat.
6) Catatan bunuh diri, seorang individu yang memiliki catatan bunuh diri cenderung akan melakukan bunuh diri.
Psikopatologi
Isyarat bunuh diri
↓
Ancaman bunuh diri
↓
Upaya bunuh diri
↓ Bunuh diri
Apapun tujuannya perilaku ingin bunuh harus ditanggapi dengan serius.
Biasanya orang yang ini melakukan bunuh diri memiliki rencana yang spesifik untuk mati dan cenderung memiliki alasan serta nilai- nilai yang kuat untuk melakukannya. Perilaku bunuh diri dapat dibagi 4 yaitu :
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri biasanya tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh diri hanya saja pada kondisi ini pasien cenderung sudah memiliki keinginan ataupun ide bunuh diri yang tidak diperlihatkan secara langsung pada orang lain.
2. Ancaman bunuh diri
Adanya ancaman untuk mati dari pasien, pasien sudah aktif memikirkan bunuh diri dan respon kita bisa mempengaruhi sikap pasien.
3. Upaya bunuh diri
Pada kondisi ini klien aktif melakukan upaya bunuh diri , seperti gantung diri, minum racun, menyayat urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi seperti jembatan atau gedung.
4. Bunuh diri
Jika tidak berhasil dicegah orang-orang yang memiliki tanda-tanda klinis ingin bunuh diri akan mungkin mati
Diagnosa Keperawatan D.0135 Risiko Bunuh Diri
Intervensi
Diagnosa Keperawatan :
Risiko bunuh diri berhubungan dengan gangguan perilaku (D.0135)
Tujuan :
Kontrol Diri (L.09076)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6x pertemuan klien bisa mengontrol diri dengan kriteria hasil:
1. Verbalisasi keinginan bunuh diri menurun 2. Verbalisasi isyarat bunuh diri menurun 3. Verbalisasi ancaman bunuh diri menurun 4. Verbalisasi rencana bunuh diri menurun
Intervensi :
Pencegahan Bunuh Diri (I.145338) Observasi:
1. Identifikasi gejala resiko bunuh diri (mis. Gangguan mood, halusinasi, delusi, panik, penyalahgunaan zat, kesedihan, gangguan kepribadian).
2. Identifikasi keinginan dan pikiran rencana bunuh diri.
3. Monitor lingkungan bebas bahaya secara rutin (mis. barang pribadi, pisau cukur, jendela)
4. Monitor adanya perubahan mood atau perilaku
Terapeutik:
1. Libatkan dalam perencanaan perawatan mandiri 2. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan