• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktikum Elektromagnetik Very Low Frequency (VLF)

N/A
N/A
yangmana nda

Academic year: 2024

Membagikan "Laporan Praktikum Elektromagnetik Very Low Frequency (VLF)"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN PRAKTIKUM ELEKTROMAGNETIK VERY LOW FREQUENCY (VLF)

Oleh:

ANDRE AZHAR ARYANSYAH 115.190.065

KELOMPOK 04

LABORATORIUM GEOFISIKA EKSPLORASI JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”

YOGYAKARTA

2021

(2)

ii HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM ELEKTROMAGNETIK

VERY LOW FREQUENCY (VLF)

Laporan ini disusun sebagai syarat untuk mengikuti acara Praktikum Elektromagnetik selanjutnya, tahun ajaran 2021/2022, Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Yogyakarta.

Disusun Oleh :

ANDRE AZHAR ARYANSYAH 115.190.065

Kelompok 04

Yogyakarta, 25 September 2021 Disahkan Oleh:

ASISTEN ELEKTROMAGNETIK

(Qois Pratama)

LABORATORIUM GEOFISIKA EKSPLORASI JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”

YOGYAKARTA

2021

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan dalam menyusun Laporan Praktikum Elektromagnetik dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan Nya, tentu saja laporan ini tidak dapat terselesaikan dengan baik.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita, umatnya, kejalan yang benar, dan semoga kita mendapatkan syafaat nya di hari kiamat nanti, Aamiin.

Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat sehat Nya, baik itu merupakan sehat fisik maupun sehat akal pikiran, sehingga kami mampu menyelesaikan Laporan Praktikum ini. Saya tentu menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini banyak kekurangan dan juga kesalahan didalamnya. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan sarannya, supaya laporan ini nantinya menjadi laporan yang lebih baik lagi. Demikian apabila dalam laporan ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, saya mohon maaf sebesar – besarnya.

Yogyakarta, 26 September 2021

Andre Azhar Aryansyah

(4)

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Maksud dan Tujuan ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional ... 3

2.2. Geologi Lokal... 9

2.3. Penelitian Terdahulu ... 10

BAB III. DASAR TEORI 3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Metode VLF ... 12

3.2. Perambatan Medan Elektromagnetik ... 14

3.3. Segitiga Fase ... 16

3.4. Polarisasi Elipt ... 17

3.5. Rapat Arus Ekuivalen (RAE) ... 18

3.6. Moving Average ... 18

3.7. Karous Filter ... 18

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Diagram Alir Pengolahan Data ... 20

4.2. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data ... 21

(5)

v BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tabel Perhitungan RAE Australia Lintasan 4 ... 22

5.2. Tabel Perhitungan RAE Jepang Lintasan 4 ... 23

5.3. Grafik Analisis Lintasan 4 ... 24

5.3.1. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 4... 24

5.3.2. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4 ... 26

5.3.3. Grafik Tilt Vs Elipt Jepang Lintasan 4 ... 28

5.3.4. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4 ... 30

5.4. Pembahasan Penampang ... 31

5.4.1. Penampang RAE Software KHFILT ... 31

5.4.2. Penampang RAE Perhitungan Manual... 35

BAB VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan ... 39

6.2. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

LAMPIRAN A. GRAFIK KHFILT ASUTRALIA SEMUA LINTASAN LAMPIRAN B. GRAFIK KHFILT JEPANG SEMUA LINTASAN LEMBAR KONSULTASI

LEMBAR PENILAIAN

(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Fisiografi Pulau Jawa bagian timur -mencakup zona Pegunungan

Selatan. ... 3

Gambar 2. 2. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat ... 6

Gambar 2. 3. Peta Geologi Kabupaten Bantul ... 9

Gambar 3. 1. Distribusi Medan Elektromagnetik untuk Metode VLF ... 13

Gambar 3. 2. Konsep Perambatan Gelombang Elektromagnetik (Unsworth, 2006) ... 15

Gambar 3. 3. Hubungan amplitudo dan fase gelombang sekunder (S) dan primer ... 16

Gambar 3. 4. Parameter polarisasi elips ... 17

Gambar 4. 1. Diagram Alir Pengolahan Data ... 20

Gambar 5. 1. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 4 ... 24

Gambar 5. 2. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4... 26

Gambar 5. 3. Grafik Tilt Vs Elipt Jepang Lintasan 4 ... 28

Gambar 5. 4. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4... 30

Gambar 5. 5. Penampang RAE Software KHFILT Australia Lintasan 4... 31

Gambar 5. 6. Penampang RAE Software KHFILT Jepang Lintasan 4 ... 33

Gambar 5. 7. Penampang RAE Perhitungan Manual Australia Lintasan 4 ... 35

Gambar 5. 8. Penampang RAE Perhitungan Manual Jepang Lintasan 4 ... 37

(7)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 5. 1. Tabel Perhitungan RAE Australia Lintasan 4 ... 22 Tabel 5. 2. Tabel Perhitungan RAE Jepang Lintasan 4 ... 23

(8)

viii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Singkatan Nama

VLF : Very Low Frequency RAE : Rapat Arus Ekuivalen MA : Moving Average EM : Elektromagnetik Lambang

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Aktifitas gempa bumi dapat memicu adanya pergerakan sesar di wilayah Bantul dan sekitarnya. Sesar (patahan) aktif tersebut diidentifikasi membentuk garis lurus yang memanjang. Studi kasus mengenai sesar (patahan) menjadi penting mengingat dampak yang ditimbulkan akibat adanya pergeseran dari struktur berupa sesar tersebut dapat berbuah riskan dikemudian hari. Butuh penelitian untuk mendeliniasi keberadaan struktur tersebut, agar dapat melakukan tindakan pencegahan serta penanggulangan terhadap bencana yang mungkin saja disebabkan oleh sesar tersebut.

Dalam penentuan struktur berupa sesar membutuhkan penerapan dari ilmu geofisika berdasarkan parameter – parameter fisis yang diberikan oleh bumi. Salah satu metode geofisika yang dapat mendeliniasi keberadaan struktur ialah metode Elektromagnetik. Seperti namanya, Metode Elektromagnetik adalah metode yang melibatkan perambatan dari gelombang kontinu atau medan elektromagnetik transien di dalam dan di atas bumi. Terdapat analogi yang berkaitan antara Transmitter, receiver dan konduktor bawah permukaan pada situasi medan Elektromagnetik dan trio sirkuit listrik yang digabunkan dengan induksi elektromagnetik. Pada beberapa sistem permukan Elektromagnetik sumber energi dimungkinkan untuk diberikan direct contact walaupun secara umum inductive coupling menggunakan : receiver yang selalu menerima sinyalnya dengan induksi (Telford, Geldart dan Sheriff, 1990)

Dalam menganalisa keberadaan struktur bawah permukaan salah satu metode elektromagnetik yang dapat digunakan adalah metode VLF-EM. Metode VLF merupakan metode elektromagnetik yang sinyalnya menggunakan gelombang radio dengan frekuensi 15-30 kHz. Medan elektromagnetik VLF dihasilkan oleh pemancar gelombang radio dengan daya yang besar yaitu 100-1000 KW dengan frekuensi 15-30 kHz dan panjang gelombang 10-20 km. Prinsip kerja VLF adalah pemancar memancarkan sinyal berupa gelombang elektromagnetik primer melalui ionosfer. Komponen medan elektromagnetik primer dapat dianggap sebagai

(10)

2 gelombang yang berjalan secara horizontal. Jika di bawah permukaan terdapat suatu medium yang konduktif, maka komponen medan magnetik dari gelombang elektromagnetik primer akan menginduksi medium tersebut sehingga akan menimbulkan arus induksi (Eddy Current) dengan kata lain jika material bersifat konduktif ketika dikenai medan magnet bergerak maka akan terinduksi menimbulkan arus eddy (semakin besar arus eddy semakin besar rapat muatannya).

(Purwanto, Minarto dan Bahri, 2015).

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian Very Low Frequency (VLF) adalah agar peneliti dapat memahami serta mengerti proses dalam melakukan pengolahan data serta interpretasi dari metode ini. Sehingga peneliti dapat menambah ilmu dalam melakukan pengolahan data Elektromagnetik khususnya Very Low Frequency (VLF). Pada akhirnya peneliti dapat melakukan metode tersebut secara tepat guna.

Tujuan dari laporan ini agar peneliti dapat menghasilkan grafik Elipt rata – rata vs Tilt rata – rata, Grafik MA Tilt vs MA Elipt, Penampang RAE dan penampang filter Karous. Dimana dengan menganalisa grafik serta penampang bawah permukaan tersebut dimaksudkan untuk mendeliniasi struktur berupa sesar yang berada di bawah permukaan lintasan. Sehingga dapat menentukan keberadaan serta posisi (kedalaman) dari struktur tersebut berdasarkan parameter fisisnya.

(11)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional

Zona Pegunungan Selatan adalah daerah pegunungan yang berada pada bagian selatan Jawa Tengah, daerahnya melampar dimulai dari bagian tenggara provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memanjang ke arah timur sepanjang pantai selatan Jawa Timur.

Jika dilihat dari reliefnya, daerah ini pegunungan selatan tersiri dari dua relief secara umum, yakni relief yang kasar di sisi timur, dan yang cenderung lebih halus di sisi barat, pada bagian utaranya terdapat gawir-gawir yang memanjang relatif barat-timue, pembentukannya terjadi karena adanya evolusi tektonik yang terjadi di Pulau Jawa pada zaman Kapur hingga sekarang.

Gambar 2. 1. Fisiografi Pulau Jawa bagian timur -mencakup zona Pegunungan Selatan.

A. Geomorfologi Regional

Secara morfologis daerah Pegunungan Selatan merupakan pegunungan yang dapat dibedakan menjadi 3 satuan morfologi utama, yaitu:

Satuan perbukitan berelief sedang sampai kuat, yakni daerah mulai dari sekitar Imogiri di bagian barat, memanjang ke utara hingga Prambanan, membelok ke timur (Pegunungan Baturagung) dan terus ke arah timur melewati Perbukitan

(12)

4 Panggung, Plopoh, Kambengan hingga di kawasan yang terpotong oleh jalan raya antara Pacitan-Slahung, daerah ini didominasi oleh keberadaan litologi batupasir, breksi vulkanik dan batuan beku dari Formasi Semilir, Nglanggran atau Wuni dan Besole.

Satuan dataran tinggi terdapat di daerah Gading, Wonosari, Playen hingga Semanu. Memiliki ketinggian 400 m di atas muka laut, dengan topografi yang hampir rata dan pada umumnya ditempati oleh batugamping.

Daerah ini tersusun oleh bukit-bukit kecil maupun berbentuk kerucut, tersusun oleh batugamping klastik maupun jenis batugamping yang lain.

Satuan dataran rendah, berada pada daerah mulai dari Wonogiri di utara hingga Giritrontro-Pracimantoro di selatan. Dataran rendah ini terdiri oleh batugamping Formasi Kepek yang tertutup oleh endapan Kuarter. Dataran rendah ini disebut sebagai Depresi Wonogiri-Baturetno, yang saat ini sebagian besar merupakan daerah genangan Waduk Gajahmungkur.

Kemudian pada daerah Bayat, Kabupaten Klaten, yang merupakan suatu daerah yang terletak pada kaki perbukitan rendah yakni Perbukitan Jiwo, perbukitan Jiwo terdiri dari Jiwo Barat dan Jiwo Timur yang dipisahkan oleh Sungai Dengkeng. Prebukitan ini tersusun oleh batuan Pra Tersier dan Tersier, dikelilingi oleh dataran yang tersusun oleh endapan Kuarter.

Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan yang kompleks yakni batuan beku:

khususnya diorit dan gabbro , batuan sedimen: batugamping , dan batuan metamorf:

sekis, filit, dan marmer .

Secara lebih rinci lagi, morfologi daerah Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi:

1. Morfologi Fluvial : Morfologi ini cukup mendominasi pada daerah Pegunungan Selatan kenampakan yang dapat ditemui dapat berupa bar, dataran banjir, dan lembah sungai dengan stadium erosi pada sungai dewasa-tua, seperti Sungai Opak dan Sungai Oyo.

2. Morfologi Vulkanik : Morfologi vulkanik yang mempengaruhi daerah Sungai Opak-Parangtritis adalah berasal dari Gunung Merapi, sehingga daerah kawasan Sungai Opak tertutup oleh endapan Gunung Merapi.

(13)

5 3. Morfologi Struktural : Morfologi Struktural yang berada di sekitar Sungai Opak adalah perbukitan bergelombang yang mendominasi di bagian Barat Bantul, dengan kondisi telah mengalami perlipatan dan tersesarkan, struktur yang paling mencolok dari kawasan ini adalah terdapatnya perlipatan, dan sesar utama adalah sesar opak yang sejajar dan melalui Sungai Opak.

4. Morfologi Denudasional/Aluvial: Dataran alluvial sungai Opak banyak mengandung pasir, karena merupkan kelanjutan foot plain yang bersifat andesitis yang berasal dari Gunung Merapi, sedangkan pada daerah selatan/muara sungai Opak menuju Parangtritis lebih bersifat lempung, karena terpengaruh material alluvial yang berasal dari pegunungan sebelah timur yang diendapkan banjir, lembah sungai

5. Morfologi Karst: Daerah Karst yang terdapat pada kawasan Sungai Opak adalah Karst Gunung Sewu, Pegunungan Sewu merupakan hasil proses pengikisan dan pengangkatan, ditandai dengan adanya diaklas-diaklas pada lapisan batuan kapur, air hujan yang jatuh dipermukaan bumi menghilang dalam lubang ponor ( penghujung sungai bawah tanah menuju laut ), dan meresap melalui diaklas-diaklas yang kemudian melarutkan dinding kapur. Wilayah Karst juga terdapat di tepian Pantai Parangtritis ditandai dengan perbukitan batugamping yang berjejer sepanjang pantai di arah timur.

6. Morfologi Eolian: Bentuk lahan ini terbentuk karena dua faktor utama yaitu adanya kekuatan tiupan angin dan adanya endapan material pasir yang membentuk dune. Bukit pasir di parangtritis membujur kearah barat pantai selatan Jawa Tengah sampai daerah Cilacap. Sifat materialnya hampir homogen dengan bahan dasarnya dari batuan andesitis.

7. Morfologi Pantai: Pantai parangtritis sebenarnya tergolong pantai emergence ( pantai terangkat ), kemudian tenggelam sebagian,namun masih tergolong pantai emergence ( khususnya bagian timur) sedang bagian barat lebih mencirikan sub emergence yang telah terendapi oleh hasil erosi berupa dataran alluvial serta gumuk-gumuk pasir.

(14)

6 B. Stratigrafi Regional

Pegunungan Selatan secara umum tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik dan batuan karbonat.

Gambar 2. 2. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda adalah sebagai berikut:

1. Formasi Wungkal-Gamping

Formasi ini terletak di Gunung Wungkal dan Gunung Gamping, di Perbukitan Jiwo. Satuan batuannya terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G.

Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).

2. Formasi Kebo-Butak

Formasi ini disusun pada bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat, dengan ketebalan lebih dari 650

(15)

7 meter.Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.

3. Formasi Semilir

Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah selatan Klaten. Dengan ketebalan lebih dari 460 meter.Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di S.

Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).

4. Formasi Nglanggran

Pada formasi ini batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir

5. Formasi Sambipitu

Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari dengan ketebalan mencapai 230 meter. Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.

6. Formasi Oyo

Lokasi tipe formasi ini berada di Sungai Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan.

Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang

(16)

8 dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter.

7. Formasi Wonosari

Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, dengan ketebalan lebih dari 800 meter. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.

8. Formasi Kepek

Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, tersebar di hulu.

Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.

9. Endapan Permukaan

Endapan permukaan pada daerah Sungai Opak merupakan rombakan batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk.

(1992) membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.

C. Struktur Regional

Struktur daerah ini memiliki arah poros lipatan lebih kurang timurlaut – baratdaya. Disamping perlipatan terdapat juga persesaran, berdasarkan data geofisika terdapat sesar dengan arah timurlaut baratdaya melalui tepi timur Terban–

Bantul (Rahardjo, dkk, 1977).

Berdasarkan data di atas juga data di lapangan dapat disimpulkan, bahwa lembar Yogyakarta terdapat dua sistem sesar. Sistem patahan dengan arah kurang lebih tenggara baratlaut. Pada awal Pleistocen, seluruh daerah terangkat lagi yang mengakibatkan pembentukan morfologi daerah dataran tinggi, dan mengakibatkan terjadinya persesaran daerah ini (Rahardjo, dkk, 1977).

Daerah Bayat, Kabupaten Klaten merupakan suatu Pegunungan Lipatan yang terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan, perbukitan intrusi dan perbukitan lembah antiklin dengan pola aliran sungai dendritik. Struktur-struktur geologi yang bekembang di daerah ini berupa struktur lipatan dan sesar. Dijumpai

(17)

9 pula banyak struktur kekar di daerah ini. Struktur-struktur geologi ini terbentuk diperkirakan akibat bekerjanya gaya kompresi berarah hampir utara-selatan yang kemungkinan berlangasung dalam dua periode, pada awal kala Miosen Tengah sebelum Formasi Oyo diendapkan dan pada kala Pliosen setelah Formasi Oyo diendapkan.

Pulunggono dan Martodjojo (1994) membagi pola struktur di P. Jawa menjadi tiga pola kelurusan dominan yaitu Pola Meratus (timurlaut- baratdaya), Pola Sunda (utara–selatan) dan Pola Jawa (barat–timur).

2.2. Geologi Lokal

Gambar 2. 3. Peta Geologi Kabupaten Bantul

Kabupaten Bantul secara administratif terdiri dari 17 kecamatan, 75 desa dan 933 pedukuhan. Kabupaten Bantul sendiri merupakan wilayah yang berada pada dominasi struktur geologi Young Merapi Volcanic (Quartenary) bagian tengah dan Volcanic (Miocine dan oligo-micine) pada bagian timur. Struktur-struktur ini sudah berumur cukup tua (0,8-2,85 juta tahun yang lalu). Secara struktural Kabupaten Bantul diapit oleh bukit patahan, yaitu lereng barat Pegunungan Batur Agung (Batur Agung Ranges) pada bagian timur dan bagian Barat berupa bekas laguna.

Wilayah yang berada pada apitan bukit patahan ini disebut dengan graben, Graben

(18)

10 Bantul. Graben ini terbentuk dari proses diatrofisme tektonisme yang dipengaruhi oleh aktivitas gunung merapi dan gunung api tua. Wilayah Kabupaten Bantul juga berada pada bentang lahan Fluvio-Marin (pada wilayah Bantul Selatan) yang merupakan wilayah transisi antara asal lahan fluvial (proses yang mengerjai air- sungai) dan asal lahan marin (proses yang mengerjai angin dan gelombang dari Samudra Hindia). Kabupaten Bantul juga berada pada wilayah transisi yaitu dataran yang asal prosesnya dari aktivitas Vulkanis dan endapan sungai (Fluvio-Vulcan).

Bentuklahan fluvial disebabkan oleh akibat aktivitas aliran sungai. Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Bantul secara umum terdiri dari tiga jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan endapan. Berdasarkan sifat sifat batuannya dapat diperinci menjadi tujuh formasi yaitu Formasi Yogyakarta (46%), Formasi Sentolo (18%), Formasi Sambipitu (3%), Formasi Semilir Nglanggran (24%), Formasi Wonosari (8%), dan gumuk pasir (1%).

2.3. Penelitian Terdahulu

Penulis : Nazli Ismial dan Syahrul Ramadhan

Tahun : 2013

Jurnal : Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung

Judul Penelitian : Karakterisasi Struktur Dangkal pada Lapangan Panas Bumi Seulawah Agam Menggunakan Metode Very Low Frequency (VLF)

Metode very low frequency (VLF) umumnya jarang diaplikasikan untuk eksplorasi panasbumi karena jangkauan pendugaanya yang relatif dangkal.

Meskipun demikian, ditinjau dari kepraktisan akuisisi data di lapangan, metode VLF dipercayakan sebagai salah satu metode elektromagnetik yang murah dan mudah digunakan. Berpijak pada kedua fakta di atas, kami telah memanfaatkan metodeVLF dengan resistivity-mode(VLF-R) untukpendugaan struktur dangkal diareal manifestasi panas bumi Ie Jue Lamteba pada kawasan panasbumi Seulawah Agambedasarkan resistivitas batuan. Data VLF-R diukur pada 2 lintasan, dengan panjang lintasan pertama adalah 110 meter dan lintasan ke- 2 190 meter. Pemodelan 2D data VLF-R dilakukan dengan menggunakan program inversi elektromagnetik 2LAYINV (Pirttijärvi, 2006). Proses inversi

(19)

11 menunjukan 2 zona konduktivitas batuan, dimana lapisan resistif pada bagian bawah yang ditutupi oleh lapisan konduktif di atasnya. Lapisan konduktif tersebut diduga sebagai lempung yang kaya akan kandungan air dengan nilai resistivitas 10–100 Ωm. Lapisan resistif diduga sebagai cap rockdengan nilai resistivitas 20000 –40000 Ωm. Model VLF-R tersebutdapatdigunakan untuk membantu pendugaan model konseptual sistem panas bumi pada Lapangan Panas Bumi Seulawah Agam.

(20)

12

BAB III DASAR TEORI

3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Metode VLF

Metode Very Low Frequency (VLF) merupakan salah satu metode elektromagnetik (EM) yang bertujuan untuk mengukur daya hantar listrik batuan dengan cara mengetahui sifat-sifat gelombang EM sekunder. Gelombang sekunder ini dihasilkan dari induksi EM sebuah gelombang EM primer yang berfrekuensi sangat rendah dari 10 sampai 30 KHz. Karena rendahnya harga frekuensi yang digunakan, maka jangkau frekuensi dikelompokkan ke dalam kelompok VLF (Very Low Frequency).

Metode ini memanfaatkan gelombang pembawa (carrier wave) dari pemancar yang dibuat oleh militer yang sebenarnya untuk komunikasi bawah laut dan untuk keperluan navigasi kapal selam. Gelombang ini memiliki penetrasi yang cukup dalam karena frekuensinya yang cukup rendah.

Karena induksi gelombang primer tersebut, di dalam medium akan timbul arus induksi (arus Eddy). Arus induksi inilah yang menimbulkan medan sekunder yang dapat ditangkap di permukaan. Medan yang diukur oleh alat VLF adalah total perbandingan antara medan elektromagnetik primer dan sekunder yang terdiri dari komponen real (inphase) dan imaginer (quadrature).Besarnya kuat medan EM sekunder ini sebanding dengan besarnya daya hantar listrik batuan (), sehingga dengan mengukur kuat medan pada arah tertentu, secara tidak langsung kita dapat mendeteksi daya hantar listrik batuan di bawahnya.

Medan elektromagnetik primer sebuah pemancar radio, memiliki komponen medan listrik vertikal EPz dan komponen medan magnetik horizontal HPy tegak lurus terhadap arah perambatan sumbu x. Medan elektromagnetik yang dipancarkan antena pemancar selanjutnya akan diterima stasiun penerima dalam empat macam perambatan gelombang, yaitu: gelombang langit, gelombang langsung, gelombang pantul dan gelombang terperangkap. Gelombang yang paling sering ditemui pada daerah survei adalah gelombang langit. Pada jarak yang cukup jauh dari antena pemancar, komponen medan elektromagnetik primer dapat dianggap sebagai gelombang yang merambat secara horizontal. Jika di

(21)

13 bawah permukaan terdapat suatu medium yang konduktif, komponen medan magnetik dari gelombang elektromagnetik primer akan menginduksi medium tersebut sehingga akan menimbulkan arus induksi (Eddy current), ESx. Arus Eddy akan menimbulkan medan elektromagnetik baru yang disebut medan elektromagnetik sekunder (HS) yang mempunyai komponen horizontal dan komponen vertikal. Medan magnetik ini mempunyai bagian yang sefase (inphase) dan berbeda fase (outphase) dengan medan primer. Adapun besar medan elektromagnetik sekunder sangat tergantung dari sifat konduktivitas benda dibawah permukaan.

Gambar 3. 1. Distribusi Medan Elektromagnetik untuk Metode VLF

Gelombang EM yang terdeteksi oleh antena penerima merupakan nilai medan magnetik total HR dari medan primer HP yang langsung menjalar melalui udara ataupun yang dipantulkan oleh ionosfer bumi, dan medan sekunder HS hasil induksi elektromagnetik pada konduktor, dimana HP>HS. Sehingga besar HS dan HR bergantung pada ruang, waktu dan frekuensi. Dikarenakan kondisi medan jauh, besar Hp tidak tergantung terhadap ruang.

Respon EM yang terukur pada penerima akan memiliki beda fase yang berbeda antara medan primer dan medan sekunder, secara matematis dapat ditulis:

𝐻𝑅 = 𝐻𝑃 + 𝐻𝑆 (3.1)

𝐻𝑅 = |𝐻𝑝|𝑒𝑖𝜔𝑡 + |𝐻𝑆 |(𝜔𝑡𝜑) (3.2)

(22)

14 dengan frekuensi pemancar (ω /2 π) = f dan pergesaran fase (ϕ) antara komponen medan magnetik primer dan sekunder. Informasi ini dapat diolah untuk

menentukan ukuran dan nilai konduktivitas dari suatu konduktor yang terdapat di bawah permukaan bumi.

Adapun persamaan dalam bentuk vektor, komponen-komponen medan magnetik mempunyai bentuk :

( 0 𝐻𝑅𝑦 𝐻𝑅𝑧

) = ( 0 𝐻𝑃𝑦

0

) + ( 0 𝐻𝑠𝑦 𝐻𝑠𝑧

) (3.3)

Hasil dari pengukuran metode VLF–EM adalah inphase dan quadrature yang merupakan rasio dari HRz/HRy dan merefleksikan perubahan distribusi resistivitas di bawah permukaan.

Pada penelitian dengan menggunakan alat T-VLF BRGM ini data yang terukur adalah nilai Tilt dan Elipt. Kontras anomali yang terukur dapat disebabkan oleh adanya batuan terisi air yang lebih konduktif atau adanya batuan berongga terisi udara yang lebih resistif dari lingkungan kars. Dengan parameter tersebut diharapkan anomali akibat aliran sungai bawah permukaan dapat diperlihatkan dengan jelas.

3.2. Perambatan Medan Elektromagnetik

Medan elektromagnetik merupakan sumber gelombang yang digunakan pada metode elektromagnetik. Teori tentang perambatan gelombang elektromagnetik ini dimulai dari hipotesis dari Maxwell (1873) yang menyatakan

Jika perubahan fluks magnet dapat menimbulkan medan listrik maka perubahan fluks listrik juga dapat menimbulkan medan magnetic.” Dari hipotesis ini diketahui bahwa perubahan yang terjadi pada medan listrik akan menghasilkan perubahan pada medan magnet, begitu juga sebaliknya dan keadaan ini akan terus berulang.

Medan magnet atau medan listrik yang muncul akibat adanya perubahan medan listrik atau medan magnet sebelumnya akan bergerak atau merambat menjauhi tempat perubahannya. Perambatan medan magnetic dan medan listrik inilah yang disebut dengan gelombang elektromagnetik (Wachisbu, 2015).

(23)

15 Secara sederhana proses terjadinya perambatan gelombang elektromagnetik dapat dijelaskan dengan gambar 3.1. berikut ini:

Gambar 3. 2. Konsep Perambatan Gelombang Elektromagnetik (Unsworth, 2006)

Dari gambar di atas diketahui bahwa pada saat arus listrik dialirkan dari transmitter TX maka akan timbul medan elektromagnetik primer di permukaan bumi. Arus listrik yang digunakan dapat berupa arus listrik alami atauoun buatan.

Apabila arus listrik berhenti maka akan terjadi perubahan yaitu fluks magnet. Jika terdapat benda konduktor atau ore body di bawah permukaan bumi, medan elektromagnetik primer akan menghasilkan arus listrik akibat adanya induksi arus listrik. Arus listrik yang dihasilkan disebut juga dengan arus eddy (Eddy Current).

Arus eddy ini akan menimbulkan medan elektromagnetik sekunder dimana medan elektromagnetik sekunder inilah yang diukur oleh receiver RX (Unsworth, 2006).

(24)

16 3.3. Segitiga Fase

Pada saat gelombang primer masuk ke dalam medium, gaya gerak listrik (ggl) induksi es akan muncul dengan frekuensi yang sama, tetapi fasenya tertinggal 90o. Gambar 3.3. menunjukkan diagram vektor antara medan primer P dan ggl induksinya.

Gambar 3. 3. Hubungan amplitudo dan fase gelombang sekunder (S) dan primer Andaikan Z(=R + iL) adalah impedansi efektif sebuah konduktor dengan tahanan R dan induktans L, maka arus induksi (eddy), Is (=es/Z) akan menjalar dalam medium dan menghasilkan medan sekunder S. Medan S tersebut memiliki fase tertinggal sebesar  yang besarnya tergantung dari sifat kelistrikan medium.

Besarnya  ditentukan dari persamaan tan  = L/R. Total beda fase antara medan P dan S akan menjadi 90o + tan-1 (L/R).

Berdasar hal ini dapat dikatakan bahwa, jika terdapat medium yang sangat konduktif (R0), maka beda fasenya mendekati 180o, dan jika medium sangat resistif (R) maka beda fasenya mendekati 90o.

Kombinasi antara P dan S akan membentuk resultan R. Komponen R yang sefase dengan P (Rcos) disebut sebagai komponen real (in-phase) dan komponen yang tegak lurus P (Rsin) disebut komponen imajiner (out-of-phase/kuadratur), komponen kuadratur).

Perbandingan antara komponen real dan imajiner dinyatakan dalam persamaan : 𝑅𝑒

𝐼𝑚 = 𝑡𝑎𝑛𝜙 = 𝜔𝐿/𝑅

(25)

17 3.4. Polarisasi Elipt

Dalam pengukurannya, alat T-VLF akan menghitung parameter sudut Tilt dan Eliptisitas dari pengukuran komponen in-phase dan out-of phase medan magnet vertikal terhadap komponen horisontalnya. Besarnya sudut Tilt (%) akan sama dengan perbandingan Hz/Hx dari komponen in-phase-nya, sedangkan besarnya Eliptisitas  (%) sama dengan perbandingan komponen kuadraturnya.

Gambar 3. 4. Parameter polarisasi elips

Jika medan magnet horisontal adalah Hx dan medan vertikalnya sebesar Hx

ei (gambar 3.4.), maka besar sudut Tilt diberikan sebagai;

2

1

cos 2

) 2 tan(



 





 

x z x z

H H H

H

 (3.8)

dan Eliptisitasnya diberikan sebagai;

sin sincos

2

x i

z

x z

H e

H

H H a

b

 

(3.9)

(26)

18 3.5. Rapat Arus Ekuivalen (RAE)

Rapat arus ekuivalen (RAE) terdiri dari arus yang menginduksi konduktor dan arus yang terkonsentrasi dalam konduktor dari daerah sekelilingnya yang kurang konduktif. Asumsi untuk menentukan rapat arus yang menghasilkan medan magnetik yang identik dengan medan magnetik yang diukur. Melalui persamaan Biot-Savart dapat diketahui pengaruh rapat arus sebagai fungsi jarak horizontal dan vertikal terhadap komponen medan magnet vertikal Hz yang diberikan oleh persamaan (Sasaki, 2001) . Secara teori, kedalaman semu rapat arus ekuivalen memberikan gambaran indikasi tiap-tiap kedalaman variasi konsentrasi arus.

∆𝑍

2𝜋𝐼𝑎(∆𝑥2) = −0.205𝐻−2+ 0.323𝐻−1− 1.446𝐻0+ 1.446𝐻+1− 0.323𝐻+2+ 0.205𝐻+3 (3.10)

3.6. Moving Average

Moving Average dapat diartikan sebagai perubahan harga rata-rata dalam satu timeframe tertentu. Moving Average berfungsi mengkompensasi noise acak yang muncul selama pengukuran (akibat aktivitas kelistrikan maupun ketidakhomogenan bawah permukaan). Dalam pengolahan data EM terdapat langkah yang disebut dengan filter moving average atau dapat diartikan sebagai rata – rata nilai anomali, yang kemudian dibagi dengan jumlah jendela yang digunakan. Hal ini digunakan untuk memisahkan data yang mengandung frekuensi yang tinggi dan rendah.

Setelah dilakukannya tahap ini, diharapkan sinyal yang ada benar – benar menggambarkan anomali yang disebabkan oleh benda – benda konduktif dibawah permukaan.

3.7. Karous Filter

Filter Karous dan Hjelt (1983) merupakan filter yang dikembangkan dari konsep medan magnetik yang berhubungan dengan aliran arus listrik. Filter ini dekembangkan dari filter statistika linear berdasarkan atas filter Fraser dan teori medan linear dari bendat dan piersol. Filter ini menghasilkan profil kedalaman dari rapat arus yang diturunkan dari nilai komponen vertikal medan magnetik pada setiap titik pengukuran. Filter ini dapat menentukan nilai dari rapat arus terhadap kedalaman sehingga interpretasi kualitatif VLF-EM dapat dilakukan dengan

(27)

19 menggunakan filter Karous-Hjelt. Penerapan hasil filter ini berupa distribusi kerapatan arus yang dapat memberi informasi mengenai daerah konduktif.

Filter Karous-Hjelt menggunakan apparent depth dan rapat arus KHn yang berasal dari turunan magnitudo komponen vertikal dan medan magnetik pada lokasi tertentu. Kedalaman ditentukan dari jarak spasi yang digunakan dalam perhitungan.

KHn = 0.102𝑀n-3 − 0.059𝑀 n-2 + 0.561𝑀 n-1 − 0.561𝑀 n+3 + 0.059𝑀 n+2 – 0.102𝑀

n+3

(3.11) dengan:

KHn : Nilai Karous-Hjelt terhitung Hn : data pada titik ke- n

Filter Karous-Hjelt menghitung sumber arus akivalen pada kedalaman tertentu yang umumnya dikenal sebagai rapat arus. Posisi rapat arus ini dapat menjadi alat untuk menginterpreatasi lebar dan ke miringan sebuah benda anomali dengan kedalaman tertentu.

(28)

20

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Diagram Alir Pengolahan Data

Pada tahapan pengolahan data metode elektromagnetik VLF (Very Low Frequency) dilakukan sebagaimana berikut :

Gambar 4. 1. Diagram Alir Pengolahan Data

(29)

21 4.2. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data

Pada pengolahan data Elektromagnetik Very Low Frequency (VLF) dapat dilakukan pengolahan data sebagai berikut :

1. Menerima data sintetik hasil lapang yang kemudia melakukan pengolahan data tersebut dengan menggunakan ms. Excel.

2. Mendapatkan data yang berisi no, stasiun, til dan elipt, dengan menggunakan data tersebut dapat mengolah data pada ms. Excel sehingga menghasilkan Tilt rata – rata, Elipt Rata – rata, MA Tilt dan MA Elipt.

3. Membandingkan dua buah grafik yaitu grafik Tilt rata – rata vs grafik Elipt rata – rata serta membandingkan pula grafik moving average yaitu MA Tilt vs MA Elipt.

4. Mengolah data sehingga menghasilkan nilai Rapat Arus Ekuivalen berdasarkan data Tilt Rata – rata dan jarak berdasarkan data stasiun.

5. Menyatukan data sehingga memuat data x, y dan z yang nantinya di-input pada software Surfer untuk membuat penampang bawah permukaan dari VLF. Data tersebut merupakan data gabungan dari nilai Rapat Arus Ekuivalen, jarak dan stasiun.

6. Menyatukan pula nilai stasiun serta tilt dan elipt rata – rata untuk di-input pada KHFfilt untuk mendapatkan bentuk bawah permukaan hasil dari filter karous.

7. Mendapatkan dua buah jenis penampang yang berbeda yaitu penampang Rapat Arus Ekuivalen dan Penampang Filter Karous.

8. Melakukan pembahasan penampang bawah permukaan baik itu penampang RAE maupun penampang filter karous yang sudah melalui serangkaian proses pengolahan tersebut.

9. Menarik kesimpulan dari analisa serta data yang didapatkan pada penelitian.

10. Selesai.

(30)

22

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tabel Perhitungan RAE Australia Lintasan 4

Tabel 5. 1. Tabel Perhitungan RAE Australia Lintasan 4

jarak RAE jarak RAE jarak RAE jarak RAE

170 1.020333 150 0.992667

160 3.423667

130 0.402667 130 1.210667

140 -0.39 140 2.296333

110 6.566333 110 -0.833 110 -1.374

120 -9.54 120 -9.12367

90 4.045333 90 3.393667 90 10.35567

9.107333

100 0.583333 100 10.12833 100 -0.53233 70 10.42367 70 9.383333 70

7.852

80 0.907333 80 -0.077 80 3.260333 80

10.73833 50 1.683667 50 0.689667

60 0.255 60 11.465 60

30 -2.97333

40 -2.866 40 -2.638

0.422 20

RAE

Kedalaman kedalaman Kedalaman Kedalaman

(31)

23 5.2. Tabel Perhitungan RAE Jepang Lintasan 4

Tabel 5. 2. Tabel Perhitungan RAE Jepang Lintasan 4

jarak RAE jarak RAE jarak RAE jarak RAE

RAE

Kedalaman kedalaman Kedalaman Kedalaman

20

40 30 -1.30167

0.464333

60

50 -5.82433 25 1.589333 2.184333 20 4.793333

80

70 -39.389 35 -20.338 70 -10.024

2.491 30 -38.7077 60 -19.935

100

80 33.42233

90 6.836 45 11.38933 90 14.71533

19.17067 40 31.07367 80 31.80833

120

110 4.220667 55 0.316333 110 -0.68 4.434667 50 -1.43567 100 3.903667

140

130 1.032667 65 5.268 0.602333 60 6.408

160 150 5.940667

1.966333 70 8.518667

170 4.383 0.329

(32)

24 5.3. Grafik Analisis Lintasan 4

5.3.1. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 4

Gambar 5. 1. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 4

Gambar 5.1 merupakan grafik Tilt vs Elipt dari transmitter Australia dimana nilai tilt adalah komponen inphase serta nilai elipt adalah pengaruh dari polarisasi elipt. Frekuensi yang diberikan pada transmitter Australia ini ialah sebesar 22.200 Hz. Terdapat 21 titik pada lintasan 4 ini dengan jarak antar pengukuran 10 meter sepanjang lintasan yang membentang sejauh 200 meter. Dapat dilihat terdapat dua buah grafik yang memiliki bentuk perbedaan yang sangat mencolok. Seperti yang ditandai dengan lingkaran hitam merupakan daerah dengan konduktifitas tinggi untuk daerah yang ditandai dengan linkaran merah merupakan daerah dengan konduktifitas rendah. Terlihat nilai yang ditunjukkan oleh kedua grafik tersebut cenderung memberi respon yang sama.

Tilt dan Elipt merupakan parameter yang menggambarkan atau menunjukkan nilai konfuktifitas yang terukur pada lokasi penelitian. Tilt merupakn sudut utama polarisasi elips dari horizontal sedangkan untuk Elipt merupakan perbandingan antara sumbu kecil terhadap sumbu besar. Nilai Tilt tertinggi ditunjukkan pada titik stasiun 80 dengan nilai Tilt sebesar 10.67 dan titik terendah pada Tilt adalah sebesar -28 pada stasiun 50 dan 70. Lalu pada Elipt nilai tertinggi berada pada titik 120 sebesar 15 dan titik terendah berada pada stasiun 50, 60 dan 70 dengan nilai sebesar -18. Daerah yang memiliki konduktifitas tinggi diduga kuat

(33)

25 sebagai daerah yang berpotensi sebagai zona sesar. Sedangkan daerah diantara nilai konduktifitas tinggi dan rendah merupakan daerah transisi antara zona struktur dengan zona yang belum terdeformasi. Namun, dibutuhkan pengolahan lebih lanjut serta pemodelan untuk membantu dalam proses interpretasi.

(34)

26 5.3.2. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4

Gambar 5. 2. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4

Gambar 5.2 merupakan grafik MA Tilt vs MA Elipt dari transmitter Australia dimana nilai tilt adalah komponen inphase serta nilai elipt adalah pengaruh dari polarisasi elipt. MA merupakan Moving Average yang berfungsi mengkompensasi noise acak yang muncul selama pengukuran. Frekuensi yang diberikan pada transmitter Australia ini ialah sebesar 22.200 Hz. Terdapat 21 titik pada lintasan 4 ini dengan jarak antar pengukuran 10 meter sepanjang lintasan yang membentang sejauh 200 meter. Dapat dilihat terdapat dua buah grafik yang memiliki bentuk perbedaan yang sangat mencolok. Seperti yang ditandai dengan lingkaran hitam merupakan daerah dengan konduktifitas tinggi untuk daerah yang ditandai dengan linkaran merah merupakan daerah dengan konduktifitas rendah.

Terlihat nilai yang ditunjukkan oleh kedua grafik tersebut cenderung memberi respon yang sama.

Tilt dan Elipt merupakan parameter yang menggambarkan atau menunjukkan nilai konfuktifitas yang terukur pada lokasi penelitian. Tilt merupakan sudut utama polarisasi elips dari horizontal sedangkan untuk Elipt merupakan perbandingan antara sumbu kecil terhadap sumbu besar. Nilai MA Tilt tertinggi ditunjukkan pada titik stasiun 90 dengan nilai MA Tilt sebesar 7.5 dan titik terendah pada Tilt adalah sebesar -28 pada stasiun 60 dan 70. Lalu pada MA Elipt nilai tertinggi berada pada titik 120 sebesar 7.75 dan titik terendah berada pada

(35)

27 stasiun 60 dengan nilai sebesar -18. Daerah yang memiliki konduktifitas tinggi diduga kuat sebagai daerah yang berpotensi sebagai zona sesar. Sedangkan daerah diantara nilai konduktifitas tinggi dan rendah merupakan daerah transisi antara zona struktur dengan zona yang belum terdeformasi. Namun, dibutuhkan pengolahan lebih lanjut serta pemodelan untuk membantu dalam proses interpretasi.

(36)

28 5.3.3. Grafik Tilt Vs Elipt Jepang Lintasan 4

Gambar 5. 3. Grafik Tilt Vs Elipt Jepang Lintasan 4

Gambar 5.3 merupakan grafik Tilt Vs Elipt yang didapatkan melalui pengukuran VLF dengan menggunakan transmitter Jepang lintasan 4. Frekuensi yang diberikan pada transmitter Jepang ini ialah sebesar 19.800 Hz. Terdapat 21 titik pada lintasan 4 ini dengan jarak antar pengukuran 10 meter sepanjang lintasan yang membentang sejauh 200 meter. Pada gambar 5.3 menunjukkan grafik dari Tilt dan Elipt yang digambarkan oleh kurva berwarna merah untuk Elipt dan biru untuk Tilt. Tilt dan Elipt merupakan parameter yang menggambarkan atau menunjukkan nilai konfuktifitas yang terukur pada lokasi penelitian. Tilt merupakan sudut utama polarisasi elips dari horizontal sedangkan untuk Elipt merupakan perbandingan antara sumbu kecil terhadap sumbu besar

Nilai Tilt tertinggi ditunjukkan pada titik stasiun 80 dengan nilai Tilt sebesar 113 dan titik terendah pada Tilt adalah sebesar 0 pada stasiun 160. Lalu pada Elipt nilai tertinggi berada pada titik 190 sebesar 1.67 dan titik terendah berada pada stasiun 80 dengan nilai sebesar -75.67. Grafik yang ditunjukkan pada gambar 5.3 dapat dilihat pola yang berlawanan pada tengah grafik seperti yang ditandai oleh lingkaran hitam pada gambar. Perbedaan nilai tersebut diduga terjadi karena adanya noise saat melakukan pengukuran, namun untuk potensi atau zona dari keberadaan sesar dapat diidentifikasikan berada pada daerah dengan nilai grafik yang tinggi

(37)

29 tersebut. Sedangkan untuk daerah yang memiliki nilai cenderung sedang disekitar anomali tersebut diduga sebagai zona transisi dari sesar tersebut.

(38)

30 5.3.4. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4

Gambar 5. 4. Grafik MA Tilt Vs MA Elipt Australia Lintasan 4

Gambar 5.4 merupakan grafik MA Tilt Vs Elipt yang didapatkan melalui pengukuran VLF dengan menggunakan transmitter Jepang lintasan 4. Frekuensi yang diberikan pada transmitter Jepang ini ialah sebesar 19.800 Hz. Terdapat 21 titik pada lintasan 4 ini dengan jarak antar pengukuran 10 meter sepanjang lintasan yang membentang sejauh 200 meter. Pada gambar 5.3 menunjukkan grafik dari Tilt dan Elipt yang digambarkan oleh kurva berwarna merah untuk Elipt dan biru untuk Tilt. Tilt dan Elipt merupakan parameter yang menggambarkan atau menunjukkan nilai konfuktifitas yang terukur pada lokasi penelitian.

Nilai MA Tilt tertinggi ditunjukkan pada titik stasiun 80 dengan nilai MA Tilt sebesar 3.6 dan titik terendah pada Tilt adalah sebesar -49 pada stasiun 80. Lalu pada MA Elipt nilai tertinggi berada pada titik 80 sebesar 79.8 dan titik terendah berada pada stasiun 170 dan 200 dengan nilai sebesar -1.3. Grafik yang ditunjukkan pada gambar 5.4 dapat dilihat memiliki pola yang berlawanan pada tengah grafik seperti yang ditandai oleh lingkaran hitam pada gambar. Perbedaan nilai tersebut diduga terjadi karena adanya noise saat melakukan pengukuran, namun untuk potensi atau zona dari keberadaan sesar dapat diidentifikasikan berada pada daerah dengan nilai grafik yang tinggi tersebut. Sedangkan untuk daerah yang memiliki nilai cenderung sedang disekitar anomali tersebut diduga sebagai zona transisi dari sesar tersebut.

(39)

31 5.4. Pembahasan Penampang

5.4.1. Penampang RAE Software KHFILT

5.4.1.1. Penampang RAE Software KHFILT Australia Lintasan 4

Gambar 5. 5. Penampang RAE Software KHFILT Australia Lintasan 4

Gambar 5.5 merupakan penampang RAE (Rapat Arus Ekuivalensi) pada lintasan 4. Penampang tersebut diolah menggunakan Software KHFILT sehingga memberi respon Real Component seperti yang dapat dilihat pada gambar. Pada penampang tersebut sumbu x berasosiasi pada kedalaman sedangkan sumbu y berasosiasi pada jarak. Penampang pada gambar tersebut merupakan penampang yang sumber atau menggunakan transmitter Australia.

Secara garis besar pada penampang tersebut peneliti membagi daerah dengan nilai real component tersebut menjadi dua, yaitu respon nilai sedang hingga tinggi serta tinggi sekali. Respon nilai sedang hingga tinggi berkisar -20 hingga 0 dan untuk respon nilai tinggi sekali berkisar antara 0 hingga 10. Semakin tinggi respon yang diberikan maka semakin tinggi pula nilai Rapat Arus Ekuivalensinya sehingga semakin banyak pula arus yang dapat melalui zona tersebut, pun begitu sebaliknya.

Pada gambar 5.5 tersebut didominasi oleh nilai real component yang tinggi.

Pola atau zona dari struktur dapat terlihat sangat jelas pada penampang tersebut.

Pola atau kehadiran struktur pada penampang tersebut ditandai dengan nilai yang

(40)

32 tinggi seperti yang ditandai dengan garis hitam putus - putus. Hal tersebut dikarenakan daerah atau zona sesar tersebut memiliki tingkat konduktifitas yang baik yang dimungkinkan sebab daerah pada sesar tersebut terisi oleh air yang memiliki kadar konduktivitas yang baik. Sedangkan beranjak ke kanan yang ditandai dengan lingkaran hitam pada gambar, ditemui daerah dengan nilai real component sedang hingga tinggi. Di duga pada daerah dengan anomali sedang hingga tinggi tersebut merupakan daerah transisi antara zona sesar dengan daerah yang belum terdeformasi.

(41)

33 5.4.1.2. Penampang RAE Software KHFILT Jepang Lintasan 4

Gambar 5. 6. Penampang RAE Software KHFILT Jepang Lintasan 4

Gambar 5.6 merupakan penampang RAE (Rapat Arus Ekuivalensi) pada lintasan 4. Penampang tersebut diolah menggunakan Software KHFILT sehingga memberi respon Real Component seperti yang dapat dilihat pada gambar. Pada penampang tersebut sumbu x berasosiasi pada kedalaman sedangkan sumbu y berasosiasi pada jarak. Penampang pada gambar tersebut merupakan penampang yang sumber atau menggunakan transmitter Jepang.

Secara garis besar pada penampang tersebut peneliti membagi daerah dengan nilai real component tersebut menjadi dua, yaitu respon nilai sedang hingga tinggi serta tinggi sekali. Respon nilai sedang hingga tinggi berkisar -20 hingga 0 dan untuk respon nilai tinggi sekali berkisar antara 0 hingga 10. Semakin tinggi respon yang diberikan maka semakin tinggi pula nilai Rapat Arus Ekuivalensinya sehingga semakin banyak pula arus yang dapat melalui zona tersebut, pun begitu sebaliknya.

Pada gambar 5.6 tersebut didominasi oleh nilai real component yang sedang hingga tinggi. Pola atau zona dari struktur dapat terlihat sangat jelas pada penampang tersebut. Pola atau kehadiran struktur pada penampang tersebut ditandai dengan nilai yang tinggi seperti yang diberikan tanda garis hitam putus- putus pada gambar 5.6. Hal tersebut dikarenakan daerah atau zona sesar tersebut memiliki tingkat konduktifitas yang baik hal tersebut dimungkinkan sebab daerah

(42)

34 pada sesar tersebut terisi oleh air yang memiliki kadar konduktivitas yang baik.

Sedangkan disebelah daerah dugaan keterdapatan struktur tersebut ditemui daerah dengan nilai real component sedang hingga tinggi. Di duga pada daerah dengan anomali sedang hingga tinggi tersebut merupakan daerah transisi antara zona sesar dengan daerah yang belum terdeformasi. Sehingga diduga daerah dengan nilai respon anomali cukup tinggi disekitar zona struktur dan zona transisi tersebut merupakan litologi yang mendominasi pada daerah tersebut.

(43)

35 5.4.2. Penampang RAE Perhitungan Manual

5.4.2.1. Penampang RAE Perhitungan Manual Australia Lintasan 4

Gambar 5. 7. Penampang RAE Perhitungan Manual Australia Lintasan 4

Gambar 5.7 merupakan penampang RAE (Rapat Arus Ekuivalensi) yang diolah atau dibuat secara manual dengan bantuan program ms. Excel dan Software Surfer. Satuan nilai yang diberikan pada penampang tersebut adalah A/m2. Pada sumbu x dari penampang tersebut berasosiasi terhadap jarak, sedangkan sumbu y berasosiasi terhadap kedalaman. Penampang Rapat Arus Ekuivalensi pda gambar 5.7 tersebut merupakan penampang yang sumber transmisi berasal dari Australia.

Secara garis besar pada penampang tersebut peneliti membagi daerah dengan nilai A/m2 tersebut menjadi tiga, yaitu respon nilai tinggi, sedang dan rendah. Respon nilai rendah yaitu berkisar dari -10 - -3 A/m2, nilai respon sedang berkisar -2 hingga 5 A/m2 dan untuk respon nilai tinggi berkisar antara 5 hingga 12 A/m2. Semakin tinggi respon yang diberikan maka semakin tinggi pula nilai Rapat Arus Ekuivalensinya sehingga semakin banyak pula arus yang dapat melalui zona tersebut, pun begitu sebaliknya.

(44)

36 Penelitian ini ditujukan untuk menentukan daerah atau zona yang diduga sebagai struktur. Anomali yang ditunjukkan pada struktur tersebut adalah anomali dengan nilai respon tinggi yang disebabkan oleh banyaknya celah pada struktur tersebut. Sehingga air dapat mengisi celah – celah tersebut, seperti yang diketahui air memiliki sifat konduktifitas yang baik sehingga memiliki resistivitas yang rendah. Daerah yang ditandai atau diduga sebagai struktur adalah daerah yang ditandai dengan garis hitam pada gambar 5.7. Hal tersebut diperkuat dengan adanya anomali sedang disekitar anomali tinggi tersebut. Anomali sedang tersebut diduga kuat sebagai zona transisi dari struktur dengan zona yang belum terdeformasi.

Sedangkan untuk daerah dengan nilai anomali rendah diduga sebagai endapan alluvium yang disesuaikan terhadap geologi lokal lokasi penelitian.

(45)

37 5.4.2.2. Penampang RAE Perhitungan Manual Jepang

Lintasan 4

Gambar 5. 8. Penampang RAE Perhitungan Manual Jepang Lintasan 4

Gambar 5.8 merupakan penampang RAE (Rapat Arus Ekuivalensi) yang diolah atau dibuat secara manual dengan bantuan program ms. Excel dan Software Surfer.

Satuan nilai yang diberikan pada penampang tersebut adalah A/m2. Pada sumbu x dari penampang tersebut berasosiasi terhadap jarak, sedangkan sumbu y berasosiasi terhadap kedalaman. Penampang Rapat Arus Ekuivalensi pda gambar 5.8 tersebut merupakan penampang yang sumber transmisi berasal dari Jepang.

Secara garis besar pada penampang tersebut peneliti membagi daerah dengan nilai A/m2 tersebut menjadi tiga, yaitu respon nilai tinggi, sedang dan rendah. Respon nilai rendah yaitu berkisar dari -40 - -15 A/m2, nilai respon sedang berkisar -10 hingga 10 A/m2 dan untuk respon nilai tinggi berkisar antara 10 hingga 35 A/m2. Semakin tinggi respon yang diberikan maka semakin tinggi pula nilai Rapat Arus Ekuivalensinya sehingga semakin banyak pula arus yang dapat melalui zona tersebut, pun begitu sebaliknya.

(46)

38 Penelitian ini ditujukan untuk menentukan daerah atau zona yang diduga sebagai struktur. Anomali yang ditunjukkan pada struktur tersebut adalah anomali dengan nilai respon tinggi yang disebabkan oleh banyaknya celah pada struktur tersebut. Sehingga air dapat mengisi celah – celah tersebut, seperti yang diketahui air memiliki sifat konduktifitas yang baik sehingga memiliki resistivitas yang rendah. Daerah yang ditandai atau diduga sebagai struktur adalah daerah yang ditandai dengan lingkaran hitam pada gambar 5.8. Hal tersebut diperkuat dengan adanya anomali sedang disekitar anomali tinggi tersebut. Anomali sedang tersebut diduga kuat sebagai zona transisi dari struktur dengan zona yang belum terdeformasi. Sedangkan untuk daerah dengan nilai anomali rendah diduga sebagai endapan alluvium yang disesuaikan terhadap geologi lokal lokasi penelitian.

Namun terdapat nilai anomali rendah seperti yang ditandai dengan lingkaran biru yang diduga sebagai kehadiran gamping sebab memiliki resistivitas tinggi. Seperti yang diketahui gamping mudah mengalami pelarutan sehingga celah tersebut terisi oleh angin dan menimbulkan nilai resistivitas yang tinggi.

(47)

39

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Didasarkan dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal seperti berikut ini :

 Pada penelitian ini dilakukan pengukuran dengan menggunakan metode Elektromagnetik Very Low Frequency (VLF) dalam tujuan untuk menganalisa keberadaan struktur berupa sesar opak.

Transmitter yang digunakan pada pengukuran VLF ini menggunakan dua buah transmitter yaitu Transmitter Australia dan Jepang.

 Didapatkan 4 buah penampang baik melalui perhitungan manual maupun melalui filter Karous baik transmitter Australia dan Jepang.

 Respon nilai real component pada penampang filter Karous didominasi oleh respon sedang hingga tinggi berkisar -20 hingga 0 dan untuk respon nilai tinggi sekali berkisar antara 0 hingga 10.

 Pada penampang perhitungan manual Australia respon nilai rendah berkisar dari -10 - -3 A/m2, nilai respon sedang berkisar -2 hingga 5 A/m2 dan untuk respon nilai tinggi berkisar antara 5 hingga 12 A/m2.

 Pada penampang perhitungan manual Australia respon nilai rendah yaitu berkisar dari -40 - -15 A/m2, nilai respon sedang berkisar -10 hingga 10 A/m2 dan untuk respon nilai tinggi berkisar antara 10 hingga 35 A/m2.

 Struktur pada daerah penelitian diidentifikasikan sebagai daerah dengan nilai Rapat Arus Ekuivalensi tinggi, hal tersebut dimungkinkan karena pada struktur terdapat celah – celah yang diindikasikan terisi air. Sehingga pada daerah struktur tersebut memiliki respon nilai yang konduktif dan dapat mengalirkan arus dengan baik.

6.2. Saran

Metode Elektromagnetik merupakan salah satu komponen penting dari proses eksplorasi yang menjadi kemampuan utama seorang geofisikawan. Oleh sebab itu, penting bagi seorang Geofisikawan untuk mengerti cara membuat serta

(48)

40 mengolah data yang baik dan benar. Penting juga sebelum melakukan penelitian untuk memperbanyak pendalaman materi agar penelitian dapat berlangsung dengan baik.

(49)

41

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R. W. (1970). The Geology of Indonesia 2nd Edition. Netherlands: The Hague.

Bothe, A.Ch.D., 1929. Djiwo Hills and Southern Range. Fourth Pacific Science Congress Excursion Guide, 14h.

Bronto, S. dan Hartono, H.G. 2001. Panduan Ekskursi Geologi Kuliah. Lapangan2.

STTNAS: Yogyakarta.

Grant, F.S. and West, G.E. 1965. Interpretation Theory in Applied Geophysics.

McGraw-Hill, New York.

Hartati, Lidya. 2010. Perbandingan Analisa Percepatan Tanah Pendekatan Empiris dengan Accelerograph dan Pemodelan Zonasi akibat Gempabumi Studi Kasus Gempa Yogyakarta Tahun 2008 sampai dengan 2010. Skripsi.

Jurusan Fisika, FST, UIN.

Husadani, Y.T. 2008. Geologi dan stratigrafi batuan gunung api Derah Sindet Kec.

Imogiri, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta. Skripsi S1 di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Jogjakarta, 130 hal, tidak dipublikasikan.

Indriyani, D. D. 2014. Pemetaan Distribusi Aliran Sungai Bawah Tanah Menggunakan Metode Geofisikavlf (Very Low Frequency) Daerah Karst Pracimantoro Kabupaten Wonogiri. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Ismial, N., & Ramadhan, S. (2013). Karakterisasi Struktur Dangkal pada Lapangan Panas Bumi Seulawah Agam Menggunakan Metode Very Low Frequency (VLF). Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung.

Kaikonen, P. 1979. Numerical VLF Modelling. Geophysical Prospecting27. 815- 834.

Kalscheuer, T., Pedersen, L.B. dan Siripunvaraporn, W. 2008.

Radiomagnetotelluric Two-Dimensional Forward and Inverse Modelling

(50)

42 Accounting for Displacement Currents, Geophysics Journal International, Vol. 175, No. 2, 2008, hal. 486-514

Karous, M. & Hjelt, S.E. 1983. Linear Filtering Of VLF Dip-Angle Measurements.

Geophysical Prospecting 31. 782-794.

Kartini. 2018. Pemetaan Aliran Sungai Bawah Tanah Bribin Menggunakan Metode Very Low Frequency (Vlf) Di Daerah Sindon, Dadapayu, Gunungkidul.

Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Ming-Juin Lin., Yih Jeng. 2010. Application of the VLF-EM method with EEMD to the study of a mud volcano in southern Taiwan. Geomorphology 199, 97 – 110.

Monteiro, S., Mateus, F. A., Figueiras, J., Goncalves, M. A. Mapping Goundwater Contamination Around A Landfill Facility Using The VLF-EM Method A- Case Study. J. Appl. Geophys. 60, 115 – 125.

Nabighian, M. 1991. Electromagnetic Methods In Applied Geophysics. Oklahoma:

Society Of Exploration Geophysics.

Parulian, A. R. 2018. Metode Elektromagnetik Very Low Frequency (VLF) Untuk Pendugaan Struktur Bawah Permukaan Lapangan Merah. Universitas Padjajaran.

Profil Kabupaten Bantul Tahun 2015-2019. Diakses di https://sippa.ciptakarya.pu.go.id/sippa_online/ws_file/dokumen/rpi2jm/D OCRPIJM_befa48a4bc_BAB%20VIBab%206%20Profil%20Kabupaten%

20Kab%20Bantul.pdf.

Purwanto, E. H., Minarto, E. Bahri., 2015. Aplikasi Metode Very Low Frequency Electromagnetic (VLF-EM) untuk Karakteristik Bawah Permukaan di Daerah Kapur Desa Melirang Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Jurnal Fisika Indonesia No: 55, Vol XIX, Edisi November 2015.

Rahardjo, W., Sukandarrimidi dan Rosidi, H. M., 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, Skala 1:100.000. Bandung: Puslitbang Geologi.

(51)

43 Saleh, H., 1977, Geologi daerah Wuryantoro Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah,

Tesis, S1, TeknikGeologi, FT-UGM, Yogyakarta (tidak terbit).

Sudarminto, 1982, Geologi daerah Song Putri dan sekitarnya, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Tesis S1, Teknik Geologi, FT- UGM, Yogyakarta (tidak terbit).

Sumarso dan Ismoyowati, T., 1975. A contribution to the stratigraphy of the Jiwo Hills and their southern suroundings. Proceedings of 4th Annual Convention of Indonesia Petroleum Association, Jakarta, II, h.19-26.

Sumosusastro, S. 1956. A Contribution to The Geology of The Eastern Djiwo Hills and The Southern Range in Central Java, Majalah Pengetahuan Alam Indonesia, Bandung.

Surono, Toha, B., dan Sudarno, I, 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung

Suyoto. 2007. Status Cekungan Wonosari dalam kerangka tektonik Indonesia Barat, abstrak, Seminar dan Workshop “Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah”, Jogjakarta, 27-29 Nov. 2007.

Telford, W. M., Geldart, L. P., & Sheriff, R. E. (1990). Applied Geophysics (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Van Bemmelen, R.W.V. 1949. The Geology of Indonesia. Government Printing Office. The HagueBerthomier.

Wartono. R, S. Rumidi dan H.M.D. Rosidi, 1995 Geologi lembar Yogyakarta – Jawa (Geology Of The Yogyakarta Quadrangle – Jawa), Pusat penelitian dan pengembangan geologi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung

Wibowo, E., dan Indriarti, P. 2017. Modul Praktikum Eksplorasi Elektromagnetik.

Yogyakarta : Teknik Geofisika UPNVYK.

(52)

44 LAMPIRAN A. GRAFIK KHFILT AUSTRALIA SEMUA LINTASAN

KELOMPOK 1

KELOMPOK 2

KELOMPOK 3

(53)

45 KELOMPOK 4

KELOMPOK 5

KELOMPOK 6

(54)

46 KELOMPOK 7

KELOMPOK 8

(55)

47

(56)

48 LAMPIRAN B. GRAFIK KHFILT JEPANG SEMUA LINTASAN

KELOMPOK 1

KELOMPOK 2

KELOMPOK 3

Gambar

Gambar 2. 1. Fisiografi Pulau Jawa bagian timur -mencakup zona Pegunungan Selatan.
Gambar 2. 2. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat  Urutan  stratigrafi  penyusun  Pegunungan  Selatan  bagian  barat  dari  tua  ke  muda adalah sebagai berikut:
Gambar 2. 3. Peta Geologi Kabupaten Bantul
Gambar 3. 1. Distribusi Medan Elektromagnetik untuk Metode VLF
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uji internal yang dilakukan pada produk merupakan uji kelayakan produk (LKS yang mengoptimalkan praktikum virtual laboratory) Materi Induksi Elektromagnetik yang telah dikembangkan

Interpretasi Distribusi Tingkat Konduktivitas Lapisan Bawah Permukaan Untuk Menentukan Bidang Gelincir Pada Daerah Rawan Longsor Dengan Menggunakan Metode VLF

Interpretasi Distribusi Tingkat Konduktivitas Lapisan Bawah Permukaan Untuk Menentukan Bidang Gelincir Pada Daerah Rawan Longsor Dengan Menggunakan Metode VLF

Asesmen kinerja ini dirancang untuk mengukur keterampilan laboratorium mahasiswa secara individual dan menggunakan rubrik analitik kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik

Data lapangan yang didapatkan dari hasil pengukuran metode VLF-EM biasanya tercampur dengan noise dan outlier, untuk itu digunakan filter NA-MEMD

Dengan alasan tersebut, metode VLF-EM akan digunakan pada penelitian ini dengan tujuan untuk mengkarakterisasi bawah permukaan dan menentukan sebaran batuan dolomit

The plasma density changes caused by solar flares in the D-region have implications on the very low frequency VLF, 3–30 kHz waves propagation which essentially propagate in the

10 Diurnal variation of ELF and VLF noise observed on a low-altitude satellite at the invariant latitude of Sanae The diurnal variation in the frequency of occurrence of radio