• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktikum Mikologi: Isolasi dan Identifikasi Fungi Air Borne pada Serangga

N/A
N/A
Ilham Ikhlas 12

Academic year: 2025

Membagikan "Laporan Praktikum Mikologi: Isolasi dan Identifikasi Fungi Air Borne pada Serangga"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM MIKOLOGI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FUNGI AIR BORNE YANG MENDEKOMPOSISI SERANGGA PADA KEPINDING (Leptoglossus

zonatus) DAN BELALANG (Oxya hyla)

PEROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2024

Kelompok : 1

Anggota : Sulistia Dwi Mulyani 22106040013 Ilham Ikhlasul Amal 22106040016 Elis Esabela 22106040022 Devina Puspa Dewi 22106040045 Dosen Pengampu : Lela Susilawati, S.Pd., M.Si., PhD.

Agessty Ika Nurlita, M.Si.

(2)

A. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

Proses ekologis sangat berkaitan erat dengan keberadaan fungi, fungi memegang peran yang sangat penting dalam proses dekomposisi makhluk hidup (Smith & Smith, 2015). Dalam proses ini fungi seolah olah menyapu bersih material organik sisa diatas bumi. Proses dekomposisi ini melibatkan pemecahan suatu makromolekul menjadi molekul yang lebih sederhana.

Proses dekomposisi oleh fungi juga secara langsung menyebabkan siklus biogeokimia terus berputar. Siklus ini sangat penting bagi kelangsungan makhluk hidup autrotof sepperti tumbuhan dan alga. Fungi digadang gadang juga merupakan pemegang peran utama dalam memutar poros siklus C dan N bumi. Fungi akan menciptakan sekumpulan C dan N bebas pada lingkungan yang sangat mampu diserap oleh organisme autotrof (Lustenhouwer et al., 2020).

Fungi yang berperan dalam dekomposisi berasal dari spora maupun bagian dari fungi yang lainnya yang tersedia bebas di alam. Salah satu sumber penyebaran fungi adalah udara. Fungi dapat menyebar melalui udara karena spora. Menurut Martinez- Bracero et al., (2022) spora secara dominan menyusun Primary Biological Aerosol Particles (PBAPs) di alam. Setelah menempel di tempat yang tepat, spora akan tumbuh dan membentuk koloni fungi pada substrat yang ditempelinya.

Sebagai hewan yang memiliki kelimpahan tertinggi di dunia, insekta tersebar luas nyaris di seluruh dunia (Hickman et al., 2019). Keistimewaan kelas ini adalah memiliki lapisan skeleton yang terbuat dari kitin sebagai tameng perlindungan diri dari tekanan fisik seperti air dan panas (Gillott, 2005). Biometrial kitin susah untuk didegradasi secara fisik dan memerlukan agen hayati seperti fungi dalam melakukan dekomposisi bahan tersebut. Corneliyawati et al., (2018) menyebutkan bahwa tidak semua jenis fungi mampu mendekomposisi kitin di alam. Sehingga tidak sembarang fungi mampu mendekomposisi serangga.

Sebagai penyumbang besar Primary Biological Aerosol Particles (PBAPs), spora fungi memiliki peran penting dalam penyebaran spora untuk kepentingan dekomposisi dan keberlanjutan siklus biogeokimia bumi. Penelitian ini bermaksud untuk mengeksplorasi dan mengkarakterisasi jenis fungi air borne yang mampu melakukan dekomposisi serangga.

(3)

2. TUJUAN

a. Mengetahui morfologi makroskopis dan mikroskopis fungi air borne yang mendekomposisi kepinding (Leptoglossus zonatus) dan belalang (Oxya hyla) b. Mengidentifikasi fungi air borne yang mendekomposisi kepinding

(Leptoglossus zonatus) dan belalang (Oxya hyla)

B. DASAR TEORI

Dekomposisi adalah proses perubahan fisik dan kimiawi sederhana yang dilakukan oleh mikroorganisme tanah, seperti bakteri, jamur, dan organisme tanah lainnya. Proses ini dikenal juga sebagai mineralisasi, yaitu penghancuran bahan organik dari hewan atau tumbuhan menjadi senyawa-senyawa anorganik yang sederhana (Susanti & Halwany, 2017). Salah satu agen utama dalam proses dekomposisi adalah fungi. Fungi berperan penting sebagai dekomposer dalam proses dekomposisi karena dapat membantu menguraikan bahan organik menjadi senyawa- senyawa sederhana. Proses ini mendukung siklus nutrien dengan mengembalikan unsur hara ke dalam tanah, sekaligus berkontribusi pada pembentukan humus yang meningkatkan kesuburan dan struktur tanah (Samingan, 2015).

Kitin merupakan bahan organik yang dapat didekomposisi oleh fungi. Kitin adalah polimer organik alami kedua terbanyak setelah selulosa (Dompeipen et al., 2016). Kitin merupakan komponen penyusun tubuh banyak organisme, salah satunya adalah serangga, kitin banyak ditemukan pada bagian eksoskeleton serangga (Setiawan et al., 2015). Serangga atau insekta merupakan jenis hewan dengan jumlah paling banyak di antara spesies lainnya dalam filum Arthrophoda. Hingga saat ini spesies serangga yang telah diketahui mencapai 950.000 spesies di dunia, atau sekitar 59,5%

dari total organisme lain yang telah diidentifikasi (Safitri & Yaherwandi, 2020).

Fungi memiliki enzim kitinase yang mampu mendegradasi kitin. Kitin dapat diuraikan melalui dua jalur utama. Jalur pertama melibatkan mekanisme kitinolitik yang memecah ikatan β-1,4-glikosida. Jalur kedua dimulai dengan proses deasetilisasi kitin menjadi kitosan, yang kemudian dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim kitonase (Herdyastuti et al., 2009). Sumber fungi ini dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk udara, yang menjadi salah satu media penyebaran utama spora jamur. Spora jamur umumnya ditemukan tersebar di atmosfer, sehingga disebut sebagai airborne fungi (Nageen et al., 2023). Spora jamur terdiri dari dua jenis utama, yaitu spora menetap dan spora penyebar. Spora menetap, seperti klamidiospopra, oospora,

(4)

zigospora, dan teliospora, merupakan sopra istirahat yang tahan terahdap kondisi buruk.

Biasanya spora menetap berfungsi sebagai inokulum primer, menunggu kedatangan inang yang sesuai. Sebaliknya spora penyebar, seperti konidia, sporangiospora, askospora, basidiospora, dan urediniospora dapat menyebar dengan mudah di udara (Fashola et al., 2023).

Penyebaran spora merupakan salah satu strategi evolusi fungi untuk bereproduksi, baik melalui spora seksual maupun aseksual. Spora seksual memainkan peran penting dalam penyearan dan dinamika populasi jamur (Gosselin et al., 2016).

Spora jamur juga menjadi kelompok utama partikel bioaerosol di atmosfer, dengan konsentrasi yang bervariasi. Komposisi dan konsentrasi spora jamur di udara pada waktu tertentu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kondisi lingkungan, lokasi geografis, vegetasi, aktivitas manusi, konsentrasi bahan organik, keberadaan dan usia koloni jamur atau tubuh buahnya. Selain itu, proses produksi, pelepasan, dan deposisi spora juga berkontribusi pada pola prevalensi jamur udara yang teramati di lingkungan. Sumber utama jamur udara biasanya berasal dari daun tumbuhan yang mati atau hidup, hewan dan burung yang terkontaminasi, pupuk kandang, aktivitas manusia, rhizosfer, dan rizoplan (Fashola et al., 2023).

C. METODE

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 November sampai 28 November 2024. Eksplorasi serangga dilakukan di persawahan daerah Gowok dan perkebunan timun daerah Minomartani. Isolasi dan identifikasi fungi dilakukan di Laboratorim UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Serangga yang didapat adalah kepinding (Leptoglossus zonatus) dan belalang (Oxya hyla).

2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada pelaksanaan praktikum yaitu cawan petri, bunsen, ose, sterile blade, tusuk gigi, object glass, cover glass, pinset, dan mikroskop.

Bahan yang digunakan pada pelaksanaan praktikum ini yaitu sampel serangga (belalng dan kepinding), aquades, alkohol 70%, lactophenol blue, tissue, kentang, dextrose, dan agar.

3. Eksplorasi Fungi

Pengambilan sampel serangga diambil dari sawah dan perkebunan timun.

Serangga yang telah mati kemudian dibiarkan pada lingkungan terbuka tanpa

(5)

penutup. Setelah koloni fungi tumbuh, serangga disimpan pada cawan petri yang dialasi tissue yang sudah dibasahi terlebih dahulu. Hifa yang tumbuh kemudian diisolasi.

4. Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)

Kentang ditimbang sebanyak 200 gram dan ditambahkan 500 mL aquades lalu dipanaskan dalam panci. Akuades sebanyak 500 mL ditambahkan lagi agar tercampur dengan ekstrak. Kentang yang telah direbus disaring dan dimasukkan pada gelas ukur 1 L. Kentang ditambahkan 20 gram dextrose dan 10 gram agar.

Media dituang ke dalam cawan petri kemudian di wrap dan ditutup dengan kertas coklat. Media yang telah siap disterilasi terlebih dahulu menggunakan autoklaf.

Penuangan media dilakukan di LAF dengan penambahan antibiotik penisilin sebanyak 1 ml.

5. Isolasi dan Purifikasi Fungi

Hifa yang tumbuh pada serangga diambil dengan tusuk gigi yang dipanaskan terlebih dahulu di atas bunsen, kemudian diinokulasikan pada media PDA sebanyak tiga titik. Cawan petri diberi label, di wrap dan ditutup dengan kertas coklat.

Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang hingga hifa tumbuh lebat. Media PDA yang telah ditumbuhi hifa dipurifikasi dengan cara diambil hifa dari tempat pembiakan fungi. Jarum ose dipanaskan terlebih dahulu di atas bunsen kemudian diambil hifa dan ditusukkan ke dalam media PDA yang baru sebanyak satu titik saja. Cawan petri ditutup dan diberi label lalu diinkubasi pada suhu ruang.

6. Pengamatan Makroskopik Fungi

Identifikasi morfologi makroskopik fungi dengan cara melihat morfologi dengan mata secara langsung. Karakterisasi dengan mengamati sifat-sifat morfologi serta fisiologi fungi meliputi warna atas dan warna bawah koloni, diameter koloni, permukaan koloni dan tekstur koloni.

7. Pembuatan Slide Culture Technique

Cawan petri steril dialasi tissue kemudian dibasahi dengan akuades. Tusuk gigi disusun dan object glass diletakkan di atas tusuk gigi dengan posisi bersilangan.

Media PDA dipotong sekitar 1x1 cm menggunakan sterile blade dan diletakkan di atas object glass yang telah disusun pada cawan petri. Hifa diambil dengan jarum ose yang dipanaskan terlebih dahulu di atas bunsen. Kemudian jarum ose ditusukkan atau dioleskan pada sisi media PDA. Media PDA ditutup dengan cover

(6)

glass. Cawan petri di wrap dan ditutup dengan kertas coklat kemudian diinkubasi di suhu ruang

8. Pengamatan Mikroskopik Fungi

Object glass steril disiapkan dan ditetesi dengan Lactophenol Blue lalu ditutup atasnya dengan cover glass yang sudah ditumbuhi dengan fungi. Kemudian diamati dengan mikroskop perbesaran 100x dan 400x. Karakteristik mikroskopis fungi yang diamati meliputi hifa, bentuk spora dan konidia, bentuk sporangium dan konidiofor, bentuk percabangan sel hifa dan ada tidaknya alat tambahan pada hifa.

(7)

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1: Isolat fungi asal belalang, A Tampak atas, B Tampak bawah Tabel 1: Karakteristik makroskopis fungi asal belalang

KARAKTER MAKROSKOPIS KOLONI FUNGI ASAL BELALANG (7 HARI INKUBASI) PADA MEDIA PDA

KODE ISOLAT

WARNA ATAS

WARNA

BAWAH DIAMETER ZONASI PERMUKAAN TEKSTUR KOLONI

B1 Putih Krem 80 mm - Halus Kapas

Gambar 2: Isolat fungi asal kepinding, A Tampak atas, B Tampak bawah Tabel 2: Karakteristik makroskopis fungi asal kepinding

KARAKTER MAKROSKOPIS KOLONI FUNGI ASAL KEPINDING (7 HARI INKUBASI) PADA MEDIA PDA

KODE ISOLAT

WARNA ATAS

WARNA

BAWAH DIAMETER ZONASI PERMUKAAN TEKSTUR KOLONI

K1 Putih Krem 80 mm - Halus Kapas

(8)

Berdasarkan tabel dan gambar 1 isolat asal belalang memiliki warna atas putih, warna bawah krem, diameter 80 mm, permukaan halus, dan tekstur koloni seperti kapas. Sedangkan isolat asal kepinding yang ditunjukkan pada gambar dan tabel 1 menunjukkan bahwa isolat tersebut memiliki warna atas putih, warna bawah krem, diameter 80 mm, permukaan halus, dan tekstur koloni seperti kapas. Perbedaan morfologi koloni tersebut disebabkan karena asal substrat yang berbeda (Amrullah et al., 2014). Perbedaan substrat memberikan perbedaan nutrisi yang tersedia, sehingga hanya fungi dengan spesies tertentu yang mampu tumbuh pada suatu substrat (Azizah et al., 2023). Perbedaan morfologi koloni tersebut mengindikasikan perbedaan spesies fungi tersebut. Sehingga perbedaan morfologi bisa dijaidikan salah satu dasar klasifikasi fungi (Novaldi et al., 2018).

Serangga menyediakan kandungan nutrisi seperti protein, nitrogen, lemak, dan lain lain bagi fungi. Namun, nutrisi tersebut berada dibawah lapisan endo dan eksoskeleton serangga yang tersusun atas kitin (Gillott, 2005). Agar fungi bisa menembus skeleton serangga, maka diperlukan adanya aktivitas kitinase pada fungi (Elawati et al., 2018). Sehingga, tidak semua jenis fungi mampu mendegradasi kitin pada serangga.

Kedua isolat pada praktikum ini diisolasi dari serangga. Sehingga, dapat diketahui bahwa fungi yang tumbuh dan berhasil diisolasi memiliki aktivitas kitinase (Mora et al., 2018). Namun, diperlukan pengujian pada media diperkaya kitin untuk membuktikan dan mengukur aktivitas kitinase pada fungi. Penelitian juga telah mebuktikan bahwa fungi yang berasal dari kepinding (Helopeltis antonii) memiliki aktivitas kitinase (Elawati et al., 2018).

Gambar 3: Rhizoid pada Rhizopus sp.

(9)

Gambar 4: Karateristik mikroskopis fungi 40X10, A) asal belalang, B) asal kepinding.

Keterangan : S) sporangium, Sf) sporangiofor, K) konidio, Sh) sekat hifa

Tabel 3: Karakteristik mikroskopis fungi asal belalang dan kepinding

KARAKTER M1KROSKOPIS KOLONI FUNGI (7 HARI INKUBASI) PADA MEDIA PDA

NO KARAKTERISTIK ASAL FUNGI

BELALANG KEPINDING

1 Sekat Hifa Tidak bersekat Bersekat

2 Bentuk Spora/Konidia Spora bulat Konidia bulan sabit 3 Bentuk Sporangium/Konidiofor Sporangium bulat Konidiofor bulat

4 Bentuk Percabangan Hifa Dikotomus Dikotomus

5 Alat Tambahan Hifa Rhizoid -

Secara mikroskopis, fungi yang diisolasi kepinding dan belalang memiliki beberapa perbedaan. Serangga asal kepinding memiliki hifa bersekat, memiliki konidiospor berbentuk bulan sabit, memiliki konidiofor bulat, dan memiliki tipe percabangan hifa dikotomus. Sedangkan, pada belalang, memiliki hifa tidak bersekat, spora berbentuk bulat, sporangaium bulat, dan memiliki tipe percabangan hifa dikotomus.

Isolat asal belalang dapat dikelompokkan kedalam filum zygomycota. Meurut Muszewska et al., (2014) zygomycota memiliki hifa tak bersekat, hifa bercabang, mamiliki spora, dan memiliki sporangia berbentuk bulat. Filum ini adalah fungi air borne yang mampu hidup pada sisa makanan, roti, organisme mati, dan organisme hidup. Zygomycota dilaporkan merupakan fungi yang mampu hidup pada nyamuk Aedes aegypti (Mar’atiningsih et al., 2015).

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi makroskopis dan mikroskopis, fungi pada isolat belalang termasuk kedalam genus Rhizophus (spesies : Rhizopus sp.).

(10)

Rizhophus memiliki ciri ciri isolat berwarna putih hingga abu abu, memiliki hifa tak bersekat, memiliki hifa bercabang, memiliki rhizoid, memiliki stolon, dan memiliki sporangium bulat (Jagat et al., 2021). Ciri ciri yang disebutkan memiliki kesamaan pada isolat fungi asal belalang yang berhasil terisolasi. Genus ini telah dikonfirmasi termasuk kedalam fungi entomopatogen. Fungi ini ditemukan pada serangga ngengat Galleria mellonella (Kaerger et al., 2015), kumbang Tribolium castaneum (Yun et al., 2018), dan lalat Musca domestica (Fadhila et al., 2022).

Isolat kepinding dapat digolongkan kedalam filum ascomycota. Filum ascomycota memiliki ciri ciri hifa bersekat, memiliki konidiofor, dan memiliki askoskarp (Firyal et al., 2022). Filum ini mampu tumbuh pada lingkungan terestrial dan akuatik, termasuk pada serangga (Mora et al., 2018).

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi mikroskopis dan makroskopis, isolat fungi asal kepinding dapat dikelompokkan kedalam genus Fusarium (spesies : Fusarium sp.). Genus fusarium memiki ciri ciri spora berbentuk seperti bulan sabit, mampu membentuk konidiofor, memiliki miselium bersekat dan bercabang, serta memiliki koloni putih dan bertekstur seperti kapas (Summerell, 2019). Genus ini memang banyak ditemukan sebagai fungi entomopatogen seperti pada hama larva ngengat Spodoptera frugiperda (Hernandez-Trejo et al., 2019), hama Conopomorpha cramerella (Tambingsila & Tinggogoy, 2016), dan ulat grayak Spodoptera litura (Akhsan et al., 2022).

Genus fusarium memiliki senyawa aktif asam fusarat dan naphtarizin yang memiliki aktivitas insektisida. Senyawa tersebut mampu mendenaturasi enzim yang ada pada serangga. Diketahui, bahwa genus Fusarium yang sering menyerang serangga adalah Fusarium lateritium (Akhsan et al., 2022).

Fungi adalah mikroorganisme yang juga merupakan materi penyusun Primary Biological Aerosol Particles (PBAPs). Mikroorganisme ini dapat terbawa oleh udara, sehingga memengaruhi ekosistem secara keseluruhan (Bhat et al., 2022). Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan jamur meliputi kandungan substrat, tingkat kelembaban, suhu, pH, kondisi lingkungan, dan paparan bahan kimia. Selain itu, keberadaan oksigen dan air juga turut berperan dalam mendukung pertumbuhan jamur (Lestiani et al., 2018).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2018) ditemukan bahwa Aspergillus sp., Penicillium sp., Fusarium sp., dan beberapa jenis lainnya merupakan fungi yang tergolong sebagai fungi air borne. Genus Fusarium sebagian besar terdiri

(11)

dari spesies jamur patogen yang sering ditemukan di lingkungan. Fusarium sp. juga memeankan peranan penting dalam dekomposisi kitin melalui karena Fusarium sp.

mampu menghasilkan enzim kitinase (Abu-Tahon & Isaac, 2020).

Yulia et al. (2019) juga melaporkan bahwa Rhizopus sp. (37,78%), Aspergillus niger (20%), Trichosporon sp. (17,78%), Penicillium sp. (13,33%), dan Aspergillus flavus (11,11%) merupakan fungi yang tergolong sebagai air borne fungi melalui spora yang dilepaska ke udara. Fungi tersebut tergolong dalam kelompok Ascomyccota dan Basidiomycota, dengan kemampuan memproduksi dan menyebarkan spora melalui udara (Yulia et al., 2019).

Kedua fungi tersebut mampu menginfeksi serangga dan mampu memanfaatkan nutrisi yang tersedia pada serangga. Kedua fungi tersebut mrrupakan fungi air borne.

Fungi dekomposer serangga menyerang serangga melalui perantara tanah, air, angin, dan makanan yang dikonsumsi (Mora et al., 2018). Mora et al., (2018) juga menyatakan bahwa mekanisme dekomposisi fungi pada serangga terdiri dari beberapa tahap.

Pertama, spora fungi akan menempel pada kulit serangga yang tersusun atas kitin, spora fungi akan menmpel dan memanipulasi reseptor yang berupa glokoprotein pada skeleton serangga. Kedua, spora mengalam germinasi, spora yang telah tumbuh segera akan membentuk apresorium untuk menembus skeleton. Pada tahap ini spora akan menggunakan enzim kitinase, lipase, dan proteinase untuk mendegradasi kitin sembari memanfaatkan kitin tersebut sebagai sumber karbon sementara. Ketiga, fungi mengalami pertumbuhan, penetrasi akan berlanjut hingga ke saluran hemolimfa yang kaya akan nutrisi. Fungi akan menggunakan enzim proteinase dan lipase untuk menyerap nutrisi pada saluran hemolimfa serangga. Empat, fungi yang berhasil memanfaatkan cairan hemolimfa akan mengalami perubahan bentuk menjadi yeast (entomophtorales) guna menghindari dan mengelabuhi sistem imun pada serangga.

Kelima, fungi yeast yang telah survive dari sistem imun serangga akan kembali menjadi bentuk miselium dan mulai menginvasi seluruh bagian tubuh serangga. Kelima, serangga akan mengalami kematian.

Sebagai dekomposer serangga, fungi air borne memiliki kemampuan penting terutama dalam mendegradasi kitin. Kitin dapat didegradasi melalui kemampuan fungi dalam memproduksi kitinase (Abu-Tahon & Isaac, 2020). Kitinase akan mengubah memecah komponen kitin menjadi lebih sederhana. Kitinase akan memecah ikatan β- 1,4-glycosidic bonds dan mengubah kitin menjadi lebih larut dalam air. Setelah lebih

(12)

larut air kitin akan terdegradasi oleh berbagai macam fungi dan mikroba (Wieczorek et al., 2019).

Degradasi serangga oleh fungi memerankan peranna penting dalam memutar daur carbon dan nitrogen. Fungi akan memasukkan kitin menuju siklus karbon dan siklus nitrogen (Wieczorek et al., 2019). Karbon akan dirilis ke alam dalam bentuk karbonat (larut air) maupun karbon dioksida dan beberapa berupa karbon monoksida.

Karbon kemudian akan diterima oleh tumbuhan sebagai bahan fotosintesis. Tumbuhan akan memberikan energi kepada seluruh makhluk hidup melalui fotosintesis (Smith &

Smith, 2015). Melalui fungi dan bantuan bakteri Metanobacteriaceae kitin juga akan dirilis ke alam dalam bentuk CH4 (Wieczorek et al., 2019). Kitin kemudian memsuki daur nitrogen. Nitrogen bebas berupa NO3- dan N2 akan dirilis ke alam dan akan digunakan oleh makhluk autrotof sebagai sumber sintesis protein (Barselia & Prasetyo, 2016).

E. KESIMPULAN

Isolat fungi air borne asal kepinding memiliki koloni berwarna putih, bertekstur seperti kapas, memiliki warna atas putih, dan, memiliki warna bawah krem. Sedangkan isolat belalang memiliki koloni berwarna putih, memiliki tekstur koloni seperti beludru, memiliki warna atas putih, dan memiliki warna bawah krem. Isolat kepinding memiliki hifa bersekat, memiliki konidia seperti bulan sabit, memiliki konidiofor bulat, dan memiliki bentuk percabangan hifa dikotomus. Pada isolat asal belalang memiliki hifa yang tidak bersekat, memiliki spora berbentuk bulat, memiliki sporangium berbentuk bulat, memiliki percabangan dikotomus, dan memiliki alat tambahan hifa berupa rizoid.

Isolat fungi air borne asal kepinding berasal dari filum ascomycota dan diduga berasal dari genus Fusarium (spesies : Fusarium sp.). Isolat asal belalang berasal dari filum zygomycota. Isolat asal belalang ini diduga berasal dari genus Rhizopus (spesies : Rhizopus sp.)

(13)

F. DAFTAR PUSTAKA

Abu-Tahon, M. A., & Isaac, G. S. (2020). Anticancer and antifungal efficiencies of purified chitinase produced from Trichoderma viride under submerged fermentation. The Journal of General and Applied Microbiology, 66(1), 32–40.

https://doi.org/10.2323/jgam.2019.04.006

Akhsan, N., Sila, S., & Noviana, T. E. (2022). ISOLASI JAMUR ENTOMOPATOGEN PADA LAHAN TANAMAN PANGAN, HORTIKULTURA, DAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DAN UJI PATOGENISITAS PADA Spodoptera litura. Agrifor, 21(2), 265. https://doi.org/10.31293/agrifor.v21i2.6038 Amrullah, M., Nawir, H. N., Abdullah, A., & Elis, T. (2014). ISOLASI JAMUR

MIKROSKOPIK PENDEGRADASI LIGNIN DARI BEBERAPA SUBSTRAT ALAMI.

Jurnal Alam Dan Lingkungan, 4(7).

Anggi Lika Novaldi, Deby K Dewi, Lusi N Ulpa, Sarfika Apriyani, Yustina Hapida, Yuniar, Ummi Hiras Habisukan, Amin Nurokhman, & Delima Engga Maretha. (2018). Review:

Isolasi, Identifikasi Molekuler Fungi Endofit serta Potensi Sebagai Sumber Bahan Baku.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi, 1(1), 6–15.

Azizah, M., Idwan Sudirman, L., Zaenal Arifin, S., Setianingsih, I., Larasati, A., & Muhammad Zulfiqri, A. (2023). Kandungan Gizi Jamur Tiram pada Substrat Kayu Sengon dan Klaras Pisang Nutrition Contents of Oyster Mushroom on Sengon Wood and Banana Leaves

Substrates. Jurnal Sumberdaya HAYATI, 8(2), 57–64.

https://journal.ipb.ac.id/index.php/sumberdayahayati

Barselia, A. W., & Prasetyo, E. N. (2016). Peningkatan Masa Simpan Aktivator Kompos melalui Variasi Sumber Nitrogen. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 5(1), 1–5.

Corneliyawati, E., Massora, M., Khikmah, K., & Arifin, A. S. (2018). Optimalisasi Produksi Enzim Kitinase Pada Isolat Jamur Kitinolitik Dari Sampel Tanah Rizosfer. Edubiotik : Jurnal Pendidikan, Biologi Dan Terapan, 3(01), 62–69.

https://doi.org/10.33503/ebio.v3i01.80

Elawati, N. E., Pujiyanto, S., & Kusdiyantini, E. (2018). KARAKTERISTIK DAN SIFAT KINETIKA ENZIM KITINASE ASAL JAMUR ENTOMOPATOGEN <i>Beauveria bassiana<i/>. Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI), 5(1), 1.

https://doi.org/10.29122/jbbi.v5i1.2587

Fadhila, A. N., Sutiningsih, D., & Martini, M. (2022). Keragaman Jenis Lalat Dan Ektoparasit (Jamur) Pada Kaki Lalat Di Pasar Peterongan Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 10(1), 1–5. https://doi.org/10.14710/jkm.v10i1.30910

Firyal, C. F., Kamal, S., & Mulyadi, M. (2022). Spesies Jamur Ascomycota Di Objek Wisata Pucok Krueng Raba Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Biotik, 9(2), 252.

https://doi.org/10.22373/pbio.v9i2.11680

Gillott, C. (2005). Entomology. Springer Netherlands.

https://books.google.co.id/books?id=latCAAAAQBAJ

Hernandez-Trejo, A., Estrada-Drouaillet, B., López-Santillán, J. A., Rios-Velasco, C., Varela- Fuentes, S. E., Rodríguez-Herrera, R., & Osorio-Hernández, E. (2019). In vitro evaluation of native entomopathogenic fungi and neem (Azadiractha indica) extracts on spodoptera frugiperda. Phyton, 88(April), 47–54. https://doi.org/10.32604/PHYTON.2019.04611

(14)

Hickman, C., Keen, susan L., Eisenhour, david j, Larson, A., & I’anson, H. (2019). ZOOLOGY EIGHTEENTH EDITION.

Jagat, L. M. S. S., Darmayasa, I. B. G., & Wijana, I. M. S. (2021). Potential Rhizopus spp. in control the growth of Aspergillus flavus FNCC6109 in broiler chicken concentrate feed.

Jurnal Biologi Udayana, 25(2), 147. https://doi.org/10.24843/jbiounud.2021.v25.i02.p06 Kaerger, K., Schwartze, V. U., Dolatabadi, S., Nyilasi, I., Kovács, S. A., Binder, U., Papp, T., de Hoog, S., Jacobsen, I. D., & Voigt, K. (2015). Adaptation to thermotolerance in Rhizopus coincides with virulence as revealed by avian and invertebrate infection models, phylogeny, physiological and metabolic flexibility. Virulence, 6(4), 395–403.

https://doi.org/10.1080/21505594.2015.1029219

Lustenhouwer, N., Maynard, D. S., Bradford, M. A., Lindner, D. L., Oberle, B., Zanne, A. E.,

& Crowther, T. W. (2020). A trait-based understanding of wood decomposition by fungi.

Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 117(21), 11551–11558. https://doi.org/10.1073/pnas.1909166117

Mar’atiningsih, L., Mulia, Y. S., Sulaeman, & Onggowaluyo, S. J. (2015). PEMANFAATAN JAMUR ENTOMOPATOGEN DARI LARVA NYAMUK MATI SEBAGAI PENGENDALIAN HAYATI LARVA Aedes aegypti. JURNAL RISET KESEHATAN

POLTEKKES DEPKES BANDUNG, 11(2), 2–3.

https://www.cisco.com/c/ko_kr/about/press/2015/jan-apr-2015/0210.html

Martinez-Bracero, M., Markey, E., Clancy, J. H., McGillicuddy, E. J., Sewell, G., & O’connor, D. J. (2022). Airborne Fungal Spore Review, New Advances and Automatisation.

Atmosphere, 13(2), 1–26. https://doi.org/10.3390/atmos13020308

Mora, M. A. E., Castilho, A. M. C., & Fraga, M. E. (2018). Classification and infection mechanism of entomopathogenic fungi. Arquivos Do Instituto Biológico, 84(0), 1–10.

https://doi.org/10.1590/1808-1657000552015

Muszewska, A., Pawłowska, J., & Krzyściak, P. (2014). Biology, systematics, and clinical manifestations of Zygomycota infections. European Journal of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, 33(8), 1273–1287. https://doi.org/10.1007/s10096-014-2076-0 Smith, R. L., & Smith, T. M. (2015). Elements of Ecology, Global Edition. Pearson Education.

https://books.google.co.id/books?id=UOc1CgAAQBAJ

Summerell, B. A. (2019). Resolving Fusarium: Current Status of the Genus. Annual Review of Phytopathology, 57, 323–339. https://doi.org/10.1146/annurev-phyto-082718-100204 Tambingsila, M., & Tinggogoy, D. D. (2016). Efekttivitas Berbagai jenis Cendawan

Entomopatogen Potensinya Sebagai Agensia Pengendali Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerela Snellen). Jurnal AgroPet, 13(2).

Wieczorek, A. S., Schmidt, O., Chatzinotas, A., von Bergen, M., Gorissen, A., & Kolb, S.

(2019). Ecological Functions of Agricultural Soil Bacteria and Microeukaryotes in Chitin Degradation: A Case Study. Frontiers in Microbiology, 10.

https://doi.org/10.3389/fmicb.2019.01293

Yun, T.-S., Park, S.-Y., Yu, J., Hwang, Y., & Hong, K.-J. (2018). Isolation and Identification of Fungal Species from the Insect Pest Tribolium castaneum in Rice Processing Complexes in Korea. The Plant Pathology Journal, 34(5), 356–366.

https://doi.org/10.5423/PPJ.OA.02.2018.0027

(15)

Bhat, M. A., Eraslan, F. N., Awad, A., Malkoç, S., Ozden, ¨Ozlem, Üzmez, Dogeroglu, T., &

Gaga, E. O. (2022). Investigation of indoor and outdoor air quality in a university campus during COVID-19 lock down period. Building and Environment, 219 (April), 2–13.

Lestiani, D.P., & Pawenang, E.T. (2018). Lingkungan Fisik yang Mempengarhui Keberadaan Jamur Aspergillus sp. dalam Ruang Perpustakaan. Higeia Journal of Publich Health Research and Development. ISSN 1475-362846.

Saputra, A. A., Akbar, B. M., & Karneli, K. (2018). Gambaran jamur udara pada laboratorium analis kesehatan Politeknik Kesehatan Palembang tahun 2017. JPP (Jurnal Kesehatan Poltekkes Palembang), 12(2), 97–102.

Yulia B. L., Noormuthmainah, N., & Rahmiati, R. (2019). Jenis bakteri dan jamur kontaminan udara di ruang perawatan sub Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Banjarbaru. Jurnal Kedokteran YARSI, 15(1).

Dompeipen, E. J., Kaimudin, M., & Dewa, R. P. (2016). Isolasi Kitin Dan Kitosan Dari Limbah Kulit Udang. Indonesian Journal Of Industrial Research, 12(1), 32-39.

Fashola, M. O., Ajilogba, C. F., Aremu, B. R., & Babalola, O. O. (2023). Airborne Fungi And Mycotoxins. In Aeromicrobiology (Pp. 147-175). Academic Press.

Gosselin, M. I., Rathnayake, C. M., Crawford, I., Pöhlker, C., Fröhlich-Nowoisky, J., Schmer, B., ... & Huffman, J. A. (2016). Fluorescent Bioaerosol Particle, Molecular Tracer, And Fungal Spore Concentrations During Dry And Rainy Periods In A Semi-Arid Forest. Atmospheric Chemistry And Physics, 16(23), 15165-15184.

Herdyastuti, N., Raharjo, T. J., Mudasir, M., & Matsjeh, S. (2009). Chitinase And Chitinolytic Microorganism: Isolation, Characterization And Potential. Indonesian Journal Of Chemistry, 9(1), 37-47.

Nageen, Y., Wang, X., & Pecoraro, L. (2023). Seasonal Variation Of Airborne Fungal Diversity And Community Structure In Urban Outdoor Environments In Tianjin, China. Frontiers In Microbiology, 13, 1043224.

Safitri, D., & Yaherwandi, Y. (2020). Keanekaragaman Serangga Herbivora Pada Ekosistem Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Kecamatan Sitiung Kabupaten Dharmasraya.

Menara Ilmu: Jurnal Penelitian Dan Kajian Ilmiah, 14(1).

Samingan, S. (2015). Kemampuan Ganoderma Dan Trichoderma Mendekomposisi Serasah Acacia Mangium (The Ability Of Ganoderma And Trichoderma To Decompose Acacia Mangium Litter). Biospecies, 8(1).

Setiawan, A., Widiana, D. R., & Nugroho, P. N. (2015). Sintesis Dan Karakterisasi Kitosan Mikropartikel Dengan Modifikasi Gelasi Ionik. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada, 17(2), 90-95.

Susanti, P. D., & Halwany, W. (2017). Dekomposisi Serasah Dan Keanekaragaman Makrofauna Tanah Pada Hutan Tanaman Industri Nyawai (Ficus Variegate.

Blume). Jurnal Ilmu Kehutanan, 11(2), 212-223.

(16)

Referensi

Dokumen terkait