BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara yang meletakkan hokum sebagai kekuatan tertinggi berlandaskan pancasila dan undang-undang dasar 1945 telah memberikan jaminan bagi seluruh warga negaranya untuk mendapatkan kepastian, ketertiban dan perlindungan hokum yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Jaminan kepastian, ketertiban dan perlindungan hokum tersebut tentunya membutuhkan upaya konkrit agar terselenggarakan dengan seksama sebagai bentuk pertanggung jawaban Negara bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia
Dalam rangka penegakan supermasi hukum di Indonesia perlu suatu badan atau perangkat yang bertindak menyidik dan penyelidikan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh orang, atau lebih dan badan hukum, maka dalam hal ini Polisi, Jaksa, atau pejabat yang berwenang. Badan – badan tersebut saling berkaitan dan bekerjasama. Dan lebih khususnya yang dibahas dalam makalah ini adalah Tugas dan Wewenang Jaksa.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai kebebasan untuk berucap, bertindak, berperilaku atau untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi kesenangan sesuai dengan keahliaanya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya. Namun setiap orang untuk mencapai tujuan hidupnya itu, agar dia bias hidup tentram, tertib, teratur dan aman dan damai serta tidak diganggun orang lain, ia dituntut mentaati batasan-batasan atau etika dalam pergaulan hidupnya dengan orang lain yang ada disekitarnya. Setiap orang dituntut untuk tidak merugikan orang lain dan harus mempertanggung jawabkan terhadap apa yang ia lakukan.
Jaksa berdasarkan undang undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republic Indonesia yang dimaksud jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang- undang.
Lembaga Kejaksaan adalah lembaga negara yang bertugas untuk mewakili negara dalam menegakkan hukum khususnya dalam bidang peradilan. Lembaga Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mewujudkan norma- norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Menghindari istilah “Mafia Peradilan”, cukup sulit dilakukan. Karena, istilah tersebut sudah populer di kalangan masyarakat. Bagaimana tidak, Lembaga Kejaksaan yang harusnya menegakkan hukum justru menggunakan hukum sebagai ladang keuntungan secara pribadi dengan melelang keadilan dan hukum semurah-murahnya di pasar bebas. Dampaknya, nilai- nilai keluhuran hukum tidak lagi dijunjung tinggi. Ironisnya, sistem peradilan menjadi jauh dari asas-asas peradilan. Biaya menjadi membengkak, waktu lama, dan bertele-tele. Jika, uang yang dikeluarkan sedikit (kurang) maka hukuman yang didapatkan menjadi berat dan masa kurungan penjara menjadi lama. Ini semua, menggambarkan betap hukum itu dijadikan komoditas lahan usaha untuk aparat penegak hukum.
Secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan sedikit tentang hal-hal yang berhubungan dengan kejaksaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelangaran etika dan profesi MK terhadap putusan 40 tahun kepala dearah?
2. Bagaimana bentuk tugas dan wewenang kejaksaan dalam menyelesaikan suatu perkara?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian etika dan profesi
2. Mengetahui bentuk tugas dan wewenang kejaksaan dalam menyelesaikan suatu perkara?
3. Mengetahui bentuk kode etik, sumpah, serta sanksi dan semua hal yang mencakup kineja profesi kejaksaan?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pelangaran etika dan profesi MK terhadap putusan 40 tahun kepala dearah
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan bahwa seluruh hakim konstitusi terbukti melanggar kode etik terkait dengan perkara Nomor 90/2023. Seluruh hakim konstitusi dinyatakan melanggar kode etik karena membiarkan kebocoran informasi mengenai rapat permusyawaratan hakim (RPH). Kesembilan hakim konstitusi dijatuhi sanksi teguran lisan secara kolektif. Hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat dinyatakan tidak melanggar kode etik terkait dissenting opinion mereka pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023.
Namun, hakim konstitusi Arief Hidayat menerima sanksi tambahan berupa teguran tertulis akibat pendapatnya di ruang publik.
dalam sidang pengucapan putusan etik hakim konstitusi. Ia didampingi Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih, yang merupakan anggota MKMK. Sidang pengucapan putusan etik ini sekaligus menjawab 21 laporan yang ditangani MKMK terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dalam penanganan perkara No 90/2023. Di sisi lain, MKMK menyatakan bahwa Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Ada 17 laporan dugaan pelanggaran etik menyasar Anwar Usman, yang dituding mayoritas pelapor telah melakukan konflik kepentingan dalam putusan MK No 90/2023.
MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Anwar juga dilarang untuk mengadili sejumlah perkara persidangan. MKMK melarang Anwar terlibat atau melibatkan diri dari pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Sebagai tindak lanjut diberhentikannya Anwar Usman sebagai Ketua MK, Wakil Ketua MK diperintahkan agar segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan baru dalam waktu 2 x 24 jam sejak putusan etik dibacakan. Sementara itu, Anwar Usman sebagai Ketua MK juga terbukti membuka ruang intervensi dalam penanganan perkara soal batas usia capres-cawapres. MKMK menilai bahwa Anwar terlihat begitu menaruh
perhatian besar pada perkara Nomor 90/2023.
Seperti diberitakan sebelumnya, putusan MK No 90/2023 memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Putusan MK dinilai telah memberikan karpet merah bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024.
B Bentuk kode etik, sumpah, serta sanksi dan semua hal yang mencakup kineja profesi kejaksaan
ETIKA PROFESI JAKSA
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini . Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.
Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional. Hal yang kerap
memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.
Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas. Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.
Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan- pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
a. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
b. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
c. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
d. Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk dimengerti. Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan. Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.
Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
Profesi jaksa adalah profesi yang sangat mulia, mewakili negara dalam penegakan hukum dalam peradilan. Posisi ini sangat penting sekaligus rawan berbagai penyimpangan.
Profesi Jaksa adalah profesi yang luhur, sehingga untuk dapat mengemban tugasnya dengan baik harus ada ketentuan yang mengaturnya yaitu berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Tentang Penyempurnaan Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa, Nomor : Kep- 030/J.A./3/1988. Tugas dan wewenang kejaksaan di atur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu : Di bidang pidana, Di bidang perdata dan tata usaha Negara, dan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum.
Sebagai kelengkapan dari pembinaan dan etika profesi sebagai jaksa, berdasarkan keputusan jaksa agung nomor Kep-074/J.A./7/1978 tanggal 17 Juli 1978, disahkan Panji Adhyaksa. Panji ini merupakan perangkat kejaksaan, lambang kebanggaan korps, lambing cita-cita kejaksaan dan mengikat jiwa korps kejaksaan.
Pada panji tersebuit terdapat lambing korps kejaksaan, berbentuk lukisan yang terdiri dari tiga buah bintang bersudut tiga, Pedang, timbangan, setangkai padi dengan jumlah 17 butir dan kelopak bungan kapas sejumlah 8 buah melingkari pedang dan timbangan ditengahnya. Dibawahnya terdapat seloka berbunyi Satya Adhi Wicaksana.
Selanjutnya berdasarkan keputusan jaksa agung no. kep-052/J.A./8/1979 yang disempurnakan oleh keputusan Jaksa Agung No. kep-030/J.A./1988 ditetapkan doktrin kejaksaan tri karma adhyaksa, sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan.
Doktrin tersebut kemudian dijabarkan dalam kode etik jaksa yang diterbitkan oleh pengurus pusat persatuan jaksa pada tanggal 15 Juni 1993 yang disebut tata karma adhyaksa, terdiri atas pembukaan dan 17 pasal.
Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tuigas penegakan hokum dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam peraturan jaksa agung RI (PERJA) No. : Per-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.
Bahwa nama Jaksa atau Yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa melakukan pekerjaan yang sama. Sedangkan menurut DR.Saherodji kata Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Pengawas (Super-itedant) atau pengontrol yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa jika ditinjau dari sudut etimologi bahasa atau asal usul perkataan Jaksa, nampaknya memang sangat luas pengertiannya.
Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya melayani publik dengan mengutamakan kepentingan umum, mentaati sumpah jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat publik lainnya.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa adalah pejabat fungsional dari lembaga pemerintahan, dimana pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala negara, tetapi oleh Jaksa Agung sebagai atasannya.
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Jabatan fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksaan tugas kejaksaan.
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan Negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan. Kejaksaan adalah lembaga yang di pimpin oleh Jaksa Agung yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dan di bantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung.
Kejaksaan adalah alat Negara yang digunakan sebagai penegak hukum. Tugas utamanya adalah sebagai penuntut umum. Menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan kejaksaan merupakan lembaga yang satu dan tidak dapat di pisah-pisahkan.
Seorang jaksa sebelum memangku jabatannya, harus mengikrarkan dirinya bersumpah/berjanji sebagai pertanggungjawabab dirinya kepada negara, bangsa dan lembaganya. Dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 dinyatakan bahwa :
“saya bersumpah/berjanji :
Bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan NKRI, serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan per Undang-Undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh, saksama, objektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda- bedakan, agama, ras, gender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.
Bahwa saya akan senantiasa menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguhmelaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya.
Bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apa pun kepada siapa pun juga. Bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian.”
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Sudah jelas bahwajaksa mempunyai wewenang untuk menyelesaikan suatu perkara baik pidana maupun perdata.
Pemerintah memberikan wewenang kepada kejaksaan bukan semerta-merta. tetapi banyak hal yang mengikat kinerja profesi hukum kejaksaan seperti menaati kode etik serta berani untuk mengucapkan sumpah dan siap menerima konsekwensi jika perbuatan mereka keluar/melenceng dari prosedur kinerja tugas profesinya. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya.
B. SARAN
Demikianlah makalah singkat ini, penulis berharap agar semua pelaku profesi hukum baik kejaksaan, kepolisian, dll, agar kiranya dapat menaati kode etik, sumpah, dsb. Agar
kinerja profesi hukum terutama kejaksaan bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, sebab kejaksaan mempunyai perang penting dalam menyelesaikan suatu perkara.
Untuk menghindari suap, korupsi, dll harapnya jaksa mampu bersifat tegas dan mementingkan kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Thalib, Teori & Filsafat Hukum Modrn Dalam Prspektiftp, tth.
Abu Thalib, Teori & Filsafat Hukum Modrn Dalam Prspektiftp, tth.hlm. 120 Abu Thalib, Lop. Cit, hal. 339-441
Harplileny Soebiantoro, Hj. S.H. CN. MH, article : “Tanggung Jawab Profesi http://blogspot.com/kode-etik-jaksa_files/comment-iframe.html.
http://blogspot.com/kode-etik-jaksa_files/comment-iframe.html.
http://wordpress.com/doktrin+kejaksaan.html
http://www.kejaksaanRI.com/lambang+kejaksaan.html
Harplileny Soebiantoro, Hj. S.H. CN. MH,article : “Tanggung Jawab Profesi Jaksa” hal. 19- 20. diambil dari http://myblogspot.com/Tanggung Jawab Profesi Jaksa.html
http://blogspot.com/kode-etik-jaksa_files/comment-iframe.html.
http://www.kejaksaanRI.com/lambang+kejaksaan.html
Jaksa” diambil dari http://myblogspot.com/Tanggung Jawab Profesi Jaksa.html
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa Jaksa Agung Republik Indonesia.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa Jaksa Agung Republik Indonesia.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa Jaksa Agung Republik Indonesia.SS
Republik Indonesia, Bandung : Citra Umbara, 2004.
Supriadi, S.H., Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, cet ke III, hal. 130-131.
Supriadi, S.H., Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bandung:Citra Umbara, 2004, hal.3.
P