• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH “IZIN MELANGSUNGKAN PERKAWINAN BAGI ORANG YANG BELUM BERUSIA 21 TAHUN”

N/A
N/A
Ahmad Fadihillah

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH “IZIN MELANGSUNGKAN PERKAWINAN BAGI ORANG YANG BELUM BERUSIA 21 TAHUN” "

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

“IZIN MELANGSUNGKAN PERKAWINAN BAGI ORANG YANG BELUM BERUSIA 21 TAHUN”

MUH MUFLIH RAMADHAN B011201083

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

2023

(2)

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia.

Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap makhluk hidup memiliki hak asasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia.

Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian pertalian antara dua manusia (laki-laki dan perempuan) yang berisi persetujuan hubungan dengan maksud secara bersama- sama menyelenggarakan kehidupan yang lebih akrab menurut syarat-syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan Pencipta Alam. Di mata orang yang memeluk agama, titik berat pengesahan hubungan itu diukur dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan sebagai syarat mutlak1.

Tujuan mendirikan rumah tangga yang kekal dan harmonis yang diikat oleh tali pernikahan merupakan hal yang suci. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa tujuan yang mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini bisa terjadi apabila suami isteri atau salah seorang dari mereka belum memiliki kedewasaan baik secara fisik maupun mental, sehingga menyebabkan pembinaan rumah tangga tidak berjalan optimal 2.

Dalam UU No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orangtua, sesuai dengan kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan Pertama diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun3

Meskipun sudah diatur oleh negara mengenai usia dalam pernikahan, dalam pelaksanaanya dimasyarakat banyak terjadi pernikahan di bawah umur. Pernikahan di bawah umur, dibagi menjadi dua yaitu: (a) Pernikahan dibawah umur asli yaitu pernikahan yang dilakukan oleh remaja yang masih virgin, masih bisa menjaga kehormatan dan kesuciannya.

(b) Pernikahan di bawah umur palsu yaitu pernikahan yang dilakukan untuk menutupi kebobrokan moral dan akhlak.

Perkawinan dibawah umur (perkawinan usia dini) adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang sebelum usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita. Perkawinan tersebut telah melanggar ketentuan Undangundang dan perkawinan tersebut dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat

1Latif, 2001:13

2 Hasibuan, 2009: 2

3 UU No. 1 tahun 1974

(3)

saja, perkawinan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Muslim.

Perkawinan pada di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktik ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak hanya dikota besar tetapi dipedalaman juga banyak terjadi. Penyebabnya bervariasi dari karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu dan masalah yang paling sering terjadi adalah hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau popular dengan istilah married by accident) dan alasan lainnya. Secara nasional pernikahan dini dengan usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%. Bahkan berdasarkan temuan Bappenas tahun 2008 menyatakan bahwa 34,5% dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah pernikahan anak di bawah umur4.

Biasanya perkawinan yang dilakukan dibawah umur bukan melahirkan kebahagiaan keluarga dan rumah tangga, perkawinan dibawah umur justru banyak berujung pada perceraian dan dampak lainya. Disamping itu ada dampak lain yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kematian ibu saat hamil atau melahirkan lantaran masih berusia belia. Pada dasarnya anak secara biologis memiliki alat-alat reproduksi masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai terjadi kehamilan dan kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas pada bagian intim wanita dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana Usia perkawinan dalam pandangan hukum Indonsia dan hukum Islam.?

b. Bagaimana melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun,dalam hal ini ada perbedaan pendapat orang tua.?

c. Bagaimana dampak perkawinan dibawah umur.?

4 Rifiani, 2011:126

(4)

PEMBAHASAN

A. Usia perkawinan dalam pandangan hukum Indonsia dan hukum Islam

Perkawinan adalah akad yang memberikan faedah kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batasan hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing5. Definisi ini mengisyaratkan adanya hak dan kewajiban yang harus diemban dalam kehidupan rumah tangga. Perkawinan tidak hanya sebatas melakukan hubungan suami-isteri (bersetubuh), melainkan setelah terjadinya akad masih ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Berkaitan dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, maka menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskannya bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mīṫ āqan galīḍan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Beberapa definisi perkawinan di atas berbeda-beda dalam merumuskan arti perkawinan namun pada dasarnya memiliki makna yang sama dan tidak saling berlawanan. Adapun dasar hukum perkawinan dapat dijumpai dalam al-Qur‟an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam al-Qur‟an, di antara ayat yang membicarakan tentang perkawinan adalah QS. An Nuur ayat 32 sebagai berikut :

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang pria dan hamba-hamba sahayamu yang wanita. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan

Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Ayat di atas, Allah SWT menyeru kepada wali agar mengawinkan orang-orang yang masih sendirian (pria yang belum beristeri dan wanita yang belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Begitu juga terhadap hamba sahaya. Anjuran di sini tidak terbatas pada suatu kondisi tertentu tetapi dalam segala kondisi bahkan orang dengan kondisi ekonomi lemah, karena Allah SWT yang akan memampukan mereka (untuk kawin) dengan karunia-Nya.

Perkawinan dianjurkan dan diatur dalam Islam karena ia memiliki tujuan yang mulia.

Secara umum, perkawinan antara pria dan wanita dimaksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (ḥifẓ al „irḍ) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (ḥifẓ an nasl) yang sehat mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan isteri serta saling

5 Dedi Junaedi, 2003, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an Dan As Sunnah), Akademika Pressindo, Jakarta, h. 5

(5)

membantu antara keduanya untuk kemashlahatan bersama6. Menurut Imam al Ghazali, tujuan perkawinan antara lain7:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menjalankan kewajiban dan menerima hak, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang kekal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Mengenai usia perkawinan pada dasarnya Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan, diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu.

Perkawinan di bawah umur tidak lepas dari hak ijbar yaitu hak wali (ayah/kakek) mengawinkan anak perempuannya tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda.

Seorang ayah bisa mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan selama belum baligh tanpa izinnya dan tidak ada hak khiyar bagi anak perempuan itu jika dia telah baligh. Sebaliknya, ayah tidak boleh mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil8. Meskipun demikian, seorang anak perempuan tidak langsung dapat disenggamai oleh suaminya jika masih terlalu kecil sehingga dia cukup dewasa untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.

Majelis Ulama‟ Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul adā‟ dan ahliyyatul wujūb)9. Ahliyyatul Adā‟ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik perbuatan yang bersifat positif maupun negatif. Ahliyyatul Wujūb adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.

Sedangkan menurut hukum Indonesia atau positif dijelaskan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

6 Hussein Muhammad, 2007, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), LkiS, Yogyakarta, h.

101

7 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazaly, tt, Ihya‟ Ulumuddin, Dar al Fikr, Beirut, h. 27-36

8 Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddiey, 2001, HukumHukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Madzhab): Pustaka Rizki Putra, Cet. IV, Semarang, h. 232

9 Majelis Ulama Indonesia, 2009, Ijma‟ Ulama (Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III Tahun 2009), Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, h. 78

(6)

1974 tentang Perkawinan telah menggariskan batas umur perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 29 menyatakan bahwa laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak dapat mengadakan perkawinan.

Sedangan batas kedewasaan seseorang berdasarkan KUHPerdata Pasal 330 adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin. Namun, berdasarkan Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 66 bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang- Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan tidak berlaku. Salah satunya adalah tidak berlakunya ketentuan batas umur perkawinan karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang batas umur perkawinan.

Salah satu prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah prinsip kematangan calon mempelai. Kematangan calon mempelai ini diimplementasikan dengan batasan umur perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pada usia tersebut, baik pria maupun wanita diasumsikan telah mencapai usia minimal untuk melangsungkan perkawinan dengan

segala

permasalahannya.

Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga menentukan batas umur selain ketentuan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Undang-undang perkawinan pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk melangsungkan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Instruksi Mendagri Nomor 27 Tahun 1983 tentang Usia Perkawinan dalam Rangka Mendukung Program Kependudukan dan Keluarga Berencana menyebutkan bahwa perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 20 tahun bagi wanita dan di bawah 25 tahun bagi pria.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1) dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Adanya pembatasan umur perkawinan baik bagi pria maupun wanita diharapkan laju angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin.

Dengan demikian, program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring dan sejalan dengan Undang-undang ini.

Pada dasarnya penetapan batas usia perkawinan memang bertujuan demi kemaslahatan dan kebaikan terutama bagi calon mempelai. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor 4 huruf (d) dijelaskan bahwa prinsip calon mempelai harus masak jiwa raganya dimaksudkan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, perkawinan di bawah umur harus dicegah.

(7)

Ketentuan di atas tentang penetapan batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan bersifat kaku. Artinya, tidak memberikan peluang bagi siapapun untuk melakukannya. Meskipun telah ditetapkan batasan umur namun masih terdapat penyimpangan dengan melakukan perkawinan di bawah umur. Terhadap penyimpangan ini, Undang-Undang Perkawinan memberikan jalan keluar berupa dispensasi kawin kepada pengadilan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 bahwa Dispensasi Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau calon istri yang belum berumur 16 tahun yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta memutuskan/menetapkan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Adapun perangkat Pengadilan Agama yang berwenang menetapkan dispensasi kawin adalah hakim. Permohonan dispensasi kawin ditujukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman pemohon. Dan dalam surat permohonan itu harus dijelaskan alasan-alasan serta keperluan/maksud permohonan itu serta dengan siapa rencana perkawinan termaksud. Untuk mengetahui kelayakan calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan di bawah umur, maka dilakukanlah persidangan dengan acara singkat. Dalam penetapan dispensasi kawin, hakim mempertimbangkan antara lain kemampuan, kesiapan, kematangan pihak-pihak calon mempelai sudah cukup baik mental dan fisik. Hakim menetapkan dispensasi kawin harus didasarkan atas pertimbangan yang rasional dan memungkinkan untuk memberikan dispensasi kawin kepada calon mempelai. Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi kawin dengan suatu penetapan.

Perkawinan di bawah umur melalui penetapan dispensasi kawin baru diperbolehkan jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode sadd alzari‟ah untuk menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar10.

10 Ahmad Rofiq, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, h. 111

(8)

B. Perkawinan Bagi Orang Yang Belum Berusia 21 Tahun,Dalam Hal Ini Ada Perbedaan Pendapat Orang Tua.

Perkawinan sah apabila dilakukan sesusai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Hukum menikah tanpa restu orang tua berhubungan dengan adanya wali nikah atau tidak. Dalam proses sakral ini ada baiknya melibatkan pihak yang dihormati, khususnya orang tua sehingga restu orang tua merupakan hal yang perlu diutamakan.

Perkawinan tanpa restu orang tua memang tidak termasuk ke dalam rukun nikah dalam syarat sah pernikahan. Syarat sah pernikahan adalah adanya ijab kabul, adanya mempelai wanita dan mempelai pria serta dua saksi dan wali.

Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengenai sah atau tidaknya sebuah perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya.

Adapun syarat sah perkawinan dapat kita temui pengaturannya dalam Pasal 6 UU Perkawinan yang berbunyi:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Dari bunyi pasal di atas khususnya Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan, jelas kita ketahui bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Hal ini berarti, calon istri Anda yang belum berumur 21

(9)

tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. Namun, UU ini tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana bentuk izin yang dimaksud, apakah izin secara lisan atau secara tulisan dalam bentuk surat yang Anda maksud.

Akan tetapi, kita bisa lihat bagaimana bentuk izin yang dimaksud dengan mengacu pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”). Pasal 6 ayat (1) dan (2) huruf c PP 9/1975 antara lain mengatakan bahwa pegawai pencatat perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU Perkawinan. Selain itu, pegawai pencatat perkawinan meneliti pula beberapa hal lainnya, yang salah satunya adalah izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU Perkawinan apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. Jadi, izin dari orang tua calon istri Anda harus berbentuk izin tertulis.

C. Faktor dan Dampak Perkawinan dibawah Umur 1. Faktor

Seiring dengan perkembangan zaman perkawinan di bawah umur semakin marak terjadi dan kejadian tersebut di sebabkan berbagai macam faktor bermuculan dalam masyarakat baik dalam masyarakat desa maupun masyarakat kota, walaupun undangundang telah melarang melaksanakan perkawinan di bawah umur namun dispensasi terhadap perkawinan tersebut masih di berikan terhadap anak oleh lembaga pengadilan yang diajukan oleh orang tua anak.

Faktor terjadinya perkawinan dibawah umur di sebabkan oleh dua faktor yaitu:

1. Faktor internal (Keinginan dari diri sendiri)

Faktor yang mempengaruhi perkawinan usia muda dapat berasal dari internal yakni faktor yang berasal dari dalam individu. Keinginan dari anak yang memilih menikah atas keinginan sendiri karena telah siap mental dalam menghadapi kehidupan berumah tangga. Pasangan ini menikah dikarenakan adanya perasaan saling cinta dan sudah merasa cocok. Kondisi ini yang akhirnya membuat keputusan untuk melangsungkan perkawinan di usia muda tanpa memikirkan masalah apa yang akan dihadapi kedepannya.

Selain, anak melakukan perkawinan di usia muda dikarenakan konsep diri anak tersebut. Mereka menganggap bahwa setelah melakukan perkawinan di usia muda sama sekali tidak membuat mereka minder atau tidak percaya diri baik di lingkungan masyarakat maupun pergaulan mereka. Hanya sedikit dari anak yang membatasi pergaulannya setelah kawin dikarena sudah memiliki tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga.

Selain keinginan dari diri sendiri, faktor lain yang mendorong anak melakukan perkawinan di usia muda berasal dari keinginan dari orang tua. Orang tua memiliki posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya harus dihormati, ditaati,

(10)

dan dipatuhi. Orang tua menginginkan anaknya untuk segera menikah karena adanya rasa takut dari dalam diri orang tua jika anaknya suatu saat melakukan perbuatan yang membuat malu nama baik orang tua. Selain itu, ada juga yang menikahkan anaknya agar dapat terbantu dalam segi pekerjaan. Dukungan dari orang tua yang mempengaruhi perkawinan usia muda dimana Orang tua merasa khawatir terkena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga mengawinkan anaknya.

2. Faktor Eksternal

Berdasarkan hasil pengamatan dalam masyarakat juga mengungkapkan faktor eksternal juga menyebabkan anak melakukan perkawinan usia muda diantaranya disebabkan oleh:

1. Faktor ekonomi, Minimnya ekonomi menyebabkan orang tua menikahkan anaknya di usia muda, daripada menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Orang tua yang memiliki anak banyak akan cenderung lebih banyak mengalami kesulitan dalam hal keuangan jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki sedikit anak.

Dan perkawinan usia muda ini sering terjadi pada masyarakat yang tinggal di desa Biasanya anak berasal dari keluarga kurang mampu. Hal ini tentu akan berdampak baik anak anak maupun orang tuanya. Si anak bisa mendapatkan kehidupan yang layak serta beban orang tuanya bisa berkurang.

2. faktor hamil diluar nikah, faktor sosial, yaitu banyak anak-anak yang hamil di luar nikah dan diakibatkan karena pergaulan budaya bebas yang mereka dapatkan melalui vitur-vitur internet sehingga membuat mereka ingin mencobanya. Pengaruh internet yang seringkali memuat situs porno atau menampilkan pornografi. Mereka hanya mengunggulkan keinginan untuk meniru apa yang dilihat tanpa melakukan penyaringan. faktor hamil diluar nikah yang biasa disebut sebagai kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak diinginkan merupakan suatu kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran dari suatu kehamilan.

Dan ini terjadi akibat pergaulan bebas yang dikenal dengan bermula dari hubungan seks pranikah atau seks bebas.

3. Faktor putus sekolah yang disebabkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.

Sebagian besar putus sekolah disebabkan karena ekonomi keluarga yang kurang baik dan juga pengaruh dari lingkungan, serta keinginan dari anak tersebut untuk tidak sekolah. Bahkan mereka mengatakan lebih baik bekerja yang dapat menghasilkan uang daripada sekolah yang belum tentu berhasil dan malah menghabiskan uang orang tua.

Faktor Biologis, Faktor biologis ini muncul salah satunya karena Faktor Media Massa dan Internet diatas, dengan mudahnya akses informasi tadi, anak-anak jadi mengetahui hal yang belum seharusnya mereka tahu di usianya. Maka, terjadilah hubungan di luar nikah yang bisa menjadi hamil di luar nikah. Maka, mau tidak mau, orang tua harus menikahkan anak gadisnya

(11)

2. Dampak

Undang-undang No.1 Tahun 1974 secara jelas diterangkan bahwa negara Indonesia mengatur tentang batas minimal usia untuk bisa melakukan perkawinan yaitu Pasal 7 Ayat 1 menjelaskan bahwa perkawinan diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Samarinda, perkawinan dibawah umur boleh dilaksanakan oleh pihak yang berwenang untuk mengesahkan perkawinan dibawah umur dengan mengunakan surat Dispensasi Kawin (DK) yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama, dengan memegang surat Dispensasi Kawin tersebut pihak KUA baru bisa melakukan pengesahan suatu perkawinan dibawah umur.

Perkembangan dunia dan masuknya budaya barat diIndonesia dan rendahnya pendidikan agama yang diajarkan oleh sebagian orang tua, sehingga banyak menimbulkan terjadinya perkawinan dibawah umur. Sehingga menimbulkan juga beberapa dampak yang terjadi sebagai akibat ketidaksiapan atau kurangnya pengetahuan tenang perkawinan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Samarinda, bahwa dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 adalah berjumlah 241 DK, tahun 2012: 73 DK, tahun 2013: 90 DK dan tahun 2014: 84 DK. Artinya bahwa perkawinan dibawah umur setiap tahunnya meningkat meskipun jumlahnya tidak signifikan. Bapak Hamdi menjelaskan alasan yang sering terjadi adalah banyak orang tua yang takut anaknya berzinah setelah memiliki teman dekat berlawanan jenis (Pacar) dan berpacaran cukup lama. Alasan paling banyak terjadi adalah dikerenakan hamil diluar pernikahan secara dini sehingga untuk menutupinya orangtua memutuskan untuk menikahkan anaknya. Mayoritas mereka adalah warga perantauan dan ada juga warga asli Samarinda. Persidangan DK sangat diperlukan bagi perkawinan dibawah umur, karena KUA tidak akan menikahkan pasangan tanpa penetapan dari Pengadilan Agama. Perkawinan dibawah umur ditinjau dari berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak, akibat dampak perkawinan diusia muda atau perkawinan dibawah umur, antara lain:

1. Dampak terhadap Hukum Adanya pelanggaran terhadap 3 Undangundang di negara kita yaitu pasal 7 ayat 1 perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 ayat 2 untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan harus mendapat izin kedua orangtua. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 26 ayat 1 orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: (1) Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. (2) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; (3) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (4) Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang PTPPO, Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, bertumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, exsploitasi dan diskiminasi. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beizing Platform of Acotion tentang perlindungan terhadap anak perempuan.

2. Dampak Biologis Anak pada dasarnya secara bioligis alatalat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan, sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika terjadi kehamilan dan diikuti dengan proses melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan

(12)

infeksi yang berujung pada membahayakan organ reproduksi anak perempuan tersebut.

Bahkan bisa sampai pada tahap membahayakan jiwa.

3. Dampak Pisokologis Dampak lainnya adalah pisikologi anak, karena secara pisikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma pisikis yang berkepanjangan dalam jiwa anak yang mungkin saja sulit sembuh. Bisa terlihat dari kebiasaannya yang berubah, anak sering murung menyesali hidupnya yang berakhir dengan perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti.

Disamping itu dampak yang paling penting adalah anak akan merasa kehilangan hak untuk memperoleh pendidikan yang wajar, hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat didalam diri anak tersebut.

4. Dampak Sosial Dampak ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat yang menetapkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun.

5. Dampak Prilaku Seksual Menyimpang Prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah Pedofilia.

Perbuatan tersebut sudah jelas termasuk perbuatan illegal karena menggunakan anakanak dibawah umur, tetapi dikemas dengan perkawinan yang seolah-olah menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak khususnya Pasal 81.

6. Dampak Perceraian Perceraian adalah dampak yang banyak di Indonesia sebagai akibat dari perkawinan dibawah umur. Anak pada usia dini atau di bawah umur sudah memasuki masa perkawinan, biasanya mereka belum dapat memahami arti perkawinan yang mereka jalani.

(13)

KESIMPULAN

Setelah melalui dari beberapa pembahasan, maka saya dapat menyimpulkan ,Bahwasanya menurut peraturan Negara di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 melarang warga negara Indonesia untuk melakukan perkawinan dibawah umur, karena sering terjadi banyak dampak yang buruk dari perkawinan tersebut. Meningkatnya angka kematian ibu melahirkan dan terutama dampak perceraian yang semakin meningkat di Indonesia.

Didalam undang-undang perkawinan sudah ditentukan sanki-sanksi hukum yang di kenakan kepada siapapun yang melanggar ketentuan-ketentuan didalam undang-undang tersebut.

Tetapi jika dilihat dari hukum agama bahwa perkawinan yang disahkan dengan tatacara dan persyaratan agama yang diyakini sifat dari perkawinan tersebut adalah sah.

Pada intinya, hal penting yang saya ketahui adalah perkawinan calon Suami dan Istri tunduk pada UU Perkawinan dan bila calon istri belum berumur 21 tahun, maka saat perkawinan berlangsung, calon istri tidak perlu didampingi oleh orang tuanya, melainkan cukup dengan keterangan izin dari orang tuanya.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Bety dan Dolla Sobari. 2013. Hubungan Pernikahan (Studi Kasus Pengadilan Agama Bengkulu).

Penelitian Fakultas Adab dan Budaya Islam IAIN Raden Fatah Palembang.

Hasibuan, Muhammad Rajab. 2009. Penetapan Umur dalam Rangka Mencapai Tujuan

Pernikahan (Perbandingan Antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

Rifiani, Dwi. 2011. Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam. De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 3 Nomor 2, Desember 2011, hlm. 125-134.

Hadikusumah, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990

Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 Ahmad Rofiq, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2005

Rajawali Press, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta

Wajik Saleh, K., Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982 Abdul Manan, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta Mahmud Yunus, 1985, Hukum Perkawinan dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta

Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol 20594/pernikahan-di-bawah-umur-tan tangan- legislasi-dan-harmonisasi-hukum.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt 4eec5db1d36b7/perbedaan-batasan-usiacakap- hukum-dalam-peraturan-perun dang-undangan

Referensi

Dokumen terkait

Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

Berdasarkan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa suatu perkawinan dapat dilaksanakan apabila pihak calon suami telah mencapai umur 19 tahun sedangkan

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan

Sebagaimana yang ada pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai

1 tahun 1974 pasal 6 mengatur batas minimal usia untuk menikah di mana pernikahan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia

Nomor 1 Tahun 1974 diubah sehingga berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 Sembilan belas tahun”18 Melalui aturan batas usia perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai