• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH KASUS PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS ATAU INFORMED CONSENT DOKTER AYU

N/A
N/A
ryan

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH KASUS PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS ATAU INFORMED CONSENT DOKTER AYU"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

KASUS PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS ATAU INFORMED CONSENT DOKTER AYU

DOSEN PENGAMPU:

Adisti Aldegonda Rumayar, S.K.M., M.Kes., MPH.

DIBUAT OLEH:

HELSA CLAUDIA (231111010051)

RYAN SAUL SAMUEL IBNU (231111010074)

TATIA VIRGIN FERONIKA TUMUJU (231111010094)

EUNIKE LARENGGAM (231111010087)

WILLIAM EBEN HAEZAR LEONARD TURANGAN (231111010081)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SAM RATULANGI

2023

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia dan berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Kasus Persetujuan Tindakan Medis atau Informed Consent Dokter Ayu” dari tugas mata kuliah Etika dan Hukum Kesehatan dengan baik dan lancar.

Harapan kami agar makalah ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari bahwa dalam menyusun laporan ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam tata bahasa maupun dalam susunan kalimat yang ada. Oleh sebab itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak yang telah membaca makalah ini.

Manado, 27 Oktober 2023

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan...3

BAB II ISI...4

2.1 Studi Kasus...4

2.1.1 Definisi Informed Consent...4

2.1.2 Bentuk Informed Consent...6

2.1.3 Jenis Informed Consent...6

2.1.4 Dasar Hukum Informed Consent...7

2.2 PEMBAHASAN...9

2.2.1 Kronologi...9

2.2.2 Penyebab Kasus...10

2.2.3 Pelanggaran Etika dan Penegakan Hukum...11

2.3 Dampak Kasus Ditinjau Dari Berbagai Aspek...12

BAB III PENUTUP...14

3.1 Kesimpulan...14

3.2 Saran...14

DAFTAR PUSTAKA...16

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur Kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Sedangkan pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah Penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai Kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan Derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur Kesejahteraan umum dari tujuan nasional.

Dokter sebagai anggota profesi yang mengabdikan ilmunya untuk Kepentingan umum, mempunyai kebebasan dan kemandirian yang Berorientasi kepada nilai- nilai kemanusiaan sesuai dengan kode etik Kedokteran. (Soetrisno, 2010)

Kode etik kedokteran ini bertujuan untuk mengutamakan Kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin bahwa profesi kedokteran Harus senantiasa dilaksanakan dengan niat yang luhur dan dengan cara yang Benar. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau Pelayanan medis telah melakukan pendidikan dan pelatihan yang cukup Panjang. Sehingga masyarakat khususnya pasien banyak sekali digantungkan Harapan hidup atau kesembuhan dari pasien serta keluarganya yang Sedang menderita sakit. Namun seperti kita ketahui, dokter tersebut sebagai Manusia biasa yang penuh dengan kekurangan dalam melaksanakan tugas Kedokterannya yang penuh dengan resiko. (Machmud, 2008)

Seperti pasien yang memiliki Kemungkinan cacat atau meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat saja Terjadi, walaupun dokter telah melakukan tugasnya sesuai standar profesi ataupun Standar pelayanan medik yang baik. Keadaan semacam ini biasa disebut Sebagai resiko medik, namun terkadang dimaknai lain oleh pihak-pihak diluar Profesi kedokteran sebagai medical malpractice. Medical Malpractice seperti yang disebutkan oleh pihak-pihak diluar Profesi kedokteran didefinisikan menurut The Oxford Illustrated Dictionary,2 nd ed, 1975 bahwa yang dimaksud dengan Malpraktek adalah : “ sikap Tindak yang salah pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis, tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan Sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan”.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktek Adalah:

a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang Tenaga kesehatan dalam hal ini dokter.

b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan

(5)

Kewajiban.

c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan Perundang-undangan.

Dari pengertian tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa seorang Dokter dianggap telah melakukan praktek yang buruk manakala dia karena Dengan sengaja atau akibat kelalaian tidak memenuhi persyaratan-persyaratan Yang telah ditentukan baik dalam kode etik kedokteran, standar profesi, Maupun standar pelayanan medik, yang berakibat pasien mengalami Kerugian. Dengan adanya kesepakatan antara pasien dan dokter, keluarga Pasien atau pasien sendiri pun dapat memahami dan menerima resiko yang Akan dialami. Pasien berhak untuk memberikan atau tidak memberikan izinnya untuk Dioperasi atau untuk tindakan medis lain terhadap dirinya. Untuk dapat Mengambil keputusan ia memerlukan informasi yang lengkap, sehingga dapat Mempertimbangkannya.

(Soetrisno, 2010)

Ada bahaya bahwa pemberian informasi oleh dokter Cenderung menjadi sesuatu yang formal rutin. Di indonesia “Informed Consent” secara materiil sudah diterima dan secara yuridis tersirat dalam P.P. No. 18 Tahun 1981, akan tetapi baru diatur secara khusus dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No:585/MEN.KES/PER/IX/1989 tanggal 4 september 1989 tentang PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK yang bisa juga disebut Informed Consent.

Informed Consent adalah suatu proses yang menunjukkan Komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya Pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidakakan dilakukan terhadap Pasien. (Romadhon, 2008)

Jika dilihat dari aspek hukum informed consent bukanlah perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih kearah persetujuan sepihak atas Layanan yang ditawarkan pihak lain. Persetujuan bersama antara pasien dan dokter dimaksudkan agar tindakan Medis yang telah dilakukan oleh dokter dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini Disebabkan atas dasar ilmu pengetahuan dan kepedulian masyarakat luas Terhadap kesehatan disamping timbulnya kesadaran masyarakat akan hak-hak Atas kesehatan yang tertuang didalam ketentuan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dengan perumusan sebagai berikut: “ hak memperoleh Perlindungan kesehatan untuk setiap orang tanpa membedakan ras, status, Warna kulit, jenis kelamin, keyakinan politik dan sebagainya ”. (Machmud, 2008)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kronologi informed consent dari kasus dokter Ayu ?

(6)

2. Bagaimana penegakan hukum yang berlaku di indonesia pada kasus dokter Ayu ?

3. Bagaimana konsep informed consent ?

4. Bagaimana dampak kasus dari berbagai aspek ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui kronologi informed consent dari kasus dokter Ayu ? 2. Untuk mengetahui penegakan hukum yang berlaku ?

3. Untuk menetahui konsep informed consent ?

4. Untuk mengetahui dampak kasus dari berbagai aspek?

(7)

BAB II ISI

2.1 Studi Kasus

2.1.1 Definisi Informed Consent

konsep informed consent hanya terumus baku dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKESPER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yaitu Pasal 2 bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. Persetujuan yang dimaksud diberikan secara tertulis maupun lisan setelah diberikan penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan dokter dilakukan.

(Syafruddin dan Anand, 2015)

Informed consent merupakan pergeseran paradigma pengambilan keputusan yang awalnya berpusat pada dokter berpindah ke pasien. Informed consent juga memerlukan keterbukaan, sehingga dokter harus mendapatkan semua informasi yang mereka butuhkan, seperti melacak riwayat keluarga pasien atau semua hal yang berkaitan dengan mereka. Oleh karena itu, dengan mendapatkan persetujuan, dokter akan menjadi lebih hati-hati saat melakukan diagnosis pada pasien dan lebih hati-hati saat melakukan tindakan medis tertentu secara profesional dengan tetap mengikuti etika kedokteran. (Syafruddin dan Anand, 2015)

Dalam melakukan tindakan medis pada pasien, sebagai bagian dari informed consent, maka dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu:

1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan/pengobatan yang akan diberikan/diterapkan,

2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul 3. Prospek/prognosis keberhasilan ataupun kegagalan

4. Alternatif metode perawatan pengobatan

5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan

6. Prosedur perawatan pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau menyimpang dari kebiasaan bila hal itu yang akan dilakukan

Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut.

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:

(8)

1. Diagnosa yang telah ditegakkan

2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan 3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut

4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut,

5. Konsekuensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain

6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Kedudukan informed consent sangat urgen sebagai bentuk informasi kepada pasien mengenai semua tindakan medis yang akan dilakukan meskipun informasi yang hendak diberikan itu bersifat eksplisit maupun implisit. Letak urgensitas pemberian informasi tersebut, adalah untuk memudahkan pembuktian dalam rangka pertanggunggjawaban dokter bila kelak terjadi perselisihan dengan pasien.

Pasien yang kompeten yaitu mereka yang dapat memahami penjelasan dan menggunakan informasi untuk membuat kesimpulan logis biasanya dapat diberikan informed consent secara langsung. Berdasarkan Permenkes nomor 290 tahun 2008, pasien yang kompeten berarti pasien dewasa di atas usia 21 tahun atau telah/pernah menikah, atau pasien berusia 21 tahun yang tidak dikategorikan sebagai anak berdasarkan perundang-undangan. Pasien juga dikatakan kompeten apabila kesadarannya tidak terganggu dan tidak mengalami gangguan atau kemunduran kesehatan mental. (Utami, 2017)

Informed consent dapat diberikan oleh orang tua, suami/istri, anak kandung, saudara kandung, keluarga terdekat, atau orang yang mengantar pasien, tergantung pada kondisi pasien tertentu, seperti usia anak, gangguan kesadaran, gangguan mental, atau kondisi gawat darurat. Wali yang menggantikan pasien ini harus menetapkan tujuan untuk kepentingan terbaik pasien dan memaksimalkan manfaat bagi pasien. (Utami, 2017) Dalam kondisi gawat darurat, persetujuan informed consent secara tersirat dari pasien biasanya dianggap sebagai persetujuan untuk tindakan.

Selain itu, jika pasien tidak sadar dan tidak didampingi keluarga atau wali, tindakan tetap boleh dilakukan tanpa persetujuan informed. Setelah pasien sadar atau keluarga atau wali hadir, persetujuan informed dapat dibuat.

(Utami, 2017)

(9)

2.1.2 Bentuk Informed Consent

Secara teoritis, bentuk-bentuk informed consent, dapat dikategorikan tiga bentuk, mencakup:

1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI Nomor 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang akurat tentang tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent).

2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlu-kan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung re-siko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.

3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat.

Misalnvapasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung memberikan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Berdasarkan uraian tiga bentuk informed consent tersebut, maka informed consent selalu melibatkan unsur kesukarelaan pasien terhadap apa yang menjadi tindakan medis seorang dokter terhadap dirinya.

Transaksi terapeutik persetujuan yang terjadi antara dokter dengan pasien bukan dibidang pengobatan saja tetapi lebih luas lagi yang mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif maupun promotif. (Syafruddin dan Anand, 2015)

2.1.3 Jenis Informed Consent

Berdasarkan tujuannya, informed consent terdiri dari 3 jenis, yaitu untuk penelitian, untuk menegakkan diagnosis, dan untuk terapi.

1. Informed Consent untuk Penelitian

Pada penelitian yang melibatkan partisipasi individu dan intervensi, informed consent harus diperoleh sebagai bentuk persetujuan partisipan terlibat secara volunter dalam penelitian.

2. Informed Consent untuk Menegakkan Diagnosis

Informed consent juga diperlukan saat dokter akan melakukan prosedur yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, seperti tindakan fine needle aspiration biopsy dan coronary computed tomography angiography (CCTA).

3. Informed Consent untuk Terapi

(10)

Sebelum pemberian terapi khusus, seperti sedasi dan analgesik jenis narkotika, informed consent perlu diperoleh dari pasien/keluarga setelah penjelasan mengenai efek samping, komplikasi, dan alternatif terapi lainnya 2.1.4 Dasar Hukum Informed Consent

Persetujuan tindakann kedokteran telah diatur dalam pasal 45 Undang- Undang No.29 tahun 2004tentang praktek kedokteran. Sebagaimana dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengakap,sekurang-kurangnya mencakup ; diagnosis dan tata cara tindakan medis,tujuan tindakan medis dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan kolplikasi yang munkin terjadi, dan Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Desebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan pesetujuan. (Purnama, 2016).

1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit; Pasal 32

poin J, Pasal 32 poin K.

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 585/Menkes/Per/IX/

1989 Tentang Persetujuan TindakanMedis pada Bab 1, huruf (a)

“persetujuan tindakan medis/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien tersebut”

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585 yang ditindak lanjuti dengan Sk Dirjen Yanmed 21 April 1999 yangmemiliki 8 bab dan 16 pasal yaitu :

(11)

a. Bab (I) Ketentuan umum pasal (1) b. Bab (II) Persetujuan pasal (2 dan 3) c. Bab (III) Informsi pasal (4,5,6, dan 7 )

d. Bab (IV) Yang berhak memberikan persetujuan pasal (8,9,10, dan 11)

e. Bab (V) Tanggu Jawab pasal (12) f. Bab (VI) Sanksi pasal (13)

g. Bab (VII) Ketentuan lainnya pasal (14)

h. Bab (VIII) Ketentuan Penutup pasal (15 dan 16)

Hal-hal yang diatur dalam pelaksanaan informed consent berisi sebagai berikut :

a. Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik (the consent must be for what will be actually performed). Dan persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis di-berikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan yang memang berhak memberikan-nya dari segi hukum.

b. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tin-dakan medis lain yang tersedia dan serta risi-konya masing-masing (alternative medical prosedure and risk). Dan informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut

dilakukan (prognosis with and without medical produce)

c. Yang berhak memberikan persetujuan ialah mereka yang dikatakan meiliki sehat mental dan dalam keadaan sadar. Diman kurang lebih berumur 21 dalam status telah menikah. Tetapi dibawah pengampu. Maka persetujuan diberikan oleh wali pengampu,bagi mereka yamg berada dibawah umur 21 dan belum menikah diberikan oleh orang tua atau wali atau keluarga terdekat.

d. Bila terdapat dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan,dilaksanakan sanksi administrasi berupa pencabutan surat izin praktik.

e. Pemberian informasi ini diberikan oleh dokter yang bersangkutan dalam hal berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan sepengatahuan dan tanggung jawab dari dokter yang bersangkutan, dibedakan antara tindakan operasi dan bukan operasi,untuk tindakan operasi harus dokter memberikan informasi ,untuk bukan tindakan operasi sebaiknya dokter yang bersangkutan tetapi dapat juga oleh perawat.

(12)

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor1419/MENKES/PER/X/2005 Tentang Penyelenggaraan Dokter dan Dokter Gigi ini memiliki Pasal 34 Bagian. Diantara 34 pasal ini salah satu yang mengenai informed consent yakni pasal 17.

Adapun isi dari pasal 17 seperti dibawah ini : Pasal 17

1. Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.

2. Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan dari pasien.

3. Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang- undangan.

5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun1983 tentang Kode Etik Kedokteran Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 34 Tahun 1983 di dalamnya terkandung bebrapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban tersesbut meliputi :

1. Kewajiban umum

2. Kewajiban terhadap penderita

3. Kewajiban terhadap teman sejawatnya 4. Kewajiban diri sendiri.

2.2 PEMBAHASAN 2.2.1 Kronologi

Pada 10 April 2010, dr. Ayu, dr. Hendry Siagian, dan dr. Hendry Simanjuntak yang saat itu bertugas di RS Kandou Manado ini menangani pasien bernama Julia Fransiska Makatey (26) yang sedang hamil anak keduanya. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah dalam tahap persalinan pembukaan dua. Namun setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul tanda- tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan feses saat persalinan. sehingga ketika itu diputuskan melakukan tindakan operasi cito secsio sesaria. Jabang bayi bisa dikeluarkan dan selamat, tapi kondisi Julia memburuk. 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal. Merasa ada kejanggalan, keluarga Julia melapor ke polisi. Mereka beralasan Julia tidak mendapatkan penanganan yang seharusnya. Dokter dituding melakukan pembiaran karena tidak segera menangani Julia.

(13)

Pada 15 September 2011, hakim Pengadilan Negeri Manado menuntut dr. Ayu, dr. Hendry Siagian dan dr. Hendry Simanjuntak dengan 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban.

Namun di akhir sidang, ketiganya divonis bebas. Oleh hakim, kematian Julia disimpulkan karena gangguan di peredaran darah pasca kelahiran. Tidak terima dengan putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus itu mengajukan kasasi dan dikabulkan MA lewat putusan yang dikeluarkan pada 18 November 2012 lalu. Kasasi ini memerintahkan dokter Ayu cs untuk dipenjara selama 10 bulan. Pada 18 September 2012, dr Ayu dan koleganya ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Atas putusan MA, dr. Ayu ditangkap di tempat praktiknya, RSIA Permata Hati, Balikpapan, Kaltim, Jumat, 8 November 2013 lalu. Ia dibawa ke Manado dan dijebloskan ke Rutan Malendeng. Sementara kedua dokter lainnya yakni dr. Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian masih dicari.

Eksekusi putusan MA ini memicu aksi dokter di sejumlah daerah.

Kasus tersebut dikhawatirkan membuat dokter ragu atau tidak bisa mengambil keputusan darurat saat menangani pasien. Aksi para dokter ini membuahkan hasil. Pada Februari 2014 dr. Ayu cs dibebaskan lewat putusan di tingkat peninjauan kembali (PK). Dasar pertimbangan mengabulkan PK yaitu para terpidana tidak menyalahi SOP dalam penanganann operasi sesco ciceasria sehingga pertimbngn judex facti pada PN Manado sudah tepat dan benar.

2.2.2 Penyebab Kasus

Dari berbagai sumber yang telah dibaca, penyebab utama kasus ini ialah tidak adanya pemberitahuan sebelumnya dari pihak rumah sakit, dalam hal ini dokter yang menangani pasien kepada pihak keluarga. Dokter tidak memberitahukan dan menjelaskan sebelumnya mengenai kondisi pasien yang gawat sehingga harus segera dilakukan operasi serta tidak adanya surat persetujuan tindakan atau informed consent yang diberikan kepada keluarga pasien. Sehingga pada saat pasien meninggal setelah melahirkan anaknya, keluarga merasa janggal kemudian melaporkan kasus tersebut kepada polisi. Awalnya keluarga mengira bahwa pasien ditelantarkan setibanya di rumah sakit rujukan, tanpa adanya tindakan medis yang dilakukan pihak rumah sakit. Namun, ternyata pihak rumah sakit tidak menelantarkan pasien, melainkan menunggu pasien pembukaan sempurna, karena awalnya pasien disarankan untuk melahirkan secara normal.

(14)

2.2.3 Pelanggaran Etika dan Penegakan Hukum

Berdasarkan kasus Tindakan medis yang dilakukan di atas, tanpa adanya persetujuan pasien, kasus tersebut dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan bersarkan Pasal 351 KUHP yang isinya:

1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 4.500,–

2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun. (K.U.H.P 90).

3. Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. (K.U.H.P. 338).

4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.

Menurut Pasal 5 Permenkes Nomor 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik oleh yang dibatalkan atau ditarik oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. Informed consent adalah penyampaian informasi dari dokter atau perawat kepada pasien sebelum suatu tindakan medis dilakukan.

Hal ini penting dilakukan karena setiap pasien berhak mengetahui risiko dan manfaat dari tindakan medis yang akan dijalaninya. Ketiadaan informed consent dipandang dari aspek hukum perdata dapat dilihat dari tiga sisi yaitu; Ketiadaan informed consent yang berakibat pada tidak terpenuhinya salah satu syarat perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang isinya, Empat syarat sah suatu perjanjian yang meliputi:

1. Kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak 2. Kecakapan dalam membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

;Ketiadaan informed consent yang digolongkan sebagai wanprestasi; dan Ketiadaan informed consent yang digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa ‘tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan

(15)

orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. (Tampubolon, 2017).

2.3 Dampak Kasus Ditinjau Dari Berbagai Aspek 1. Aspek Agama

Belajar dari kasus ini, kita sebagai orang yang percaya akan TYME sebaiknya menyerahkan segala sesuatu, keadaan kita kepada TYME.

Percaya bahwa kesembuhan hanya berasal dari pada-Nya dan kita juga harus paham bahwa dokter hanya sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk menyelamatkan seseorang, terlepas dari tindakan tersebut membuat seseorang tersebut sehat ataupun kembali kepada sang pencipta, kita harus memahami bahwa itu sudah takdir TYME. Karena itu perlu adanya Informed Consent dari dokter untuk mencegah perselisihan yang mungkin akan terjadi anatara dokter dan keluarga pasien apabila ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepda pasien.

2. Aspek Ekonomi

Dari kasus ini, informed consent diperlukan agar supaya bila saat melakukan tindakan medis/operasi terhadap pasien, apabila ada biaya- biaya tidak terduga yang harus dibayarkan pihak keluarga pasien kepada rumah sakit, keluarga tidak bisa menolak untuk melakukan pembayaran.

3. Aspek sosial

Pemberian Informed consent kepada pasien dan kelaurga pasien secara terperinci tentang prosedur medis dan risikonya, informed consent membuka ruang untuk komunikasi yang lebih baik antara dokter dan pasien. Pasien dapat mengajukan pertanyaan, mengungkapkan kekhawatiran, dan berdiskusi dengan dokter mereka sebelum memberikan persetujuan. Hal ini dapat membangun kepercayaan antara pasien dan keluarga dengan dokter serta menghormati hak pasien untuk menentukan pilihan medis terbaik untuk dirinya.

4. Aspek Budaya

(16)

Kasus ini juga mengajar kita dalam segi budaya bahwa informed consent yang diberikan rumah sakit dapat mempertimbangkan nilai- nilai budaya pasien dalam prosedur medis yang akan dilakukan.

Termasuk keyakinan praktik budaya tertentu yang harus pasien atau keluarga pasien lakukan sebelum atau sesudah operasi. Dilakukan agar pihak rumah sakit dapat menghormati nilai-nilai budaya pasien dan keluarga serta membangun hubungan yang lebih baik antara pasien dan tenaga medis.

(17)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pelaksanaan persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam pelayanan kesehatan. Keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik, karena erat kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical Record). Hal ini disebabkan, Rumah Sakit tempat dilakukannya tindakan medik tersebut, selain harus memenuhi standar pelayanan rumah sakit juga harus memenuhi standar pelayanan medik sesuai dengan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Dengan demikian, Rumah Sakit turut bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan Informed Consent.

Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed Consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktik, Berarti, keharusan adanya Informed Consent secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah Sakit yang bersangkutan.

Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara tertulis yang dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya. Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent secara tertulis tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Hambatan- hambatan dan solusi untuk mengatasinya dalam pelaksanaan persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam pelayanan kesehatan. Hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan persetujuan tindakan medik yaitu bahwa form persetujuan tindakan medik tidak ditandatangani oleh pasien sendiri padahal pasien dalam keadaan sadar. Selain itu informasi didapat oleh pasien dari perawat, juga dalam formulir persetujuan tindakan medik ada dokter yang tidak tanda tangan.

(Busro,2018)

3.2 Saran

1. Hendaknya Penerapan persetujuan tindakan medik (informed consent), antara dokter dengan pasien saling menyadari bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang patut dijunjung tinggi, agar hal tersebut tidak menimbulkan masalah yang dapat merugikan dikemudian hari dan dapat merugikan semua pihak.

(18)

2. Antara pasien dan dokter hendaknya dapat lebih meningkatkan komunikasi, sebab dengan komunikasi yang baik maka penerapan persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat berjalan dengan baik. Selain itu dengan adanya komunikasi yang baik akan lebih meminimalkan resiko terjadinya malpraktek di bidang medis. (Busro, 2018)

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Romadhon Y. (2008). Inspirasi Menjadi Dokter Dan Pelayan Kesehatan Yang Baik.

Machmud S. (2008). Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Penerbit Mandar Maju

Soetrisno. (2010). Malpraktek Medik Dan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit PT Telaga Ilmu Indonesia, Tangerang, hlm. 19 (2013). Kisah Lengkap dr Ayu dan 2 Kolega yang Dibui karena Dugaan Malpraktik. detiknews.

Sharifah F (2013). Inilah Kronologi Kasus Penangkapan Dokter Ayu.

liputan6.com.

(2014). Kisah dr Ayu: Menolong Pasien, Dipenjara, Bebas, Kini Bersaksi di MK.

detiknews.

Syafruddin and Anand, G. (2015). Urgensi Informed Consent terhadap Perlindungan Hak-hak Pasien . Hasanuddin Law Review, 1(2), pp.164–177.

Purnama, G. (2016). MODUL ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN INFORMED CONSENT.

Utami J. (2017). Informed Consent Bukanlah Sekedar Lembar Persetujuan Medis, Alomedika.

Tampubolon B. (2017). Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum.

Busro A. (2018). Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Inform Consent).

Law & Justice Journal, 1(1).

DSLA (Daud Silalahi & Lawencon Associates). (2020). Penjelasan Pasal 1320 KUHPerdata, 1266 dan 1267 dalam Aspek Hukum Perdata.

(2021). Pasal 351 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Yuridis.id.

Referensi

Dokumen terkait

Rekam Medis diartikan sebagai keterangan baik yang tertulis maupun.. yang terekam tentang identitas, anamnese, pemeriksaan fisik,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) tingkat pemahaman pemberi persetujuan tentang persetujuan tindakan medis adalah sedang (53,2%), (2) tingkat pemahaman pemberi

Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau subyek riset

Ia harus dapat memahami prosedur, mem-pertimbangkan resiko dan manfaat, serta dapat mengambil keputusan sesuai dengan pengetahuannya dan nilai-nilai serta tujuan

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan dr. Desmiwarti, SPOG-K, Kepala Bagian Rekam Medis di RSUP M.Jamil Padang, diperoleh penjelasan, bahwa persetujuan

Pihak rumah sakit juga tidak dapat dipersalahkan jika tindakan invasif atau tindakan yang mengandung risiko yang tinggi yang seharusnya memerlukan persetujuan tertulis

Untuk itu penulis perlu untuk mengangkat hal tersebut ke dalam penelitian yang berjudul Rancangan Desain Lembar Persetujuan Tindakan Medis (informed consent) Di

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku saat ini di Indonesia, yakni Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 yang berbunyi sebagai berikut, Informed consent adalah