• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Penelitian Hadis (Jumaruddin)

N/A
N/A
Bang Daus

Academic year: 2023

Membagikan "Makalah Penelitian Hadis (Jumaruddin)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Penelitian Hadis (Jumaruddin)

Pendidikan Agama Islam (Universitas Terbuka)

Makalah Penelitian Hadis (Jumaruddin)

Pendidikan Agama Islam (Universitas Terbuka)

(2)

MAKALAH

PENELITAN HADIS

(RIJAL AL HADIS DAN AL JAR H WA TA’DIL)

Mata Kuliah Studi Hadis

Dosen Pengampu: Dr. Fadhlina Arif Wangsa, LC., M.Ag.

DISUSUN OLEH JUMARUDDIN NIM: 80300222031

PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR

(3)

KATA PENGANTAR ﷲ ﻡﺳﺑ ا ﻢﻴﺤ ﺭﻟا ﻦﻤﺤﺮﻟ

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Karena dengan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Disini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada Ibu Dr.

Fadhlina Arif Wangsa, LC., M.Ag. selaku dosen mata kuliah ini, yang telah memberikan tugas kepada kami guna untuk meningkatkan ilmu pengetahuan.

Makalah yang kami susun ini berjudul “Penelitian Hadis (Rijal al Hadis dan al Jarh wa al Ta’dil)” Kami menyusun makalah ini berdasarkan sumber-sumber yang tertulis yang kami kutip dari berbagai sumber yang berkaitan dengan makalah ini. Sebagai insan yang tidak pernah luput dari kesalahan, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan sangat dekat dengan kesalahan dan kekurangan, maka kami sebagai penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun, guna menambah wawasan bagi penyusun khususnya serta meningkatkan cara penulisan maupun kata demi kata. Akhirnya kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih.

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

C. Tujuan ... 2

BAB II PEMBAHASAN ... 3

A. Pengertia Rijalul Hadis B. Sejarah Kemeunculannya C. Urgensi Ilmu Rijalul Hadits D. Cabang-cabang Ilmu Rijalul Hadits E. Pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil ... 3

F. Perkembangan Ilmu Jarh wa Ta’dil ... 4

G. Kegunaan Ilmu Jarh wa Ta’dil ... 6

H. Syarat Seorang Kritikus ... 7

I. Kitab-Kitab yang Membahas Jarh wa Ta’dil ... 7

J. Urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Hadis ... 8

K. Contoh Aplikasi Ilmu Jarh wa Ta’dil ... 9

BAB III PENUTUP ... 12

A. Kesimpulan ... 12

B. Saran... 12

(5)

BAB I

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Ilmu hadits merupakan salah satu disiplin ilmu yang berpautan dengan hadits-hadits yang bertujuan untuk mumudahkan dalam mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak dapat dijadikan hujah atau tidak dalam menetapkan suatu hokum. Salah satunya yaitu Ilmu Rijalul hadits yaitu ilmu yang membahas persambungan perawi kepada Rasulullah, dan lain- lainnya.

Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan generasi mukharrijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.

Kritik para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan tepat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya di sini penulis akan membahas tentang “Ilmu Jarh wa Ta’dil”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu ilmu rijalul al-hadits.

2. Kapan munculnya ilmu rijalul hadits.

3. Apasaja urgensi ilmu rijalul hadits.

4. Apa saja cabang-cabang ilmu rijalul hadits.

(6)

5. Apakah pengertian dari Ilmu Jarh wa Ta’dil?

6. Bagaimana urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Hadis?

7. Apa saja contoh aplikasi Ilmu Jarh wa Ta’dil?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pengertian ilmu rijalul hadits.

2. Mengetahui sejarah munculnya ilmu rijalul hadits 3. Mengetahui urgensi ilmu rijalul hadits.

4. Mengetahui cabang-cabang ilmu rijalul hadits.

5. Untuk mengetahui pengertian dari Ilmu Jarh wa Ta’dil.

6. Untuk mengetahui urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Hadis.

7. Untuk mengetahui contoh aplikasi Ilmu Jarh wa Ta’dil.

(7)

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Rijalul Hadits

Ilmu rijal hadis adalah ilmu yang membahas tentang hal-hal ikhwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabiin, atba’al-tabiin. Ilmu yang membahas para perawi hadist, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya.”

Dalam ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasullullah saw. dan dari sahabat dan seterusnya di dalam ilmu ini di terangkan tarikh (sejarah) ringkas dan riwayat hidup para perawi, mazhab yang di pegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadist. Ilmu ini sangat penting di pelajari dengan seksama, karena hadist itu, terdiri dari sanath dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanath, merupakan separuh pengetahuan.

Kitab-kitab ini disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat ringkas[1] dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudalis, atau para pembuat hadist maudhu.

Ada yang menerangkan sebab-sebab dicela dan sebab –sebab di pandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat-martabat perkataan. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan, berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadist disebut mu’talif dan mukhataklif . Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya. Umpamanya, khalil ibn ahmad. Nama ini banyak orangnya. Hal ini disebut mutaqiq dan muftariq. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan , tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibn Aqil dan Muhammad ibn Uqail. Ini di namai musytabah.

(8)

Ada juga yang menyebutkan tanggal wapat. Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab, atau beberapa kitab. Dalam semua itu ulama telah barjerih payah menyusun kitab-kitab yang di hayati.

Sebelum masuk ke pembahasan utama, perlu diketahui apa itu ilmu hadits dirayah.

Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang diketahuinya hakikat riwayat, syarat-syaratnya, hukum- hukumnya, keadaan perawi dan syarat-syarat mereka, maacam-macam apa yang diriwayatkan dan, apa yang berkaitan dengannya. Atau secara ringkas : “Kaidah-kaidah yang diketahui dengannya keadaan perawi dan yang diriwayatkan”.

Dan perawi adalah orang yang meriwayatkan hadits dari orang yang ia mengambil darinya. Adapun marwiy adalah hadits yang disampaikan dengan cara periwayatan, dan yang diriwayatkan ini secara istilah dinamakan dengan matan. Adapun orang-orang yang meriwayatkannya dinamakan dengan perawi atau Rijal Al-Isnad.

Maka apabila Imam Bukhari berkata misalnya,”Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi, dia telah berkata : Telah menceritakan kepadakami bapakku, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Andillah bin Abi Burdah, dari Abi Burdah, dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,”(Para shahabat) bertanya : ‘Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?’. Rasulullah shallallaahu

‘alaihi wasallam bersabda هديو هناسﻟ ﻦم نوﻤلسﻤﻟا ﻢلﺳ

”Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya”.

Orang-orang yang telah disebutkan Imam Bukhari ini –mulai dari Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi sampai yang paling terakhir yaitu Abu Musa – mereka ini disebut periwayat hadits. Dan rangkaian mereka disebut sanad, atau rijalul-hadits. Sedangkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :”Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya” adalah yang diriwayatkan atau hadits; dinamakan matan. Dan orang yang

(9)

meriwayatkan hadits dengan smua rijalnya yang disebutkan tadi disebut musnid. Sedangkan perbuatannya ini dinamakan isnad (penyandaran periwayatan).

Dari penjelasan di atas dapat kita kenal istilah-istilah yang sering dipakai sebagai berikut:

a. As-Sanad, dalam bahasa artinya menjadikannya sandaran atau penopang yang dia menyandarkan kepadanya.

b. Sanad dalam istilah para ahli hadits yaitu : “jalan yang menghubungkan kepada matan”, atau “susunan para perawi yang menghubungkan ke matan”. Dinamakan sanad karena para huffadh bergantung kepadanya dalam penshahihan hadits dan pendla’ifannya.

c. Al-Isnad adalah mengangkat hadits kepada yang mengatakannya. Ibnu Hajar mendefiniskannya dengan : “menyebutkan jalan matan”. Disebut juga : Rangkaian

para rijaalul-hadits yang menghubungkan ke matan. Dengan demikian maknanya menjadi sama dengan sanad.

d. Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya.

e. Matan menurut bahasa adalah “apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi”.

f. Matan menurut para ahli hadits adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad.

Dinamakan matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan mengangkatnya kepada yang mengatakannya, atau karena seorang musnid menguatkan sebuah hadits dengan sanadnya.[2]

Isnad memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, karena asalnya adalah ummat menerima agama ini dari sahabat dan mereka menerimanya dari Rasulullah Saw dan beliau menerimanya dari Rabbul-izzah baik dengan perantara ataupun tidak. Dan diriwayatkan dengan jalan shohih dari Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :

(10)

ْﻢُكْنِم َعِﻤَﺳ ْﻦَّﻤِم ُعَﻤْسُي َو ْﻢُكْنِم ُعَﻤْسُي َو َنوُعَﻤْسَت

Artinya : “Kalian mendengar lalu didengar dari kamu dan didengar dari yang mendengar dari kamu” (HR. Abu Daud dan Ahmad, keduanya dengan sanad yang shohih)

Ilmu Rijaalul Hadits adalah “Ilmu Untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis”. Ilmu Rijaalul-Hadits, dinamakan juga dengan

Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.

Pertama kali orang yang sibuk memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah Al- Bukhari (w.230 H) kemudian Muhammad bin sa’ad (w.230 H) dalam Thabaqatnya.

Kemudian berikutnya Izzuddin Bin al-Atsir (w.630 H) menulis Usud Al-Ghabah Fi Asma Ash-Shahabah, Ibnu hajar Al-asqalani (w.852 H) yang menulis Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash- shahabah kemudian diringkas oleh as-suyuthi(w.911 H ) dalam bukunya yang berjudul ‘ayn Al-Ishabah. Al-Wafayat karya Zabir Muhammad bin Abdullah Ar-rubi (w.379 H)

B. Sejarah Kemunculannya

1. Mulainya Penggunaan Isnad

Penggunaan isnad ini sebenarnya telah ada di masa sahabat Rasulullah Sawyaitu bermula dari sikap taharri (kehati-hatian) mereka terhadap berita yang datang kepada mereka, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq dalam kisah nenek yang datang meminta bagian warisan, kemudian kisah Umar bin Al Khaththab dalam peristiwa isti’dzan (minta izinnya) Abu Musa, juga kisah tatsabbut (klarifikasi) Ali bin Abi Thalib dimana beliau

(11)

meminta bersumpah bagi orang yang menyampaikan padanya hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam.

Hanya saja makin banyaknya pertanyaan terhadap isnad dan makin intensnya orang meneliti dan memeriksa isnad, itu mulai terjadi setelah terjadinya fitnah Abdullah bin Saba dan pengikut-pengikutnya yaitu di akhir-akhir kekhalifaan Utsman bin Affan dan penggunaan sanad terus berlangsung dan bertambah seiring dengan menyebarnya para Ashabul-ahwaa(pengikut hawa nafsu) di tengah-tengah kaum muslimin, juga banyaknya fitnah yang mengusung kebohongan sehingga orang-orang tidak mau menerima hadits tanpa isnad agar supaya mereka mengetahui perawi-perawi hadits tersebut dan mengenali keadaan mereka. Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad bin Sirin bahwasanya beliau berkata:

« ىَﻟِإ ُﺮَظْنُي َو ْﻢُهُثيِدَح ُذَخْؤُﻴَف ِةَّنُّسﻟا ِل ْهَأ ىَﻟِإ ُﺮَظْنُﻴَف ْﻢُكَﻟاَج ِﺭ اَنَﻟ اوُّﻤَﺳ اوُﻟاَق ُةَنْتِفْﻟا ْتَعَق َو اَّﻤَلَف ِداَنْﺳِ ْلْا ْﻦَع َنوُﻟَأْسَي اوُنوُكَي ْﻢَﻟ ْﻢُهُثيِدَح ُذَخْؤُي َلََف ِعَدِبْﻟا ِلْهَأ «

Artinya: “Dahulu orang-orang tidak pernah menanyakan isnad, akan tetapi setelah

terjadi fitnah maka dilihat hadits Ahli Sunnah lalu diterima dan dilihat haditsnya ahlil-bida’

lalu tidak diterima (ditolak)

Ali ibnul Madini mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin adalah orang yang selalu melihat hadits dan memeriksa isnadnya, kami tidak mengetahui seorang pun yang lebih dahulu darinya.

2. Munculnya Ilmu Rijalul Hadits

(12)

Kemunculan ilmu Rijal merupakan buah dari berkembang dan menyebarnya penggunaan isnad serta banyaknya pertanyaan tentangnya. Dan setiap maju zaman, maka makin banyak dan panjang jumlah perawi dalam sanad. Maka perlu untuk menjelaskan keadaan perawi tersebut dan memisah-misahkannya, apalagi dengan munculnya bid’ah-bid’ah dan hawa nafsu serta banyaknya pelaku dan pengusungnya. Karena itu tumbuhlah ilmu Rijaal yang merupakan suatu keistimewaan ummat ini di hadapan ummat-ummat lainnya.

Akan tetapi kitab-kitab tentang ilmu Rijal nanti muncul setelah pertengahan abad-2.

Dan karya tulis ulama yang pertama dalam hal ini adalah kitab At Tarikh yang ditulis oleh Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H) dan kitab Tarikh yang disusun oleh Imam Abdullah bin

Mubarak (wafat 181 H). Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa Al Walid bin Muslim (wafat 195 H) juga memiliki sebuah kitab Tarikh Ar Rijaal, lalu secara berturut-turut muncul karya- karya tulis dalam ilmu ini, dimana sebelum masa kodifikasi ini pembahasan tentang perawi hadits dan penjelasan hal ihwal mereka hanya bersifat musyafahah(lisan), ditransfer sedemikian rupa oleh para ulama dari masa ke masa.

C. Urgensi Ilmu Rijalul Hadits

Mengetahui data-data para perawi secara detail yang meliputi biografi, kualitas kepribadian, dan tingkat religiusitasnya. Dengan demikian akan diketahui pula ittishalus sanad (ketersambungan sanad, antara satu perawi dengan perawi yang ada pada tingkat selanjutnya dalam mata rantai sanad). Mengetahui sikap atau kriteria para ulama dalam menilai perawi. apakah ulama yang melakukan jarh wa ta’dil termasuk mutasyaddid ataukah mutasahhil.

(13)

Contoh, al-Hakim adalah ulama yang termasuk mutasahhil sedangkan al-Bukhari termasuk ulama yang mutasyaddid dalam menilai perawi hadis.

Misalnya, al-Bukhari mensyaratkan pertemuan secara langsung antara perawi dengan perawi sebelum maupun sesudahnya. Dalam hal ini al-Bukhari memakai istilah liqa’

(pertemuan), bukan hanya mu’asharah (semasa/sezaman).

D. Cabang-cabang Ilmu Rijalul Hadits

Para penyusun kitab-kitab dalam ilmu Rijal pada masa-masa awal menempuh beberapa metode sehingga hal ini melahirkan percabangan dalam ilmu rijal al hadits, diantaranya:

1. Kitab-kitab tentang thabaqat ar Rijal melahirkan ilmu thobaqaat (tingkatan-tingkatan rijal) yang mencakup 4 thabaqat (sahabat, taabi’un, atbaa’ut tabi’in dan taba’ul atba’)

2. Kitab-kitab Ma’rifah Ash Shohaabah melahirkan ilmu tentang ma’rifatush shohabah

(pengenalan tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam) 3. Kitab-kitab al jarh wat ta’dil melahirkan ilmu tentang al jarh wat ta’dil Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah

Secara sederhana ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah :

Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran , wafat, peristiwa/kejadian lainnya. Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per hadits

Atau dalam pengertian lain Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan wafat mereka,

(14)

siapa gurunya siapa muridnya atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan sahabat, tabi’ maupun tabi’ tabiin.

Tujuan Ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung(muttasil) atau tidaknya sanad suatu hadits. Maksud persaambungan sanad adalah petemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttasilnya sanad ini menjadi salah satu syarat kesahihan suatu hadits dari segi sanad [Ilmu ini berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian terhadap ilmu ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan mereka. Karena dari situlah mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin pernah mengatakan : "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu" (Muqaddimah Shahih Muslim).

Maka dengan ilmu Tarikh Rijaalil- Hadiits ini akan sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi').]

Ketiga jenis kitab rijal ini pertama kali muncul di sekitar penghujung abad II H dan pertengahan abad III H, setelah itu menjadi banyak dan meluas.

1. Kitab-kitab Tawarikh al Mudun (sejarah kota-kota/negeri-negeri), yang memuat biografi para ruwaat (rijaalul hadits) pada suatu negeri/kota tertentu. Ilmu ini mulai muncul pada paruh kedua dari abad III H

2. Kitab-kitab Ma’rifatul Asmaa wa Tamyiizuha (pengenalan terhadap nama-nama perawi dan cara membedakannya). Ilmu ini muncul agak belakangan dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat hadits semakin banyak, dan nama kuniyah dan nasab mereka banyak yang serupa sehingga dibutuhkan pembedaannya.

(15)

3. Kitab-kitab biografi rijaal al hadits yang terdapat pada suatu kitab hadits atau beberapa kitab hadits tertentu. Kitab-kitab ini muncul belakangan dan mulai meluas setelah abad V H.s

E. Pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil

Ilmu al-Jarh, yang secara bahasa berarti ‘luka, cela, atau cacat’, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadis mendefinisikan al-Jarh dengan:

ﻦعطﻟا يف يواﺭ ثيدﺤﻟا اﻤﺑ بلسي وا لخي هتﻟادعﺑ وا طﺑاض

“Kecacatan pada perawi Hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”.

Sedang at-Ta’dil, yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), menurut istilah berarti:

هسكع وه زت ةﻴك يواﺮﻟا ﻢكﺤﻟاو هﻴلع هناﺑ لدع وا طﺑاض

“Lawan dari al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil dan dhabit”.

Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:

ﻢلع ثﺤبي ﻦع ﺮﻟا ةاو ﻦم ثﻴح دﺭوام يف ﻢهناش اﻤم ﻢهﻴنسي زيوا ﻢهﻴك ظافﻟاﺑ

وصخم ةص

“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.

Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui para perawi, antara lain:

fulan orang yang paling dipercaya سانﻟا قث وا ﻦﻟاف

fulan kuat hafalannyaطﺑ اضﻦﻟاف ﻦﻟاف ةجح Hujjah fulan

(16)

Sedang contoh untuk mengetahui kecacatan para perawi, antara lain:

سانﻟا بذكا ﻦﻟاف berdusta

paling yang orang

fulan بذكﻟاﺑ ﻢهتم ﻦﻟاف dusta

tertuduh fulan

ﻦﻟافsi

ةجح لا Hujjah bukan

fulan

Ilmu jarh wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh

para ahli sebagai rawi yang cacat, maka peiwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan ke dalam lingkup perbuatan: bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah; mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat alhal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.

F. Perkembangan Ilmu Jarh wa Ta’dil

Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaannya hingga dapatlah membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.

Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil oleh Rasulullah SAW.

Lalu menjadi banyak dari para sahabat, tabi’in, dan orang setelah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang diperingatkan oleh Rasulullah.

Jarh dan ta’dil dalam ilmu hadis menjadi berkembang di kalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah SAW:

(17)

Artinya: “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadis kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka”. (HR. Muslim) Dari Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dia berkata,

Artinya: “Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadis. Lalu seseorang datang kepdaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata, “Kabarkanlah tentang dirinya bahwa

hadisnya tidaklah kuat (dalam periwayatan hadis)”. (HR. Muslim)

Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata, “Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’ilbin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka. (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa)

Diketahuinya hadis-hadis yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah SWT kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak: “(Bagaimana dengan) hadis-hadis yang dipalsukan ini?. Dia berkata, “Para ulama yang berpengalaman yang akan mengahadapinya”.

Maka penyampaian hadis yang periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenanya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para

perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadis, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (jarh wa ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasullullah SAW.

(18)

G. Kegunaan Ilmu Jarh wa Ta’dil

Ilmu jarh wa ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa ta’dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah jarh dan ta’dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta’dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang terendah.

Jelasnya ilmu jarh wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi

dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.

Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:

a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di

kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.

b. Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.

(19)

Sementara orang yang melakukan ta’dil dan tajrih harus memenuhi syarat sebagai berikut:

berilmu pengetahuan, taqwa, wara’, jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan

mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta’dil ini.

H. Syarat Seorang Kritikus

Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan

yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan,

yakni:

a. Haruslah orang tersebut ‘alim (berilmu pengetahuan), b. Bertaqwa,

c. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa- dosa kecil, dan makruhat-makruhat),

d. Jujur,

e. Belum pernah dijarh, f. Menjauhi fanatik golongan,

g. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.

Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.

I. Kitab-Kitab yang Membahas Tentang Jarh wa Ta’dil

Penyusunan karya dalam ilmu jarh wa ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.

(20)

Macam-macam kitab Jarh wa Ta’dil banyak sekali, diantaranya:

a. Kitab yang hanya menjelaskan ketsiqahan perawi.

b. Buku yang hanya menjelaskan kelemahan dan kecacatan perawi.

c. Buku yang menjelaskan ketsiqahan dan kelemahan rawi, dari aspek lain, sebagian kitab tentang jarh wa ta’dil umumnya menceritakan para perawi hadis mengesampingkan penilaian terhadap tokoh-tokoh buku.

Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang

sampai kepada mereka:

1. Ma’rifat ar-Rijal, karya Yahya Ibni Ma’in (wafat tahun 233 H). Berada di Darul kutub Adh-Dhahiriyah.

2. Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India

tahun 320 H. Karya beliau yang lain: At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash- Shaghiir.

3. Al-Jarbu wa at Ta’dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy.

4. Al-Tsiqat, karya Ibnu Hatim bin Hibban al-Busty. Naskah aslinya di Darul kutub al-Mishriyyah.

5. Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.

6. Mizan al-I’tidal, karya Imam Syamuddin Muhammad adz-Dzahaby.

7. Lisan al-Mizan, karya al-Hafidz Ibnu hajar al-Asqalany, dicetak di India tahun 1329-1331 H.

8. Tahdib al-Tahdib, karya Ibnu Hajar.

9. Al-Kamal fi Asma ar-Rijal, karya Abdul Ghani Mudadisy.

(21)

J. Urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Hadis

Para ulama hadis memberikan perhatian khusus terhadap ilmu jarh wa ta’dil karena dengannya dapat menjaga kemurnian hadis Nabi yang memiliki posisi sentral dalam agama Islam. Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang mengemukakan sisi-sisi tercela dan terpuji dari perawi hadis, namun demikian tidak bertujuan untuk menyebarkan

Kekurangan sesorang atau berbuah ghibah kepadanya. Para ulama kritikus hadis hanya pada tataran memberikan penjelasan dan informasi tentang keadaan pribadi perawi hadis, demi kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis, khususnya yang berkaitan dengan syariat agama.

Al-qur’an dan hadis telah memberikan gambaran yang jelas tentang jarh wa ta’dil, Adapun yang berkaitan dengan jarh, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 6:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu

itu. Yang berkaitan dengan ta’dil, firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Fath ayat 18:

Artinya: “Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang yang dekat”,

K. Contoh Aplikasi Jarh wa Ta’dil 1.Jarh (Celaan)

Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan satu pernyataan yang mengharuskan untuk menolak riwayatnya. Dengan menetapkan sifat penolakan atau menafikan (meniadakan) sifat untuk diterima haditsnya. Semisal dikatakan, dia adalah: pembohong

(22)

(باذك

), fasiq (قﺳاف ) lemah (فﻴعض ), tidak tsiqah ( ةقثﺑ سﻴﻟ ), tidak dianggap (ﺮبتعي لا ) atau tidak ditulis haditsnya ( هثيدحبتكﺑلا ).

Jarh terbagi 2, yaitu:

a. Mutlaq: jika disebut seorang rawi dengan jarh (celaan) tanpa batasan, maka dia menjadi cacat di setiap keadaan.

b. Muqoyyad: disebutkannya seorang rawi dengan jarh, namun jarh tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), semisal berkaitan dengan guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau semacamnya, maka jarh tersebut menjadi cacat pada rawi tersebut jika dikaitkan dengan hal tersebut dan tidak berlaku untuk yang lainny

Contoh:

Perkataan ibnu Hajar dalam Taqribu Tahdzib tentang Zaid ibn Habab (rawi ini dipakai Imam Muslim). Ibnu Hajar mengatakan “Dia adalah orang yang jujur (1). Namun, riwayat- riwayatnya adalah keliru jika dia dapatkan dari gurunya yang bernama Sufyan Atsauri. Namun, dia tidak dha’if untuk guru yang lain.”

Contoh lain:

Perkataan penulis kitab Al Kholashoh tentang Isma’il ibn ‘Iyas, “orang ini ditsiqahkan Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Bukhori khusus untuk riwayat dari orang Syam, akan tetapi para ulama mendha’ifkan Ismail jika gurunya adalah orang Hijaz.” Jadi, dia dha’if dalam hadits yang diambil dari orang-orang Hijaz namun tidak dha’if jika gurunya dari penduduk Syam (2).

(23)

Tingkatan jarh yang paling keras adalah yang menyebutkan dengan puncaknya dalam celaan. Misalnya: “orang yang paling pendusta” (سانﻟابذكأ ), “sendi kedustaan”(بذكﻟاﻦكﺭ).

Kemudian apa yang menunjukkan berlebih-lebihan, akan tetapi tidak sampai seperti yang pertama. Misalnya: tukang bohong ( باذك ), pembuat hadits palsu ( عاضو ), pembohong (لاجد)

Jarh yang paling ringan: lembek haditsnya (ن يﻟ ), lemah hafalannya ( ظفﺤﻟائ

يﺳ ) atau orangtersebut ada pembicaraan pada dirinya (لاقم هﻴف ).

2. Ta’dil (Penilaian Baik)

Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan perkataan yang menyebabkan wajib diterimanya riwayat darinya, bisa berupa sifat diterimanya riwayat atau menafikan sifat ditolaknya riwayat. Misalnya, dikatakan: dia “tsiqah (terpercaya)” (ةقث وه ), “tidak mengapa dengannya” (هﺑ سأﺑ لا ) atau “tidak ditolak hadits darinya” (هثيدح دﺮي لا ).

Ta’dil terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Mutlaq: disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil tanpa persyaratan. Maka, rawi tersebut tsiqah dalam setiap kondisi.

b. Muqayyad: disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil. Namun, ta’dil tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), baik dari guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau sejenisnya. Maka, ta’dil ini adalah penilaian tsiqah tentang orang ini pada keadaan tertentu tersebut dan tidak pada keadaan sekaliannya.

(24)

Contoh:

Dikatakan “Dia ini tsiqah bila membawakan hadits dari Az zuhri atau hadits yang dia dapatkan berasal dari orang Hijaz.” Maka, rawi ini tidak tsiqah dalam riwayat yang dia bawakan dari orang lain yang dia tidak ditsiqahkan.

Tingkatan Ta’dil yang paling tinggi adalah yang menunjukkan puncaknya dalam ta’dil.

Semacam: “manusia yang paling terpercaya” ( سانﻟا قثوا ), “padanya terdapat puncak ketekunan” ( تبثﻟاهﻴف) ,( ىهتنﻤﻟاهﻴﻟإ)

Tingkatan yang paling rendah adalah kata-kata pujian yang paling dekat dengan jarh yang paling ringan. Semisal dikatakan “dia adalah orang yang sholeh” ( حﻟاص ), “dia adalah dekat” (بﺭاقم ), “diriwayatkan haditsnya” (هثيدح ىوﺮي ) atau kata-kata semisal.

(25)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu rijal hadis adalah ilmu yang membahas tentang hal-hal ikhwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabiin, atba’al-tabiin. Kemunculan ilmu Rijal merupakan buah dari berkembang dan menyebarnya penggunaan isnad serta banyaknya pertanyaan tentangnya. Ilmu rijalul berfungsi untuk mengetahui data-data para perawi secara detail yang meliputi biografi, kualitas kepribadian, dan tingkat religiusitasnya.

Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang

dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu.

Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaannya hingga dapatlah membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.

Jelasnya ilmu jarh wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.

B. Saran

Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ataupun mahasiswa ilmu

hadis, karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadis. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya.

Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima hadisnya, serta dapat membedakan dengan periwayat yang tidak dapat diterima hadisnya. Oleh karena itu para ulama

(26)

hadis memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan. Syaikh Manna’.. Pengantar Studi ilmu Hadits.Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kausar. 2004).

Ash-Shiddieqy. Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2009).

Suparta, Munzier. 2016. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.

http://labs.pusatkajianhadis.com/tematik/uad-14/urgensi-ilmu-jarh-wa-tadil/

https://osf.io>downloadPDF ILMU JARH WA TA’DIL-OSF http://quran-id.com

[1] . Prop. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 113-114

[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2004. Pengantar Studi ilmu Hadits.Terj. Mifdhol Abdurrahman, Lc. Jakarta : Pustaka Al-Kausar. Thalaman Tadriibur-Raawi halaman 5-6 dan Nudhatun-Nadhar halaman 19)

Referensi

Dokumen terkait