• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PENELITIAN RIJAL AL HADIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PENELITIAN RIJAL AL HADIS"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Semester I Program Magister

UIN Alauddin Makassar pada Mata Kuliah Ulumul Hadis

Oleh

SY. JAPAR SADIQ N I M 80100212177

Dosen Pemandu:

Prof. Dr. HJ. ANDI RASDIANAH Dra. ST. AISYAH, M.A., Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA

(2)
(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sejarah penulisan dan pembukuan hadis dan ilmu hadis

telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang,

sejak zaman Nabi Muhammad, sahabat, tabi’in dan

seterusnya hingga mencapai puncaknya pada pada abad

ketiga hijriah. Perjuangan keras dari para ilmuan hadis dalam

menyeleksi hadis telah menghasilkan berbagai metode hingga

melahirkan kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah

tersebut pada akhirnya berkembang menjadi ilmu tersendiri

yang disebut ilmu hadis.

Perkembangan keilmuan mencapai puncak kejayaannya,

sekaitan dengan ilmu hadis lebih banyak mengacu pada

metode-metode yang dipergunakan pada abad ketiga

tersebut.

Al-Qur’an mengajarkan agar seseorang tidak mencela

orang lain. Akan tetapi untuk kepentingan agama yang lebih

besar, kepentingan penelitian hadis sebagai salah satu

sumber ajaran Islam, kejelekan atau kekurangan pribadi

peribadi periwayat dalam kaitannya dengan periwayatan

hadis sangat perlu dikemukakan, karena penelitian terhadap

pribadi periwayat dalam kaitannya penelitian hadis tidak

(4)

menyeleksi kualitas periwayat hadis. Orang-orang sanad

merupakan perawi-perawi hadis, merekalah yang menjadi

pokok pembicaraan dalam ilmu rijalul hadis.

Ilmu inilah yang menjadi parameter dalam menilai

orang-orang yang ada pada sanad sebuah hadis. Dengan

didasarkan pada orang-orang yang ada pada sanad dari sisi

ta’dil dan jarh sehingga dapat memberikan gambaran tentang kualitas hadis yang sampaikannya apakah hadis tersebut

dapat diterima dan atau ditolak, karena dipastikan bahwa

tidaklah mungkin orang-orang yang memiliki integritas tinggi

menyampaikan sesuatu yang tidak bersumber dari nabi, inilah

yang menjadi landasan pokok dari penelitian rijalul hadis.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut, penulis akan mengemukakan

beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apa dan bagaimana ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jar Wa Ta’dil?

2. Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis?

(5)

BAB II

PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Rijal al-Hadis

Sebelum dikemukakan pengertian ilmu Rijal al-Hadis, terlebih dahulu akan diberikan pengertian kata “rijal”. Rijal

merupakan jamak dari kata rajul, artinya kaum pria.1

Totok Jumantoro mengemukakan bahwa ilmu Rijal al-Hadis adalah:

ن

ن مم م

م ههرنيمس

م ةمَاونررلَا لمَاونحمآ ن

م ع

ن هميمفم ث

ه ح

ن بميه م

م لمعم

م

م همعمَابنتمَام عمَابنتمَامون ن

ن يمعمبمَاتنلَاون ةمبن َاح

ن ص

ص لَا

Artinya:

Suatu ilmu yang di dalam ilmu itu dibahas tentang keadaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it-tabi’in2

Sementara itu, Subhi al-Shalih memberikan pengertian

Rijal al-Hadis sebagai berikut:

دحلل ةَاور مهننَا ثيح نم ثيدحلَا ةَاونر هب فرعي ملع

".ثي

3

Artinya:

Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.

1M. Rasir Ibrahim, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Apollo, t. t), h. 105.

2Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002), h. 208

(6)

Dari pengertian tersebut, dipahami bahwa ilmu Rijal al-Hadis merupakan ilmu yang sangat penting posisinya dalam mengetahui kondisi para rawi, karena dalam ilmu ini

dijelaskan riwayat hidup perawi, mazhab yang dipegangi

serta keadaan para perawi dalam menerima hadis.

Hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Sanad itu ialah

para perawi, dengan sanad lah mana yang diterima, mana

yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak.

Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum

Islam. Dengan demikian, mengetahui keadaan para perawi

yang menjadi sanad merupakan separuh pengetahuan.4

Para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi

sampai generasi mukharriyul hadis (periwayat dan sekaligus penghimpun hadis) telah tidak dapat dijumpai secara fisik,

karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali

keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan

mereka di bidang periwayatan hadis, diperlukan informasi

dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal

(periwayat) hadis. 5

Pengetahuan yang membahas berbagai hal yang

berhubungan dengan perawi hadis, tidak hanya berkenaan

dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan

dengan hal-hal yang tercela.6

4Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.IV; PT. Pustaka Rizki Putra,) h. 132.

5M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.72.

(7)

B. Teknik Menetapkan Jarh wa ta’dil

Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu

teknik atau teori agar penelitian terhadap periwayat hadis

dapat lebih objektif, sebagai berikut:

1

حرجلَا ىلع م دنقم لي دَاعتلَا .

Artinya: at-ta’dil didahulukan atas al-jarh.7

Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh

seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya,

maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian.

Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji.

Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang

kemudian. Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan

sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah

sifat dasarnya. Pendukung teori ini oleh an-Nasa’i (w. 303

H/915 M), namun pada umumnya ulama hadis tidak

menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak

mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang

dinilainya, sedang kritikus yang mengemukakan celaan

adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat

yang dinilainya.

2

لي دعتنلَا ىلع مدنقم حرجلَا .

Artinya: al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.8

7Ibid., h. 77

(8)

Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh

seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka

yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.

Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan

lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan

dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan

baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu

harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang

ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.

Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh,

dan ulama ushul fiqh.

Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah

ditetapkan ‘adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti bahwa

keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.”9

3

zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), h. 40.

(9)

maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah

kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela

menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan

periwayat yang yang bersangkutan.

Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan

sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih

mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada

kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap

periwayat yang sama.

Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik

hadis. Namun, sebagian dari mereka ada yang menyatakan

bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah

relevan dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang

memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan

periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa

sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka

kritikannya yang memuji tersebut yang harus dipilih.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif

antara jarh dan ta’dil hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan penyelesaiannya. Sedangkan kontradiktif

yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan

kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu tarjih.11

(dicari yang lebih unggul).

Seperti seorang rawi di-rajh dengan penilaian fasik karena diketahui kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun

(10)

diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut tidak termasuk

jarh/berdusta pada Rasulullah.

4

ةقثنلل هحرج لبقي لف َافيعض حرَاجلَا نَاك َاذَا .

Artinya:

Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima.12

Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang

tidak siqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tidak

siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah tersebut harus ditolak.

Alasannya, orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak

siqah, dalam hal ini dapat dikemukakan pernyataan al-A’raj (w.117 H)13 berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima

hadis adri Nabi Muhammad saw, selalu hadir pada majlis Nabi

Muhammad saw. dan tidak akan lupa apa yang telah

didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-A’raj

menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat

hadis yang siqah, karena Al-A’raj tergolong kritikus yang siqh.

5

ىف هَاباشلَا ةيشخ تبثنتنلَا دعب لَا حرجلَا لبقيل .

نيحورجلَا

Artinya:

Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.14

12M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 52

(11)

Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki

kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain,

lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan,

maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat

dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat

adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.

Alasanya, suatu kritikan hris jelas sasarannya. Dalam

mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik

haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau

kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.

6

هب دنتعيل ةينويند ةوَادع نع ئاش َانلَا حرجلَا .

Artinya:

Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tdak perlu diperhatikan.15

Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat

tertentu memiliki perasaan yang bermusushan dalam

masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik

dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.

Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah

dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur.

Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan

periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlakuk tidak

jujur karena didorong oleh rasa kebencian.16

14M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 80

15Ibid.,h. 81.

(12)

Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya

masing-masing, maka menurut penulis, yang harus dipilih

adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih

objektif terhadap para periwayat hadis baik yang

berhubungan dengan intergritas kepribadiannya maupun

kapasitas intelektualnya.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila

seorang rawi di-jarh oleh para ahli kritik yang siqah sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Dan

apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya

periwayatannya diterima.

Para ulama Dalam menetapkan Rijal al-Hadis, telah melaksanakan sebuah usaha untuk mengkritik perawi dan

menerangkan keadaan-keadaan mereka. Ada tiga peristiwa

penting yang mengharuskan adanya kritik atau penelitian

para perawi (sanad) hadis.17 Pertama, pada zaman Nabi

Muhammad saw. tidak seluruh hadis tertulis, kedua, sesudah zaman Nabi Muhammad saw, terjadi pemalsuan hadis,

ketiga, perhimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis. Hadis

sebagai sumber ajaran Islam meniscayakan adanya kepastian

validitas bersumber dari Nabi Muhammad saw.

Ulama ahli hadis telah membuat kaidah dalam

menetapkan orang-orang yang boleh diterima dan ditolak

riwayatnya. Mana yang boleh ditulis hadisnya dan mana yang

(13)

tidak. Dan mereka menerangkan mana orang-orang yang

tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah ilmu Jarhi wa Ta’dil.18

C. Segi-segi Rijal al-Hadis yang Diteliti

Para ulama hadis melakukan penelitian Rijal al-hadis

dengan menggunakan metode yang beragam. Dapat

diklasifikasikan menjadi dua bentuk, pertama, Tarikhur Ruat,

kedua, Jarh wat Ta’dil. Untuk memberikan gambaran tentang kegiatan penelitian mereka dapat dilihat dalam bentuk buku:

a. Kitab-kitab Tarikh al-Ruwat

Kitab Tarikh al-Ruwat ini berisi sejarah perawi-perawi hadis. Membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi

dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang pernah

mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan pula dimana

dan kapan ia wafat. 19

Untuk menulis kitab Tarikh al-Ruwat, ulama

menggunakan metode berikut:

1. Mengelompokkan perawi berdasarkan angkatan tertentu

yang disebut Thabaqat.

2. Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini

penulisnya menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis

18TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., h. 79.

(14)

biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat dilihat

dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-Dzahabi.20

3. Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu para penulis yang membahas apara

periwayat hadis.

4. Menyusun periwayat berdasarkan negeri, penulisnya

mengemukakan para ulama dari satu negeri dan

mengemukakan keutaman suatu negeri, kemudian

menyebutkan para sahabat yang ada disana,

menjadikannya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat

saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis.

5. Menyususn berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kun’ya, Alqab Ansab (keturunan), dan berdasar ikhwah dan akhwat

(saudara laki-laki dan saudara perempuan).

b. Kitab-kitab Al-jarh wa al-Ta’dil21

Sehubungan dengan kitab Tarikh al-Ruwat, kitab Al-jarh wa al-Ta’dil memberi informasi tentang kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya

maupun dari segi kapasitas intelektualnya.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa usaha para

ulama hadis dalam mengerahkan segala kemampuannya

untuk melakukan penelitian terhadap rijal al-hadis dalam dalam rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para

perawi hadis, dan juga sebagai upaya untuk mengenal lebih

20Lihat, M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis’Ulumuhu wa Mushthalahahu (Beirut: Darul Fikr, 1989), h.225.

(15)

dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui lebih rinci

tentang kondisi periwayat tersebut. Sehingga dapat

menentukan maqbul atau mardatnya suatu hadis.

D. Kaidah al-Jarh wa Ta’dil

Jarh menurut bahasa berarti luka. Kata jarh lebih banyak digunakan dalam bentuk abstrak (non fisik) dan juga

dalam bentuk konkrit (fisik).22

Menurut istilah, jarh adalah penolakan seorang rawi yang hafal (hafidz) dan kuat daya ingatnya (mutqin’) terhadap periwayatan perawi karena adanya cacat yang mencederakan

atau terhadap periwayat rawi fasik, rawi tadlis, rawi pendusta, rawi syadz, dan lain sebagainya.23

Jadi Jarh itu adalah pengungkapan kecacatan perawi hadis. Dengan pengungkapannya itu bisa menggunakan

periwatannya karena hal itu merupakan cacat dalam segi

‘adalah (keta’dilan) atau cacat dalam segi kedhabit-an mereka.

Adapun Ta’dil menurut bahasa mempunyai beberapa arti: 1) menegakkan, misalnya orang menegakkan hukum; 2)

membersihkan, misalnya orang membersihkan sesuatu; 3)

membuat seimbang, misalnya orang membuat seimbang

dalam penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil mempunyai tiga

22M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian,op.cit., h. 28.

(16)

pengertian, yaitu menegakkan (al-taqwin), membersihkan ( al-tazkiyah) dan membuat seimbang (al-taswiyah).24

Menurut istilah, Ta-dil adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang diterima periwayatannya. Hal ini

merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang rawi yang

diterima. 25

Sementara itu, TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan

sebagai berikut:

لوبقلَا مدهي ةلَادع بج وت تَافصب يوَا رنلَا فصو

هتيَاورل

Artinya:

Mendefinisikan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.26

Dapat ditegaskan bahwa menetapkan keta’dilan atau

jarh kepada seseorang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menurut Mahmud Ali Fayyad, menetapkan

keta’dilan itu sama dengan persaksian terhadap bersihnya seorang perawi, dan menetapkan jarh itu sama dengan menetapkan bahwa seorang perawi yang di-jarh itu tidak bermoral berdasarkan bukti-bukti kecacatan seseorang,

24Ibid. h. 29

25Ibid.

(17)

betapa pentingnya persaksian ini karena pengamalan sunnah

itu bergantung kepadanya.27

Ilmuan hadis menetapkan kaedah al jarh wa ta’dil, sebagai landasan dalam menilai rawi dalam hadis.

Kaedah-kaedah jarh dan ta’dil adalah sebagai berikut:

1. Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah

periwayatannya, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan

mereka. Ini disebut Naqdun Kharijiun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri

hadis).

2. Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih

atau tidak dan apa jalan-jalan keshalihannya dan

ketidakshahihannya, ini dinamakan Naqdun Dakhiliyun

atau kritik dari dalam hadis. 28

Dalam kaitannya dengan keadaan para periwayat,

ulama ahli hadis telah menyusun peringkat para periwayat

dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka.

Ulama ahli hadis tidak sepakat tentang jumlah peringkat yang

berlaku untuk al-jarh wa at-ta’dil; sebagian ulama membagi menjadi empat perangkat; yang laim membagi menjadi lima

peringkat; dan yang lain membagi menjadi enam peringkat.29

Menurut Arifuddin Ahmad, perbedaan jumlah peringkat

bagi para periwayat hadis mengenai al-jarh wa at-ta’dil,

27Mahmud Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah, diterjmahkan oleh A. Zarksy Chumaidy (Cet.I;Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 58.

28TM. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, loc.cit.

(18)

sedikitnya disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) karena terdapat

perbedaan pandangan dalam penetapan bobot kualitas

terhadap periwayatan tertentu; (2) karena terdapat

perbedaan lafal untuk penyifatan kualitas periwayat yang

sama; (3) karena dari kalangan ulama ada yang tidak

konsisten dalam menyifati periwayat tertentu.30

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kritik

terhadap para periwayat, ulama ahli hadis cukup hati-hati,

baik dari segi keterpujian maupun dari segi ketercelaan.

Adapun kritik dari dalam hadis (naqdun dakhiliyun), Arifuddin Ahmad menegaskan bahwa apabila

argumen-argumen yang diujikan untuk matan hadis bersangkutan telah memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, maka matan

hadis bersangkutan adalah sahih. Sebaiknya, apabila

argumen-argumen yang diajukan tidak memenuhi kaidah

kesahihan matan, maka matan hadis bersangkutan adalah

dhaif pula. 31

Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditegaskan

bahwa, apabila penelitian itu dilakukan secara cermat dan

menggunakan pendekatan yang tepat maka dapat dipastikan

bahwa setiap sanad yang sahih pasti memiliki matan yang sahih, sebab adanya syadz dan atau illat pada matan tidak terlepas dari kelemahan pada sanad, hal ini disebabkan pendekatan yang digunakan dalam mengambil natijah

terhadap penelitian sanad ataupun matan kurang tepat.

30Ibid

(19)

Misalnya sikap yang longgar dalam menilai seorang

periwayat; penelitian terhadap lambang-lambang

periwayatan yang kurang cermat dan matan hadis yang diteliti tampak bertentangan dengan matan hadis atau dalil

lain yang lebih kuat dinyatakan sebagai hadis yang dhaif,

padahal, hadis yang bersangkutan mungkin sifatnya berbeda,

yang satu bersifat universal dan yang lain bersifat temporal

atau lokal, kekeliruan disebabkan oleh kesalahan

menggunakan pendekatan penelitian.

E. Maratib al-Jarh wa at-Ta’dil

Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah

semuanya dalam satu derajat dari segi keadilan dan

kedhabitan. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula

yang sering lupa dan salah.

Oleh karena itu, para ulama menetapkan tingkatan jarh

dan ta’dil. Dan lafazh-lafazh yang menunjukkan pada setip tingkatan, sehinga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan, dan

tingkatan jarh ada enam juga.32 Hal ini ditegaskan pula oleh

al-Sakhawi dengan membuat tingkatan al-jarh dan al-ta’dil

menjadi enam tingkatan.33

Inilah urutan (tartib) tingkatan al-jarh dan al-ta’dil

dengan menggunakan bentuk genap (berpasangan) secara

bertingkat mulai dari bentuk al-ta’dil yang paling kuat sampai

32Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 85.

(20)

yang terlemah, dan mulai dari bentuk al-jarh yang paling

lemah sampai dengan yang paling kuat.

1. Peringkat ta’dil dan lafal-lafalnya

Tingkat pertama: yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wazan “af ala”34 yang menunjukkan arti “sangat” dalam kepercayaan,

seperti ucapan:

a.

س انلا قثوا

= orang yang paling dipercaya

b.

سانلا تبثا

= orang yang paling teguh

c.

تيبثتلا ىف ىهتنملا هيلا

= orang yang paling top keteguhan

hati dan lidahnya35

Tingkat kedua: dengan mengulang-ulang lafal ‘adalah

dua kali atau lebih baik yang diulangnya itu, bentuk lafaknya

sendiri, seperti تبث تبث = orang yang teguh lagi teguh, atau

yang diulangnya itu dalam bentuk maknanya seperti ucapan

mereka ةججح ةقث= orang yang dipercayai lagi pula hujja dan ةقث

تبث= orang yang dipercayai lagi pula teguh.36

Setiap pengulangan lafal yang lebih banyak, itu

menunjukkan atas kuatnya tingkatan rawi di dalam segi

‘adalah-nya.

Tingkatan ketiga: yaitu lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang mencerminkan kedhabithan, atau

menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan

34Syaikh Manna’ AL-Qaththan,op.cit., h. 88.

35 Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, Loc. Cit.

(21)

atas hal itu. Seperti ucapan: تبث= orang yang teguh (hati

dan lidahnya), ةقث= orang yang tsiqah, ةججح= seorang tokoh, dan, نقتم= orang yang meyakinkan (ilmunya).37

Tingkatan keempat: yaitu lafal-lafal yang menunjukkan kepada tingkatan perawi yang tidak mencerminkan

kedhabithan penuh, atau yang menunjukkan adanya keadilan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian.

Seperti ucapan قودص= jujur, هب سأبلtidak mengapa

dengannya, menurut selain Ibnu Ma’in, sebab menurut ibnu

Ma’in kalimat adalah tsiqah, kemudian هب سأبل = tsiqah. kemudian سانلارايخ= orang pilihan. Imam al-Sakhawi berkata

setelah menyebutkan tingkatan-tingkatan ta’dil sebagai berikut” sesungguhnya penetapan pada ahli

tingkatan-tingkatan yang dijadikan hujjah dengan keempat tingkatan-tingkatan

yang pertama, diantaranya.”38 Ucapannya bersesuaian

dengan kelompok mu’tadilin ulama al-jarh wa al-ta’dil. Para pengkaji mengetahui bahwa sebagian ulama mengemukakan

bahwa pemilik tingkatan keempat, hadisnya ditulis,

diperhatikan, dan diberitahukan hadisnya sehingga diketaui

kedhabithannya.

Tingkatan kelima: lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan perawi yang terlintas persyaratan dhabith, tetapi

37 Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.t., h. 62.

(22)

lebih kecil kedhabithannya daripada tingkatan keempat. Tingkatan keenam yaitu: lafal-lafal yang menunjukkan

pada tingkatan rawi yang memilki sifat-sifat adalah yang

dii’tibarkan hadisnya (hanya untuk

dipertimbangkan hadisnya)

ربتعي هب

Adapun hukum tingkatan ini menurut Syaikh Manna

al-Qaththan adalah:

39 Ibid., h. 65.

(23)

a. Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan

hujjah, tetapi meskipun sebagian besar mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.

b. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa

dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan

diuji kedhabithan mereka dengan membandingkan hadis mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith, jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan

hujjah, jika tidak sesuai maka ditolak, meskipun dia dari

tingkatan kelima yang lebih rendah dari tingkatan

keempat.

c. Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan

hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan

sebagai pertimbangan saja bukan untuk pengujian,

karena mereka tidak dhabith.

d. Dengan demikian dapat dtegaskan bahwa rawi-rawi

yang ditolak hadisnya untuk dijadikan hujjah, dalam segi

keagamaannya ialah orang-orang baik dan ‘adalah, namun ketercelaanya hanyalah dari segi

kedhabithannya saja (daya hafal dan daya ingat) kurang

baik.41

2. Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.

Tingkatan pertama: yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh (kritikan) seperti:

(24)

تيدحلا نيل= lemah hadisnya, atau لاقم هيف= adanya ada kelemahan, dan هيف ل اقم ىت وا =di dalamnya pembicaraan yang paling rendah.

Tingkat kedua: yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah,

seperti: هب ججتحيل=tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya; dan

هاو=hadis lemah; serta تيدحلا ركنم hadis yang ditolak dan juga

ريك انم هل= memiliki hadis-hadis munkar.

Tingkatan ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya seperti; ادجج فيعض= lemah sekali,

هثيدح بتكيل= tidak dicatat hadisnya, هثيدح حرط= hadisnya dibuang, ثيدحلا دود رم= hadisnya ditolak.

Tingkatan keempat: yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis, seperti; بذكلاب مهتم= tertuduh

bohong, ثيدحلا كورتم= hadisnya ditinggikan; ىوقلاب سيلtidak

kuat, رظن هيف= perlu diteliti hadisnya.

Tingkatan kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya, seperti; باذك=orang yang

pembohong; لاجر = orang yang penipu; عاضجو= orang yang

pendusta atau pemalsu hadis; بذكي=orang yang berbohong.

Tingkatan keenam: yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan, seperti;

(25)

عض ولا ىف ىهتنملا هيلا = orang yang paling top kedustaanya42

Adapun hukum tingkatan-tingkatan al-jarh ini, Manna A-Qaththan menegaskan bahwa:

Untuk dua tingkatan pertama tidak dijadikan sebagai

hujjah terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk

diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua

lebih rendah daripada tingkatan pertama sedangkan empat

tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak

boleh ditulis dan tidak boleh dianggap sama sekali.43

Terhadap ta’dil boleh diterima tanpa menyebutkan alasan dan sebabnya menurut pendapat yang shahih dan

masyhur, karena sebabnya banyak sehingga sulit

menyebutkannya.

Sedangkan jarh tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu terjadi disebabkan satu masalah

dan tidak tulis menyebutkannya. Dan karena setiap orang

berbeda dalam sebab-sebab jarh-nya. Ulama yang men-jarh

seorang perawi karena berdasarkan pada apa yang

diyakininya sebagai jarh. Belum tentu dapat dijadikan alasan bagi orang lain. Oleh karenanya harus dijelaskan sebab jarh

untuk dapat dilihat apakah itu benar suatu cacat atau bukan.

F. Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis

Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik

hadis ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar”

42 Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, op.ci.t., h. 68-73

(26)

(tasahhul), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni

“moderat” (tasawut).44

Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun

mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam

menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. An-Nasa’i (wafat

303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di

al-Madini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai mutasyaddid

dalam menilai kesiqaan periwayat, yang berarti juga dalam

menilai kesahihan suatu hadis.

Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505

M) dikenal sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M) dikenal

sebagai mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap

penelitian yang mereka hasilkan.45

Adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam

menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa

dalam penelitian hadis yang nilai tidak hanya para periwayat

hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya terjadi

perbedaan dalam mengetik, maka sikap kritikus harus

menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik

yang lebih obyektif.

44 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Op.cit., h.74

(27)

Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan

6. Tidak fanatic terhadap sebagai perawi

7. Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh.46 G. Kitab-kitab Rujukan

Berikut ini dikemukakan kitab-kitab rijal dengan lebih

mengacu kepada susunan yang dikemukakan oleh Mahmud

At-Tahhan.

a. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat

Nabi

بب اححصص احلصا بةفح ربعصمح ىصفب بب اعحيصتبسصإبلصاح

Susunan Ibnu’ Abdil-Barr (wafat 463 H/1071 M).

ةباحصجلا ةف رعم ىف باعلا دسا

Susunan Izud-Din Ibnul-Asir (wafat 630 H/ 1232 M).

ةباحصجلا زييمت ىف ةباصلا

Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/ 1449 M).

b. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat

hadis yang disusun berdasarkan tingkatan para periwayat

(tabaqatur-ruwah) dilihat dari segi tertentu:

(28)

ىربكلا تاقبلطلا

Susunan Ibnu Sa’ad (wafat 230 H).

ظ اقحلا ةركذت باتك

Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/

1348 M).

c. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis secara

umum:

ريبكلا خيراتلا

Susunan al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M).

ليدعتلاو حرجلا

Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).

d. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk

kitab-kitab hadis tertentu:

دادسلا و ةقثلا لهأ ةف رعم ىف داشرلا و ةيا دهلا

Susunan Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (wafat 318 H).

ةرشعلا لاج رب ة ركذتلا

Susunan Muhammad bin ‘Ali al-Husaini (wafat 765 H).

kitab yang membahas para periwayat hadis di kitab-kitab

hadis dari keempat tokoh mazhab figh yang tidak dijelaskan oleh Tahzibul-Kamal karya al-Mizzi di atas.

ةعبرلا ةمئ لا لاج ر دناوزب ةعفنملا ليجعت

Susunan Ibnu Hajar al-A’Asqalan.

e. Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis:

(1)Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat

(29)

تاقثلا باتك

Susunan Abul-Hasan Ahmad bin’

Abdilah al-‘Ijli (wafat 261 H)

تاقثلا باتك

Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban

al-Busti (wafat 354 H / 965 M)

ملعلا مهنع لقن نمم تاقثلا ءامسأ خيرات

Susunan ‘Umar bin Ahmad bin Syahin (wafat 383 H).

(2)Kitab-kitab yang khusus membahas para periwayat

yang dinilai lemah (da’if) oleh penyusunnya:

-Susunan Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-Uqaili (wafat

323 H).

نيثدجحملا نم نيحورجملا ةف رعم

Susunan Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban

(30)

Susunan Bahsyal (Abul-Hasan Aslam bin Syahl) al-Wasiti

(wafat 288 H)

سن وتو ةيجقي رفا ءاملع تاقبط رصتخم

Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis

di Shahih al-Bukhari.

ملسم حيحص لاجر

Susunan Ahmad bin ‘Ali al-Asfahani (wafat 428 H).

نيحيحصجلا لاجر نيب عمجلا

Susunan Ibnul-Qaisarani (Muhammad bin Tahir

ar-Maqdisi) (wafat 507H).

Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis

di Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

اطؤملا لاج رب في رعتلا

Susunan Muhammad bin Yahya at-Tamimi (wafat 416 H).

Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis

di Muatta’ Malik

(31)

Sahih al-Bukhari Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah):

لاجرجلا ءامسأ ىف لامكلا

Susunan ‘Abdul-Gani al-Maqdisi (wafat 600 H). kitab

tersebut merupakan perintis kitab Rijal yang membahas para periwayat al-Kutubus Sittah. Kitab-kitab yang berisi penyempurnaan

لامكلا بيذهت

Susunan Abu-Hajjaj Yusuf bin az-Zaki al-Mizzi (wafat 742

H)

لامكلا بيذهت لامكا

Susunan ‘Alaud-Din Muglataya (wafat 762 H).

بيذهتلا بيهذت

Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748

H/1348 M).

ةتسجلا بتكلا ىف ةاور هل نم ةف رعم ىف فشاكلا

Susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.

بيذهتلا بيذهت

Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M).

بيذهتلا بيرقت

Susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

لامكلا بيذهت بيهذت ةصلخ

Susunan Saifud-Din Ahmad ‘Abdillah al-Khazrahji (wafat

(32)

(7) Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis di

sepuluh kitab hadis, yakni al-Kutubus-Sittah dan kitab-kitab dari keempat tokoh mazhab fiqh (Muatta’Malik, Musnad asy-Syafi’I Musnad Ahmad, dan Musnad yang dihimpun oleh Husain bin Muhammad bin Khusr dari

hadis-hadis riwayat Abu Hanafiah):

ةقرجلا خيرات

Susunan Muhammad bin Sa’id al-Qusyairi

ايراد خيرات

Susunan Abu ‘Abdillah ‘Abdul-Jabbar ad-Darani (wafat

370 H).

ناهفصلا رابخأ ركذ

Susunan Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdillah al-Asbahani

(wafat 430 H).

ناجرج خيرات

Susunan Abul-Qasim Hamzah bin Yusuf as-Sahmi (wafat

427 H).

دادغب خيرات

Susunan Ahmad bin ‘Ali bin Sabit al-Khatib al-Bagdadi

(wafat 463 H).

(8) Kitab-kitab yang membahas ‘illat hadis:

ثيدحلا للع

Susunan Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).

لاج رجلا ةف رعمو للعلا

Susunan Ahmad bin Hambal

(33)

Susunan Ibnul-Madini (wafat 234 H)

-ريبكلا للعلا

Susunan at-Turmuzi (wafat 279 H/892 M).

-ريغصجلا للعلا

Susunan at-Turmuzi

ةيجوبنلا تيداحلا ىف ة دراولا للعلا

Susunan a-Daraqutni (wafat 385 H/995 M).47

Judul-judul kitab rijal hadis yang dikemukakan di atas lebih dari empat puluh macam. Seluruh kitab tersebut

termasuk lengkap dan ideal sekali untuk meneliti sanad

hadis.

(34)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat

menyimpulkan sebagai berikut:

1. Ilmu rijal al hadis adalah ilmu yang sangat tinggi nilainya, dan besar pengaruhnya. Karena dalam ilmu ini diterangkan

berbagai aspek yang berhubungan dengan para perawi,

terutama integritas kepribadian dan kapasitas keilmuannya.

2. Penetapan teknik oleh para ulama ahli kritik hadis

dimaksudkan agar penelitian terhadap para periwayat hadis

dapat lebih objektif dalam menentukan apakah hadis tersebut

daapt diterima atau ditolak.

3. Penelitian terhadap berbagai segi rijal al hadis adalah dalam rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi

hadis. Juga sebagai upaya untuk mengenai lebih dekat para

periwayat hadis agar dapat mengetahui secara rinci kondisi

periwayat tersebut.

4. Kaedah al-jarh wa ta’dil bertujuan untuk melakukan penelitian secara cermat, baik terhadap para periwayat maupun

terhadap hadis itu sendiri.

5. Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada

dalam satu derajat dari segi keadilan dan kedhabitan. Di

antara mereka ada yang kurang dari hafalan, dan ada pula

(35)

menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil beserta lafal-lafalnya untuk menentukan hadis yang dapat dijadikan hujjah.

6. Sikap kritikus hadis dalam menilai rijal al hadis berbeda-beda, ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul),

dan ada yang “moderat” (tawassut).

7. Kitab-kitab rujukan rijal al hadis sebagai dikemukakan oleh Dr. Mahmud at-Tahhan lebih dari empat puluh macam dan seluruh

kitab tersebut termasuk lengkap dan ideal untuk meneliti para

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Ali Fayyad, Mahmud, Manhaj

al-Muhadditsiin fii Dhabth as-Sunnah,

diterjemahkan oleh A. Zarkasyi

Chumaidy. Cet. I; Jakarta: CV.

Pustaka Setia, 1998.

Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru

Memahami Hadis Nabi. Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005.

Al-Shahih, Subhi, Ulum al-Hadis wa Mustalahahu. Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin, t.t.

Al-Khatib, M. Ajjaj, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu. Beirut: Darul Fikr, 1989.

At-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul

Pengantar Studi Ilmu Hadis. Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.

At-Tahhan, Mahmud, Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1978.

Bustamin dan M. Isa H.A. Salam,

(37)

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004.

Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad,

Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.

Cet.IV; Semarang: PT. Pustaka Rizki

Putra, 1999.

Heahim, M. Rasir, Kamus Arab-Indonesia.

Surabaya: Apollo, t.t.

Ismail, M. Syuhudi, Metodolodi Penelitian Hadits Nabi. Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis, Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002.

Muhammad Abdullatif, Abdul Mawjud, Ilmu Jarh wa Ta’dil,

diterjemahkan oleh Al-Zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasinya. Cet. I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003.

Rahman, Fathar, Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Quran. Cet. XX; Bandung: Mizan, 1999.

Sulaiman PL., Noor. Antologi Ilmu Hadi.

Cet. II; Gaung Persada Press, Jakarta:

(38)

Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan

Metodologis. Yogyakarta: Liberty,

Referensi

Dokumen terkait

ةسرد ا لخدي نأ نكم ملعت ا ثيح ادج .ةيلاع صاصتما و ةيلوم نم بيردتلا. وأا .م رايتخا

Setelah metode penelitian ditentukan maka perlu juga di tetapkan teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan dengan maksud untuk mengumpulkan informasi dan atau

GGE biplot menghasilkan visualisasi grafik yang menggambarkan penampilan genotipe pada lingkungan spesifik, adaptablitas genotipe pada beberapa lingkungan

Ada beberapa yang tidak aktif dalam Pramuka, salah satunya karena menurun minat, lebih.. mementingkan

Anestesi lokal secara umum diindikasikan pada pencabutan dan preparasi kavitas gigi.Beberapa tipe anestesi lokal antara lain anestesi topical digunakan untuk mengurangi

perang dalam bentuk ketegangan sebagai perwujudan dari konflik-konflik kepentingan dan perebutan supremasi serta perbedaan ideologi antara blok barat yang dipimpin oleh Amerika

The result of the effect on implementing non- treatment of DRTA method on students reading comprehension for the control group of the composite comparing score for both pre-test

[r]