• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dokumen Tentang Hadis

N/A
N/A
Rahma

Academic year: 2023

Membagikan "Dokumen Tentang Hadis"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Hadis Da’if

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah Hadis Tematik Pendidikan

Dosen:

Dr. Sulidar, M. Ag.

Oleh:

Sri Rahmayani Manalu, S. Pd.

(0331224305)

Mahasiswa Prodi PAI Non Reguler Program Magister (S2) UIN SU Medan Kampus II UIN SU Medan: Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate 20371

E-mail: srirahmayanimanalu@gmail.com

(2)

2 A. PENDAHULUAN

Hadis adalah pedoman hidup seorang muslim setelah Al qur’an, hadis juga merupakan wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad karena segala sesuatu yang berasal dari nabi tidaklah berdasarkan hawa nafsu belaka. Ulama islam memahami pentingnya kedudukan hadis dalam agama ini, sehingga keautentikan hadis selalu dijaga dengan kodifikasi, takhrij hadis dan kritik hadis untuk mengetahui kekuatan hadis sehingga ummat islam tidak tersesat dalam amalan yang dilakukan.

Agar setiap ibadah dan amalan benar berlandaskan pada al qur’an dan sunnah.

Syaikh Nashiruddin al Albani berkata di pengantar bukunya bahwa hadis da’if sangat banyak dan tersebar di masyarakat. Seorang Zinddiq saja dapat memalsukan lebih dari empat ribu hadis, bahkan tiga orang pemalsu hadis dapat dipastikan telah memalsukan puluhan ribu hadis. Hadis-hadis da’if juga banyak terdapat dalam kitab- kitab syarah dan tafsir, oleh karena itu ulama mengungkapkan hadis-hadis tersebut dengan menjelskan kelemahan, kekurangan, kecacatan, bahkan kepalsuannya. Ibnul Jauzi berkata “ketika tidak ada lagi yang mampu mengusik al quran, mulailah sekelompok orang mengusik hadis-hadis Rasulullah, baik dengan mengada-ada maupun mengubah-ubahnya”. 1

Pada zaman Ibnul Jauzi saja sudah seburuk itu keadaannya, maka tidak diragukan lagi pada zaman sekarang ini dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi memungkinkan penyebaran hadis-hadis palsu dengan cepat. Dengan artikel-artikel yang mudah diakses ummat muslim tanpa tahu sumbernya secara jelas. Atas dasar keadaan ini perlu bagi penuntut ilmu untuk mengetahui hadis-hadis da’if sebagai pemberi peringatan dan sebagai penegak kewajiban menjelaskan imu serta sebagai usaha menyelamatkan diri dari terjatuh kedalam ketidaktahuan dan kesesatan amal.

Atas later belakang tersebut pemakalah mengganggap penting untuk mengenal hadis da’if, baik kriterianya juga harus mengenal macam-macamnya yang tidak sedikit

1 Nashiruddin Al Albani, Silsilah Hadis Dha’if dan Maudhu’ (Jilid 1), (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 27.

(3)

3

itu. Adapaun makalah ini ditulis dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai hadis da’if dan mengantarkan pembaca pada pengetahuan agar menghindari hadis da’if dalam pengamlan dikehidupan sehari-hari.

B. PEMBAHASAN

1. Kriteria dan Macam Macam Hadis Da’if

Pada awalnya hadis Nabi Shallalhu ‘alihi wa sallam dibagi menjadi dua berdasarkan kualitasnya, yaitu hadis yang secara sempurna memenuhi syarat hadis Qabul dan hadis ini diamalkan, maka hadis seperti ini disebut hadis shahih. Dan hadis- hadis yang tidak sempurna karena tidak memenuhi syarat disebut hadis da’if. Akan tetapi dijumpai hadis-hadis yang memenuhi syarat qabul, akan tetapi tingkatan rawinya tidak sampai tingkatan tinggi dan sempurna seperti hadis shahih. Hadis-hadis seperti ini berada diantara hadis shahih dan da’if, hadis tersebut diterima dan diamalkan. Maka hadis ini disebut hadis Hasan. Ulama yang memperkenalkan pembagian hadis menjadi hadis shahih, hasan dan da’if adalah Abu Isa al Tirmidzi.2

Kata dha’if menurut bahasa, berarti yang lemah, sebagai lawan dari kata qawiy yang kuat. Sebagai lawan kata dari Shahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit).

Maka sebutan hadis da’if, secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi, pada dasarnya mengandung maksud yang sama.

Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini. An-Nawawi mendefinisikannya dengan “Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadis Shahih dan syarat- syarat Hadis Hasan.”

Pada definisi yang disebut terakhir ini disebutkan secara tegas, bahwa jika satu syarat saja dari syarat hadis maqbul (Hadis Shahih atau Hadis Hasan) tidak terpenuhi atau hilang, berarti Hadis itu tidak maqbul, yang berarti mardud. Dengan kata lain,

2 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Ciputat: PT Mutiara Sumber Widya , 2001), hal. 235.

(4)

4

Hadis itu adalah da’if. Lebih banyak syarat yang hilang, berarti hadis itu lebih tinggi nilai ke-da’if-annya.

Hadis da’if termasuk kedalam hadis yang tertolak atau hadis mardud yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah dalam penetapan hukum. Kriteria hadis da’if yaitu terputusnya rawi dengan rawi yang lain dalam suatu sanad atau terdapat cacat pada rawi atau matan hadis. Maka dapat disimpulkan bahwa ke-da’ifan hadis da’if disebabkan dua hal pokok yaitu terputusnya sanad, dan cacat pada rawinya.3 Dari kedua sebab-sebab ini ulama hadis menggolongkan dan menetapkan macam-macam hadis da’if kedalam bentuk yang beragam. Sehingga macam-macam hadis da’if dapat ditinjau dari segi terputusnya sanad dan cacat rawinya.

2. Pembagian Hadis Da’if Ditinjau Dari Segi Terputusnya Sanad

Hadis da’if yang pertama disebabkan oleh terputusnya sanad. Maksud dari terputusnya sanad adalah terputusnya mata rantai sanad karena adanya seorang rawi atau lebih yang tidak disebutkan atau tidak terverifikasi baik sengaja atau tidak sengaja. Rawi ini mencakup semua tingkatan baik diawal sanad, ataupun ditengah sanad.

Macam macam bentuk terputusnya sanad dapat dilihat dari segi nampak atau tidaknya letak pemutusan rawi dalam suatu sanad. Sanad yang nampak pemutusannya secara jelas (dzahir) dapat diketahui dengan gamblang oleh semua kalangan selain ahli hadis. Hal ini biasanya nampak karena perawi tidak bertemu lansung dengan guru yang hadisnya diriwayatkan bisa karena tidak sezaman dengan guru atau walaupn sezaman tetapi guru tidak mengijazahkan hadis tersebut kepada perawi. Kemudian putusnya sanad hadis yang tidak nampak (Saqth al khafi), yaitu sanad yag terputus yang dapat diketahui oleh ahli hadis yang mneliti rangkaian rawi dan ulama hadis yang

3 Ibid.,, hal. 238.

(5)

5

meneliti illat sanad. Tentu hal ini memerlukan kajian dan pembahasan yang khusus dan mendalam.4

Jadi, ada empat macam hadis da’if yang disebabkan oleh terputusnya rawi dalam sanadnya, yaitu hadis mu’allaq, hadis mursal, hadis mu’dhal, dan hadis munqathi’.

a. Hadis munqati’

Hadis yang gugur sanadnya disatu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.5 Hadis munqati mirip dengan hadis mursal dikarenakan dari segi tidak adanya kesinambungan sanad.

Hadis Munqathi’ ialah hadis yang gugur pada sanad-nya seorang perawi, atau pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya. Ada juga yang mendefinisikannya dengan hadis yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada satu tempat, atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat, yang tidak berturut- turut. Dengan dua definisi di atas, diketahui bahwa gugurnya perawi pada Hadis Munqathi’, tidak terjadi pada thabaqah pertama yaitu thabaqah sahabat tetapi pada thabaqah berikutnya; mungkin pada thabaqah kedua, ketiga atau keempat. Kemudian, bahwa yang digugurkan itu terkadang seorang perawi dan terkadang dua orang dengan tidak berturut- turut.6

b. Mu’allaq

Muallaq merupakan ism maf’ul dari kata “allaqa” yang artinya tergantung. Disebut hadis muallaq karena hadis tersebut hanya dihubungkan oleh rawi kepada orang yang pertama kali mengucapkan hadis (rasul) tanpa menyebutkan nama-nama rawi yang meriwayatkan hadis dari rasul sampai rawi terakhir.7 Hadis muallaq juga didefinisikan sebagai hadis yang rawinya digugurkan seorang atau lebih diawal sanadnya secara berturut-turut. Pada umumnya hadis muallaq terbentuk karena sebab Mukharrij hadis

4 Tajul Arifin, Ulumul Hadis, (Bandung: Gunung Djati Press, 2014), hal. 145.

5 Munzier Supatra, Ilmu Hadis, (Depok: Rajawali Press, 2016), h.

6 Muhammad bin Abdul Al Baqi, Syarh al Manzumah al Baiquniyyah fi Mustolah al Hadis, (Kairo: Dar al Fadhilah, 2013), hal, 81.

7 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Ciputat: PT Mutiara Sumber Widya , 2001), hal. 144.

(6)

6

langsung menyebutkan hadis seperti Rasulullah berkata/bersabda, atau Mukharrij hadis langsung menghapus seluruh sanadnya kecuali sahabat dan tabi’in.8

Hadis muallaq termasuk hadis mardud yaitu hadis yang tertolak, akan tetapi ada pengecualian terhadap penolakan hadis ini yaitu pertama, apabila hadis muallaq terdapat pada kitab kitab hadis yang dijamin kesahihannya seperti kitab Bukhari dan Muslim dan diriwayatkan dengan redaksi pasti seperti dzakara, haka, qala, maka hadis tersebut dianggap shahih. Kedua, apabla hadis diriwayatkan dengan redaksi hukiya, qiila, dzukira, maka hadis ini tidak mutlak shahih, akan tetapi dugaan kuat bahwa hadis tersebut sahih, karena terdapat dalam kitab-kitab shahih.9

c. Mursal

Hadis yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Maksudnya adalah nama sanad terakhir tidak disebutkan.10 Definisi hadis mursal menurut Al Hakim adalah hadis yang langsung disandarkan oleh tabi’in kepada rasulullah baik tabi’in kecil maupun tab’in besar. Maksudnya adalah hadis yang terputus rawi diakhir sanadnya tidak disebutkan setelah tabi’in. Bentuk hadis mursal bila seorang tabi’in meriwayatkan hadis dari rasul tanpa menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.

11

Hukum hadis mursal adalah ditolak atau mardud secara umumnya, akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang berhujjah dengan hadis mursal, sehingga muncul tiga pendapat yaitu, pertama hukumnya mardud, tidak bisa dijadikan hujjah karena syarat hadis tidak terpenuhi. Kedua, pendapat Abu Hanifah, Imam Malik, dan Ahmad bin Hanbal bahwa jika hadis tersebut diriwayatkan oleh tabiin yang tsiqat maka hadis mursal dapat dijadikan hujjah. Dan yang ketiga, menurut Imam Syafi’i dan sebagian ulama bahwa hadis mursal dapat diterima dengan ketentuan bahwa rawi yang memursalkan hadis adalah tabi’in kibar (tabi’in besar), ada riwayat lain yang sama

8 Munawwir 239

9 Nawir Yuslem, Op. Cit., hal. 146.

10 Muhammad bin Abdul Al Baqi, Op. Cit., hal. 82.

11 Tajul Arifin, Op. Cit., Hal. 147.

(7)

7

dengan hadis yang dimursalkan. Atau dengan kata lain hadis mursal harus memenuhi salah satu dari syarat berikut:

1. Adanya perawi yang lain meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad yang lengkap.

2. Adanya riwayat mursal yang lain dengan catatan sahabat yang dimursalkan dalam hadis kedua berbeda dengan sahabat sahabat yang dimursalkan dalam hadis mursal yang pertama

3. Isi hadis tidak bertentangan dengan qaul sahabat 4. Isi hadis tersebut banyak difatwakan oleh para ulama.12

Kemudian dalam istilah hadis mursal dikenal dengan adanya hadis mursal shahabi.

Hadis mursal shahabi adalah hadis yang diriwayatkan oleh seprang sahabat akan tetapi sahabat tersebut tidak mendengar langsung dari Rasulullah. Hadis seperti ini banyak diriwayatkan oleh sahabat kecil seperti ibnu Abbas dan ibnu Zubair. Hal ini bisa disebabkan karena sahabat masih kecil karena masuk islam terakhir atau sahabat tidak ada ditempat ketika Rasulullah menyampaikan hadis. Hukum berhujjah dengan hadis mursal shahabi adalah benar.13

Kitab-kitab yang memuat hadis mursal adalah kitab al Marasil karya Abu Daud, Al Marasil karya Ibn Abi Hatim, dan Jami’ Al Tahsil Li Ahkam karya Al ‘Alai.

d. Mu’dhal

Hadis Mu’dhal ialah hadis yang gugur dua orang sanad-nya atau lebih, secara berturut-turut. Atau menurut pengertian yang lebih lengkap, ialah hadis yang gugur dua orang perawinya atau lebih, secara berturut-turut, baik (gugurnya itu) antara sahabat dengan tabi’in, atau antara tabi’in dengan tabi’ tabi’in, atau dua orang sebelumnya. Ibn al-Madini dan para ulama sesudahnya mengatakan bahwa gugurnya hadis Mu’dhal itu lebih dari satu orang. Ini artinya, batas jumlah yang gugur itu tidak

12 Tajul Arifin, Op. Cit., Hal. 149-150.

13 Ibid., hal. 151.

(8)

8

ditentukan, berapapun banyaknya, asal saja lebih dari satu. Hadis Mu’dhal juga hadis da’if yang lebih rendah dari hadis Mursal dan Munqathi karena sanad yang dibuang dalam hadis Mu’dhal lebih banyak.

Keumuman dan kekhususan hadis Mu’dhal dan Muallaq adalah apabila sanad yang dibuang adalah dua orang rawi berada ditengah secara beturut-turut maka hadis ini disebut hadis Mu’dhal bukan hadis Muallaq. Kemudian apabila sanad yang dibuang adalah seorang rawi berada diawal sanad maka hadis ini disebut hadis Muallaq. Akan tetapi apabila sanad yang dibuang adalah dua orang perawi yang berada diawal sanad secara berturut-turut maka hadis Mu’dhal dan Muallaq bersatu dalam keadaan ini.14

e. Mudallas

Dari segi kebahasaan kata Mudallas berasal dari kata “Tadlis” yang berarti menyembunyikan cacat pada suatu barang yang diperjualbelikan. Penamaan hadis sebagai hadis Mudallas karena dalam sanad hadis tersebut terdapat identitas rawi yang disembunyikan. Hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadis itu tidak bernoda. Maksudnya adalah rawi yang menggugurkan pernah bertemu dengan rawi yang digugurkannya agar aib atau kelemahan hadis itu tertutupi.

Hadis Mudallas terbagi menjadi dua bagian yaitu, tadlis al isnad, dan tadlis al suyukh.15 Tadlis al isnad adalah seorang rawi yang meriwayatkan hadis dari gurunya, yang sebelum meriwayatkan hadis tersebut ia pernah meriwayatkan beberapa hadis dari gurunya itu, tetapi hadis yang ia riwayatkan dari gurunya kali ini tidak ia dengar langsung dari guru tersebut, melainkan ia dengar dari dari gurunya yang lain. Dalam meriwayatkan hadis tersebut ia tidak menyebutkan nama guru yang meriwayatkan hadis kepadanya tetapi ia menyebutkan guru yang pertama.16

14 Ibid., hal. 153.

15 Ibn Solah hal 73

16 Ibid., hal. 157.

(9)

9

Tadlis al suyukh adalah seorang rawi yang meriwayatkan hadis dari gurunya tetapi tidak menyebutkan nama asli gurunya, baik dengan cara memberi nama lain, atau menyebut nama kunyahnya atau dengan nama atau sifat yang tidak dikenal. Hukum tadlis as suyukh lebih ringan dari tadlis al isnad karena rawi tidak menggugurkan seorang rawi pun, ia hanya mengganti nama asli dengan nama lain.17

Adapun faktor penyebab seorang rawi melakukan tadlis adalah guru yang hadisnya ia riwayatkan adalah rawi yang da’if atau tidak tsiqah. Atau usia gurunya sangat panjang sehingga yang meriwayatkan hadis darinya sangat banyak sekali bukan hanya dia. Kemudian usia gurunya lebih muda dari perawi. Atau banyak rawi lain yang meriwayatkan hadis dari guru tersebut dan ia tidak suka menyebut nama gurunya hanya dengan satu sebutan.

3. Pembagian Hadis Da’if Ditinjau Dari Segi Cacatnya Perawi

Yang dimaksud dengan cacatnya perawi adalah kritik terhadap rawi dari segi keadilanya, agamanya, kekuatan hafalnnya, dan konsitensinya. Faktor penyebab cacatnya perawi dari segi keadilannya adalah suka berbuat dusta, tertuduh berbuat dusta, fasik, suka berbuat bid’ah, dan menyembunyikan identitas perawi. Dari segi kedhabitannya yaitu banyak berbuat salah, jelek hafalannya, pelupa, dan banyak berkhayal atau berangan-angan. Adapun macam-macam hadis da’if dari segi cacatnya rawi adalah hadis maudhu’, hadis matruk, hadis maqlub, hadis mudhtarib, dan hadis mushahhaf. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Hadis maudhu’

Kata maudhu’ berasal dari asal kata wadha’a yang berarti rendah. Suatu hadis dikatakan maudhu’ karena derajat hadis itu sangat rendah. Hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat oleh seorang pendusta yang ciptaan ini dinisbatkan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.

Sehingga hadis maudhu’ bagi sebagian ulama hadis tidak dianggap sebagai hadis da’if

17Muhammad bin Abdul Al Baqi, Op. Cit., hal. 135.

(10)

10

tetapi menjadikannya sebagai pembahasan tersendiri karena kepalsuannya.18 Tidak boleh meriwayatkan hadis maudhu’ kecuali untuk mengedukasi masyarakat awam dan memperingatkan agar tidak mengamalkan hadis ini.19

Kitab-kitab yang membahas tentang hadis maudhu’ diantaranya adalah kitab al maudhu’ oleh al Jauzy, kitab al Laa-I al masnu’ al ahadis al maudhu oleh al Suyuti, kitab Tanzih al Syariah al marfu’ah ‘an al Ahadis al Syani’ah al Maudhu’ah oleh Ibn Irak al Kinaniy.20

b. Hadis matruk

Hadis maruk berasal dari kata taraka yang berarti ditinggalkan. Hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang diriwayatkan), atau tampak kefasikannya, baik pada perbuatan atau perkataanya, atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu. Sebab diketahui seorang rawi tertuduh suka berbuat dusta dari sisi bahwa hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang perawi, atau rawi yang meriwayatkan hadis tersebut terkenal suka berbuat bohong dalam perkataan sehari-harinya, walaupun belum pernah diketahui secara pasti dia pernah mendustakan hadis nabi.21

Hadis matruk termasuk kedalam golongan hadis da’if yang keda’ifannya lebih rendah dibanding hadis maudhu’.

c. Hadis Maqlub

Hadis yang lafaz matannya tertukar pada oleh salah seorang perawi, atau seseorang pada sanadnya baik pada sebagian sanadnya atau keseluruhnnya.22 Kemudian didahulukan dalam penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.

18Tajul Arifin, Op. Cit., Hal. 169.

19 Ahmad Muhammad Syakir, Al Ba'its al Hadis Syarhu Ikhtishar Ulum al Hadis. (Riyadh:

Dar as Salam, 1997), hal. 83.

20 Tajul Arifin, Op. Cit., Hal. 180.

21 Ibid., hal. 181.

22 Ahmad Muhammad Syakir , Op. Cit., hal. 91.

(11)

11

Hadis maqlub terbagi menjadi dua macam, yaitu maqlub sanad dan maqlub matan.

Maqlub sanad berarti penggantian lafadz hadis terjadi didalam sanad. Maqlub sanad memiliki dua bentuk.yaitu seorang rawi mendahulukan nama bapak seorang rawi dan mengakhirkan nama rawi tersebut atau seorang rawi mengganti nama seorang guru dengan nama guru yang lain.23 Maqlub matan adalah teks matan hadis dirubah atau diganti. Bentuknya adalah sebagai berikut pertama, seorang rawi mendahulukan suatu lafaz matan hadis yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya. Kedua, seorang rawi mengganti sanad suatu matan hadis dengan sanad hadis lain.

Kitab yang membahas tentang hadis maqlub adalah kitab Rafi’ al irtiyab fi al maqlubi min al asma’i wa al alqabi oleh Khatib al Baghdadi.

d. Hadis mudhtarib

Kata mudhtraib berasal dari kata idthirab yang berarti rusak atau kacau susunanya.

Hadis mudhtarib adalah hadis yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda-beda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan. Hadis mudhtarib dilihat dari segi letak kemudhtariban hadis tersebut terbagi kedalam dua bagian. Pertama, mudhtarib sanad uang matannya sama tetapi sanadnya berbeda-beda. Kedua, mudhtarib matan adalah hadis yang sanadnya sama tetapi redaksi matannya berbeda-beda.24

e. Hadis Mushahhaf

Hadis mushahhaf adalah hadis yang berubah kata-katanya baik yang terdapat dalam sanad atau matan, yang disebabkan karena salah membaca atau salah menulis.

Menurut Ibnu Hajar al Ashqalani pembagian hadis mushahhaf menjadi hadis mushahhaf dan muharraf. Hadis Musahhaf terjadinya perubahan redaksi hadis dan maknanya. Dan hadis Muharraf adalah hadis yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.

23 Tajul Arifin, Op. Cit., Hal. 182.

24 Muhammad bin Abdul Al Baqi, Op. Cit., hal. 169.

(12)

12

Penyebab terjadinya pentashhifan hadis adalah seorang rawi mengambil suatu hadis dari suatu kitab, tanpa bertemu langsung dengan perawi yang berada diatas thabaqahnya yang merupakan guru dari rawi tersebut. Kitab-kitab yang mebahas hadis mushahhaf diantara lain kitab al tashhif oleh Dar al Quthni, kitab Ishlahu Khata al Muhaddistin oleh al Khutabi, dan Tashhifaat al Muhadditsin oleh Abi Ahmad

‘Askary.25

4. Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis Da’if

Hadis da’if secara terminologi berarti hadis lemah yaitu hadis yang tidak kuat.

Secara istilah hadis da’if dijelaskan oleh para ulama seperi an Nawawi yaitu hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan. Definisi dari Nur al din bahwa hadis da’if adalah hadis yang hilang salah satu dari syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul.

Hadis da’if ada yang sama sekali tidak ditolerir karena kepalsuannya dan ada juga hadis da’if yang bisa ditolerir karena kelemahannya ditutupi oleh faktor tertentu.

Hadis yang sangat lemah dan juga palsu tidak dapat digunakan untuk penetapan hukum, ibadah, akidah bahkan fadha’il amal berdasarkan kesepakatan ulama hadis.

Sedangkan hadis da’if yang dapat ditolelir boleh digunakan dalam perihal fadha’il amal.

Hukum mengamalkan hadis da’if para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengamalkan hadis dha’if. Bukhari, Muslim, dan Abu Bakar ibn al Arabiy menolak secara mutlak penggunaan hadis da’if dalam penetapan hukum, akidah maupun fadha’il amal. An Nasa’i, Abu Hanifah dan Abu Daud membolehkan beramal dengan hadis da’if karena mereka berpendapat lebih baik menggunakan hadis dai’if ini sebagai dasar amal dari pada mengutamakan akal pikiran dan qiyas.26 Abdullah bin

25 Tajul Arifin, Op. Cit., Hal. 197.

26 Muhammad bin Muhammad bin Ali Al Farisi, Jawahir Al Ushul Fi 'Ilmi Hadis al Rasul, (Bombay: Al Dar al Salafiyyah). Hal. 25.

(13)

13

Al Mubarak, Imam Ahmad, dan Abdurrahman bin al Mahdiy berpendapat bolehnya pengamalan hadis da’if hanya dalam fadha’il amal saja, tidak termasuk penetapan hukum halal/haram ataupun perihal akidah.27

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengamalkan hadis da’if yang berhubungan dengan fadhail al-amal adalah diperbolehkan dengan syarat- syarat berikut:

a. Keda’ifan hadis tersebut tidak terlalu (bukan dha’if jiddan).

b. Banyak hadis lain yang semakna dengan hadis tersebut.

c. Ketika mengamalkan hadis da’if jangan berkeyakinan bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah SAW, tetapi harus berkeyakinan sebagai suatu kehati- hatian.

Sementara Ibnu Hajar mengemukakan tiga syarat yang tidak jauh berbeda dengan yang diatas yaitu:

a. Rawi bukan termasuk pembohong dan tidak tertuduh pembohong dan tidak banyak kesalahannya sehingga tingkat kelemahannya tidak parah.

b. Tidak bertentangan dengan hadis shahih.

c. Pengamalan hadis semata-mata sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtiyath).

Sebagai bentuk kemuliaan terhadap rasulullah dan perkataannya, dalam meriwayatkan hadis yang da’if yang tidak menggunakan sanad perawi jangan menggunakan redaksi “Rasulullah berkata (qala Rasulullah), tetapi harus menggunakan “diriwayatkan dari rasulullah (ruwiya ‘an Rasulillah)”.28

Diantara contoh kitab yang mengkaji hadis da’if dari segi periwayatnya adalah kitab al dhu’afa oleh Ibnu Hibban, kitab Mizan al ‘Itidal oleh al Dzahabi. Dan diantara kitab-kitab yang mengkaji hadis da’if secara khusus yaitu Kitab al Marasil oleh Abu Daud dan Kitab al I’lal oleh al Dar al Quthni.29

27 Munzier Supatra, Ilmu Hadis, (Depok : Rajawali Press, 2016), h. 172-173.

28Tajul Arifin, Op. Cit., Hal. Hal 142.

29 Ibid., hal. 142.

(14)

14

Kitab-kitab yang membahas hadis da’if diantaranya kitab al dhu’afa karya ibnu Hibban, kitab Mizan al i’tidal karya al Dzahabi. Pada kedua kitab itu dijelaskan hadis-hadis da’if disebabkan rawinya. Kemudian kitab yang membahas macam macam hadis da’if secara khusus seperti kitab al Marasil karya Abu Daud dan kitab al I’lal karya al Dar al Quthni.30

30 Abdu al Majid hal 458

(15)

15 C. KESIMPULAN

Hadis da’if termasuk kedalam hadis yang tertolak atau hadis mardud yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.

Kriteria hadis da’if yaitu terputusnya rawi dengan rawi yang lain dalam suatu sanad atau terdapat cacat pada rawi atau matan hadis.

Ada empat macam hadis da’if yang disebabkan oleh terputusnya rawi dalam sanadnya, yaitu hadis mu’allaq, hadis mursal, hadis mu’dhal, dan hadis munqathi’.

Adapun macam-macam hadis da’if dari segi cacatnya rawi adalah hadis maudhu’, hadis matruk, hadis maqlub, hadis mudhtarib, dan hadismushahhaf. Yang dimaksud dengan cacatnya perawi adalah kritik terhadap rawi dari segi keadilanya, agamanya, kekuatan hafalnnya, dan konsitensinya. Faktor penyebab cacatnya perawi dari segi keadilannya adalah suka berbuat dusta, tertuduh berbuat dusta, fasik, suka berbuat bid’ah, dan menyembunyikan identitas perawi. Dari segi kedhabitannya yaitu banyak berbuat salah, jelek hafalannya, pelupa, dan banyak berkhayal atau berangan-angan.

Hadis da’if ada yang sama sekali tidak ditolerir karena kepalsuannya dan ada juga hadis da’if yang bisa ditolerir karena kelemahannya ditutupi oleh faktor tertentu. Hadis yang sangat lemah dan juga palsu tidak dapat digunakan untuk penetapan hukum, ibadah, akidah bahkan fadha’il amal berdasarkan kesepakatan ulama hadis. Sedangkan hadis da’if yang dapat ditolelir boleh digunakan dalam perihal fadha’il amal.

(16)

16

DAFTAR PUSTAKA

Al Albani, N. (1995). Silsilah Hadis Da'if dan Maudhu' (jilid 1). Jakarta: Gema Insani Press

Baqi, M. b. (2013). Syarh al Manzumah al Baiquniyyah fi Mustolah al hadis. Kairo:

Dar al Fadhilah.

Farisi, M. b. (n.d.). Jawahir Al Ushul Fi 'Ilmi Hadis al Rasul. Bombay: Al Dar al Salafiyyah.

Haidan, S. A. (1415 H). Kutub Tarajim al Rijal Baina al Jarh Wa al Ta'dil. Riyadh:

Dar Thariq.

Idri. (2017). Hadis dan Orientalis (Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis Tentang Hadis Nabi). Depok: Kencana.

Matondang, H. A. (2011). Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Qadir, A. a. (1997). Turuqu Takhrij Hadis Rasulullah. Makkah: Al Maktabah al Fadhilah.

Qudah, S. (2003). Al manhaj al Hadis fi 'ulum al hadis. Urdun: Al Jami'ah al urduniyyah.

Rahman, U. b. (1998). Ulumul Hadis. Damaskus: Dar al Fikr.

Suparta, M. (2016). Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syakir, A. M. (1997). Al Ba'its al Hadis Syarhu Ikhtishar Ulum al Hadis. Riyadh:

Dar as Salam.

(17)

17

Utsaimin, M. b. (2004). Syarhu al Manzumah al Baiquniyyah. Riyad: Dar al Tsurayya.

Yuslem, N. (2001). Ulumul Hadis. Ciputat: PT Mutiara Sumber Widya .

Referensi

Dokumen terkait

Dari de ¿ nisi tersebut di atas, dapat katakan bahwa yang dimaksud dengan hadis garib yaitu hadis yang diriwayatkan oleh hanya seorang rawi saja, baik dalam seluruh tingkatan

Dari deinisi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan para rawi yang meriwayatkan hadis

28 Sy ± hid adalah sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi dengan lafaz atau makna yang sama dengan perawi lain walaupun tidak memiliki persamaan pada susunan

Hadis ini dha’if, karena termasuk dalam hadis mursal. 94 H) adalah seorang tabi’in yang meriwayatkan dari Nabi ﷺ secara langsung, sehingga terindikasi ada seorang perawi yang

Dari beberapa hadis yang diriwayatkan Ibn Abba>s tentang terputusnya shalat tersebut memiliki beberapa redaksi yang berbeda yaitu bahwa suatu saat ia meriwayatkan hadis

d) Menurut kesimpulan Ibnu S{alah, bahwa sebuah hadis dipandang sha>dh apabila hadis yang diriwayatkan secara fard mut{laq oleh perawi yang thiqah itu bertentangan

Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab...,10.. yang mengatakan bahwa hadis baru dinyatakan mengandung shadh bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi thiqah bertentangan

Hadis tersebut adalah dhaif, karena al Hakam bin Abdul Malik sesorang dhaif, tetapi dalam sanad lain, riwayat Ibn Khuzaimah terdapat perawi berbeda, bahwa yang meriwayatkan hadis