MAKALAH
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Rusli Khalil Nasution, Dr.
Disusun Oleh
:
Kelas K-1/Sem 1/Ilmu Hukum/Hukum Islam
RYLIA ASSYIFA AINI DAMANIK 2306200491
TASYA AZIIZAH SYAHLINA 2306200500
MUHAMMAD IQROM 2306200655
RHEYNA DEAVRISKA 2306200512
SHERLY NIGITA MELATI GINTING 2306200493
RAIHAN BAHAR SIDDIK 2306200501
ANUGRAH PRATAMA SIREGAR
2306200509
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA 2024/2025
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat.
Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi.
Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.
BAB II PEMBAHASAN
A. Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di jawa dikenal dua peradilan, yaitu Peradilan Padu (pidana) dengan menggunakan hukum hindu dan Peradilan Perdata dengan menggunakan hukum adat.Sejak tahun 1800, pemerintah Hindia Belanda telah secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam.
Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR) staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia. asal 78 RR 1854 berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.”Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 agustus 1882 kelahiran ini berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (Konninklijk Besluit) yakni Raja Willem III tanggal 19 januari 1882 No. 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No.
152.
Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan rapat agama atau Raad Agama dan terakhir dengan pengadilan agama.Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 No.153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882. 1Pada tahun 1937 dengan No. 116 dan 610, pemerintah Belanda membentuk Pengadilan di Kalimantan Selatan dan Timur, dengan sebutan Mahkamah Syari’ah, yang berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan.Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.
Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut.
1 Jurnal Peradilan Agama di Indonesia UIN Antasari bab 20
Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit.Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri).
Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan.Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan
"preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36).
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam KementrianAgama.2Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3).Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentangTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37).Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
2 Jurnal Peradilan Agama di Indonesia UIN Antasari bab 20
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa";
Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara;
Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.
Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka¬winan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).
B. Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang
Pada zaman Jepang, posisi Pengadilan Agama tetap tidak berubah kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 Maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (Pengadilan Pemerintah Bala tentara) di tanah Jawa dan Madura. Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:
Tiho Hooin (Pengadilan Negeri)
Keizai Hooin (Hakim Polisi)
Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
Gun Hooin (Pengadilan kewedanan)
Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi)
Sooryoo Hooin (Rapat Agama)
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya. 3Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan
3 https://www.pa-unaaha.go.id/profil-dasar/sejarah/46
Islam di lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH.
Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta'in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama.
Dati uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut :
Kelembagaan
Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain - yang secara nyata - didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Materi Hukum
Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula dengan hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan.
Personil
Dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional, netral (tidak memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim.
C. Peradilan Agama Masa Orde Lama
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebuah departemen yang menangani masalah keagamaan dibentuk, tepatnya tanggal 3 Januari 1946. Semua urusan serta pengawasan peradilan agama dipindahkan dari Menteri Urusan Agama. Semua urusan serta pengawasan peradilan agama dipindahkan dari Menteri Urusan Agama. Pemindahan ini tidak hanya
mempertegas identitas peradilan agama tapi juga memperluas jurang antara peradilan umum dan peradilan agama (Lubis, 99).
Di lain pihak, pemerintah merasa perlu untuk mempunyai ketentuan pencatatan nikah, talak dan ruju’. Karena itu dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1946. Untuk sementara UU itu hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura (Azizy, 2002 : 142). Sementara itu sejak 1 Agustus 1946, diluar Jawa dan Madura berdiri peradilan agama dengan nama Mahkamah Syari’ah yang berwenang menangani masalah kewarisan dan wakaf (Falakh : 30).4
Dengan Penetapan Pemerintah No. 5 tanggal 25 Maret 1946, urusan Mahkamah Islam Tinggi diserahkan kepada Departemen Agama yang semula berada pada Departemen Kehakiman, sebagai kelanjutan dari Bagian Kehakiman(Shihobu) dari Gunseikanbu. Kemudian dengan Maklumat 5Menteri Agama II tanggal 23 April 1946 ditentukan hal-hal sebagai berikut (Noeh dan Adnan, 1983 : 52).326
1. Shumuka yang pada zaman Jepang termasuk kekuasaan Residen, menjadi Jawatan Agama Daerah yang menjadi urusan Departemen Agama.
2. Hak untuk mengangkat Penghulu landraat, Penghulu dan anggota peradilan yang dulu berada di tangan residen diserahkan pula pada Departemen Agama.
3. Hak untuk mengangkat Penghulu masjid dan pegawai- pegawainya yang dulu menjadi wewenang Bupati diserahkan pada Depertemen Agama.
Tahun 1947 keluar penetapan Menteri Agama No. 6 yang berisi penetapan formasi Pengadilan Agama terpisah dari Penghulu Kabupaten.
Pada saat Agresi Militer Belanda Juni 1948, disusun UU No. 19 Tahun 1948. Yang penting dari UU ini adalah hanya mengenal 3 lingkungan peradilan, yaiti peradilan umum, tata usaha negara dan militer. Dan secara umum ada 3 tingkat peradilan, yaitu Peradilan Negeri, Peradilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Akan tetapi UU ini tidak pernah dinyatakan berlaku (Lukito, 2001:82).
4Sudarsono,kamus hukum,( Jakarta:Rineka Cipta,1992),hlm.17 5
Sebelumnya, tanggal 27 Februari 1947 pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1947 yang berisi tentang susunan organisasi dan wewenang Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
UU ini tidak menyebut tentang keberadaan peradilan agama.
Sementara itu di daerah-daerah yang masih dikuasai oleh tentara Sekutu dan Belanda, Presterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht. Ketentuan ini tercantum dalam Rokomba Jawa Barat No. Rec. Wj. 229/72 tanggal 2 April 61948 dan dalam Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39, tahun 1948 No. 25 dan tahun 1949 No. 29 dan 65.
Tahun 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 1 yang pasal 1 ayat (2) menghapuskan semua peradilan adat dan swapraja kecuali peradilan agama jika merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja. Atas dasar itu peradilan agama terus berjalanwalaupun dengan nama dan kekuasaan yang berbeda-beda (Abu Bakar, 1999:75).
Peradilan agama sebagai pelaksanaan UU Darurat adalah badan-badan peradilan agama yang ada dalam lingkungan peradilan swapraja dan peradilan adat.
Menurut PP yang terdiri dari 13 pasal itu, Pengadilan Agam tingkat pertama disebut dengan nama Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, sedangkan tingkat banding disebut Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Wewenang Pengadilan Agama termuat dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut (Azizy, 2001: 143-4):
1) Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan denga nikah, talak, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara
7waris, wal waris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang 8berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.
6Sudarsono,kamus hukum,( Jakarta:Rineka Cipta,1992),hlm.17 Al-Anshari,Lisanul ‘Arab,(kairo:Darul Mishri),hlm.47
7Al-Anshari,Lisanul ‘Arab,(kairo:Darul Mishri),hlm.47
Muhammad Salam Madzkur, Al-qadha fi Islam,(Kairo: Dar al Nahdhal al- arabiyah,1964),hlm.11 8
2) Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat (1), kalau untuk perkara itu berlaku hukum lain daripada hukum agama Islam.
Sampai akhir kepemimpinan Presiden Soekarno relatif tidak ada perubahan yang berarti terhadap peradilan agama sejak PP No. 45 Tahun 1957 tersebut. Perubahan selanjutnya terjadi pada masa sesudah Presiden Soekarno yaitu masa Orde Baru.
D. Peradilan Agama Masa Sesudah Orde Lama
Tahun 1966 terjadi gejolak politik serta penggantian pimpinan negara di Indonesia. Peristiwa yang bermula dari penghianatan PKI denga Gerakan 30 September 1965 tersebut berlanjut dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menandai penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno. Sejak saat itu berakhirlah masa Orde Lama dan Indonesia memasuki masa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Pemerintah Orde Baru terlihat memberi perhatian terhadap peradilan agama sejak tahun 1970 dengan lahirnya UU. No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dengan 9adanya UU ini kedudukan peradilan Agama menjadi sama dan sejajar dengan peradilan lainnya.
Dalam pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa susunan, kekuasaan serta acara dari badan-badan peradilan seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam UU tersendiri. Akan tetapi pembentukan UU tersebut tidak bisa langsung di laksanakan. Terbukti pembentukan UU untuk tiap- tiap lembaga peradilan baru dilaksanakan sesudah tahun 80- an. Peradilan umum mempunyai UU Tahun 1986 dengan UU No. 31 Tahun
9Muhammad Salam Madzkur, Al-qadha fi Islam,(Kairo: Dar al Nahdhal al- arabiyah,1964),hlm.11
1997, terakhir PA dengan UU No. 7 Tahun 1989. Sementara Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi dengan UU No.14 Tahun 1985,Lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 juga menjadi bukti eksistensi hukum Islam di Indonesia.
Hukum Islam berlaku dengan kekuatan hukum Islam sendiri berdasarkan pada pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama, bukanya pasal 134 ayat (2)IS (Ramulyo, 1995: 51).
Peradilan agama sendiri sebelum lahir UU No. 7 Tahun 1989 sudah ditegaskan keberadaanya dalam dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 63 termuat bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragam Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lain.Akan tetapi pasal 63 ayat (2), ditegaskan bahwa setia keputusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Ayat (2) ini jelas sangat merugikan posisi Pengadilan Agama. Pasal 63 ayat (2) ditegaskan oleh PP No. 9 Tahun 1975 pasal 36 dengan tata cara: panitera Pengadilan Agama selambat- lambatnya 7 hari setelah putusan berkekuatan hukum yang tetap, menyampaikan putusan 10tersebut kepada Peradilan Agama Di Indonesia Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri dengan membubuhkan kata-kata "dikukuhkan".
Kemudian Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan menandatangani dan membubuhi cap dinas pada putusan yang dikukuhkan (Harahap, 1999:34). Keberadaan lembaga pengukuhan ini pada dasarnya merupakan warisan dan peraturan kolonial yang tetap diakui yang menetapkan bahwa semua keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum sebelum dilaksanakan,bahkan jika itu adalah keputusan pengadilan banding.
10Muhammad Salam Madzkur, Al-qadha fi Islam,(Kairo: Dar al Nahdhal al- arabiyah,1964),hlm.11 A.Soenarjo,Alquran dan terjemahannya,( Jakarta:Yayasan penyelenggara
penerjemah,1971),hlm.425
Padamasa kolonial, pengesahan ini hanya dilaksanakan jika pihak yang bersengketa tidak secara suka rela melaksanakan keputusan hakim.Dalam UU No. 1 tahun 1974, lembaga pegukuhan ini dikuatkan dengan adanya ketentuan bahwa semua keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum. Perubahan dari pemberian pengesahan untuk keputusan tertentu menjadi untuk semua keputusan menunjukkan bahwa peradilan agama berada dibawah Tanggal 28 Desember 1989, pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU ini merupakan landasan kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sekaligus. memperkuat posisi peradilan agama. Menurut Yahya Harahap, UU No. 7 Tahun 1989 bertujuan untuk (Harahap, 1999:25- 36):
1. Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman.
2. Menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama
3. Memurnikan fungsi Peradilan Agama. Dengan adanya UU Peradilan Agama ini, semua peraturan terdahulu yang mengatur tentang peradilan agama dihapuskan (dinyatakan tidak berlaku lagi) termasuk lembaga pengukuhan. Alasan adanya lembaga pengukuhan bahwa peradilan agama belum memiliki juru sita tidak bisa diterima lagi. Berdasarkan pasal 38 sampai pasal 42, di setiap peradila agama ditetapkan
adanya juru sita dan juru sita pengganti. UU Peradilan Agama merupakan era baru lagi bagi lembaga peradilan agama. Semua badan peradilan agama mulai saat itu mempunyai kedudukan dan kewenangan yang sama. Berbeda dengan sistem peradilan yang di tetepkan oleh pemerintah sebelumnya, UU ini memberi nama semua peradilan agama di Indonesia dengan nama yang sama, yaitu Pengadilan Agama untuk tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding.
Lebih jauh lagi bahwa kewenangan peradilan agama diperluas menjadi semua hal yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam. Lahirnya UU
Peradilan Agama sekaligus menghapus perturan-peraturan sebelumnya yang berkaitan dengan peradilan agama.
Dengan disahkannya UU Peradilan Agama, perubahan penting dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan Peradilan
Agama, diantaranya (Daud Ali, 1998:277-8):11
1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri,kedudukannya benar- benar telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.12
2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara peradilan agama telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan dengan jalan lain memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka Pengadilan Agama.
4. Lebih memantapkan upaya menggali berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku dalam menyusun dan pembinaan hukum nasional.
5. Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam UU Pokok- pokok Kekuasaan kehakiman, terutama yang disebut. pada pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan pasal 12 tentang susunan, kekuasaan dan (hukum) acaranya.
6. Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara sekaligus berwawasan Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk UU
11A.Soenarjo,Alquran dan terjemahannya,( Jakarta:Yayasan penyelenggara penerjemah,1971),hlm.425
12
Peradilan Agama. Perkembangan terakhir dari peradilan agama dengan Peradilan Agama Di Indonesia13.
secara organisatoris lahirnya UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan itu antara meliputi 3 hal pertama: badan-badan peradilan termasuk peradilan agama, administratif dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kedua:
pengalihan organisatoris, administratif dan finansial serta ketentuan pengalihan itu diatur dengan UU sesuai dengan kekhususan masing- masing lembaga peradilan dan dilaksanakan secara bertahap sekurang- kurangnya lima tahun, sementara untuk peradilan agama waktu tidak ditentukan. Ketiga: ketentuan tentang tata cara pengalihan bertahap ditetapkan dengan keputusan Presiden. Adanya perubahan atau UU No.
14 Tahun 1970 itu diharapkan akan menciptakan peradilan agama yang lebih independen dan bebas dari campur tangan pihak manapun, sehingga peradilan agama benar-benar menjadi peradilan yang mandiri dan sejajar denga peradilan lain di Indonesia.
Lepasnya lembaga peradilan dari cengkraman kekuasaan eksekutif lewat organisasi, administrasi dan finansial di maksudkan untuk menjadikan hakim benar-benar mandiri tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (Yusdani, 2003:145).
Selain memiliki keunggulan, konsep satu atap juga mempunyai sisi negatif. Menurut Busthanul Arifin sebagaimana dikutip Iskandar Ritonga, konsep satu atap memiliki dua dampak negatif, pertama akan muncul bahaya tirani hukum (penegakan hukum akan terabaikan) karena tidak ada lagi yang mengawasi para hakim selain korpsnya sendiri. Kedua, lewat konsep ini juga, keberadaan peradilan agama (institusi kenegaraan yang dalam citra umat Islam dan dalam sejarah pendiriannya adalah institusi Islam, sebagai bagian kekuasaan pemerintah untuk memelihara
13A.Soenarjo,Alquran dan terjemahannya,( Jakarta:Yayasan penyelenggara penerjemah,1971),hlm.425
kepentingan umat Islam yang memang merupakan bagian yang mayoritas dari penduduk Indonesia) akan dilepaskan dari Departemen Agama.
Peradilan Agama akan terlepas hubungan dengan para ulama sebagai legitimator dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam dan hukum Islam.14
Adapun lembaga-lembaga khusus yang menagani masalah umat Islam Indonesia yaitu Pengadilan agama, dengan di berlakukannya Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No.
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Yang mana dijelaskan dalam Pasal 49 yang berbunyi bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. Perkawinan.
2. Waris.
3. Wasiat.
4. Hibah.
5. Wakaf.
6. Zakat.
7. Infaq.
8. Shodaqah, dan 9. Ekonomi syariah.
Unsur-unsur pengadilan
susunan pengadilan agama dan pengadilam tinggi agama diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989.Menurut ketentuan pasal 9 UU tersebut:
(1)susunan pengadilan agama terdiri dari pimpinan ,Haki Anggota,Panitera,Sekretaris dan jurusita
14A.Soenarjo,Alquran dan terjemahannya,( Jakarta:Yayasan penyelenggara penerjemah,1971),hlm.425
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1994), hlm. 62.
(2)susunan pengadilan tinggi agama terdiri dari pimpinan hakim anggota,panitera,dan sekretaris15
KESIMPULAN
Pengadilan agama di Indonesia terus mengalami perubahan sejak zaman penjajahan Belanda hingga pada saat ini,namun semua perubahan tersebut demi kebaikan dan sesuai dengan situasi yang dibutuhkan walau setiap perubahan yang terjadi memiliki pro dan kontranya tersendiri.
Kedudukan pengadilan agama sendiri sudah sejajar dan sederajat dengan pengadilan umum dan lainnya karena dengan adanya pengadilan agama sendiri sangat berdampak dalam hukum di Indonesia terutama dalam hal norma-norma kehidupan dan dalam hal mengambil suatu keputusan yang bukan hanya berdasarkan peraturan umum namun juga sesuai dengan syariat keagamaan.
Di masa penjajahan belanda ada 2 peradilan yaitu, peradilan padu dengan hukum hindu dan peradilan perdata dengan hukum adat. Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal, peradilan ini bernama Priesterraden kemudian lazim disebut dengan rapat agama atau Raad.pada zaman jepang terdapat perubahan nama menjadi sooryo hooin,pemberiannya didasarkan pada aturan peralihan 3 osanu seizu pada tanggal 7 maret 1942.
15Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1994), hlm. 62.