Yang dimaksud dengan “model” di sini bukanlah yang dimaksud oleh Lévi-Strauss (1963)2, melainkan dalam pengertian yang lazim digunakan dalam diskusi tentang kerangka teori atau paradigma dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Model ini digunakan dalam dua paradigma baru antropologi, yaitu Etnosains dan Antropologi Struktural, yang diciptakan oleh Lévi-Strauss. Di sini, pertama-tama kami akan menjelaskan Etnosains, dan kemudian Antropologi Struktural yang dipelopori oleh Lévi-Strauss.
Dari Saussure, strukturalisme Lévi-Strauss memperoleh perspektif paradigmatik dan sintagmatis untuk memahami fenomena budaya;
KOMPLEKSITAS PEMERTAHANAN DAN REVITALISASI BAHASA MINORITAS DI
Berdasarkan pengalaman di lapangan, bahasa dan budaya Rongga mencerminkan situasi khas kelompok etnis kecil yang semakin terdesak dan semakin sulit mempertahankan vitalitas dan kapasitasnya. Namun, revitalisasi ini mungkin tidak dapat dikenali dan tidak realistis bagi sebagian besar kelompok minoritas etnis dan bahasa, karena struktur konvensional dihapuskan tiga dekade lalu. Hal ini pun membutuhkan proses dan tidak selalu mudah, terutama untuk kepentingan etnis minoritas dalam politik lokal di daerah dalam masa otonomi saat ini.
Artinya, dalam demokrasi dan otonomi daerah di tingkat kabupaten, kepemimpinan lokal (eksekutif dan legislatif) tidak akan pernah dipegang oleh etnis minoritas.
PENERJEMAH, PENERJEMAHAN, TERJEMAHAN, DAN DINAMIKA BUDAYA: MENATAP PERAN
Dalam situasi itu, prasasti dan teks lain yang dipelajari Hunter menunjukkan perkembangan lebih lanjut sebagai hasil terjemahan dari bahasa Sanskerta dan Prakerta14 ke dalam bahasa Melayu Kuno dan Jawa Kuno. Abdullah mencontohkan Hikayat Marakarma yang bernafaskan Hindu yang diterjemahkan dari bahasa Melayu ke Aceh. Cukup banyak buku bacaan berbahasa Aceh yang dihasilkan pada masa itu, baik karangan asli maupun terjemahan dari bahasa Melayu.
Penerjemahan ke dalam bahasa Melayu yang umum digunakan di kalangan orang Tionghoa baru dimulai pada tahun 1880. Tujuan penerjemahan dari bahasa Tionghoa ke bahasa Melayu-Tionghoa adalah untuk mempertahankan budaya leluhur yang dikenal oleh Tionghoa perantauan. Penerjemahan dari bahasa Tionghoa ke bahasa Melayu-Tionghoa memperkuat peran bahasa ini sebagai lingua franca.
Oleh kerana mereka tidak menguasai bahasa Barat (Belanda dan Inggeris), pada zaman sebelum Perang Dunia Kedua terdapat terjemahan dari bahasa asing tersebut ke dalam bahasa Melayu-Cina. Justeru, kisah-kisah dari China yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu-Cina turut mempengaruhi kisah-kisah yang diilhamkan daripada kronik di Jawa. Malah, bahasa Melayu Kuno dan Jawa Kuno mengambil peranan Sanskrit dan Prakrit.
Dalam terjemahan dari bahasa Melayu ke bahasa Aceh, terdapat fenomena linguistik dan budaya yang menarik. Di sini juga, bahasa Aceh telah mengambil alih bahasa Melayu (dan Arab) sebagai wadah penyebaran Islam.
GAMKONORA DAN WAIOLI: BAHASA DALAM KONSTRUKSI IDENTITAS ETNIK
Demikian pula kisah asal usul orang Gamkonora dan Waioli dipelajari dalam bentuk wacana. Subyek wacana naratif adalah penuturnya, yaitu masyarakat Gamkonora dan Waioli, khususnya yang tinggal di desa Gamkonora dan Gamsungi, serta. Pertama, ada pembedaan antara Islam yang dianut oleh masyarakat Gamkonora dan Kristen yang dianut oleh masyarakat Waioli.
Orang Gamkonora memiliki beberapa cerita asal usulnya yang diceritakan di desa yang berbeda. Bagi masyarakat Waioli, penuturan asal usul mereka yang diceritakan oleh masyarakat Gamkonora yang tinggal di desa Gamsungi berbeda dengan penuturan yang mereka ceritakan sendiri. Kata motilo'a diucapkan oleh masyarakat Gamkonora dari desa Gamkonora, Tahafo dan Talaga, sedangkan bunyi motiro'a diucapkan oleh masyarakat Gamkonora yang tinggal di desa Gamsungi.
Bagi masyarakat Gamkonora yang tinggal di Desa Gamkonora, Motiloa berarti kesatuan dari keempat desa mereka yaitu Desa Gamkonora, Desa Tahafo, Gamsungi dan Desa Talaga. Tidak sedikit ladang masyarakat Gamkonora yang tinggal di Desa Gamkonora, namun ladang dan kebun sagu mereka berada di wilayah Desa Tahafo. Risalah pemindahan Talaga: versi orang Gamkonora desa Talaga dan versi orang Waioli desa Bataka.
Cerita yang dituturkan oleh masyarakat Gamkonora yang tinggal di desa Gamkonora berbeda dengan cerita yang dituturkan oleh masyarakat Gamsungi itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan, misalnya, masyarakat Gamkonora di Desa Gamsungi merasa berbeda dengan masyarakat Gamkonora lainnya.
TRADISI LISAN DALAM PERGESERAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA KUI DI ALOR, NUSA
Namun tulisan ini hanya membahas satu tradisi lisan, yaitu lego-lego, karena tradisi lisan ini terkenal di seluruh kepulauan Alor-Pantar. Lego-lego disebut dar dalam bahasa Kui yang berarti nyanyian. Ini berbeda dengan towen yang artinya menari. Itulah sebabnya lego-lego digolongkan sebagai salah satu genre lagu rakyat dalam tradisi lisan. Lego-lego sebagai lagu rakyat merupakan ajang berkumpulnya masyarakat Kui untuk berbagi pengalaman tentang berbagai topik.
Sebagian besar orang Kui berperan aktif dalam interaksi sebagai pendengar, pemain, penyanyi dan penari karena Lego ingin semua orang berperan aktif dalam menyanyi dan menari. Itu sebabnya tidak ada Lego untuk pemakaman dan bentuk duka lainnya. Alat musik yang digunakan dalam lego-lego adalah dua buah gong (bubu) dan sebuah gendang (padangi).
Panggung lego lego masyarakat Kui dulunya berbentuk altar, sebuah batu tempat mereka menyembah leluhur. Pemain lain yang akan berpartisipasi dalam lego harus memasukkan di antara cangkang dan alapella. Suku Kaletowas diberi tugas sebagai surleel atau pemimpin dalam lego-lego karena suku Kaletowas bertugas sebagai panglima perang dalam struktur sosial masyarakat Kui.
Dinyatakan bahwa anak-anak kecil tidak bisa lagi menyanyikan lego-lego kecuali orang tua mereka hadir. Ketidakkonsistenan dan juga stagnasinya transfer lego kepada anak-anak dan juga remaja membuat seolah-olah lego hanya dimiliki oleh orang tua.
PERGESERAN BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU KOTA
STUDI KASUS DI KOTA PADANG 1
Hal ini terlihat dari perbedaan persentase responden dari berbagai kelompok umur yang menggunakan bahasa Minang dan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga inti (ayah dan ibu) dan keluarga besar (kakek-nenek) di rumah. Hal ini menggambarkan adanya perbedaan tingkat penggunaan bahasa Minang dan bahasa Indonesia dalam komunikasi antara cucu dan kakek nenek pada kelompok umur yang berbeda (Gambar 2). Mahasiswa UGM dan UIN di Yogyakarta lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dengan anak-anaknya daripada menggunakan bahasa Jawa.
Jawaban responden atas pertanyaan dalam kuesioner tentang status, keindahan dan keberadaan bahasa Indonesia dan bahasa Minang beragam. Banyak responden dewasa (6%) dan remaja (7%) menganggap penutur bahasa Indonesia sebagai orang yang modern, sedangkan banyak (3%-6%) responden anak-anak menganggap penutur bahasa Indonesia sebagai orang yang cerdas, elite, atau metropolitan. Sikap masyarakat Minang terhadap bahasa Indonesia dan penuturnya pada umumnya tidak bertentangan dengan sikap mereka terhadap keberadaan bahasa Minang dan penutur bahasa Minang.
Pandangan positif mereka terhadap bahasa Indonesia dan penuturnya mencerminkan pandangan positif mereka terhadap pendidikan. Beberapa siswa kelas 2 SMA 1 Padang dan mahasiswa FISIP Universitas Andalas Padang menilai bahasa Indonesia lebih halus dan santun dibandingkan bahasa Minang. Anak-anak memiliki sikap yang lebih positif terhadap bahasa Indonesia dan penuturnya dibandingkan dengan remaja dan generasi sebelumnya.
Bahasa Indonesia dan Kelas Menengah Indonesia”, dalam Yudi Latif (ed) Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana pada Tahap Orde Baru. Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa Indonesia”, dalam Jurnal Ilmiah MLI, 24, Nomor 1 , P.
REKONSTRUKSI IDENTITAS ETNIK: SEJARAH SOSIAL POLITIK ORANG PAKPAK DI SUMATERA
Tetapi apabila ingatan ini dikaitkan dengan pemilikan rekod bertulis, tidak ada orang Pakpak yang memilikinya. Peralihan identiti ini menyebabkan sempadan etnik antara orang Pakpak dan orang Batak Toba semakin kabur, berikutan proses serupa yang pernah berlaku berpuluh tahun sebelum ini. Orang Pakpak yang mengalami diskriminasi politik dan budaya malu mengamalkan budaya mereka sendiri sebaliknya secara terbuka menggunakan bahasa dan budaya Batak Toba.
Di sisi lain, pemerintah provinsi Sumatera Utara mengangkat seorang Batak Toba sebagai kepala daerah, yang tentunya menambah kekecewaan masyarakat Pakpak. Sejak awal kemerdekaan hingga akhir tahun 1950-an, masyarakat Pakpak ingin diberi kesempatan untuk memimpin wilayahnya sendiri. Pada saat yang sama, masyarakat Pakpak sendiri akan menilai posisi kepala dinas dan camat dalam birokrasi pemerintahan.
Nyanyian, liturgi, doa dan Injil menggunakan bahasa Batak Toba, sehingga melalui gereja, orang Kristen Pakpak dengan cepat memahami dan fasih berbicara bahasa Batak Toba. Pada masa transisi pemerintahan ini, masyarakat Pakpak semakin ditantang untuk terjun ke dunia politik, khususnya partai politik. Munculnya partai politik baru membuka peluang bagi masyarakat Pakpak untuk terlibat langsung dalam kegiatan politik.
Keberadaan orang Pakpak yang menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan lokal menunjukkan bahwa kekuasaan telah berpihak pada orang Pakpak. Keseluruhan proses reinventing identity etnis ini menghasilkan transformasi masyarakat Pakpak menjadi entitas politik yang sadar akan kelompok etnisnya.
BERTAHANNYA BANGSAWAN BONE DI TENGAH PERUBAHAN REZIM, 1811-1946
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum bangsawan berhasil membujuk pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkat kembali seorang raja pada tahun 1931 menjadi Kerajaan Bone yang sempat lowong sejak ditangkapnya Raja Bone, La Pawawoi Karaeng Segeri, pada tahun 1906. Ada dua pertanyaan utama dalam penelitian ini; Pertama, mengapa kerajaan Bone tetap eksis di tengah pergantian rezim yang berkuasa? Dalam sejarah Sulawesi Selatan tahun 1811 telah mengambil arti penting dalam kelanjutan sejarah kerajaan Bone di kemudian hari.
Pada masa pemerintahan Inggris, keistimewaan yang sampai sekarang dimiliki oleh Kerajaan Bone tidak diakui oleh Inggris. Skripsi ini diharapkan dapat menambah daftar panjang bahan referensi penulisan sejarah Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kerajaan tulang dan elit penguasa tradisional (bangsawan). Salah satu teori yang dianggap cocok untuk mengeksplorasi hubungan antara Kerajaan Bone dan Inggris adalah teori konflik.
Teori konflik ini juga dapat digunakan untuk melihat hubungan Kerajaan Bone dengan Belanda pada abad ke-19 hingga ke-20. Untuk menjawab pertanyaan mengapa pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspedisi militer ke Kerajaan Bone pada tahun 1905, digunakan teori imperialis dua sejarawan Inggris, John Gallagher dan Ronald Robinson, tentang peralihan kekuasaan dari informal ke formal. Masa berikutnya, pada masa penjajahan Inggris, hubungan antara Kerajaan Bone dan Inggris tidak harmonis, karena Bone menolak kehadiran Inggris.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, suhu politik di Kerajaan Bones sedikit memanas dengan berkembangnya konflik antara yang pro dan kontra terhadap kehadiran Belanda. Hingga kini, pemerintah Hindia Belanda selalu menunggu momen yang tepat untuk bertindak, khususnya di Kerajaan Bones.