MENGENAL SISTEM IRIGASI DAN BANGUNAN AIR
Prof. Dr. Ir. Ahmad Rifqi Asrib, M.T.
TAHTA MEDIA GROUP
MENGENAL SISTEM IRIGASI DAN BANGUNAN AIR
Penulis:
Prof. Dr. Ir. Ahmad Rifqi Asrib, M.T.
Desain Cover:
Tahta Media
Editor:
Andi Muhammad Taufik Ali, S.Pi., M.Pd.
Proofreader:
Tahta Media
Ukuran:
v,126, Uk: 15,5 x 23 cm ISBN: 978-623-147-239-7
Cetakan Pertama:
November 2023
Hak Cipta 2023, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright © 2023 by Tahta Media Group
All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT TAHTA MEDIA GROUP (Grup Penerbitan CV TAHTA MEDIA GROUP)
Anggota IKAPI (216/JTE/2021)
KATA PENGANTAR
Rekayasa manusia untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya air adalah dengan merubah distribusi air alami menjadi distribusi air secara buatan yaitu diantaranya dengan membangun irigasi dan bangunan air lainnya. Pembangunan saluran irigasi sebagai penunjang penyediaan bahan pangan nasional tentu sangat diperlukan, sehingga ketersediaan air di lahan akan terpenuhi walaupun lahan tersebut berada jauh dari sumber air permukaan. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha teknik irigasi yaitu memberikan air dengan kondisi tepat mutu, tepat ruang dan tepat waktu dengan cara yang efektif dan ekonomis. Dengan perencanaan saluran dan pintu air sepanjang wilayah penyaluran, air irigasi kemudian di salurkan.
Analisis kebutuhan air irigasi merupakan salah satu tahap penting yang diperlukan dalam perencanaan dan pengelolaan sistemirigasi.
Penulis memanjatkan puji syukur kepada ALLAH SWT atas Rakhmat dan Hidayah-NYA sehingga buku dengan judul “Mengenal Sistem Irigasi Dan Bangunan Air” dapat tersusun. Buku ini merupakan salah satu bahan ajar yang dapat menjadi media informasi yang diperlukan untuk kepentingan pengajaran maupun dapan menjadi referensi pengayaan khasanah pengetahuan bagi lembaga/instansi, para peneliti, dan mahasiswa maupun masyarakat secara luas. Terimakasih saya ucapkan kepada segala pihak yang telah membantu menyelasikan buku ini.
Walaupun penulis telah berusaha keras menyajikan isi buku bahan ajar ini, namun dirasakan bahwa informasi yang disajikan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu setiap kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan buku Ini sangat diperlukan.
Makassar, Agustus 2020 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
BAB I SISTEM IRIGASI DI INDONESIA ... 1
1.1 Pengertian dan Maksud Irigasi ... 1
1.2 Tingkatan Jaringan Irigasi ... 1
1.3 Unsur Jaringan Irigasi ... 5
1.4 Sumber air untuk irigasi ... 15
1.5 Kualitas air irigasi... 16
1.6 Kebutuhan air untuk irigasi ... 17
1.7 Saluran Irigasi ... 18
1.8 Proses terjadinya saluran irigasi ... 21
1.9 Nomenklatur/ Aturan Tata Nama ... 21
BAB II BANGUNAN UTAMA ... 26
2.1 Jenis-jenis Bangunan Utama ... 26
2.2 Lokasi Bendung ... 28
2.3 Bagian-bagian Bangunan Utama ... 29
2.2 Data ... 35
2.5 Perencanaan Hidrolis Bendung ... 40
2.6 Bangunan Pengambilan dan Pembilas ... 61
2.7 Stabilitas Bendung ... 66
BAB III BANGUNAN PELENGKAP ... 72
3.1. Bangunan Pengukur Debit ... 72
3.2. Bangunan Pengatur Tinggi Muka Air ... 86
3.3. Bangunan Bagi Dan Sadap ... 90
3.4. Bangunan Persilangan ... 99
3.5. Bangunan Terjun ... 115
BAB IV PETAK TERSIER ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 123
PROFIL PENULIS ... 126
BAB I SISTEM IRIGASI DI INDONESIA
1.1 PENGERTIAN DAN MAKSUD IRIGASI
Irigasi: berasal dari istilah Irrigatie (Bahasa Belanda) atau Irrigation (Bahasa Inggris) yang diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mendatangkan air dari sumbernya guna keperluan pertanian mengalirkan dan membagikan air secara teratur, setelah digunakan dapat pula dibuang kembali melalui saluran pembuang.
Maksud Irigasi: yaitu untuk memenuhi kebutuhan air (water supply) untuk keperluan pertanian, meliputi pembasahan tanah, perabukan/pemupukan, pengatur suhu tanah, menghindarkan gangguan hama dalam tanah dan sebagainya. Tanaman yang diberi air irigasi umumnya dibagi dalam 3 golongan besar yaitu:
- Padi: Irigasi di Indonesia umumnya digunakan pemberian air kepada muka tanah dengan cara menggenang (flooding method)
- Tebu
- Palawija (jagung, kacang-kacangan, bawang, cabe, dan lain sebagainya).
Khusus tanaman padi, Cara penggenangan (flooding method) memberikan keuntungan yaitu tidak terlalu banyak biaya yang dibutuhkan dan dapat mencegah hama untuk bersarang dalam tanah dan diakar tanaman.
Tetapi bila tanah terendam terlalu lama akan menjadi kurang baik, sehingga perlu sewaktu-waktu dikeringkan. Hal tersebut tergantung pada cara pengambilan air di sungai.
1.2 TINGKATAN JARINGAN IRIGASI
Irigasi di persawahan dapat dibedakan menjadi Irigasi Pedesaan dan Irigasi Pemerintah. Sistem Irigasi desa bersifat komunal dan tidak menerima bantuan dari pemerintah pusat. Pembangunan dan pengelolaanya (seluruh jaringan irigasi) dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. Sistem Irigasi (SI) bantuan pemerintah berdasarkan cara pengukuran aliran air, pengaturan, kelengkapan fasilitas, jaringan irigasi di Indonesia dapat dibedakan kedalam 3 tingkatan dibagi kedalam tiga kategori yaitu (1) irigasi teknis, (2) irigasi semi teknis, dan (3) irigasi sederhana. Ketiga tingkatan jaringan tersebut diuraikan pada tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1. Tingkatan Jaringan Irigasi
(Sumber KP 01: Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi) Standardisasi Irigasi di Indonesia hanya meninjau Irigasi Teknis, karena dinilai lebih maju dan cocok untuk dipraktekkan di sebagian besar pembangunan Irigasi di Indonesia. Mengacu pada KP-01 (Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi), dalam suatu jaringan Irigasi terdapat empat unsur fungsional Jaringan Irigasi, yaitu:
1. Bangunan-bangunan Utama (Headworks) dimana air dari sumbernya (umumnya sungai atau waduk) dielakkan ke saluran.
2. aringan pembawa irigasi berupa saluran-saluran (primer, sekunder,tersier,kwarter) yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak tersier.
3. Petak-petak Tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan kolektif, air irigasi di bagi-bagi dan dialirkan ke sawah- sawah dan kelebihan air ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier.
4. Sistem pembuang yang terdapat diluar daerah irigasi untuk membuang kelebihan air irigasi ke sungai atau saluran-saluran alamiah sekitar.
1.2.1 Irigasi Teknis
Prinsip dari jaringan irigasi teknis adalah sebagai berikut:
- Jaringan Irigasi yang mendapatkan pasokan air terpisah dengan jaringan pembuang/pematus
- Pemberian airnya dapat diukur, diatur dan terkontrol pada beberapa titik tertentu
- Dalam irigasi teknis, petak tersier menduduki fungsi sentral dalam jaringan irigasi teknis
- Semua bangunan bersifat permanen
Contoh: S.I. Jatiluhur, S.I. Pemal. Comal, S.I. Rentang, S.I. Sampean, dll.
Gambar 1.1. Sistem Irigasi Teknis
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP-01) 1.2.2 Irigasi Semi Teknis
Prinsip dari jaringan irigasi semiteknis adalah sebagai berikut:
- Pengaliran kesawah dapat diatur tetapi banyaknya air tidak dapat diukur - Pembagian air tidak dapat dilakukan secara seksama
- Memiliki sedikit bangunan permanen
- Hanya satu alat pengukuran aliran yang ditempatkan pada Bangunan bendung
BAB II BANGUNAN UTAMA
Bangunan utama dapat didefinisikan sebagai semua bangunan yang direncanakan di sungai atau aliran air untuk membelokkan air ke dalam jaringan irigasi, biasanya dilengkapi dengan kantong lumpur agar bisa mengurangi kandungan sedimen yang berlebihan serta memungkinkan untuk mengukur dan mengatur air yang masuk. Di Indonesia sebagian besar sumber air untuk irigasi, diambil dari air sungai. Untuk mengambil air sungai biasanya dibuat bangunan penangkap di mana sebelumnya air sungai tersebut dinaikkan permukaannya dengan cara dibendung. Bendung adalah bangunan yang dibuat melintang pada alur sungai, dengan maksud menaikkan taraf muka air sungai, agar dapat dialirkan secara gravitasi ke seluruh daerah irigasi yang biasanya lebih tinggi dari air sungai setempat.
2.1 JENIS-JENIS BANGUNAN UTAMA
Pengaliran air dari sumber air berupa sungai atau danau ke jaringan irigasi untuk keperluan irigasi pertanian, pasokan air baku dan keperluan lainnya yang memerlukan suatu bangunan disebut dengan bangunan utama.
Untuk kepentingan keseimbangan lingkungan dan kebutuhan daerah di hilir bangunan utama, maka aliran air sungai tidak diperbolehkan disadap seluruhnya. Akan tetapi, harus tetap dialirkan sejumlah 5% dari debit yang ada. Salah satu bangunan utama yang mempunyai fungsi membelokkan air dan menampung air disebut bendung ada enam bangunan utama yang sudah pernah atau sering dibangun di Indonesia, antara lain:
1. Bendung Tetap
Bangunan air ini dengan kelengkapannya dibangun melintang sungai atau sudetan, dan sengaja dibuat untuk meninggikan muka air dengan ambang tetap sehingga air sungai dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke jaringan irigasi. Kelebihan airnya dilimpahkan ke hilir dengan terjunan yang dilengkapi dengan kolam olak dengan maksud untuk meredam energi.
2. Bendung Gerak Vertikal
Bendung ini terdiri dari tubuh bendung dengan ambang tetap yang rendah dilengkapi dengan pintu-pintu yang dapat digerakkan vertikal maupun radial. Tipe ini mempunyai fungsi ganda, yaitu mengatur tinggi muka air di hulu bendung kaitannya dengan muka air banjir dan meninggikan muka air sungai kaitannya dengan penyadapan air
untuk berbagai keperluan. Operasional di lapangan dilakukan dengan membuka pintu seluruhnya pada saat banjir besar atau membuka pintu sebagian pada saat banjir sedang dan kecil. Pintu ditutup sepenuhnya pada saat kondisi normal, yaitu untuk kepentingan penyadapan air. Tipe bendung gerak ini hanya dibedakan dari bentuk pintu-pintunya antara lain:
a. Pintu geser atau sorong, banyak digunakan untuk lebar dan tinggi bukaan yang kecil dan sedang. Diupayakan pintu tidak terlalu berat karena akan memerlukan peralatan angkat yang lebih besar dan mahal. Sebaiknya pintu cukup ringan tetapi memiliki kekakuan yang tinggi sehingga bila diangkat tidak mudah bergetar karena gaya dinamis aliran air.
b. Pintu radial, memiliki daun pintu berbentuk lengkung (busur) dengan lengan pintu yang sendinya tertanam pada tembok sayap atau pilar. Konstruksi seperti ini dimaksudkan agar daun pintu lebih ringan untuk diangkat dengan menggunakan kabel atau rantai. Alat penggerak pintu dapat dapat pula dilakukan secara hidrolik dengan peralatan pendorong dan penarik mekanik yang tertanam pada tembok sayap atau pilar.
3. Bendung Karet (Bendung Gerak Horizontal) Bendung karet memiliki dua bagian pokok, yaitu : a. Tubuh bendung yang terbuat dari karet
b. Fondasi beton berbentuk plat beton sebagai dudukan tabung karet, serta dilengkapi satu ruang kontrol dengan beberapa perlengkapan (mesin) untuk mengontrol mengembang dan mengempisnya tabung karet. Bendung ini berfungsi meninggikan muka air dengan cara mengembungkan tubuh bendung dan menurunkan muka air dengan cara mengempiskannya. Tubuh bendung yang terbuat dari tabung karet dapat diisi dengan udara atau air. Proses pengisian udara atau air dari pompa udara atau air dilengkapi dengan instrumen pengontrol udara atau air (manometer).
4. Bendung Saringan Bawah
Bendung ini berupa bendung pelimpah yang dilengkapi dengan saluran penangkap dan saringan. Bendung ini meloloskan air lewat saringan dengan membuat bak penampung air berupa saluran penangkap melintang sungai dan mengalirkan airnya ke tepi sungai untuk dibawa ke jaringan irigasi. Operasional di lapangan dilakukan dengan membiarkan sedimen dan batuan meloncat melewati bendung, sedang air diharapkan masuk ke saluran penangkap. Sedimen yang tinggi
diendapkan pada saluran penangkap pasir yang secara periodik dibilas masuk sungai kembali.
5. Pompa
Pompa digunakan bila bangunan-bangunan pengelak yang lain tidak dapat memecahkan permasalahan pengambilan air dengan gravitasi, atau kalau pengambilan air relatif sedikit dibandingkan dengan lebar sungai.
Dengan instalasi pompa pengambilan air dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Namun dalam operasionalnya memerlukan biaya operasi dan pemeliharaannya cukup mahal terutama dengan makin mahalnya baha n bakar dan tenaga listrik. Dari cara instalasinya pompa dapat dibedakan atas pompa yang mudah dipindah karena ringan dan mudah dirakit ulang setelah dilepas komponennya dan pompa tetap (stationary) yang dibangun/dipasang dalam bangunan rumah pompa secara permanen. Ada beberapa jenis pompa didasarkan pada tenaga penggeraknya, antara lain:
a. Pompa air yang digerakkan oleh tenaga manusia (pompa tangan) b. Pompa air dengan penggerak tenaga air (air terjun dan aliran air) c. Pompa air dengan penggerak berbahan bakar minyak
d. Pompa air dengan penggerak tenaga listrik.
6. Pengambilan Bebas
Pengambilan air untuk irigasi ini langsung dilakukan dari sungai dengan meletakkan bangunan pengambilan yang tepat di tepi sungai, yaitu pada tikungan luar dan tebing sungai yang kuat atau masif.
Bangunan pengambilan ini dilengkapi pintu, ambang rendah dan saringan yang pada saat banjir pintu dapat ditutup supaya air banjir tidak meluap ke saluran induk. Kemampuan menyadap air sangat dipengaruhi elevasi muka air di sungai yang selalu bervariasi tergantung debit pengaliran sungai saat itu. Pengambilan bebas biasanya digunakan untuk daerah irigasi dengan luasan yang kecil sekitar 150 ha dan masih pada tingkat irigasi .(setengah) teknis atau irigasi sederhana.
2.2 LOKASI BENDUNG
Untuk menentukan lokasi suatu bendung, haruslah diperhatikan beberapa pertimbangan, sehingga bendung yang direncanakan tersebut dapat dipertanggung jawabkan, baik secara teknis, ekonomis dan fungsionalnya.
Kriteria-kriteria yang perlu diperhatikan antara alin adalah:
1. Seluruh daerah irigasi harus dapat diairi secara gravitasi 2. Trase saluran induk tidak melewati daerah yang sulit 3. Dipilih bagian sungai yang lurus
sehingga syarat panjang jalur rembesan menjadi :
= Lv + 1/3 Lh ≥ C x ∆H Keterangan:
Lv = jumlah panjang jalur rembesan vertikal.
Lh = jumlah panjang jalur rembesan horizontal.
Bidang-bidang miring yang mempunyai sudut lebih besar dari 45o terhadap horizontal, dianggap vertikal dan untuk bidang dengan sudut lebih kecil dari 45o dianggap horizontal. Selain dari itu Lane juga memberikan koreksi terhadap harga C, yang berbeda dengan C Bligh, untuk berbagai jenis material.
c. Tebal lantai
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa akibat adanya rembesan di bawah tubuh bendung, maka setiap titik pada konstruksi akan menerima tekanan, baik ke atas maupun ke samping yang disebut dengan daya angkat (uplift pressure). Pada lantai hulu, karena di atasnya selalu ada air, minimal setinggi mercu yang akan mengimbangi tekanan ke atas, di
samping tekanan pada daerah ini masih relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada daerah ini tidak berbahaya dan dapat diabaikan.
Oleh karena itu, lantai hulu ini tidak perlu terlalu tebal. Hal paling penting lantai ini haruslah kedap air dan tidak mudah pecah, sehingga fungsinya untuk memperpanjang jalur rembesan tetap terpenuhi.
Pada lantai hilir (kolam olakan), kondisinya lebih berbahaya, terutama karena tekanan rembesan pada daerah ini relatif lebih besar dan di atas lantainya sering kosong (tidak ada air), atau lapisan airnya relatif tipis. Oleh karena itu, maka tebal lantai kolam ini harus diperhitungkan agar jangan sampai terdorong ke atas, yang harus diimbangi oleh berat lantai itu sendiri. Pengembangan dari teori Bligh dan Lane, akan menentukan besarnya tekanan daya angkat pada setiap titik di bawah fondasi sebagai berikut, lihat Gambar 2.34.
Gambar 2.34. Ilustrasi daya angkat akibat tekanan rembesan di bawah fondasi bending
Besar tekanan pada titik X, sebagai berikut:
Px = Hx – lx/L. ∆H
Keterangan
Px = Daya angkat pada titik X (t/m2)
Hx = Tinggi energi di hulu bendung sampai titik X (m) lx = Panjang jalur rembesan sampai dengan titik X (m) L = Panjang jalur rembesan total (m)
∆H = Beda tinggi energi total (m)
Untuk mengetahui apakah tebal lantai kolam olakan aman atau tidak, maka ditinjau pada dua titik/potongan, masing-masing pada titik H dan I, pada Gambar 2.34. Pada saat air normal, di atas lantai dianggap tidak ada air. Maka tekanan ke atas adalah pH, sedangkan tekanan ke bawah adalah berat lantai pada titik yang bersangkutan, atau
Gb = tH . γp
Supaya lantai tidak terangkat, haruslah dipenuhi, Gb>Ph atau tH p>pH.
tHmin > PH/γp Keterangan:
tH = Tebal lantai pada titik H (m) PH = daya angkat pada titik H (t/m2) γp = berat isi pasangan (t/m3)
Dengan cara yang sama, juga dapat dikontrol tebal lantai pada titik I. Selanjutnya perhitungan juga dilakukan terhadap kondisi air banjir, dan ukuran tebal terbesar adalah yang menentukan.
BAB III BANGUNAN PELENGKAP
Dalam perencanaan jaringan irigasi teknis, setelah air diambil dari sumbernya, air tersebut di bawa oleh saluran pembawa menuju petak-petak sawah yang dituju. Dalam perjalanan membawa air menuju petak, dibutuhkan bangunan-bangunan pendukung agar sistem irigasi teknis mampu berkinerja optimal. Bangunan-bangunan tersebut diantaranya bangunan bagi sadap, bangunan ukur, bangunan persilangan dan bangunan terjun.
3.1. BANGUNAN PENGUKUR DEBIT
Agar pengelolaan air irigasi menjadi efektif, maka debit harus diukur (dan diatur) pada hulu saluran primer, pada cabang saluran dan pada bangunan sadap tersier. Berbagai macam bangunan dan peralatan telah dikembangkan untuk maksud ini. Namun demikian, untuk menyederhanakan pengelolaan jaringan irigasi hanya beberapa jenis bangunan saja yang boleh digunakan di daerah irigasi.
Rekomendasi penggunaan bangunan tertentu didasarkan pada faktor penting antara lain :
- Kecocokan bangunan untuk keperluan pengukuran debit - Ketelitian pengukuran di lapangan
- Bangunan yang kokoh, sederhana dan ekonomis - Rumus debit sederhana dan teliti
- Operasi dan pembacaan papan duga mudah - Pemeliharaan sederhana dan murah
- Cocok dengan kondisi setempat dan dapat diterima oleh para petani.
Jenis Bangunan Pengukur Debit
• Ambang Lebar
- Alat Ukur Drempel - Alat Ukur Romyn - Alat Ukur Vlueter - Alat Ukur Parshall
• Ambang Tajam - Alat Ukur Cipoletti - Alat Ukur Thomson - Alat Ukur Rechboch
3.1.1. Alat Ukur Ambang Lebar (Drempel)
Bangunan ukur ambang lebar dianjurkan karena bangunan itu kokoh dan mudah dibuat. Karena bisa mempunyai berbagai bentuk mercu, bangunan ini mudah disesuaikan dengan tipe saluran apa saja.
Hubungan tunggal antara muka air hulu dan debit mempermudah pembacaan debit secara langsung dari papan duga, Bentuk alat ukur drempel sesuai dengan gambar 3.1 dibawah ini.
Gambar 3.1. Alat Ukur Drempel
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan KP-04)
Persamaan debit untuk alat ukur ambang lebar dengan bagian pengontrol segi empat adalah :
Dimana : Q = debit m3/dt Cd = koefisien debit
Cd adalah 0,93 + 0,10 H1/L, for 0,1 < H1/L < 1,0
H1 adalah tinggi energi hulu, m L adalah panjang mercu, m Cv = Koefisien kecepatan datang g = percepatan gravitasi, m/dt2 (≈9,81) bc = lebar mercu, m
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, m Karakteristik alat ukur ambang lebar
- Asal saja kehilangan tinggi energi pada alat ukur cukup untuk menciptakan aliran krisis, tabel debit dapat dihitung dengan kesalahan kurang dari 2%
- Kehilangan tinggi energi untuk memperoleh aliran moduler (yaitu hubungan khusus antara tinggi energi hulu dengan mercu sebagai acuan dan debit) lebih rendah jika dibandingkan dengan kehilangan tinggi energi untuk semua jenis bangunan yang lain.
- Sudah ada teori hidrolika untuk menghitung kehilangan tinggi energy yang diperlukan ini, untuk kombinasi alat ukur dan saluran apa saja.
- Karena peralihan penyempitan yang bertahap (gradual), alat ukur ini mempunyai masalah sedikit saja dengan benda – benda hanyut.
- Pembacaan debit dilapangan mudah, khusus jika papan duga diberi satuan debit (misal m3/dt)
- Pengamatan lapangan dan laboratorium menunjukkan bahwa alat ukur ini mengangkut sedimen, bahkan disaluran dengan aliran subkritis.
- Asalkan mercu datar searah dengan aliran, maka tabel debit pada dimensi purnalaksana (as-built dimensions) dapat dibuat, bahkan jika terdapat kesalahan pada dimensi rencana selama pelaksanaan sekali pun. Kalibrasi purnalaksana demikian juga memungkinkan alat ukur untuk diperbaiki kembali, bila perlu.
- Bangunan kuat, tidak mudah rusak
- Dibawah kondisi hidrolis dan batas yang serupa, ini adalah yang paling ekonomis dari semua jenis bangunan lain untuk pengukuran debit secara tepat.
- Alat ukur ini hanya dapat dipergunakan untuk aliran yang tidak tenggelam
Pada waktu menentukan bagian pengontrol, kurva Q-h1 dapat diplot pada grafik. Pada grafik yang sarna harus diberikan plot debit versus kedalaman air saluran hulu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.36. Dengan cara menganekaragamkan harga- harga pengontrol, kedua kurve dapat dibuat untuk bisa digabung dengan harga-antara umum aliran di saluran tersebut.
Keuntungan dari penggabungan semacam ini adalah bahwa bangunan pengontrol tidak menyebabkan kurve pengempangan (dan sedimentasi) atau menurunnya muka air (dan erosi) di saluran hulu.
Gambar 3.36 Ilustrasi peristilahan yang berhubungan dengan bangunan peredam energi
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan KP-04)
Gambar 3.36 a Ilustrasi peristilahan yang berhubungan dengan lebar efektif dan ruang olak di Bangunan terjun lurus
(Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan KP-04)
Gambar 3.36. Penggabungan Q-y1 dan Q-hi sebuah bangunan (Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan KP-04)
BAB IV PETAK TERSIER
Petak tersier adalah petak dasar di suatu jaringan irigasi. Petak itu merupakan bagian dari daerah irigasi yang mendapat air irigasi dan satu bangunan sadap tersier dan dilayani oleh satu jaringan tersier. Petak Tersier dibagi-bagi menjadi petak-petak kuarter. Sebuah petak tersier merupakan bagian dari petak tersier yang menerima air dan saluran kuarter. Petak subtersier diterapkan hanya apabila petak tersier berada di dalam daerah administratif yang meliputi dua desa atau lebih. Jaringan tersier adalah jaringan saluran yang melayani areal di dalam petak tersier. Jaringan tersier terdiri dari:
- Saluran dan bangunan tersier : saluran dan bangunan yang membawa dan membagi air dari bangunan sadap tersier ke petak-petak kuarter.
- Saluran dan bangunan kuarter: saluran dan bangunan yang membawa air dari jaringan bagi ke petak-petak sawah.
- Saluran pembuang : saluran dan bangunan yang membuang kelebihan air dari petak-petak sawah ke jaringan pembuang utama
Saluran tersier membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama ke petak- petak kuarter. Batas ujung saluran tersier adalah boks bagi kuarter yang terakhir. Para petani menggunakan air dari saluran kuarter.
Dalam keadaan khusus yang menyangkut topografi dan kemudahan pengambilan air, para petani diperkenankan mengambil air dari saluran tersier tanpa merusak saluran tersier. Saluran kuarter membawa air dari boks bagi kuarter melalui lubang sadap sawah atau saluran cacing ke sawah-sawah. Jika pemilikan sawah terletak lebih dari 150 m dan saluran kuarter, saluran cacing dapat mengambil air langsung tanpa bangunan dari saluran kuarter.
Saluran kuarter sebaiknya berakhir di saluran pembuang agar air irigasi yang tak terpakai bisa dibuang. Supaya saluran tidak tergerus, diperlukan bangunan akhir.
Boks kuarter hanya membagi air irigasi ke saluran kuarter saja. Boks tersier membagi air irigasi antara saluran kuarter dan tersier. Saluran pembuang kuarter terletak di dalam petak tersier untuk menampung air langsung dan sawah dan membuang air itu ke saluran pembuang tersier.
Saluran pembuang tersier terletak di dan antara petak-petak tersier dari jaringan irigasi sekunder yang sama, serta menampung air dan pembuang kuarter maupun langsung dan sawah.
Sistem Tata Nama
- Boks tersier diberi kode T, diikuti dengan nomor urut menurut arah jarum jam, mulai dan boks pertama di hilir bangunan sadap tersier: T1, T2, dan seterusnya.
- Boks kuarter diberi kode K, diikuti dengan nomor urut jarum jam, mulai dari boks kuarter pertama di hilir boks nomor urut tertinggi K1, K2, dan seterusnya.
- Ruas-ruas saluran tersier diberi nama sesuai dengan nama boks yang terletak di antara kedua boks, niisalnya (T1 - T2), (T3 – K1).
- Petak kuarter diberi nama sesuai dengan petak rotasi, diikuti dengan nomor urut menurut arah jarum jam. Petak rotasi diberi kode A, B, C dan seterusnya menurut arah jarum jam.
- Saluran irigasi kuarter diberi nama sesuai dengan petak kuarter yang dilayani tetapi dengan huruf kecil, misalnya al, a2, dan seterusnya.
- Saluran pembuang kuarter diberi nama sesuai dengan petak kuarter yang dibuang airnya, diawali dengan dk, misalnya dka1, dka2 dan seterusnya.
Saluran pembuang tersier diberi kode dt1, dt2, juga menurut arah jarum jam.
Gambar 4.1. Sistem Tata Nama Petak Tersier dan Sub Tersier (Sumber: Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP-01)
DAFTAR PUSTAKA
A.G Kartasapoetra. 1986. Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman.
Bumi Aksara. Jakarta.
Ahmad Basyir dkk. 2006. Jurnal Ekologi Perubahan Perilaku Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu dengan Pemodelan Spasial. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Anggrahini. (1991). Hidrolika Saluran Terbuka. Surabaya: Erlangga.
Azizah, Indah. 2014. Makalah Sedimentasi.
http://indahandblog.blogspot.com/2014/02/makalah-sedimentasi.html.
(Diakses pada 10 Juni 2015, pada pukul 14:27)
Bates, R. L., and Jackson, J. A. 1987. Glossary of Geology, third edition.
American Geological Institute, page : 598
Butler, R. et al. 1997. Tourism and Sustainable Development Monitoring, Planning, and Managing. Waterloo. Departement of Geography University of Waterloo.
Chester, R. 1993. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London. Dale, E.
I. dan William J. W. 1989. Oceanography : An Introduction. 3th Edition.Wadsworth Publishing Company Belmart. California.
Chow, V.T. (1985). Open Channel Hydraulics (Versi Bahasa Indonesia).
Jakarta: Erlangga. Mawardi, E., Memed, M. (1985). Desain Hidraulik Bendung Tetap. Bandung: Alfa Beta. Politeknik Bandung. (2010). Modul Kuliah Bangunan Air. Bandung
Dahuri. R. J . Rais, S.P Ginting. dan M. J. Sitepu., 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Direktorat PPLH, Ditjen Bangda. 1999. Action Plan pengelolaan dan Pemanfaatan Situ-Situ di Wilayah Jabotabek. Jakarta.
Fahmi, Ahmad. 2009. Tingkat pencemaran Logam Berat Dalam Air Laut dan Sedimen Perairan.
Farah, F. 2016. Proses Sedimentasi – Jenis, Penyebab, dan Dampaknya melalui https://ilmugeografi.com/geologi/proses-sedimentasi diakses 7 Oktober 2018
Fatma, D. 2017. Sedimentasi: Pengertian, Penyebab, Proses Terjadinya dan Jenisnya melalui https://ilmugeografi.com/geografi-dasar/sedimentasi diakses 7 Oktober 2018
Gatot Sulistyanto, Iwan. 2009. Geografi. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Haeruman, Herman. 1997. Pengelolaan Sumber Daya Lahan dalam Sistem Tata Ruang Nasional. Jakarta.
Hardjasoemantri,K, 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta.Gadjah Mada University Press.
Karim, H.Abdul. 2012. Manajemen Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis Pertisipasi. Sleman :Pustaka Ifada
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kantor Sekretariat Negara.
Lawrence dan Peter. 1988. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Meurah, Cut, dkk. 2006. Geografi. Jakarta : PT. Phibeta Aneka Gama, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1997 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kantor Sekretariat Negara.
Schubeler, Peter. 1996. Participation And Partnership In Urban Infrastructure Management. Washington D.C.: World Bank Publications
Setyono, P, 2008. Cakrawala Memahami Lingkungan. Surakarta. UNS Press Silalahi, Daud M. 1996. Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan
Lingkungan hidup di Indonesia. Penerbit Alumni. Bandung.
Slamet, Y. 1993. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Sebelas Maret University Press. Surakarta
Soegimo, Dibyo dan Ruswanto. 2009. Geografi. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional,
Sughandhy, Aca. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soesanto, S. R. (2008). Modul Irigasi. Surabaya.
Sosrodarsono, S., Takeda, K. (1977). Bendungan Type Urugan. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Standard Perencanaan Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (1986). KriteriaPerencanaan (KP) 01 Bagian Jaringan Irigasi. Jakarta.
Standard Perencanaan Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (1986). Kriteria Perencanaan (KP) 02 Bagian Bangunan Utama. Jakarta.
Standard Perencanaan Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (1986). Kriteria Perencanaan (KP) 03 Bagian Saluran.
Jakarta.
Standard Perencanaan Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (1986). Kriteria Perencanaan (KP) 04 Bagian Bangunan.
Jakarta.
Standard Perencanaan Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (1986). Kriteria Perencanaan (KP) 05 Bagian Petak Tersier.
Jakarta.
Standard Perencanaan Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (1986). Kriteria Perencanaan (KP) 06 Bagian Parameter Bangunan. Jakarta.
Standard Perencanaan Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. (1986). Kriteria Perencanaan (KP) 07 Bagian Standar Penggambaran. Jakarta.
Uli H, Marah dan Asep Mulyadi. 2007. Geografi. Jakarta : Erlangga
United States Department of the Interior, Bureau of Reclamation. (1987).
Design of Small Dam.Washington DC: A Wter Resources Technical Publication
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kantor Sekretariat Negara.
PROFIL PENULIS
Ahmad Rifqi Asrib, (lahir Yogyakarta, 19 September 63), adalah seorang dosen Jurusan Teknik Sipil pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar sejak tahun 1991. Sejumlah penelitian telah dilakukan yang berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Air.
Beberapa buku telah ditulis termasuk buku Waduk dan Sedimen yang diterbitkan oleh Depublish (2022). Namun selain sebagai dosen banyak orang mengenal ia sebagai seorang konsultan proyek pada berbagai pekerjaan fisik Keairan.
Tahun 1990 ia menamatkan kuliahnya di jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Tahun 1997 lulus M.T. dari Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, dan tahun 2012 lulus Doktoral (DR) da Institut Pertanian Bogor pada bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.