MENGUATKAN KARAKTER PESANTREN MELALUI KONSEP MUADALAH
Rt. Bai Rohimah
Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Email: [email protected]
Ima Maisaroh
Jurusan Administrasi Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Email: [email protected]
Istinganatul Ngulwiyah
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri akar historis pesantren muadalah, prosesnya, tipologi dan jenjang pendidikannya, kurikulum, hakikat status muadalah pada pesantren, serta tantangannya di masa depan sebagai sebuah satuan pendidikan khas pesantren. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata. Data yang dianalisis didalamnya berbentuk deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian itu dilakukan. Oleh karena itu, penelitian kualitatif mampu mengungkap fenomena-fenomena pada suatu subjek yang ingin diteliti secara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian bahwa lahirnya Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren menjadi bukti konkret rekognisi konstitusional pemerintah. Terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2014 ini semakin memantapkan posisi pesantren sebagai sub-sistem pendidikan nasional. Selain akan semakin meningkatkan taraf kepercayaan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan yang dikembangkan di pesantren, juga konsep muadalah ini diharapkan menjadi model bagi pesantren salafi lainnya yang tersebar di Banten.
Kata Kunci : Transformasi, Muadalah, Pesantren
ABSTRACT
This study aims to explore the historical roots of mudalam pesantren, the process, typology and level of education, curriculum, the nature of the mudalam status of pesantren, and its challenges in the future as a typical pesantren education unit. This research is a qualitative research, namely research that produces descriptive data in the form of words. The data analyzed in it is descriptive and not in the form of numbers as is the case in quantitative research. Qualitative research is intended to collect information about the status of an existing symptom, namely the state of the symptoms according to what they were at the time the research was conducted. Therefore, qualitative research is able to reveal phenomena in a subject that wants to be studied in depth. Based on the results of the study, the issuance of the Minister of Religion Regulation Number 18 of 2014 concerning the Mudalam Education Unit at Islamic Boarding Schools became concrete evidence of the government's constitutional recognition. The issuance of the
Minister of Religion Regulation Number 18 of 2014 has further strengthened the position of pesantren as a sub-system of national education. In addition to increasing the level of public trust as users of educational services developed in Islamic boarding schools, the muadah concept is also expected to become a model for other salafi pesantren spread across Banten.
Keywords: Transformation, Muadah, Islamic Boarding School
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Masyarakat internasional menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan Islam khususnya madrasah sejak kebangkitan Taliban di Afganistan pada tahun 1996, dan pasca peristiwa 11 September 2001. Beberapa madrasah di negara-negara tersebut hampir sepenuhnya berada dibawah kekuasaan para ulama, yang menanamkan perspektif Islam secara sempit sehingga memicu lahirnya sikap radikalisme. Tetapi di beberapa negara muslim lainnya, kasusnya berbeda.
Sebagai contoh di negara Mesir, dimana Presiden Gamal Abdel Naser pada awal tahun 1960-an, menasionalisasi seluruh madrasah dari yang semula sekolah agama, menjadi sekolah umum, meskipun tetap disebut madrasah. Sejak masa itu, madrasah menjadi sekolah umum yang berada dalam pengawasan pemerintah.
Jika orang tua ingin mendapatkan tambahan pendidikan agama, maka harus mengirimkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan non-formal yang umumnya terkait dengan masjid.
Pemerintah Saudi Arabia, pada tahun 1970 juga menasionalisasi seluruh madrasah yang umumnya dimiliki ulama- ulama non pemerintah, untuk dijadikan madrasah negeri dengan kurikulum dari pemerintah. Salah satunya adalah madrasah Darul Ulum yang menampung banyak warga Indonesia dan pernah dipimpin Syekh Mohamad Yasin Bin Isa Al Padani yang wafat pada tahun 1990.
Demikian yang terjadi di Indonesia, perkembangan pesantren sebelum kemunculan wajah barunya dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang terpinggirkan dan terbelakang. Tetapi sejak awal 1970-an, Prof A. Mukti Ali sebagai Menteri Agama waktu itu, merintis jalan baru ke arah madrasah dan pesantren dan juga perguruan tinggi. Yang oleh Azyumardi Azra disebut sebagai Mainstreaming of Islamic Education, atau pengarusutamaan Pendidikan Islam dari yang semula berada dipinggiran menuju ke tengah ke arus utama pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Hal diatas melatarbelakangi penelitian ini terkait bagaimana pesantren mengalami
perjuangan yang penuh liku, sampai akhirnya mendapatkan rekognisi dari pemerintah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah menelusuri akar historis pesantren muadalah, prosesnya, tipologi dan jenjang pendidikannya, kurikulum, hakikat status muadalah pada pesantren, serta tantangannya di masa depan sebagai sebuah satuan pendidikan khas pesantren.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menelusuri akar historis pesantren muadalah, mengetahui proses perubahannya, tipologi dan jenjang pendidikannya, kurikulum, hakikat status muadalah pada pesantren, serta tantangannya di masa depan sebagai sebuah satuan pendidikan khas pesantren.
KAJIAN TEORI Karakter Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua dan sebagai budaya asli (indigenous) Indonesia serta memiliki akar kuat dalam masyarakat. Pondok pesantren mengalami transformasi yang fenomenal di Indonesia, hal ini terlihat bahwa pondok pesantren
dan madrasah semakin terlibat dan memberikan kontribusi terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Sebuah pondok pesantren memiliki 5 unsur atau komponen yang membedakan dengan lembaga Pendidikan lainnya, yaitu adanya kiai, santri, masjid, asrama, dan pengajian kitab. Hal ini menandakan bahwa karakteristik pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang merupakan tempat santri mempelajari, memahami, mengamalkan ajaran agama Islam dengan diiringi akhlakul karimah dalam kehidupan, dengan bimbingan seorang guru yang dikenal sebagai kiai atau ustadz.
Di lingkungan pondok pesantren, kiyai mempunyai peran sentral dimana hal tersebut terjadi karena tingkat keillmuan yang dimiliki seorang kiyai sangatlah tinggi. Secara sosiologis peran kiyai memiliki kelebihan dalam lingkungan masyarakat sebagai figur yang berpengaruh dan memungkinkan memberikan kontribusi untuk berbagai permasalahan masyarakat. Disini figur pemimpin atau kiyai yang mempunyai jiwa keteladanan, maka dianggap sebagai modal berharga dalam menanamkan pembiasaan para santri melalui proses belajar mengajar. Oleh karena itu, peran kiyai sangatlah penting dalam berbagai aspek kehidupan dari mulai spiritual, sosial, budaya, dan pendidikan. Namun saat ini, sudah banyak guru atau ustadz
yang membantu peran tersebut dalam mengembangkan akhlak, ilmu dan pengetahuan santri di pondok pesantren.
Hal ini menjadikan pondok pesantren lebih menekankan pada akhlak yang lebih dikenal sebagai karakter santri.1 Namun perkembangan keilmuan, menuntut pesantren tidak hanya memiliki keilmuan agama tetapi juga para santri di pesantren memiliki kualifikasi keilmuan umum, yang mampu menunjang kemampuan santri di masa depannya.
Memahami Konsep Muadalah Pada Pesantren.
Secara etimologi kata muadalah adalah ism masdar dari ََلَدَع َ لِدْعَي َ ةَلَداَع م yang berarti persamaan, kesejajaran, keseimbangan. Secara terminologi muadalah berarti suatu proses penyetaraan antara institusi pendidikan baik pendidikan di pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren dengan menggunakan kriteria baku dan mutu atau kualitas yang telah ditetapkan secara adil dan terbuka. Selanjutnya hasil dari muadalah tersebut, dapat dijadikan dasar dalam meningkatkan pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren.2
1 Lisda Nurul Romdoni, Membangun Pendidikan Karakter Santri Melalui Panca Jiwa Pondok Pesantren, Bandung: Jurnal Pendidikan Islam At Thariqoh, Vol. 5 No. 2 Juli-desember 2020, hal. 13
2 Yusuf, C. F. Pedoman Penyelenggaraan Pondok Pesantren Muadalah. Jakarta: 2009, hal. 4
Setidaknya ada dua pertimbangan utama pemberian status muadalah kepada pondok pesantren seperti termaktub pada konsideran PMA No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren yang tertuang dalam poin a dan b. Pertama, bahwa satuan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh pondok pesantren dengan mengembangkan sistem pendidikan pesantren memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembangunan bangsa dan telah mendapatkan pengakuan penyetaraan (muadalah) dari lembaga pendidikan luar negeri sehingga lulusan dari satuan pendidikan keagamaan Islam tersebut dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, perlunya aturan yang lebih kuat sebagai payung hukum dalam rangka pengakuan penyetaraan satuan pendidikan muadalah pada pondok pesantren dengan satuan pendidikan formal.
Berdasar dua pertimbangan di atas, status muadalah diberikan kepada pondok- pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pendidikan secara mandiri baik yang berbasis kitab kuning maupun yang berbasis dirasat islamiyah. Artinya, pesantren-pesantren tersebut tidak lagi dipandang semata sebagai penyelenggara satuan pendidikan tertentu, tetapi pesantren dapat berdiri sejajar dan setara
dengan pendidikan formal lainnya sebagai satuan pendidikan tersendiri. Dengan posisi pesantren yang setara itu menjadikan pesantren memiliki kekuatan dan kedudukan seimbang dengan pendidikan formal lainnya tanpa harus tercerabut dari akar kekhasan dan jatidirinya sebagai pesantren.
Salah satu kewenangan yang diberikan kepada pesantren muadalah dalam konteks merawat kekhasannya adalah kebebasan penamaan satuan pendidikan muadalah seperti diatur dalam PMA No. 14 Tahun 2014 pasal 5. Melalui pasal ini dijelaskan bahwa penamaan satuan pendidikan muadalah dapat menggunakan nama Madrasah Salafiyah, Madrasah Mu’allimin, Kulliyat al- Muallimin al-Islamiyah (KMI), Tarbiyat al-Mu’allimin al-Islamiyah (TMI), Madrasah al-Mu’allimin al-Islamiyah (MMI), Madrasah al-Tarbiyah al- Islamiyah (MTI) atau nama lain yang diusulkan oleh lembaga pengusul dan ditetapkan oleh Menteri. Jelaslah bahwa pengakuan status muadalah di atas juga diorientasikan pada upaya menjaga keragaman pesantren muadalah sebagai sebuah entitas yang unik, indigenous, dan khas bukan justru memaksakan keseragaman identitas atau label.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata. Data yang dianalisis didalamnya berbentuk deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian kuantitatif. Menurut Arikunto (1998, h.309) penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian itu dilakukan. Oleh karena itu, penelitian kualitatif mampu mengungkap fenomena- fenomena pada suatu subjek yang ingin diteliti secara mendalam.
Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Dalam analisis data, Peneliti menggunakan 3 komponen kegiatan, yaitu 1). Reduksi data (data reduction), tahap ini merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstraksian dan pentransformasikan data kasar yang diambil dari lapangan. Inti dari reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data menjadi bentuk tulisan yang akan dianalisis. 2).
Display data (data display), yaitu data-data tersebut terkumpul kemudian peneliti mengelompokkan hal-hal yang serupa menjadi kategori atau kelompok- kelompok agar peneliti lebih mudah untuk melakukan pengambilan kesimpulan. 3).
Pengambilan kesimpulan dan verifikasi
(conclusion drawing verification), peneliti membandingkan data-data yang sudah didapat dengan data-data hasil wawancara dengan subjek dan informan yang bertujuan untuk menarik kesimpulan.
Untuk memperoleh keabsahan temuan, Peneliti melakukan 4 teknik keabsahan data, yaitu kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Zamaksari Dhofier mengelompokkan tipologi pesantren ini menjadi dua, yaitu salafi dan khalafi. Pesantren salafi berciri khas sebagai pesantren yang tetap mengajarkan buku-buku klasik sebagai inti pembelajarannya. Sedangkan pesantren khalafi telah memasukkan pelajaran umum di dalam kurikulum pesantren dan madrasahnya, yang dikembangkan, atau bahkan membuka sekolah-sekolah umum di lingkungan pondok pesantren. Pesantren salafi bercirikhas menggunakan sistem pembelajaran yang bernama wetonan dengan fokus pada suatu kitab klasik yang tidak ada target atau waktu untuk menyelesaikan. Sekarang ini beberapa pesantren salafi di Banten secara bertahap sudah mengembangkan kurikulum pesantrennya dalam model klasikal, namun dengan perencanaan yang matang dan ada batasan waktu. Pesantren model ini juga sudah mengeluarkan ijazah
(syahadah) bagi santri yang lulus, namun masih belum bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya atau untuk kebutuhan kerja, meskipun potensi santri tidak dapat dipandang dengan sebelah mata, karena tidak sedikit alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat atau keagamaan.
Beberapa pesantren dengan sistem muadalah sudah banyak dilaksanakan di pesantren-pesantren, diantaranya yaitu:
Moh. Hamzah, dengan judul penelitiannya yaitu Transformasi Pondok Pesantren Muadalah: Antara Fakta Historis Dan Tantangan Masa Depan.
Dalam artikelnya beliau mengangkat kasus dibeberapa pesantren yang sudah menerapkan pendidikan muadalah.
Lahirnya PMA No. 18 Tahun 2014 ini akan semakin memantapkan posisi pesantren sebagai sub-sistem pendidikan nasional selain akan semakin meningkatkan taraf kepercayaan masyarakat sebagai user layanan pendidikan yang dikembangkan didalamnya. Selain sebagai legalitas formal, PMA No. 18 Tahun 2014 harus mampu mendorong pesantren muadalah untuk meningkatkan quality education internal pesantren itu sendiri serta mampu berdiri di barisan terdepan mengupayakan lahirnya kader-kader ulama, pemimpin, dan hamba-hamba Allah yang sholeh dan
produktif. Karena itu, pesantren muadalah meniscayakan adanya kepemimpinan yang kuat, kelembagaan dan manajemen yang efektif, serta SDM yang berkualitas untuk menjamin kualitas dan keberlanjutan pesantren muadalah di masa mendatang.
Ninik Nur Muji Astutik dengan judul artikel Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran Pondok Pesantren Muadalah dan Ghoiru Muadalah (studi multi kasus di madrasah aliyah pondok pesantren salafiyah pasuruan dan madrasah aliyah pondok pesatren darul karomah gunung jati pasuruan). Dalam penelitiannya beliau menyatakan bahwa setelah kemerdekaan, pondok pesantren terus berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hingga kini lembaga ini tetap konsisten sebagai pusat pengajaran dan pendalaman ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) yang berfungsi menyiapkan tenaga-tenaga yang menguasai ilmu-ilmu keIslaman, sebagai kader ulama, muballigh, dan guru agama yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman, pendidikan pondok pesantren mengalami perubahan khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagian pondok pesantren kini telah menggunakan sistem klasikal/madrasah yang kurikulumnya disusun dan dikembangkan dengan mengkolaborasikan materi agama dan materi umum. Berdasarkan SK Ditjen
bimbagais No; DJ/II/PP-01.1/AZ/9/02 telah mempersiapkan lulusan pondok pesantren untuk dapat menempuh studi di perguruan tinggi yang dikehendaki melalui program pemberian status kesetaraan. Manajemen kurikulum dan pembelajaran menjadi salah satu item penilaian dalam pemberian status kesetaraan/muadalah tersebut. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan manajemen kurikulum dan pembelajaran pondok pesantren. Ada 4 hal yang dideskripsikan sehubungan dengan manajemen kurikulum dan pembelajaran pondok pesantren dalam memperoleh status kesetaraan/muadalah, yaitu (1) perencanaan kurikulum dan pembelajaran, (2) pengorganisasian kurikulum dan pembelajaran, (3) implementasi kurikulum dan pembelajaran, (4) evaluasi kurikulum dan pembelajaran. Hasil penelitian menunjuk- kan bahwa pertama, perencanaan kurikulum dan pembelajaran merupakan kunci awal dalam pelaksanaan manajemen kurikulum dan pembelajaran. Perencanaan kurikulum dan pembelajaran madrasah aliyah pondok pesantren dengan memperhatikan visi, misi dan tujuan dari madrasah aliyah dan pondok pesantren.
Dalam penyusunan kurikulum dan pembelajaran Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Salafiyah membentuk tim penyusun yang terdiri dari pengasuh, sesepuh dan guru senior. Sedangkan
Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darul Karomah Gunung Jati membentuk tim penyusun yang terdiri dari kepala madrasah, dewan guru dan pengasuh.
Kurikulum lokal yang digunakan oleh kedua pondok pesantren tersebut mengantarkan mereka pada kreatifitas pengembangan, Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Salafiyah telah lebih dulu mendapatkan status kesetaraan dari Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darul Karomah karena sudah dapat mengkolaborasikan materi agama dan materi umum dalam penyusunan kurikulum. Kedua, pengorganisasian kurikulum dan pembelajaran madrasah aliyah pondok pesantren dimulai dari pengorganisasian elemen pelaksananya yaitu guru dan elemen lainnya agar dapat melaksanakan fungsi berdasarkan tugas masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan pengorganisasian materi-materi umum dan agama agar dapat dikemas secara rapi dalam suatu pembelajaran dan kemudian disajikan dalam jenjang-jenjang yang sudah disiapkan. Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Salafiyah memiliki jenjang-jenjang Ula, Tsanawiyah, Wustho dan Aliyah. Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darul Karomah yang sudah dilaksanakan memiliki kegiatan pendidikan non formal saja (diniyah) yang jenjangnya terdiri dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Musyawirin.
Ketiga, pelaksanaan Kurikulum dan pembelajaran diselenggarakan dalam bentuk klasikal/madrasah. Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan telah membuat serangkaian perangkat pembelajaran dengan beberapa metode pembelajaran, media dan strategi pembelajaran sebagai pendukung keefektivan dan efisiensi pelaksanaannya.
Sedangkan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darul Karomah hanya mengembangkan materi agama secara spesifik yang hanya menggunakan target hafal dan khatam dengan menggunakan 2 metode yaitu metode sorogan dan bandongan. Keempat, penilaian yang dilakukan oleh Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Salafiyah diambil dari segi input, proses dan output. Keberhasilan output dibuktikan dengan pemberian ijazah muadalah yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sementara Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darul Karomah hanya melakukan penilaian dari proses dan output saja. Khusus bagi santri yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi akan diikutkan ujian kejar paket C, sehingga ijazah yang akan diperoleh oleh lulusan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darul Karomah Gunung Jati Pasuruan ada 2 macam, yaitu ijazah lokal dan ijazah formal.
Bahar Agus Setiawan, Sofyan Rofi, dengan judul artikelnya Antara Recognisi, Rekonstruksi dan Kekhawatiran Hilangnya Indigenousity Pondok Pesantren. Dalam penelitiannya beliau berpendapat bahwa terbitnya kebijakan PMA nomor 18 tahun 2014 tentang satuan pendidikan Muadalah pada pondok pesantren memberikan harapan baru atas pengakuan output/lulusan pesantren.
Perubahan-perubahan yang menjadi syarat bagi legalitas pesantren Muadalah memberikan problematika tersendiri dan tidak menutup kemungkinan mereduksi indigenousity pesantren itu sendiri.
Tulisan ini bertujuan menganalisis kebijakan pesantren Muadalah sebagai produk pemerintah dalam hal eksistensi pesantren. Berdasarkan hasil analisis data penelitian, dapat dideskripsikan 3 hal yaitu: pertama, pesantren Muaddalah merupakan bentuk recognisi (penyetaraan/persamaan) bagi institusi pesantren, kedua, kebijakan tersebut menuntut perubahan kurikulum dengan memasukkan mata pelajaran umum, dan ketiga, implementasi kebijakan tersebut harus dipahami secara utuh agar recognisi tidak mengancam indigenousity pesantren itu sendiri.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren pada umumnya, memiliki tiga tujuan utama sebagaimana dirumuskan PMA No. 18 Tahun 2014 Pasal 2 yaitu:
1. Menanamkan kepada peserta didik untuk memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala;
2. Mengembangkan kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupannya sehari-hari; dan 3. Mengembangkan pribadi akhlakul
karimah bagi peserta didik yang memiliki kesalehan individual dan sosial dengan menjunjung tinggi jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaran sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), rendah hati (tawadhu), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), keteladanan (uswah), pola hidup sehat, dan cinta tanah air.3
Melalui rumusan tujuan di atas tergambar secara jelas profil tamatan pesantren muadalah sebagai muslim yang memiliki aqidah yang kuat kepada Allah, seorang muslim yang mutafaqqih fi ad-din yang taat menjalankan ajaran agama Islam, serta pribadi yang memiliki akhlak karimah, kesalehan individu dan sosial
3 Indonesia, M. A. Peraturan Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Satuan Pendidikan Muadalah Pada Pondok Pesantren. Jakarta : 2014, hal. 25
serta memiliki sikap nasioalisme dan patriotisme yang tinggi serta sikap-sikap positif-konstruktif lainnya.
Status muadalah sejatinya bisa diberikan kepada pondok pesantren manapun di Indonesia asalkan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan seperti dirumuskan dalam PMA No. 14 Tahun 2014 pasal 3 ayat 1-7 antara lain:
1. Pendirian satuan pendidikan muadalah wajib memperoleh izin dari Menteri.
2. Satuan pendidikan muadalah didirikan dan dimiliki oleh pesantren dengan persyaratan sebagai berikut: a).
Memiliki tanda daftar pesantren dari Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota; b. oganisasi nirlaba yang berbadan hukum; c. memiliki struktur organisasi pengelola pesantren; dan d.memiliki santri mukim paling sedikit 300 (tiga ratus) orang yang belum mengikuti layanan pendidikan formal atau program paket A, paket B, dan paket C.
3. Perizinan satuan pendidikan muadalah harus memenuhi persyaratan satuan pendidikan muadalah, antara lain:
a. Bukan satuan pendidikan formal atau paket A, paket B, dan paket C;
b. Wajib diselenggarakan oleh dan berada di dalam pesantren; dan
c. Penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah telah berlangsung paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut
untuk pengusulan setingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), 2 (dua) tahun berturut-turut untuk pengusulan setingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan setingkat Madrasah Aliya (MA), dan 5 (lima) tahun berturut- turut untuk pengusulan setingkat MA dengan menggabungkan setingkat MTs dan MA selama 6 (enam) tahun sekaligus.
d. Mendapat rekomendasi dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi setempat.
4. Perizinan satuan pendidikan muadalah harus memenuhi persyaratan penilaian khusus, meliputi:
a. Kurikulum satuan pendidikan muadalah;
b. Jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan yang memadai;
c. Sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran yang berada di dalam pesantren;
d. Sumber pembiayaan untuk kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ajaran berikutnya;
e. Sistem evaluasi pendidikan;
f. Manajemen dan proses pendidikan yang akan diselenggarakan; dan g. Peserta didik dan calon peserta didik
yang cukup.
Sementara itu, jenjang pendidikan pesantren muadalah terdiri atas satuan pendidikan muadalah setingkat pendidikan dasar dengan masa studi 6 tahun, setingkat
MTs dengan masa studi 3 tahun, dan setingkat dengan MA dengan masa studi 3 tahun. Untuk tingkat MA, satuan pendidikan muadalah dapat diselenggarakan dengan menggabungkan satu pendidikan muadalah setingkat MTs dan setingkat MA selama 6 (enam) tahun secara berkesinambungan. Setiap jenjang pendidikan tersebut berbeda secara subtansial dengan satuan pendidikan formal yang sudah ada selama ini, seperti MI/SD/Paket A, MTs/SMP/Paket B, atau MA/SMA/Paket.
Ada dua tipe satuan pendidikan pesantren muadalah yaitu satuan pendidikan muadalah salafiyah dengan kitab kuning sebagai basisnya, dan satuan pendidikan muadalah mu’allimin berbasis dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin.
Dua tipe pesantren muadalah salafiyah dan mu’allimin dipahami dalam konteks historis adalah representasi dari role model pesantren yang berkembang bertahun-tahun lamanya di Indonesia. Tipe pesantren salafiyah yang memperoleh status muadalah hingga tahun 2017 berjumlah 19 pondok pesantren, di antaranya adalah Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Pondok Pesantren Al- Falah, Ploso, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Pondok Pesantren
Mathaliul Falah, Pati, Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Pondok Pesantren Al- Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, dan lain-lain. Sedangkan tipe pesantren mu’allimin yang mendapatkan pengakuan muadalah hingga tahun 2017 berjumlah 11 pondok pesantren, di antaranya adalah Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Kuningan, Pondok Pesantren Darul Rahman, Jakarta, Pondok Pesantren Al- Basyariah, Bandung, Pondok Pesantren Ta’mirul Islam, Surakarta, dan lain-lain.4
Pesantren tersebut diatas, baik salafiyah maupun mu’allimin, adalah pesantren yang memiliki reputasi istimewa dalam khazanah historis perjalanan pesantren di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan sebagai penggerak utama kiprah pondok pesantren di Indonesia.
Konsistensi, kemandirian, dan kemampuan berinteraksi dan beradaptasi dengan berbagai perubahan membuat mereka mampu bertahan dengan pilihan sistem yang diyakini paling ideal.
Pesantren-pesantren tersebut bisa dikatakan sebagai ikon dari implementasi pendidikan pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan yang indigenous.
4 Ri, D. A. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2791 Tahun 2017 Tentang Penetapan Perpanjangan Status Kesetaraan Satuan Pendidikan Muadalah Pada Pondok Pesantren. Jakarta : 2017, hal. 15
Kategorisasi status muadalah ke salafiyah dan mu’allimin seperti nampak di atas pada gilirannya berimplikasi pada
rumusan kurikulum yang
melatarbelakanginya. Merujuk kepada PMA No 18 Tahun 2014 Pasal 10 dijelaskan bahwa kurikulum satuan pendidikan muadalah terdiri atas kurikulum keagamaan Islam dan kurikulum pendidikan umum. Kurikulum keagamaan Islam dikembangkan berdasarkan kekhasan masing-masing penyelenggara dengan berbasis pada kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin.
Kurikulum berbasis kitab kuning pada pesantren salafiyah meliputi berbagai kitab yang diajarkan dalam bentuk sorogan, wetonan dan bandongan. Untuk pengajian dalam bentuk sorogan, wetonan dan bandongan biasanya disebut sebagai kurikulum sistem ma’hady artinya jenis kitab, alokasi waktu pembelajaran dan kalender akademiknya sepenuhnya terserah sang Kiyai. Adapun pengajian yang dikemas dalam bentuk klasikal atau sistem madrasah secara umum sama dengan model-model klasikal lainnya.
Kitab-kitab yang dikaji biasanya sudah ringkasan dari kitab-kitab kuning yang ada. Pembelajarannya sudah terjadwal dengan rapi layaknya sekolah formal lainnya. Materi kitab kuning itu sendiri meliputi tafsir al-Qur’an, hadits, ilmu
tafsir, ilmu hadits, tauhid, akhlak/tasawuf, bahasa Arab/ilmu alat (nahwu shorof), fiqh, dan ushul fiqh.
Menurut Zamakhsyari Dhofier, kitab kuning yang diajarkan di pesantren seluruh Indonesia pada umumnya sama.
Kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran tersebut pada gilirannya melahirkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktik-praktik keagamaan di seluruh nusantara. Yang menarik dari proses pengajaran kitab kuning juga adalah bahwa pengajaran tidak sekadar membicarakan bentuk (form) dengan melupakan isi (content) ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab kuning tersebut. Para Kiyai bukanlah sekadar membaca teks, tetapi juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi dan menghubungkan isi teks dengan konteks kehidupan sehari- hari.
Sedangkan kurikulum pada satuan muadalah muallimin umumnya berakar pada tradisi pesantren dalam rangka membentuk manusia seutuhnya yang mampu menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi dan sekaligus sebagai hamba Allah yang harus mengabdikan dirinya semata-mata kepada Allah dalam menjalankan peran tersebut. Dalam konteks itu pula, pendekatan kurikulum yang dipakai dalam organisasi kompetensi antara mata pelajaran adalah pendekatan
yang integral, komprehensif, dan mandiri.
Kompetensi dasar dalam mata pelajaran satuan pendidikan mu’adalah jenis mu’allimin dikelompokkan pada kelompok ilmu keislaman (al-ulum al- islamiyah), kebahasaan (al-ulum al- lughawiyah) dan pengetahuan umum (al- ulum al-amah). Ketiga rumpun disiplin ilmu berjalan beriringan dalam satu kesatuan yang integral dan komprehensif.
Tidak ada dikhotomi antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu umum.
Pengajaran ilmu-ilmu umum tidak terlepas dari dasar dan nilai agama, dan sebaliknya proses pengajaran ilmu-ilmu agama diseleraskan dengan perkembangan keilmuan umum.
Di luar rumusan di atas, baik salafiyah maupun mu’allimin, keduanya wajib memuat kurikulum pendidikan umum. Adapun jenis materi pelajarannya, meliputi paling sedikit: a. Pendidikan Kewarganegaraan (al-tarbiyah al- wathaniyah); b. Bahasa Indonesia (al- lughah al-indunisiyah); c. Matematika (al- riyadhiyat); dan d. ilmu pengetahuan alam (al-ulum al-thabi’iyah).5
Lembaga pendidikan Islam pun terus berbenah. Sebagai pelaksana mandat negara dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa sekaligus mengemban risalah
5 Hamzah, M. Transformasi Pondok Pesantren Muadalah: Antara Fakta Historis Dan Tantangan Masa Depan. Jurnal Reflektika, Volume 13, No.1, Januari – Juni 2018.
dari yang maha kuasa, pesantren harus membenahi diri serta mengembangkan potensi yang dimilikinya. Karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan alumni dan juga mampu melahirkan ulama dari generasi ke generasi yang memainkan peran berharga, baik dalam masalah keilmuan maupun dalam kepemimpinan.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pendidikan memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, mengingat pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia, maka Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan pendidikan bagi kelangsungan hidup manusia, utamanya adalah pendidikan agama.
2. Harus disadari bahwa masyarakat masa depan adalah masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan Islam didefinisikan sebagai proses transformasi dan internalisasi ilmu maka harus dioptimalkan pertumbuhan dan pengembangan dalam segala aspeknya. Meskipun dalam pelaksanaannya terdapat kendala yang menyebabkan gagalnya sebuah capaian dari Pendidikan Islam. Untuk
menanggulangi berbagai problem dalam pelaksanaan Pendidikan Islam, salah satu jalan yang diupayakan oleh pemerintah adalah dengan memberikan peluang Pendidikan Islam melalui penetapan urgensi perannya yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Jangan ada dualisme sistem pendidikan, karena dualisme telah membelah wajah pendidikan nasional menjadi dua, pertama, pendidikan umum yang memiliki karakter khas dan berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan pendidikan agama yang juga memiliki karakter khas dan berada di bawah naungan Kementerian Agama.
4. Kesalahan persepsi terhadap dunia pesantren terus berlangsung sampai era kemerdekaan, sehingga muncul penilaian di kalangan pemerintah yang pincang terhadap dunia pesantren sebagai sisa warisan masa lalu.
Padahal, tidak sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah alumni atau setidaknya pernah belajar di pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Astutik, N. N. (2010). Manajemen kurikulum dan pembelajaran pondok pesantren Mu'adalah dan ghoiru mu'adalah (studi multi
kasus di madrasah aliyah pondok pesantren salafiyah pasuruan dan madrasah aliyah pondok pesatren darul karomah gunung jati Pasuruan. Muatan Lokal Perpustakaan Universitas Negeri Malang, hal. 12.
Hamzah, M. (2018). Transformasi Pondok Pesantren Muadalah: Antara Fakta Historis Dan Tantangan Masa Depan. Jurnal Reflektika, Volume 13, No.1, Januari – Juni ..
Indonesia, M. A. (2014). Peraturan Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Satuan Pendidikan Muadalah Pada Pondok Pesantren. Jakarta.
Lisda Nurul Romdoni, Membangun Pendidikan Karakter Santri Melalui Panca Jiwa Pondok Pesantren, Bandung: Jurnal Pendidikan Islam At Thariqoh, Vol. 5 No. 2 Juli-desember 2020 Ri, D. A. (2017). Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2791 Tahun 2017 Tentang Penetapan Perpanjangan Status Kesetaraan Satuan Pendidikan Muadalah Pada Pondok Pesantren. Jakarta.
Suyatno. (2015). Dekonstruksi Pendidikan Islam Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional. Jurnal Pendidikan Islam Volume IV, Nomor 1, Juni, 73.
Titi Kadi, R. A. (2017). Inovasi Pendidikan : Upaya Penyelesaian Problematika Pendidikan Di Indonesia. Jurnal Islam Nusantara Vol. 01 No. 02 Juli – Desember, 152.
Yusuf, C. F. (2009). Pedoman Penyelenggaraan Pondok Pesantren Muadalah. Jakarta.