• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Filsafat Islam Kontemporer Menurut Muhammad ‘Imarah

N/A
N/A
CHOLID MA'ARIF

Academic year: 2023

Membagikan "Menuju Filsafat Islam Kontemporer Menurut Muhammad ‘Imarah "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Menuju Filsafat Islam Kontemporer Menurut Muhammad ‘Imarah Oleh: Cholid Ma’arif, S.Hum., M.Ag.

Dalam pengantar tulisannya, Muhammad Imarah menjelaskan di awal bahwa tema yang akan ia ungkap bukan tentang filsafat Islam sebagai sebuah studi. Melainkan lebih pada mendeskripsikan suatu jalan menuju filsafat Islam kontemporer. Garis tebal ini penting untuk memahamkan pembaca bahwa tulisan pengantar ini memang bersifat pengenalan terhadap filsafat Islam kontemporer, dan belum menyentuh pembahasan di dalamnya itu sendiri.

Tujuan deskriptif awal tidak lain merangsang pikiran agar berfokus pada perbincangan seputar bagaimana menggali pemikiran filsafat Islam kontemporer sebagai titik problematis. Sehingga diharapkan rumusan yang bermula dari sebuah cita-cita ini menjadi terwujud pada tataran praksis dalam memenuhi kebutuhan rasional muslim sebagai bagian dari mengisi ruang pengetahuan keislaman.

Berdasarkan semangat tersebut, ia menentukan beberapa problem dengan beberapa batasan.

Diantaranya adalah:

1. Apakah mungkin atau bahkan pentingkah menjadikan filsafat secara kontemporer?

2. Lalu, filsafat itu penting pada masa sekarang?

3. Apa saja fitur-fitur kontekstual kefilsafatan kontemporer? Apakah kita memang berada pada kebuntuan filsafat?

4. Cara apa untuk dapat keluar dari kebuntuan filsafat? Kebuntuan seperti apa yang mampu melumpuhkan kemampuan kreatifitas kita dalam hal filsafat? Apakah teks dan dalil yang ada menyediakan doktrin untuk proyek filsafat Islam kontemporer?. (h.

505)

Berdasarkan kegelisahan intelektualnya tersebut, ia merumuskan sejumlah pengantar untuk memfokuskan pada satu tujuan yang bermuara pada pembaruan filsafat Islam kontemporer. Diantara rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ihwal yang berkaitan dengan filsafat, baik itu tanda filsafat dengan suatu zaman.

Sebab zaman merupakan pembeda antara kebenaran tunggal dan konstanitasnya maupun antara relativitas sejauh yang diketahui akal mengenai kebenaran yang konstan tersebut. Sesuatu yang menjadikan tiap zaman sebagai bagian dari pijakan tingkat kognisi bagi kebenaran yang konstan serta bagi ukuran yang diketahui akal.

Sebagaimana dalam tiap era didapati permasalahan yang menuntut dikembalikannya ketertiban skala prioritas. Yaitu prioritas kebijakan dan problematika pemikiran yang urgen untuk kemudian disampaikan kepada akal para manusia moderen. Sesuatu yang berguna bagi filsafat sebagai bukti keterkaitan zaman namun tetap dengan kebenaran filsafat yang tunggal.

Hal ini membutuhkan proyek pembahasan yang khusus tentang filsafat Islam kontemporer juga orientasi untuk menghidupkan dan terus memperbaruinya. Dengan tetap berpijak pada kebenaran yang konstan serta ketercapaian akal seorang muslim

(2)

dalam mengetahui kebenaran yang tetap. Sehingga diharapkan menjadi respon bagi permasalahan umat kontemporer yang menuntut komitmen terhadap kebijakan yang solutif falsafi.

2. Adapun mengenai kebutuhan mendesak terhadap filsafat Islam kontemporer, dalam hal ini Imarah berupaya menyingkirkan kekhawatiran sebagian pihak bahwa kebutuhan tersebut merupakan sesuatu yang natural sebagai usaha mencari jawaban zaman. Karena selama ini filsafat sendiri justru dianggap sebagai aspek yang dapat meruntuhkan atau menyebabkan dekadensi akidah dan ideologi sebagaimana tertuang dalam berbagai kitab suci di era terkini. Sehingga muncullah gugatan atas kemunduran filsafat, akidah, dan ideologi dan sebaliknya pengunggulan atas prediksi ilmu dan temuan riset yang mampu diwujudkan oleh praktik material, khususnya pada ranah sumber daya manusia dan potensinya. [h. 506]

Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, Imarah meyakini bahwa terdapat suatu pandangan yang patut dikaji dalam konteks zaman terkini yang berguna untuk mengungkap kepalsuan cara berpikir dan bertindaknya manusia selama ini. Suatu cara yang menurunkan akidah, memundurkan filsafat dan ideologi dalam memperhitungkan ilmu dan praktik materialistiknya.

Kemunduran yang dimaksud adalah aktor-aktor ideologi Marxisme di negara- negara sosialis yang semakin menyempurnakan ideologi liberal. Penguasaan ekonomi oleh segelintir elit individu, pelanggaran atas hak manusia sesamanya, dan raibnya kepentingan kelompok di atas individu sehingga menguatkan kelas diktator atau sebaliknya yaitu proletar. Jadi, bukan sekedar terjebak pada kemunduran dari ideologi Marxisme dalam memperhitungkan pengetahuan dan kebutuhan faktual saja.

Melainkan kemunduran secara bertahap yang ditopang oleh pengetahuan dan kepentingan faktual seperti secara tidak sadar mengadopsi ideologi Liberalisme Barat.

Dapat dikatakan, titik problematisnya adalah pergantian suatu ideologi ke ideologi lain secara perlahan. Proses tersebut berjalan sebagai suatu hal yang dititiskan melalui pergeseran alternatif yang seakan mutlak terjadi diantara ideologi-ideologi Barat seperti Liberalisme yang memunculkan totalitarianisme pada ranah liberalis. Uniknya, posisi umat Islam tidak berada di depan kemunduran ideologi secara mutlak, melainkan terombang-ambing di antara pergantian ideologi satu ke ideologi lainnya.

Meskipun begitu, pengaruh ideologi liberal dan kemampuannya dalam mereduksi update sistemnya serta dalam mengorganisir fitur negatifnya merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menjerumuskan model-model komprehensif untuk memprediksi model liberalisme. Disinilah dominasi ideologi bekerja dan menjadi penentu terhadap kontra ideologi yang mencoba berhadapan dengan kemunduran aktualisme zaman dalam merespon pengaruh ideologi.

Klasifikasi seperti inilah yang diprioritaskan oleh masyarakat kontemporer.

Yaitu gap pembeda antara si kaya dan si miskin, kiri dan kanan, dan aspek lain yang mengarah pada kemunduran ideologi dan kemerosotan akidah sebagai dalil tuntutan mereka. Selain kelass-kelas tersebut hanya akan menjadi saksi atas mekanisme tersebut. Faktor ideologis mampu mempengaruhi dan menentukan dalam tindakan

(3)

seorang elit kaya diantara bangsawan maupun mengendalikan si miskin diantara kaum jelata. Masyarakat yang terbentuk walaupun mempunyai akidah sebagai kerangka yang melekat namun tetap digerakkan dalam proyek kebangkitan sehingga terbebas dari kemiskinan. Sebagian masyarakat ini terus mencari model ideologi "lain". Dalam upaya tersebut mereka telah memutasikan, menyalin, bahkan menyimpangkan ideologi-ideologi "lain" sehingga menjadi bingkai otoritas yang menyebabkan kerusakan. Kerusakan yang menjadi musibah bagi masyarakat berupa keterbelahan identitas dan disorientasi ideologi [h. 507]. Hal tersebut membuat masyarakat dalam suatu negara sulit untuk lepas dari hegemoni elit kaya, orang Utara, sehingga tetap berada pada kamp kemiskinan, orang Selatan. Faktor ideologi menguat bahkan menonjol peranannya dalam pengelompokan dan keterbelahan ini.

Begitulah fenomena yang sedang dipertontonkan oleh zaman kontemporer yang semakin mengasingkan dan menyingkirkan masyarakat ke dalam konflik antar ideologi. Mereka menjadi saksi peran ideologi dalam menggerakkan kelompok- kelompok konflik ini. Bukan sebagai saksi atas keruntuhan dan ideologi dari satu keadaan menuju keadaan lain.

3. Langkah selanjutnya, menurut Imarah, adalah sampai pada "posisi peradaban". Yaitu suatu kondisi dimana umat Islam menjadi objek penjajahan dominasi Barat di tengah keterasingan budaya selama sekitar dua abad. Terus berlangsung proses penghapusan, penyalinan, dan penyimpangan identitas Islam dan kebangsaan yang semakin tercerabut dari peradaban.

Barat telah mencetak gol dengan sukses dalam menciptakan belah depan kesatuan rasional umat. Sehingga kita dapati pemikiran elit yang lepas kendali dari pemikiran peradaban. Juga terlihat pada model dan alternatif peradaban "smart-city"

sebagai sesuatu yang mengakhiri sekaligus mengawali keterputusan sebab yang sebelumnya tersambung dengan turast pemikiran peradaban Islam.

Barat juga berperan dalam melemahkan lembaga pemikiran keislaman yang telah berdiri saat berjayanya negara muslim. Sehingga kebekuan berpikir menjadi warisan yang menyergap institusi-institusi ini untuk kemudian melemahkan dari spirit mengisi kemerdekaan umat dan kemampuan melakukan perlawanan. Sebaliknya, justru mengajukan alternatif yang kompetitif bagi model Barat. Dari sini Barat telah mengepung semua usaha kita untuk bangkit dan membiarkan larut dalam arus Westernisasi!.

Bahwa institusi pemikiran keislaman yang terwariskan kepada kita hakikatnya telah memberikan pelajaran. Yaitu "Filosofis – tekstual" yang diserap dari pendahulu pada masa kemunduran peradaban yang dijadikan panutan. Suatu peristiwa yang menjadikan kita kalah bersaing dengan Barat. Sehingga menyebabkan elit muslim yang terkesan dengan bendera dua warna yaitu "Klasik – Tekstual" yang salah satunya berangkat dari warisan kita yang tak berdaya dan lainnya dari warisan Barat yang tidak sesuai. Maka lemahlah dua sumber klasik ini untuk menyelamatkan umat dari kemunduran yang telah dibangun permulaannya sejak beberapa abad. [h. 508]

(4)

Bermula dari sini, menurut Imarah, banyak kemampuan umat Islam dalam pemikiran lenyap dalam konflik antara kelompok-kelompok "klasikal-tekstual" dan antara "keterlepasan zaman". Khususnya keterlepasan dari legasi peradaban yang berperan dalam mengalahkan medan pemikiran yang menguras kesungguhan dan kemampuan tanpa membangkitkan umat dari kebuntuan jawaban.

Berdasarkan keadaan ini, muncullah kepentingan untuk menghidupkan dan memperbarui bahkan menggantikan sumber-sumber pemikiran inti yang murni, yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan narasi dan catatan zaman kemunduran peradaban.

Juga mengganti interaksi peradaban yang kreatif dengan ekstensi dan imitasi kepada yang lain. Pembaharuan kelompok pemikiran yang luas namun berada pada medan filsafat Islam yang khusus. Hal ini menimbulkan kristalisasi ideologi secara khusus yang mampu menjadi identitas pemikiran dan mewujud sesuai kepentingan umat.

Yaitu ikatan yang melekat pada proyek peradaban Islam baru.

Bagi Imaragh, Barat telah mengubah, dengan kekuatan dan pemikirannya, peranan Islam menuju batas pemusatan peradaban Barat. Maka wajib bagi umat muslim untuk berjihad dengan makna yang luas dan komprehensif pada tiap ranah kehidupan. Tidak lain bertujuan untuk membebaskan aspek politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta membebaskan peradaban untuk menyatukan kedaulatan umat. Serta memurnikan seluruh cabang dan rantingnya menyeluruh dari kepasifan dan ketertawanan. Juga untuk melindungi dari berbagai ancaman dan membela kalangan minoritas. Mengembalikan kedudukan Islam sebagai sumber dan pemimpin dalam forum peradaban internasional agar mampu menyumbangkan aspek kebebasan berpikir manusia dari hal baru.

Dalam upaya ini, kepentingan ideologi, akidah, termanifestasikan dan membei asupan pembaruan bagi filsafat Islam yang responsif terhadap problematika zaman.

Sehingga mampu melewati tantangan sejauh kemampuan dan otoritasnya tanpa tanding untuk mewujudkan umat yang diharapkan dalam perjuangan ini.

***

Menurut Imarah, sudah menjadi keyakinan bahwa kebutuhan terhadap pembaruan filsafat Islam kontemporer kini sangta meningkat urgensinya dan mendesak jika bertolak pada kondisi filsafat terkini di satu sisi dan kebuntuan filsafat di sisi yang lain. Jadi, berangkat dari perbandingan antara kepentingan wajib dan realitas yang terjadi untuk menyingkirkan perjuangan pemikiran yang dibutuhkan pada medan perang ini. [h. 509]

Realitas pemikiran filsafat dalam laku berpikir kita saat ini sedang mengalami pemisahan yang teramat jauh dari identitas akidah umat. Keterjauhan realitas tersebut menyebabkan melemahnya pemenuhan kebutuhan rasional dalam menghadapi tantangan yang mempertentangkan akal dan nurani. Sama halnya sebagai

"kemunduran yang diwariskan" atau bahkan "masuknya infiltrasi asing" dan penyesatan.

(5)

Untuk itu, menurut Imarah, warisan umat Islam dalam ilmu teologi Islam yaitu berupa filsafat keumatan yang tumbuh seiring zaman. Dengan menjadikan akidah sebagai tameng -dan salah satu bagian ideologi filsafat yang diturunkan- sebagaimana keadaan apa adanya kini yang terbebani dengan banyak permasalahan, perseteruan, dan adu opini yang melampaui zaman. Hal tersebut telah melewati batasan yang melemahkan gerakan ilmu teologi dan mengubahnya menjadi bagian dari filsafat Islam kontemporer. Memang tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kelanjutannya seperti ini adalah salah satu faktor "kebodohan" akidah. Karena akidah tersebut dituntut menjadi katalis bagi kemurnian dan keyakinannya.

Dalam hal ini Imarah mengambil tasawuf Islam sebagai warisan yang telah tersebar pengaruhnya diantara dua tren. Pertama, sebuah tren yang didominasi oleh gnosis esoterik yang tidak memiliki rasional dan transmisi secara bersamaan. Sebuah tren yang cocok untuk pengalaman subjektivitas namun tidak bisa digeneralisasi. Hal ini tidak mampu bagian dari ideologi gerakan keumatan dalam perjuangan ini. Tren kedua adalah warisan kelompok sufi yang menyibukkan diri dengan ilmu kebatinan dan khurafat. Hal ini menjadi batas dan beban yang mengendorkan sektor-sektor luas keumatan sebagai respon wajib dalam menghadapi tantangan multi-dimensi.

Adapun warisan Yunani dalam khazanah filsafat, termasuk juga dampaknya pada filsafat Islam, walaupun bermanfaat dalam studi filsafat perbandingan namun tidak terhadap pokok bahasan filsafat Islam yang mampu tersambung dalam konstruk ideologi kontemporer bagi umat. Sebab filsafat Islam mampu beradaptasi dengan subjektif, faktual, teologis, dan praktis. Sedangkan warisan filsafat Yunani ialah:

benih yang tertutup debu dan terhalang dari kondisi umat Islam. Kekurangannya makin nampak manakala ia tumbuh dan berkembang secara alami dan mendapati dirinya tidak sesuai dengan buah yang dihasilkannya.

Pemikiran filsafat seperti ini yang mesti kita adopsi dari filsafat Barat moderen dan kontemporer walaupun urgensitasnya tercapai dalam memperluas cakrawala berpikir guna membandingkan antara falsafah dan paradigma pemikiran. Hanya saja, itu bukan lagi sebuah lingkaran: aliran-aliran yang berseberangan dari "kekhasan"

bagi realitas Barat dan bagi Barat itu sendiri. Dia juga gagal, sama seperti warisan filosofis Yunani yang gagal [h. 510]. Tentang filosofi bangsa Islam yang tidak mampu menjadikan kutipan filsafat Yunani ke dalam khazanah filsafat Islam.

Ketidakmampuan ini kemudian menjadikan ruang kefilsafatan di negara kita sepi dari lahirnya filsuf muslim dan imam mazdhab yang mampu diikuti oleh mayoritas pengikutnya, sebagai institusi, maupun tren filsafat. Jika kita menggolongkan al- Afghani, Muhammad Abduh, atau Mustofa Abdur Razaq ke dalam deretan filsuf muslim moderen dan kontemporer, maka kita tidak akan mampu untuk berkumpul bersama mereka satupun dengan menjadikan sebagai guru filsafat Yunani atau Barat karena memang pengalaman mereka sebagai filsuf Islam.

Imarah mengibaratkan bahwa kekurangan bukan terletak pada efisiensi. Cacat bukan terletak pada peralatannya. Begitupun kesulitan tidak berada di bumi yang

(6)

menolak berfilsafat dan filsafat itu sendiri. Melainkan kekurangan, cacat, dan kesulitan berada pada nilai westernisasi yang tidak layak untuk ditumbuh- kembangkan dalam akal dan nurani umat. Karena nilai Barat merupakan bagian dari

"ciri-ciri" orang yang tidak beriman, dan bukan wilayah "konsumsi manusia umum".

Secara tiba-tiba kita sudah berada di depan "kebuntuan filsafat" yang menimpa pemikiran falsafi dengan kegagalan yang hampir mandul. Yaitu kebuntuan yang menjadikan kehidupan rasionalitas kita dalam pemikiran filsafat mandeg di hadapan pengajar dan pelajar filsafat. Dengan merealisasikan filsafat Islam kontemporer kita, tentu dibantu dengan para filsuf, lembaga, dan trennya, filsafat responsif terhadap problematika rasional muslim kontemporer dan menunjukkannya kepada tafsir aktual dan perubahannya serta mengencangkan ikatan dalam menghadapi pelbagai tantangan.

Dilemma kemiskinan kreatifitas disebabkan kemalasan yang bersumber dari tradisi dan kebiasaan taklid kepada pihak lain. Bahkan kadangmasih bergantung dengan meja pihak lain. Benih-benih yang diadopsi seperti inilah yang tidak layak dilakukan di wilayah tertentu. Sehingga menanamnya menjadi sia-sia sekalipun menggunakan kemahiran ilmu bercocok-tanam dimana mereka hidup.

4. Lalu, bagaimana cara keluar dari kebuntuan pemikiran filsafat ini?

Jawabannya hanya bisa afirmatif. Karena dalam suatu peradaban, Allah menjadikan pembaharuan agamanya sebagai hukum dan perundangan. Sehingga tidak memungkinkah bagi pemeluknya untuk senantiasa taklid pada falsafah agama?! Hal yang paling mungkin, atau bahkan wajib adalah melakukan kebangkitan falsafi sebagai bagian dari kewajiban kebangkitan pemikiran [h. 511] umum yang membantu

"pembaharuan" dan "kreatifitas" terbentuknya filsafat Islam kontemporer bagi manusia dan umat muslim. Harapannya ia menjadi filsafat "pemikiran-ideologis"

yang memandang persoalan melalui sudut pandang Islam bagi semesta. Mereka menafsirkan realitas kehidupan tafsir Islam dengan filsafat dan menunjukkan perkembangan realitas dan perubahannya dengan ukuran filsafat Islam berikut seperangkatnya. Serta mempersenjatai segenap tantangan baik yang diwariskan oleh pendahulu maupun muncul belakangan dengan filsafat Islam.

Menurut pendapat Imarah, penyelesaian misi besar ini merupakan misi realisasi filsafat Islam kontemporer sebagai pemikiran ideologi bagi umat yang mendambakan pembaharuan realitas melalui perantara Islam agamanya. Penyelesaian misi ini menuntut langkah dan strategi yang harus mempunyai tim kerja yang memimpin konstelasi pemikir elit yang ahli dalam filsafat Islam. Beberapa langkah dan strategi yang mampu menuntaskan doktrin ini adalah sebagai berikut:

a. Komitmen terhadap kebenaran yang dikatakan.

Menurut Imarah, hal ini bermula bahwa umat muslim menjadi istimewa secara peradaban berkat adanya syariat Islam daripada umat lainnya. Sedangkan relasi terhadap "lain" peradaban, termasuk juga "lain" filsafat, harus menjadi hubungan

"interaksi" dari posisi masa depan yang lurus, bebas dari over "ekslusifisme", primordialisme, dan taklid buta.

(7)

b. Bersandar pada dua cara, yaitu: Pertama, pembaharuan, pembangunan, dan pemurnian warisan filsafat kita yang telah diturunkan dari Wahyu Ilahi, sunnah nabawiyah, dan turas filsafat Islam serta kesesuaiannya dengan standar akidah Islam dan pemikiran kontemporer. Akhirnya diharapkan mampu memecahkan problematika zaman dan tantangan serta dinamikanya. Kedua, mengkreasi filsafat baru yang mampu menjawab kebutuhan zaman dan problematika pemikiran yang tidak didapati oleh para pendahulu.

c. Bertujuan mengkombinasi filsafat ini, yaitu antara: pemikiran- ideologi- umat Islam untuk kemudian dilandasi dengan akidah umat. Sehingga mampu menghadapi penafsiran, perkembangan, dan perubahan aktual secara konsisten dengan standar Islam. Demikian itu agar filsafat ini tidak menjadi kemewahan pemikiran untuk mengeksklusifkan nilai realitas dengan transenden juga akidah pemikir keagamaan. Hal yang digali dari filsafat ini adalah: [h. 512] agar menjadi bagian dari "proyek peradaban Islam" yang dituntut mampu menjadi "petunjuk bertindak" bagi kebangkitan Islam. Yaitu mengembalikan Islam dan umatnya pada posisi kepemimpinan, sumber, dan bukti peradaban dalam forum peradaban kemanusiaan dengan berpijak pada kewajiban memimpin dan mengarahkan dunia.

Inilah yang dimaksud sebagai "filsafat- perjuangan" yang harus dimiliki oleh

"para filsuf -para pejuang".

d. "Tauhid Islam" selayaknya menjadi dimensi akidah, peradaban, sosial, dan kemanusiaan yang tidak terbatas. Begitu juga "sentrisme Islam- universal" sebagai semangat, suasana hati, dan warna yang merawat filsafat Islam dari krisis dan kebuntuan filsafat peradaban Barat. Suatu dilema "dualisme – pembelahan"

antara: material dan ideal, individual dan sosial, subjek dan objek, fisik dan psikis, agama dan negara, dunia dan akhirat, langit dan bumi, hingga puncak pemisahan yang melenyapkan manusia dari peradaban Barat yang adil dan seimbang.

Filsafat Islam, begitu pula falsafah muslim, bersumber dari komprehensifitas Islam yang luas dan mencakupi seluruh aspek dunia baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Juga segenap golongan makhluk baik medial maupun non-medial yang menunjuk seorang muslim sebagai mercusuar yang memandang secara progresif alam semesta yaitu sebagai khalifah dari Tuhannya dan teman bagi seluruh makhluk yang lain sehingga mampu mewujudkan kebahagiaan secara proporsional dan berimbang di hadapan orang-orang yang berseberangan dengannya.

Itulah filsafat yang mampu mewujudkan kemenyeluruhan, ketersediaan, arahan, dan peningkatan diantara tiap-tiap dari:

- Akal dan teks. Akal mengetahui ruang lingkup dan batasannya. Sedangkan teks yang menjadikannya rasional-sistematis.

- Alam abstrak dan alam nyata

- Materialisme yang percaya pada Sang Pencipta materi yang Menentukan takdir sebenar-benar takarannya.

(8)

- Kausalitas yang mengimani pada Sang Pencipta sebab dan akibat, sunnah Tuhan dan hukum yang efektif dan tercipta dalam waktu bersamaan.

- Bersandar pada akal sebagai perantara dalam memandang dalil wahyu dan semesta.

- Teori pengetahuan yang melihat pengaruh wujud yang ada terhadap pengetahuan dan mempercayai pendengaran sebagai sumber pengetahuan sedangkan indra termasuk pikiran tidak berdiri sendiri dalam mempersepsikannya.

- Realisasi dengan keimanan teologis untuk mengembangkan fungsi manusia terhadap semesta supaya tidak semakin terasing. [h. 513]

- Mewakili bukti yang menjelaskan keberadaan manusia dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang permulaan, jalan, takdir, kebijaksanaan, dan tujuan. Hl-hal tersebut mencakup isu-isu seperti:

a) kepercayaan kepada ketuhanan, penciptaan, kenabian, kerasulan, alam gaib, hari akhir, hari perhitungan dan pembalasan.

b) Kehidupan ruhani yang menyeimbangkan kebutuhan fisik dan psikis.

c) Akhlak

d) Interaksi antar sesama dalam politik, ekonomi, dan semua urusan kemanusiaan.

e) Pendidikan artistik, seni, dan sastra bagi kemanusiaan.

f) Hidupnya akal

g) Filsafat Islam dalam berbagai ilmu, seni, dan sastra. Dalam klasifikasi ilmu-ilmu tersebut terkandung falsafah yang kehidupan umat muslim sebagaimana dibatasi oleh agama Islam.

Sehingga muncullah "kreasi falsafi" yang mampu merespon deskripsi kehidupan tersebut. Ia merupakan cara yang pokok untuk mewujudkannya. Sebab keislaman yang dikreasikan dengan filsafat merupakan sebuah hipotesa yang lahir dari kerangka komunikasi peradaban, konstanitas, dan dasar agama Islam dan jejaknya dalam rasionalitas Islam. Sebagaimana ushuluddin, ushul fikih, ilmu hikmah, dan filsafat Islam.

Karena itulah, Imarah membayangkan titik awal proyek ini terepresentasikan ke dalam:

(9)

a) Integrasi, klasifikasi, dan pembagian bab tekstualitas Alquran, Sunnah Nabi, hikmah bangsa Arab yang berkaitan dengan pandangan akal, akidah, alam semesta, dan manusia.

b) Penyelesaian proyek " Inti yang terpilih dari turas filsafat Islam" untuk mengumpulkan suatu tindakan berupa fitur dan titik awalnya setelah tekstualita Alquran, Sunnah, dan hikmah Arabisme. Diantaranya adalah:

- Pilihan yang merepresentasikan konstatinitas dan pokok ilmu kalam Islam setelah proses penyulingan dari problematika yang melewati zaman hingga hilanglah kombinasi semuanya. Begitu pula [h. 514] konstanta dan pokok filsafat pensyariatan Islam, yaitu ushul fikih.

- Pilihan yang mewakili hal-hal baru dalam Islam bagi pengembangan filsafat Islam, seperti penjelasannya atas filsafatt Yunani dan India.

- Pilihan sufistik yang menjadikan indra dan hati sebagai jalan menuju kesadaran, pengetahuan, dan peningkatan spiritual setelah dimurnikan, sebisa mungkin, dari aspek esoteris batin dan khurafat.

- Pilihan yang menyediakan kreasi umat muslim dalam filsafat ilmu dan klasifikasi ilmu.

Apabila kita mampu menuntaskan proyek ini yang memperbarui dan membangun "Inti Tekstualitas filsafat Islam", maka kita mudah menuju pemikiran filsafat kontemporer "yang diwariskan Islam dalam bidang filsafat" dan membuktikan diri sebagai akal filsafat muslim kontemporer". Sebagai titik awal yang mampu memandang masalah sesuai realitas zaman. Sehingga menciptakan dan mengembangkannya suapaya sampai kepada filsafat Islam kontemporer yang terkandung di dalamnya aspek keislaman selaras dengan pokok agama Islam.

Dengan demikian akan mampu merespon problematika realitas dimana umat islam tinggal secara responsif-positif yang memfungsikan pemikiran filsafat dalam proyek pembangunan, kebangkitan, dan pembaruan.

Demikianlah poin dan catatan sebagai gambaran awal Imarah yang mampu memperkaya perbincangan dan dikembangkan serta dimodifikasi agar menjadi sesuai. Sehingga mampu diletakkan dalam praktik dan percobaan untuk melampaui forum yang bebas dari kebuntuan filsafat di mana kita hidup. Juga memandu kita melewati masa "perkembangan" menuju "filsafat Islam kontemporer" yang berlandaskan akidah Islam, dibantu oleh rasionalitas Islam

(10)

sehingga mapan dengan "pemikiran – ideologi" yang mengedepankan pandang muslim bagi semesta. Sebagaimana bagian dari proyek peradaban Islam dan piranti perubahan realitas yang terjadi pada kehidupan umat Islam terkini.

Wallahu min warai l-qashdi.

Referensi

Dokumen terkait

Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar- besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah

Adanya fakta sejarah yang menunjukkan bahwa lahirnya filsafat di dunia Islam tidak bisa dipisahkan dari rantai transmisi filsafat Yunani itu meninggalkan kesan pada sebagian

Fungsi : fungsi kelompok ilmu pemikiran islam termasuk ilmu tasawuf, ilmu islam dan filsafat adalah merupakan landasan bagi ilmu-ilmu terapan. Tujuan : ilmu tasawuf, ilmu kalam

Meski fakta bahwa telah terjadi penerjemahan ilmu-ilmu karya Yunani ke dalam bahasa Arab adalah benar, namun untuk mengatakan bahwa filsafat Islam berasal dari Yunani

Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013).. Inilah integrasi ilmu. Di mana ada kontak saling mengisi antara khazanah warisan Islam

Pada hakikatnya filsafat pendidikan islam adalah sebuah bahasan yang menarik untuk di bahas, yang mana ini di karenakan filsafat pendidikan islam itu sendiri bisa

Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, 1 adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani

Implikasi Filsafat Fenomenologi terhadap Metode Studi Islam Implikasi Filsafat Fenomenologi terhadap Metode Penelitian Studi Islam, merupakan akibat dari filsafat fenomenologi atas