• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap Filsafat Islam

N/A
N/A
Zaedan Mutaqin

Academic year: 2024

Membagikan "Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap Filsafat Islam"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH FILSAFAT ILMU

PENGARUH SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT YUNANI TERHADAP DUNIA FILSAFAT ISLAM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu Dosen Pengampu :

Dr. Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., M.A., M.Ag.

Oleh :

Zaedan Mutaqin (230104220014)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2024

(2)

ii

Pengaruh Sejarah Perkembangan Filsafat Yunani terhadap Dunia Filsafat Islam

Zaedan Mutaqin

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Email: [email protected]

Hadi Masruri

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Email:

Abstrak

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan wawasan tentang sejarah dan pengaruh pemikiran filsafat Yunani terhadap filsafat Islam, serta dampaknya terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan. Eksistensi ilmu filsafat yang berkembang saat ini tentunya tidak terlepas dengan sejarah kemunculannya. Baik filsafat Yunani maupun filsafat Islam tentunya telah memberikan sumbangsih dan kontribusi besar terhadap kemajuan peradaban umat manusia, melalaui para tokoh dan pemikirannya. Maka dari itu, memahami pemikiran filsuf terdahulu dan mengimplementasikan konsep filsafat dalam tatanan kehidupan khususnya pada ranah pendidikan menjadi suatu hal yang penting. Pentingnya filsafat terletak pada perannya sebagai landasan intelektual dan ideologis yang memungkinkan manusia memahami dan mengembangkan pemikiran yang kritis dan idealis. Maka, untuk dapat mencapai pemahaman ini, mengkaji sejarah perkembangan filsafat lebih lanjut dan mendalam menjadi opsi tepat yang harus dilaksanakan. Secara historis, negeri Yunani adalah tempat pertama kali filsafat muncul dan terus mengalami dinamika dalam setiap periodisasi, hingga menjadi rujukan lahirnya filsafat Islam dengan karakteristiknya tersendiri. Jika filsafat Yunani menjadi rasio (akal) sebagai sumber pengetahuan, maka dalam kajian filsafat Islam yang menjadi puncak pengetahuan adalah spiritualitas dan ketuhanan. Keduanya berjalan beriringan, membentuk landasan pemikiran dan saling mempengaruhi pengetahuan dan intelektual. Makalah ini akan menguraikan lebih mendalam mengenai bagaimana sejarah perkembangan filsafat Yunani mempengaruhi dunia filsafat Islam, melahirkan tokoh-tokoh filsafat Muslim dan pemikirannya serta pengaruhnya terhadap peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Kata Kunci : Filsafat Yunani, Filsafat Islam, Sejarah Filsafat

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji teriring syukur terlimpah curah ke hadirat Allah ﷻ karena atas limpahan nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Pengaruh Sejarah Perkembangan Filsafat Yunani terhadap Dunia Filsafat Islam” dengan tepat waktu. Semoga Allah Yang Maha Kaya mengaruniakan kita kesungguhan untuk memberikan yang terbaik dalam setiap ibadah kita. Selawat beserta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Uswah Hasanah suri teladan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai bentuk pemenuhan tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Drs. H. M. Hadi Masruri, Lc., M.A., M.Ag. Harapan penulis selain sebagai pemenuhan tugas, makalah ini juga dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya dalam memahami materi sejarah perkembangan filsafat.

Namun demikian, penulis menyadari dalam penulisan dan penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Malang, 26 Juni 2024

Penulis

(4)

iv DAFTAR ISI

Abstrak ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan... 2

BAB II ... 3

PEMBAHASAN ... 3

2.1. Sejarah Lahirnya Filsafat Yunani ... 3

2.2. Periodisasi Perkembangan Filsafat Yunani... 4

2.3. Sejarah Perkembangan Filsafat Islam ... 12

2.4. Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya ... 14

2.5. Analisis Sejarah Filsafat Yunani terhadap Perkembangan Filsafat Islam . ... 18

BAB III ... 21

PENUTUP ... 21

DAFTAR PUSTAKA... 22

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Istilah “Filsafat” tentunya bukan lagi menjadi suatu hal yang asing kedengarannya. Hal ini karena filsafat sering digunakan dalam berbagai konteks bidang keilmuan, seperti filsafat ilmu, filsafat agama, filsafat pendidikan, filsafat Islam, bahkan sampai pada program studi dan fakultas di perguruan tinggi. Namun demikian, makna filsafat tidak dapat diartikan sama rata dan masing-masing mempunyai asosiasi serta pendefinisian yang bermacam-macam.

Lahirnya filsafat tidak lepas dari bangsa Yunani kuno yang mulai memikirkan dasar penciptaan alam semesta. Kemunculannya diawali pada abad ke-6 SM yang ditandai dengan runtuhnya mite-mite dan dongeng- dongeng dan pada akhirnya menjadi pembenaran setiap gejala di alam semesta, pada zaman itu dikenal dengan periode filsafat alam. Selanjutnya filsafat terus mengalami perkembangan, hingga melahirkan gagasan dan menjadi rujukan pemikiran filsuf-filsuf Islam dan Barat. Perkembangan filsafat Islam tidak terlepas dari sumbangsih tradisi filsafat Yunani. Kendati dalam perkembangan filsafat Islam terjadi perbedaan yang signifikan dengan filsafat Yunani.

Jika filsafat Yunani beranggapan bahwa rasio adalah akal dan menjadi sumber ilmu pengetahuan, maka dalam perkembangan filsafat Islam yang dicapai adalah basis realitas yang bersumber dan bermuara pada Allah, agama dipandang sebagai sebuah kebenaran sebab alam semesta dan penciptaannya tidak terlepas dari Allah sebagai khalik (pencipta), serta percaya bahwa semuanya akan kembali pada Allah sebagai pemilik, pemelihara dan penjaga alam semesta.

(6)

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan filsafat Yunani?

2. Bagaimana sejarah perkembangan filsafat Islam?

3. Bagaimana pengaruh perkembangan filsafat Yunani terhadap dunia filsafat Islam?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk memberikan wawasan dan pengetahuan kepada pembaca mengenai sejarah perkembangan filsafat Yunani dan Islam, serta pengaruh perkembangan filsafat Yunani terhadap filsafat Islam dan dampaknya terhadap perkembangan peradaban manusia dan ilmu pengetahuan.

Makalah ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan dan referensi kepada pembaca mengenai bidang keilmuan serupa yang harapannya dapat memperkaya wawasan dalam mengkaji pengaruh sejarah perkembangan filsafat Yunani terhadap dunia filsafat Islam.

(7)

3 BAB II

PEMBAHASAN

Bagian pada bab ini akan membahas mengenai sejarah perkembangan filsafat Yunani dan Islam, serta tokoh dan pengaruhnya terhadap peradaban manusia dan ilmu pengetahuan.

2.1. Sejarah Lahirnya Filsafat Yunani

Ciri umum filsafat Yunani adalah Rasionalisme. Orang-orang Yunani berpegang pada prinsip bahwa akal adalah sumber utama ilmu pengetahuan yang benar. Prinsip tersebut yang kemudian menjadikan akal menempati posisi paling tinggi sekaligus unggul dan bebas atau terlepas dari pengamatan inderawi yang hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diterima oleh akal.

Filsafat Yunani muncul sekitar abad ke VI SM di mana banyak filsuf yang mempertanyakan dan mempersoalkan tentang dari mana terjadinya alam, dan apa dasar utama atau asas alam ini. Bermula dari pesisir Mediterania bagian timur menyeberangi Aegean menuju tanah Yunani. Ribuan tahun Athena menjadi tanah air filsafat. Awal sejarah filsafat dimulai dari Milete (Miletos) yang merupakan kota penting. Kota Milete mempertemukan jalur perdagangan antara Mesir, Italia, Yunani dan Asia. Karena merupakan kota transit dari berbagai negara yang terlibat dalam perdagangan, maka tidak menutup kemungkinan terjadi pertemuan berbagai latar belakang kebudayaan dan pemikiran. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kemudian kota Milete juga dikenal sebagai pusat intelektualitas.

Konon orang Yunani bernama Thales yang hidup sekitar tahun 624-546 SM inilah yang pertama kali menggunakan akal untuk serius mencari jawaban atas pertanyaan; Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini?. Pemikir-pemikir ini yang kemudian dikenal dengan filsuf alam. Pemikiran mereka yang rasional tidak percaya begitu saja tentang legenda, cerita nenek moyang, mitos atau sejenisnya. Karena kekritisan dan pemikiran tersebut, maka sejarah mencatat

(8)

bahwa para filsafat Yunani merupakan tonggak munculnya filsafat (Waris, 2014:

17-18).

Pemikiran para filsuf alam menggantikan mitos dan kepercayaan orang- orang Yunani yang banyak bersumber dari dongeng dan mitos-mitos mengenai Tuhan dan penciptaan alam semesta. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran pemikiran dari mitologis ke kosmologis. Dari kepercayaan yang hanya bersumber dari legenda dan mitos kepada pemikiran tentang bagaimana mencari jawaban atas penciptaan alam semesta menggunakan rasio atau akal.

Bermula pada kenyataan seperti telah dijelaskan sebelumnya, maka kemudian negeri Yunani disebut sebagai negeri Agung (the Greek miracle). Hal ini didorong kenyataan bahwa negeri ini adalah negeri yang pertama kali membuka diri untuk mengakses dan mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa tersekat batas geografis dan ideologi yang dianut masyarakat.

Munculnya para filsuf Yunani yang mengakui adanya kekuatan di luar kekuatan yang dimiliki manusia, yang menggerakkan segala sesuatu yang bergerak, alam ini ada pembuatnya dan pembuatnya bersifat azali, wajib ada zatnya dan mengetahui segala keadaan. Pemikiran para filsuf tersebut kemudian semakin berkembang dan akhirnya membagi perkembangan filsafat Yunani menjadi tiga masa; 1) zaman pra Socrates, 2) zaman Socrates, dan 3) zaman pasca Socrates.

2.2. Periodisasi Perkembangan Filsafat Yunani 2.2.1 Masa Pra Socrates

Konon, sebelum masa Socrates, ada sekelompok orang Yunani kuno yang mendeklarasikan dirinya sebagai orang yang berilmu (Shopia), namun keilmuan yang mereka miliki tak mereka manfaatkan di jalur yang benar. Mereka memanfaatkan ilmunya untuk mengelabui orang-orang sekitar atau lebih tepatnya untuk menyesatkan pikiran mereka saat berargumen, sehingga makna asli dari ilmu yang sesungguhnya kabur akibat ulahnya. Dalam ilmu filsafat atau logika, hal itu memiliki istilah ‘kesesatan dalam berpikir’ (fallacy).

(9)

5

Dari sana, lahirlah tokoh-tokoh pemikir pada masa pra Socrates dikenal sebagai filsuf alam. Dikatakan demikian karena para pemikir ini fokus utamanya adalah mencari jawaban atas kejadian di alam semesta. Ketidakpuasan dengan jawaban mitologi mengenai pertanyaan tentang alam semesta dan yang mengitarinya mendasari pemikiran para filsuf untuk menemukan jawaban yang lebih rasional. Pemikiran rasional dan ilmiah para filsuf di zaman pra Socrates merupakan tonggak lahirnya filsafat yang melahirkan pemikiran-pemikiran filsafat selanjutnya, karena dari pemikiran mereka anggapan dan kepercayaan terhadap mitologi dan legenda perlahan mulai runtuh dan digantikan dengan pemikiran-pemikiran ilmiah yang lebih rasional.

Karakteristik filsafat era pra Socrates masih kuat dengan kepercayaan terhadap dunia metafisik dan mitologis mistis. Kumpulan kepercayaan dan ritual yang dipraktikkan orang-orang Yunani masih mengakar kuat sehingga berat untuk ditinggalkan. Hal ini karena sistem kepercayaan terhadap mitologis mistis diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi adat yang tertanam sejak lama.

Orang-orang Yunani lebih percaya terhadap dunia mitologi daripada mengandalkan akal sebagai landasan berpikir rasional.

Era ini juga dikenal dengan corak “kosmosentris” di mana para filsuf mengarahkan perhatian mereka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan asal mula terjadinya alam semesta. Berupaya mencari jawaban atas prinsip pertama (arkhe) dari alam semesta, sehingga dikenal dengan julukan filsuf alam. Adapun tokoh filsuf pada masa ini di antaranya adalah :

1. Thales (625-546 SM)

Thales dikenal sebagai pemikir sekaligus ilmuan yang masyhur pada masanya. Bahkan bagi orang Yunani, Thales termasuk salah satu dari The Seven Wise Men (tujuh orang bijak). Tentang filsafatnya, tidak banyak yang dapat diketahui karena ia tidak meninggalkan tulisan- tulisan. Namun, menurut Aristoteles salah satu pemikiran Thales adalah mengenai arche (asas, prinsip, dasar pertama) dari alam semesta adalah air. Air merupakan asal dan tujuan dari segala sesuatu, anggapan ini berdasarkan kenyataan bahwa air terdapat pada semua makhluk hidup.

(10)

Air juga mempunyai banyak bentuk, jika air itu kasar maka ia menjadi tanah, dan jika menipis maka ia menjadi asap atau api atau udara.

Walaupun Thales merupakan orang pertama yang menggunakan akal secara serius, yang berarti akal sudah mulai dikedepankan, akan tetapi cara berfilsafatnya masih terpengaruh oleh kepercayaan. Hal ini terbukti cara pandang Thales masih animisme. Suatu kepercayaan bahwa bukan saja barang yang hidup mempunyai jiwa tetapi juga benda mati. Benda mati terebut misalnya besi berani dan batu api. Benda mati ini jika digosok sampai panas menarik barang yang dekat padanya. Ini menunjukkan benda mati tersebut mempunyai jiwa.

2. Anaximander (610-574 SM)

Filsuf ini juga dikenal dengan nama Anaximandros, merupakan seorang yang berjasa dalam bidang astronomi dan geografi, karena dialah orang pertama yang membuat peta bumi. Selain itu, Anaximandros diyakini sebagai orang pertama yang menghasilkan karya tulis “saintifik” di dalam bentuk prosa dalam kesusastraan Yunani (Jeniarto, 2014: 135-144). Berbeda dengan Thales, menurutnya segala hal berasal dari substansi azali, namun substansi itu bukan air melainkan sesuatu yang tidak terbatas, abadi, tidak mengenal usia, dan ada dengan sendirinya. Asas atau dasar tersebut dikenal dengan “a perion”, yang merupakan realitas abstrak yang sulit ditemukan dan dijelaskan oleh nalar manusia, tidak ada padanan dan persamaannya dengan satu barang yang ada di dunia ini.

A perion adalah sesuatu yang menjadi asal, yang tidak terhingga, dan tidak terbatas pada lawannya. Ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang tidak terhingga dan tidak terbatas itu adalah udara. Menurutnya, udara yang membalut dunia ini menjadi sebab segala yang hidup bahwa “jiwa itu serupa dengan udara”. Udara yang menjadi dasar hidup yang ada dimana-mana, bergerak ke mana pun, dan tidak ada suatu pun yang hidup tanpa udara.

3. Anaximenes (585-494 SM)

(11)

7

Anaximenes merupakan murid dari Anaximander, sehingga memiliki pandangan dan pemikiran yang hampir sama dengan gurunya.

Sejalan dengan pemikiran Anaximander, bahwa segala sesuatu dimulai dari yang tidak terbatas, dan tak terhingga. Perbedaannya terletak pada sesuatu yang memulai dan tidak terbatas menurut Anaximenes berasal dari tanah, bahwa alam semesta dan seisinya termasuk manusia di ciptakan dari tanah dan akan melebur menjadi tanah.

4. Herakletos (540-480 SM)

Salah satu pendapatnya yang terkenal adalah “You can’t step twice into the same river; for the fresh water are ever flowing upon you.

Pernyataan tersebut, memberi kesimpulan bahwa tidak ada satu pun yang ada dalam keadaan tetap, semua berubah, semua mengalir tak ada yang tetap. Filsafat Herakletos disebut filsafat “menjadi”. Sesuatu yang

“ada” menurutnya bukan realitas karena ada hanya “menjadi”.

Pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang berubah-ubah. Segala sesuatu tersusun dari pertentangan-pertentangan, ada hidup ada mati, ada tua ada muda. Pandangan ini merupakan warna dasar filsafat sofisme, bahwa kebenaran itu relatif adanya (Fahriansyah, 2014: 24-29).

Herakletos merupakan filsuf terbesar sebelum Socrates, yang meletakkan dasar-dasar filsafat Yunani, ia menekankan pada perubahan dari segala sesuatu. Menurutnya asal dari segala sesuatu di alam semesta adalah api.

5. Permenides (540-475 SM)

Filsafat Permenides merupakan kebalikan dari filsafat Herakletos yang berpendapat bahwa realitas itu gerak dan perubahan. Bagi Permenides realitas itu tetap, tidak berubah dan merupakan keseluruhan yang bersatu. Menurutnya, pengetahuan ialah kebenaran yang berdasar pada keyakinan bahwa yang ada itu ada. Tidak mungkin yang ada itu tidak ada dan yang tidak ada itu ada. Standar kebenaran dan ukuran realitas adalah logika, dan standar kebenaran ini menunjukkan bahwa akal manusia merupakan ukuran kebenaran. Manusialah penentu

(12)

kebenaran. Pemikiran oleh Permenides dapat dikatakan yang kemudian yang melahirkan cabang ilmu filsafat tentang konsep ada yang disebut dengan metafisika.

6. Democritus (460-370 SM)

Democritus adaah murid dari Leukippos, pendiri madzhab Atomisme. Ia mengembangkan pemikiran tentang atom hingga pemikirannya tersebut yang justru lebih kenal dalam sejarah filsafat.

Orang-orang menjulukinya sebagai “The Laughing Philosopher” karena sifatnya yang suka tertawa, pembawaan jiwa dan pikirannya juga selalu positif dan gembira. Pemikirannya sejalan dengan pendahulunya yang mengatakan bahwa perubahan di alam tidak mungkin disebabkan karena kenyataan bahwa segala sesuatu “berubah” dan berasal dari balok-balok tak terlihat yang sangat kecil yang kekal dan abadi, yang membentuk benda-benda, dan tidak lebih kecil dari apa pun, ia kemudian menumbuk beberapa material dengan mortar dan alu hingga bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi lagi yang disebut dengan atom.

7. Empedokles (495-435 SM)

Pemikiran Empedokles dipengaruhi oleh aliran religius yang disebut Orfisme dan orang-orang Pythagorean. Mewarisi pengaruh pemikiran filsuf sebelumnya, ia berpendapat bahwa prinsip yang mengatur alam semesta tidaklah tunggal melainkan terdiri atas empat akar (rizomata).

Empat unsur tersebut adalah air, tanah, api dan udara. Keempatnya dipercaya menjadi unsur pembentuk alam semesta karena dapat dijumpai di seluruh alam semesta. Sifat dari api adalah panas sehingga dikaitkan dengan yang panas, udara dengan yang dingin, sedangkan tanah dikaitkan dengan yang kering dan air dengan yang basah.

Objek kajian filsafat di era pra Socrates adalah fisika-sains, di mana para filsufnya banyak mengemukakan pemikirannya mengenai kejadian alam semesta. Para filsufnya juga banyak berkontribusi pada banyak bidang keilmuan seperti fisika, kimia, matematika, astronomi, geografi dan masih

(13)

9

banyak lagi. Secara garis besar, era ini terbagi menjadi eonian school, phytagorian school, dan elian school.

2.2.2 Masa Socrates

Masa ini disebut filsafat klasik karena filsafat yang dibangunnya mampu menguasai sistem pengetahuan alam pikiran Barat sampai kira-kira dua ribu tahun. Objektif kajian filsafat era ini bukan lagi tentang alam semesta dan bagaimana kemunculannya, namun lebih banyak mengaji tentang manusia secara fisik dan jiwa, mempelajari etika manusia hingga dikenal dengan metafisika.

Filsafat pada era ini lebih bercorak “Antroposentris” di mana para filsuf menjadikan manusia (Antropos) sebagai objek pemikiran filsafat mereka dan berupaya menemukan jawaban mengenai masalah etika (filsafat tingkah laku) dan tentang hakikat manusia. Adapun tokoh filsuf pada masa ini seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Mereka dijuluki sebagai filsuf klasik, karena ide-ide mereka tetap aktual.

1. Socrates (469-399 SM)

Pemikiran yang menonjol dari filsafat yang dikemukakan Socrates terletak pada usahanya untuk memberikan pemikiran baru, yang mula- mula filsafat itu bersifat abstrak dan spekulatif menjadi kongkret dengan pemikiran tentang etika, ke pemikiran kehidupan manusia. Filsafatnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik bagi setiap individu.

Mementingkan etika untuk mendapatkan kebajikan. Menurutnya, keutamaan adalah pengetahuan. Pemikirannya yang cukup terkenal adalah bahwa “Yang saya ketahui dengan pasti adalah bahwa saya tidak mengetahui apa-apa”. Corak filsafat Socrates bersifat antroposentris.

Pemikiran ini menekankan teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta (Yuono, 2019: 187-89).

Tema pokok metode filsafat Socrates selalu berhubungan dengan etika. Socrates berkeyakinan, ketika seseorang berpengetahuan tentang

’kebaikan’, maka dengan sendirinya dia akan berbuat baik. Begitu juga

(14)

dengan tema-tema moralitas lainnya. Ketika seseorang mengetahui maksud dari keberanian dan keadilan maka secara otomatis ia akan berkelakuan seperti itu.

2. Plato (427-347 SM)

Nama aslinya adalah Aristocles, pada masanya ia berusaha mengadakan penyelesaian antara filsafat Herakletos dan Permenides yaitu yang berubah dan yang tetap, yang bergerak. Menurutnya yang bergerak itu adalah dunia pengalaman, sedangkan yang tetap adalah dunia idea. Dunia yang realistis dan sebenarnya adalah dunia idea, sedangkan dunia yang tampak ini adalah bayangan. Ajarannya tersebut dikenal dengan dualistis, dengan prinsip membagi dunia menjadi dua yaitu dunia idea, tetap dan dunia ini, berubah, tidak sempurna dan dapat dilihat oleh indra. Sementara, tentang negara Plato membagi penduduknya menjadi tiga golongan; 1) golongan teratas, 2) golongan menengah, dan 3) golongan terbawah. Menurutnya, agar negara aman, tenteram dan makmur maka pembagian tugas dan wewenang harus sesuai dengan pembagian golongan masing-masing.

3. Aristoteles (384-322 SM)

Aristoteles pada mulanya mengikuti filsafat Plato, namun kemudian ia berbeda pada beberapa pandangan. Baginya, Tuhan adalah causa (sebab) dari gerak universum, gerak pertama, bukan pencipta universum. Aristoteles diakui sebagai pelopor logika. Tujuan hidup menurut Aristoteles adalah eudamonia (kebahagiaan), dan manusia menurut kodratnya adalah zoon-politikon (makhluk yang berpolitik).

Menurutnya ada empat sebab yang harus diselidiki oleh ilmu pengetahuan yaitu causa efisien, causa finalis (tujuan), causa materi (bahan), dan causa formal (bentuk). Aristoteles mengatakan bahwa gerak adalah peralihan dari potensi ke gerak. Sejalan dengan pemikiran tersebut, ia kemudian membedakan materi (hyle) dan bentuk (morphe).

Benda terdiri atas materi dan bentuk yang tak terpisahkan, teori ini dikenal dengan Hylemorphisme. Sebagai analogi, manusia memiliki

(15)

11

materi berupa tulang, organ, dan jaringan penyusunnya, tetapi bentuk manusia adalah makhluk hidup yang utuh dan berfungsi. Masa Aristoteles adalah masa kemunduran filsafat Yunani.

Periode filsafat masa Socrates dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa inilah orang-orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide pemikiran dan pendapatnya. Pada periode ini perkembangan filsafat menunjukkan kepesatan, ditandai dengan semakin banyaknya minat orang terhadap filsafat.

Tradisi filsafat periode ini yang nantinya akan dilanjutkan oleh kebudayaan Romawi, peradaban Islam, dan digali kembali pada masa Renaisance, dan diteruskan oleh tradisi modern yang berkembang hingga kini. Kultur Yunani klasik sendiri, dipengaruhi oleh kebudayaan Minoa;

Mykenai Mesir; dan berbagai peradaban Mediterania lainnya.

2.2.3 Masa Pasca Socrates

Masa ini dikenal dengan Neo-Platonisme yang berusaha menggabungkan pemikiran Plato dengan Aristoteles dan merupakan puncak terakhir dalam sejarah filsafat Yunani. Neo-Platonisme dipelopori oleh Plotinus (204 SM) yang merupakan filsuf besar fase akhir Yunani. Namun pada fase ini sering terjadi tabrakan antara filsafat Yunani dengan agama- agama Samawi dan Helenistik dari timur, karena fase ini merupakan fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi banyak terpengaruh juga dengan tasawuf timur dan berbagai aliran lainnya.

Plotinus juga mendalami ajaran-ajaran mistik dari India dan Persia, ia tidak berencana mendirikan aliran filsafat sendiri, ia hanya ingin mendalami filsafat yang dibawa oleh Plato. Plotinus percaya bahwa ciptaan melimpah atau mengalir dari Yang Esa adalah Yang Baik, segala sesuatu yang pasti itu baik, atau memuat kebaikan, jika tidak maka tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kebaikan. Selain itu, konsep sentral dalam neo-platonisme adalah konsep refleksi Tuhan dalam hidup. Neo-Platonisme memandang bahwa manusia dapat mencapai pengalaman langsung dan pemahaman tentang

(16)

Tuhan melalui refleksi dalam hidup mereka. Refleksi ini melibatkan introspeksi, kontemplasi, dan penekanan pada nilai-nilai spiritual.

2.3. Sejarah Perkembangan Filsafat Islam

Musa Asy’arie (2002: 6) menyatakan bahwa hakikat filsafat Islam adalah filsafat yang bercorak Islami, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “Islamic Philosophy” bukan “the Philosophy of Islam” yang berarti berpikir tentang Islam. Dengan demikian, filsafat Islam adalah berpikir bebas, radikal (radix)/mengakar yang berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang dapat memberikan keselamatan dan kedamaian hati.

Al-Farabi dalam kitabnya Tahshil as-Sa’adah menjelaskan bahwa perkembangan filsafat Islam tidak terlepas dari pemikiran para filsuf Yunani yang banyak mengilhami pemikiran dan pandangan filsafat Islam. Filsafat dari Yunani berkembang ke Suryani dan akhirnya sampai ke Arab. Adapun di negeri Arab, filsafat berkembang setelah hadirnya Islam maka dikenal dengan filsafat Islam.

Dalam perspektif Islam, filsafat merupakan bidang keilmuan yang berusaha menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran atau yang haq dengan bahasa pemikiran ilmiah yang rasional. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Al-Kindi (801-873 M) bahwa filsafat Islam adalah pengetahuan tentang hakikat hal-ihwal dalam batas-batas kemungkinan manusia. Karena dalam ajaran Islam di antara nama-nama Allah juga terdapat “Al-Haqq” Yang Maha Benar, maka tidak terelakkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara filsafat dan agama.

Sementara jika dalam pandangan filsafat Yunani yang menjadi basis pemikiran adalah rasio (pengetahuan) dalam mengungkap ilmu pengetahuan, serta tidak menganggap agama sebagai suatu kebenaran.

Adapun dalam Islam yang dicapai adalah basis realitas, basisnya dari Allah dan bermuara pada Allah, sebab sumber dari segala ilmu pengetahuan adalah Allah, sehingga agama dipandang sebagai sebuah kebenaran.

(17)

13

Karakteristik filsafat Islam yang paling menonjol dan membedakannya dengan filsafat Yunani adalah bahwa dalam perkembangan pemikiran filsafat Islam semua bermuara pada Allah, bertujuan untuk mengesakkan Allah (konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud), spiritualitas merupakan puncak filsafat Islam di mana ada jiwa untuk dekat dengan Allah dan bersatu dengan Allah, hal ini yang membedakannya dengan filsafat Yunani.

Filsafat Islam jika dibandingkan dengan filsafat umum lainnya mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri sekalipun objeknya sama. Hal ini karena filsafat Islam itu tunduk dan terikat oleh norma-norma Islam, berpedoman pada nilai dan ajaran Islam serta sistematis dan universal tentang hakikat Allah sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta dan seisinya.

Munculnya filsafat dalam dunia Islam dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya untuk membuktikan adanya Allah sebagai Tuhan (pembuktian teori emanasi), Islam menghendaki agar umatnya memikirkan tentang penciptaan alam semesta, langit, bumi dan segala isinya. Dalam penciptaan tersebut tentunya ada yang menciptakannya. Pemikiran tersebut kemudian menimbulkan penyelidikan dengan pemikiran filsafat. Pemikiran filsafat Islam kian berkembang seiring dengan turunnya Al-Quran sebagai wahyu dengan memberi petunjuk dan pengaruh terhadap keilmuan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Quran surat Al-‘Alaq ayat 1: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. Pendapat sebagian ahli tafsir, seperti Al-Razi menjelaskan bahwa yang di maksud dengan kata

iqra’” dalam ayat tersebut berarti “belajar” bukan hanya membaca, kedua berarti “mengajar”.

Bersumber dari Al-Quran dan Hadits kemudian pada filsuf Islam mulai berkontribusi pada pemikiran-pemikiran baru dan mulai menggeser pemikiran filsafat Yunani, hingga menjadi bagian terpenting dalam kebudayaan Islam. Beratus tahun filsafat lepas dari bangsa Yunani, selama itu juga filsafat dibangun oleh pemikiran-pemikiran Islam. Dunia Islam telah banyak melahirkan ahli filsafat, bahkan di antaranya ada yang

(18)

diberikan julukan “guru kedua” filsafat, yaitu Al-Farabi. Guru pertamanya adalah Aristoteles, setelah ia menjadi guru dari Alexander Agung (Alexander The Great), dan sampai kini belum ada guru ketiganya.

Demikianlah filsafat mengalami perkembangan pesat di dunia Islam yaitu ada pemerintahan Abbasiyah, hingga pada masa ini dikenal dengan

The Golden Age of Islam”. Akan tetapi, pada abad ke-12 secara tiba-tiba dunia filsafat Islam terhenti, karena mendapat serangan dari ahli agama.

Banyak ahli filsafat yang dituduh hingga akhirnya dihukum sebagai orang- orang mulhid (atheis). Dampaknya, pada akhir abad ke-12 menghilanglah filsafat dari kebudayaan Islam, buku-buku karya filsuf Islam yang besar dan tinggi nilainya dibakar dalam per unggunan di musim dingin dan akhirnya pada abad ke-14 tidak seorang pun di dunia Islam yang berani mempelajari filsafat, apalagi menamakan dirinya sebagai seorang filsuf Islam.

Sejak itulah perkembangan filsafat di dunia Islam semakin tertinggal.

Sementara di dunia Barat yang awalnya mempelajari filsafat dari orang- orang Islam dan banyak menerjemahkan buku filsafat Islam mengalami kemajuan pesat bahkan hingga saat ini.

2.4. Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya

Islam melahirkan banyak tokoh filsuf yang kemudian menjadi jembatan penjelas antara filsafat dan kaitannya dengan Islam. Tokoh-tokoh filsafat Islam di antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali. Masing- masing tokoh filsafat tersebut memiliki kekhasan tersendiri terkait pemikirannya dalam dunia filsafat Islam. Berikut adalah ulasan dari pemikiran masing-masing tokoh:

1. Al-Kindi

Al-Kindi merupakan salah satu tokoh ilmu filsafat Islam pada masa awal kemunculannya, beliau lahir di saat kemajuan ilmu pengetahuan Islam sedang dalam masa-masa yang gemilang. Pada masa ini khalifah dinasti Abbasiyah sangat terkenal memperhatikan dan mendorong perkembangan

(19)

15

ilmu bagi kaum muslim, hal itu ditegaskan dengan berdirinya semacam lembaga keilmuan besar dengan fasilitas seperti perpustakaan dan ruang- ruang belajar yang dinamakan Khizanah Al-Hikmah yang selanjutnya dimasa khalifah Al-Makmun dikenal dengan Bait Al-Hikmah (Waris, 2014).

Menurut Al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan yang benar dan agama menerangkan tentang apa yang benar, keduanya bertujuan untuk saling menguatkan. Al-Kindi juga banyak memperbaiki kesalahan-kesalahan penerjemahan dari karya-karya filsafat Yunani sebelumnya dengan lebih sederhana.(Madani, 2015) Di antara yang menjadi pokok-pokok pemikiran Al-Kindi adalah:

a. Tentang Filsafat. Tujuan filsafat menurut Al-Kindi adalah menerangkan apa yang benar dan baik (Waris, 2014). Dalam teori tujuan filsafat adalah mengetahui kebenaran, dan dalam praktiknya adalah mengamalkan kebenaran serta kebajikan (Madani, 2015). Filsuf yang sempurna harus mengetahui filsafat yang paling pertama yaitu (Tuhan) yang merupakan sebab segala kebenaran dan realitas. Agama menerangkan wahyu dengan akal, dan filsafat menerangkan kebenaran dengan akal, sehingga wahyu tidak bertentangan dengan akal bahkan argumentasi wahyu lebih kuat dari filsafat (ةفسلفلا وه لقعلاو ،لقعلا نيدلا) (Umar

& Santalia, 2022).

b. Tentang Metafisika. Al-Kindi menyatakan bahwa semua yang ada di alam diciptakan oleh Allah, dan kehendak Allah berada di atas kehendak alam. Alam tidak bersifat kekal dan alam memiliki permulaan (Waris, 2014). Seluas apa pun alam semesta ukurannya tetap terbatas dan setiap yang memiliki keterbatasan juga memiliki awal dan akhir sehingga sifat ini semakin jelas menggambarkan kebesaran Tuhan. Pengetahuan ilahi yang diperoleh dari nabi-nabi didasarkan pada keyakinan sedangkan pengetahuan manusia dan falsafah didasarkan pada pemikiran rasional (Madani, 2015).

(20)

c. Tentang Etika. Menurut Al-Kindi filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh usaha yang dapat dilakukan oleh manusia. Keutamaan manusia yang sangat luas tidak boleh terbatasi oleh hawa nafsu, kenikmatan lahiriah yang terlalu diburu adalah keburukan dan justru dapat mematikan akal (Umar & Santalia, 2022).

d. Tentang Jiwa. Menurut Al-Kindi, ruh adalah bagian dari Tuhan, Al- Kindi tidak menganggap bahwa badan dan jiwa merupakan kesatuan yang sama, sebab ketika jiwa telah berpisah dengan tubuh maka hakikatnya jiwa kembali kepada tempat asalnya. Jiwa tidak akan rusak dan hancur seperti rusak dan hancurnya badan, jiwa tidak terbatas pada kefanaan sebaliknya badan sangat terbatas (Madani, 2015).

2. Al-Farabi

Al-Farabi hidup pada tahun (870-950 M) nama aslinya adalah Abu Nasher Muhammad ibnu Muhammad ibn Anzalaq ibn Turchan Al-Farabi, sepertinya umumnya nama arab kata Al-Farabi dinisbahkan pada tempat kelahirannya. Al-Farabi adalah tokoh filsuf Islam yang meletakkan dasar- dasar filsafat Islam secara lebih tertata dan sistematis. Tokoh-tokoh filsuf setelahnya memberikan gelar Al-Muallim At-Tsani (guru kedua) karena ia dianggap telah berjasa mengembangkan ilmu logika yang dasarnya telah digagas oleh Aristoteles (Wiyono, 2016).

Di antara yang menjadi ciri pemikiran Al-Farabi dalam filsafat adalah:

a. Tentang Metafisika. Al-Farabi mengemukakan bahwa adanya keseluruhan alam semesta diawali dengan wujud tunggal yang harus ada (دوجولا ةدحو) yaitu Tuhan, Alfarabi menegaskan bahwa keteraturan yang dimulai dari hal terkecil hingga terbesar menandakan bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan melainkan terdapat campur tangan yang maha wujud (Wiyono, 2016). Pembahasan tentang ketuhanan oleh Al- Farabi dibagi menjadi tiga (Waris, 2014) yaitu:

(21)

17

1) Pembahasan terkait wujud dan hal yang berkaitan dengan Tuhan sebagai wujud.

2) Pembahasan prinsip-prinsip ilmu teori yang berdiri sendiri, seperti logika dan matematika.

3) Membahas wujud yang tidak berupa benda atau berada dalam benda tersebut kemudian didalami dengan membuktikan dengan pengalaman bahwa wujud itu ada.

3. Ibnu Sina

Ibnu Sina (980 – 1037 M) merupakan salah satu tokoh ilmuwan muslim yang terkenal dengan keluasan disiplin ilmu yang dikuasainya. Ibnu Sina tidak hanya menjadi ahli dalam filsafat tapi juga ahli dalam matematika, psikolog, logika hingga yang termasyhur adalah ilmu kedokteran. Dalam filsafat Ibnu Sina menulis kitab yang dinamakan Asy-Syifa’ , di dalam karyanya itu terdapat pembahasan tentang logika, ilmu alam, ilmu pasti, dan ilmu ketuhanan (Waris, 2014).

Pandangan Ibnu Sina dalam filsafat dituangkan pula dalam pemikirannya yang disebut Al-Fayd, Al-Nafs Al-Nubuwwah, dan Al-Wujud (Ruslan et al., 2022). Al-Fayd merupakan teori penciptaan alam semesta oleh yang maha esa. Teori ini pertama kali digagas oleh Al-Farabi yang kemudian dikembangkan oleh Ibnu Sina. Ibnu Sina berusaha memadukan wahyu dan filsafat terkait aspek makna dan fungsi. Menurutnya setiap kewajiban dalam agama seperti shalat, puasa dan zakat memiliki makna- makna tertentu yang membantu proses terhubungnya manusia dengan Tuhan dengan jalan kasih sayang. Artinya ketika setiap kewajiban dan larangan itu dipahami secara filosofis maka berarti tidak ada pertentangan dari keduanya (Soleh, 2014).

Ibnu Sina juga menjelaskan bahwa konsep kenabian adalah ketika seluruh potensi kemanusiaan dapat dimaksimalkan dalam diri seorang manusia. Ibnu Sina berpendapat bahwa syarat kenabian terletak pada 3 hal, yaitu: kecerdasan intelek, kesempurnaan imajinasi, dan kemampuan menundukkan hal-hal di luar diri (Soleh, 2014). Ibnu Sina menambahkan

(22)

bahwa seluruh pengetahuan dasarnya adalah abstraksi untuk memahami bentuk yang ingin diketahui, pengetahuan yang benar didapatkan melalui akal sebagai sarana dalam mencapai kebenaran (Badruzaman, 2019).

4. Al-Ghazali

Al-Ghazali merupakan tokoh ilmuwan Islam yang namanya sangat terkenal hingga saat ini, beliau dilahirkan pada tahun (1058 - 1111 M).

Beliau memiliki banyak karya-karya berupa tulisan yang masih bisa kita dapatkan hingga saat ini. Al-Ghazali dianggap sebagai salah satu tokoh filsafat yang biasa mengkritik pemikiran tokoh filsafat lainnya terutama pemikiran filsafat Yunani dan Islam yang dirasa tidak sesuai dengan ajaran Islam, pandangan-pandangannya tersebut dituliskan dalam kitab yang berjudul Tahafut al-Falasifah dan Maqosidul Falasifa (Waris, 2014). Dalam kitabnya Maqosidul Falasifah, Al-Ghazali memperingati para pemikir muslim lainnya bahwa menolak sebuah pendapat sebelum memahami dan mengkajinya secara mendalam berarti menyebarkan kebodohan dan kesesatan (Jamhari, 2015).

Menurut Al-Ghazali, manusia memiliki tiga alat untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu: panca indera, akal, dan kalbu. Selanjutnya dijelaskan bahwa panca indera yang ada mendapatkan pengetahuan inderawi yang menurutnya kurang meyakinkan, oleh karena itu akal berfungsi sebagai pengolah rangsangan inderawi, akan tetapi yang paling utama menurutnya adalah kalbu (hati), kalbu menjadi alat untuk mendapatkan pengetahuan yang hakiki yang disebut sebagai ilmu laduni (Badruzaman, 2019).

2.5. Analisis Sejarah Filsafat Yunani terhadap Perkembangan Filsafat Islam

Lahirnya filsafat Islam memberi corak dan karakteristik baru terhadap perkembangan pemikiran dunia filsafat. Ciri filsafat Islam yang religius, rasional dan sinkretis membedakannya dengan filsafat Yunani. Korelasinya dengan filsafat Yunani adalah filsafat Islam membahas masalah yang pernah

(23)

19

dibahas filsafat Yunani tentang ketuhanan, penciptaan alam semesta dan dunia ruh. Sementara yang membedakannya, filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas dalam filsafat Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian serta dalam filsafat Islam terdapat perpaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal. Hal inilah yang tidak tersentuh dalam pemikiran filsafat Yunani.

Filsafat Islam mulai terpengaruh pemikiran filsafat Yunani pada masa dinasti Abbasiyah, terlebih ketika pusat pemerintahan dikuasai oleh orang- orang Persia, seperti keluarga Baramikah yang telah lebih dulu mempelajari kebudayaan Yunani, tepatnya pada masa Al-Makmun. Al-Makmun dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga pada masa pemerintahannya banyak terjadi penerjemahan buku yang dilakukan secara serius dan besar-besaran. Ia memerintahkan utusannya ke seluruh Byzantium untuk mencari naskah atau buku-buku mengenai keilmuan apa saja agar dibawa ke Baghdad, termasuk karya Plato dan Aristoteles.

Ahmad Hanafi (1982: 66-73) mengidentifikasikan beberapa karya Plato dan Aristoteles yang diterjemahkan adalah sebagai berikut.

1. Theatetus, Cratylus, Sophistes, Permanides

Keempat karya ini diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn yang semaunya tercatat dalam buku Al-Fihris karya Ibnu Nadim dan Tarikh Al-Hukama’ karya Al-Qatfi; Timaeus, buku tentang fisika dengan ulasan Plutarchus, Phado karya tentang jiwa dan keabadian sesudah mati, dan Phaedrus karya tentang cinta, keduanya merupakan disiplin ilmu psikologi, Politicus karya tentang ilmu politik dan Law (undang-undang).

2. Ten Categorie yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab Al- Maqalat berisi tentang sepuluh kategori berpikir filsafat untuk memaknai “ada” atau keberadaan sesuatu, meliputi substansi, kualitas, kuantitas, relasi, waktu, keadaan, tempat dan ruang, mempunyai, aksi, dan menderita. Interpretation dalam dunia Islam dikenal dengan Pori-Armenias, berisi keterangan

(24)

mengenai bahasa; proposisi dan bagian-bagiannya. Analytica Priaora (uraian pertama) membahas tentang metode keilmuan.

Anima (jiwa) dan Ethica Nicomachaes yang berisi tentang pembagian ilmu etika menurut Aristoteles.

Melalaui kegiatan penerjemahan inilah pemikiran-pemikiran Islam mengenai filsafat kemudian berkembang pesat hingga banyak berkontribusi terhadap dunia Barat di bidang ilmu pengetahuan dan sosial budaya yang akhirnya melahirkan teknologi canggih (sophisticated). H.G Wells mengungkapkan jika orang Yunani adalah “bapaknya metode ilmiah” maka orang Islam adalah “bapak angkat”-nya.

Pemikiran filsafat Yunani memang memberikan pengaruh dan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan filsafat Islam, tapi perlu diperhatikan bahwa bukan berarti para filsuf Muslim lantas menerima mentah-mentah segara pemikiran filsuf Yunani. Filsafat Yunani menjadi sumber referensi ilmu yang dipelajari filsuf Muslin sebagai rujukan, namun kemudian dikembangkan dengan pemikiran dan teori sendiri. Terbukti dari upaya penerjemahan yang dilakukan, umat Islam mampu menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu Yunani, Persia dan India.

Hadirnya filsafat Islam juga mencoba mengembalikan ilmu pengetahuan pada spiritualitas atau keesaan Allah dalam rangka Islamisasi dari paham sekularisme yang menjauhkan agama dari ilmu pengetahuan.

Hal ini karena pemikiran-pemikiran filsafat periode Yunani terlalu mendewakan ilmu pengetahuan sehingga pemikiran yang dibawa identik dengan atheis scolastik dan menganggap bahwa Tuhan sudah mati dan tidak lagi eksis dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

(25)

21 BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Filsafat Yunani lahir dari rasa keingintahuan bangsa Yunani kuno tentang penciptaan alam semesta, yang kemudian menggantikan mitos dengan rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan. Periodisasi filsafat Yunani berkembang melalui tiga periode utama; era pra-Socrates yang berfokus pada penciptaan alam semesta sehingga tokohnya dikenal sebagai filsuf alam, era Socrates yang mengarah pada pemikiran manusia dikenal dengan antroposentris, dan era pasca-Socrates yang mencakup Neo-Platonisme atau menggabungkan kembali pemikiran Plato dengan Aristoteles.

Filsafat Yunani memberikan kontribusi besar pada perkembangan filsafat Islam, mempengaruhi pemikiran dan metodologi dalam mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Pemikiran filsafat Yunani juga mempengaruhi filsafat Islam hingga pada akhirnya banyak melahirkan tokoh filsuf Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali. Melalui merekalah Islam mencapai puncak kejayaan hingga dikenal dengan “The Golden Age of Islam” melalui perkembangan ilmu pengetahuan.

Namun, dalam perkembangannya pemikiran yang dihasilkan oleh filsuf Muslim tidak serta merta mengambil referensi dari pemikiran Yunani mentah- mentah, Justru, perkembangan filsafat Islam berupaya melalukan Islamisasi terhadap gerakan atheisme scolastic para filsuf Yunani yang menganggap Tuhan telah mati dan tidak eksis lagi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Hadirnya filsafat Islam mencoba mengembalikan ilmu pengetahuan pada spiritualitas atau keesaan Allah, bahwa pengetahuan tentang alam semesta, penciptaan dan penjagaannya seisinya bersumber dan akan bermuara pada Allah.

(26)

22

DAFTAR PUSTAKA

Badruzaman, D. (2019). Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat

Islam. Idea : Jurnal Humaniora, 52–64.

https://doi.org/10.29313/idea.v0i0.4263

Fahriansyah. (2014). Antisofisme Socrates. Al ’Ulum, 61(3), 24–29.

Jamhari. (2015). Al-Ghazali dan Oposisinya Terhadap FIlsafat. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 16(1), 108–

119.

Jeniarto, J. (2014). Gagasan Evolusi Makhluk Hidup: Sebuah Tinjauan Ringkas Dan Refleksi. Jurnal Universitas Gajah Mada, 2, 135–147.

https://1drv.ms/b/s!AlhUaMExFmUe31pvkFGDWPXbhdOy?e=m1WKhq Madani, A. (2015). PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI Abubakar Madani 1.

Pemikiran Filsafat Al-Kindi, IXX(2), 106–117.

Ruslan, A., Bandarsyah, D., Sejarah, P., Muhammadiyah ProfDrHamka, U., &

Artikel, R. (2022). Pengembangan Pikiran Modern Islam Dalam Pemikiran Ibnu Sina. Historis : Jurnal Kajian, Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan Sejarah, 7(2), 40–44.

Soleh, A. K. (2014). Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam. Tsaqafah, 10(1), 63. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v10i1.64

Umar, U., & Santalia, I. (2022). Pemikiran Al-Kindi: Dalam Sebuah Kajian Filsafat. Innovative: Journal Of Social Science Research, 2(1), 760–764.

https://doi.org/10.31004/innovative.v2i1.4881

Waris. (2014). Pengatar Filsafat. In A. C. Rofiq (Ed.), Stain Press Ponorogo (1st ed., Issue Yogyakarta). STAIN PRESS PONOROGO.

Wiyono, M. (2016). Pemikiran Filsafat Al-Farabi. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 18(1), 67–80.

Yuono, Y. R. (2019). Melawan Etika Lingkungan Antroposentris Melalui Interpretasi Teologi Penciptaan Sebagai Landasan Bagi Pengelolaan- Pelestarian Lingkungan. Jurnal Fidei, 2(1), 184–203.

https://doi.org/10.1017/S1740355316000279

Referensi

Dokumen terkait

Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar- besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah

Melalui makalah ini penyusun menghimbau kepada pembaca agar lebih memahami tentang sejarah perkembangan filsafat pada masa ini yakni masa Eropa Kuno yang telah

Maka dari berbagai penjelasan ini dapat dipelajari dan dipahami sejarah perkembangan filsafat ilmu dan filsafat Islam dapat berkolaborasi menciptakan ilmu pengetahuan yang

Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi pergeseran pemikiran dari mitos ke logos..

Adapun warisan Yunani dalam khazanah filsafat, termasuk juga dampaknya pada filsafat Islam, walaupun bermanfaat dalam studi filsafat perbandingan namun tidak terhadap pokok bahasan

makalah ini membahas perkembangan pemikiran fisafat sejak yunani kuno hingga masa

Makalah ini membahas tentang filsafat pendidikan

Makalah ini membahas mengenai filsafat pendidikan Islam dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan