• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Filsafat dari Masa Yunani Kuno hingga Masa Kontemporer

N/A
N/A
odillia ntsy

Academic year: 2024

Membagikan "Perkembangan Filsafat dari Masa Yunani Kuno hingga Masa Kontemporer"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT:

MASA YUNANI KUNO SAMPAI MASA KONTEMPORER

Dikerjakan untuk memenuhi tugas Dasar-Dasar Filsafat

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Sri Sudarsih, M.Hum

Oleh :

Odillia Natasya Budyono 13030120140110

Kelas B

PRODI S1 SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO

2021

(2)

A. Pengertian Filsafat

Untuk mengetahui sejarah filsafat kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari filsafat itu sendiri. Filsafat menurut kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.

Filsafat juga bisa diartikan sebagai teori yang mendasari pikiran atau suatu kegiatan dan juga ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology. Dalam pengertian etimologi filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu “philosphia” yang tediri dari dua kata “philie / philos” yang artinya mencintai dan kata “sophia / sophos” yang artinya kebijaksanaan. Jadi philosophia dapat diartikan sebagai mencintai atau menyukai kebijaksanaan. Orang filsafat disebut filosof dan setiap orang yang berfilsafat akan melahirkan pandangan yang bijaksana. Dari banyak sumber dapat diketahui bahwa sophia mempunyai makna lebih luas dari pada sekedar kearifan, namun filsafat pada mulanya mempunyai makna yang sangat umum yakni suatu upaya untuk mencari keutamaan mental (The Lian Gie; 1977: 6).

Banyak pengertian-pengertian filsafat lainnya menurut para ahli, namun secara keseluruhan filsafat merupakan studi tentang hakikat realistis dan keberadaan tentang apa yang mungkin diketahui serta perilaku yang benar atau salah. Moh. Hatta dan Langeveld mengatakan bahwa definsi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki pandangannya sendiri dalam mendefinisikannya.

Menurut saya pendapat itu benar, karena intisari berfilsafat itu terdapat dalam pembahasan bukan pada definisi. Namun definisi filsafat juga diperlukan untuk menjadi patokan awal dan memberi arah dalam cakupan objek yang akan dibahas, tertutama dengan pembahasan yag berhubungan dengan filsafat ilmu. Berfilsafat berarti berfikir, meskipun begitu tidak semua berfikir dapat disebut dengan berfilsafat, karena berfilsafat minimal memiliki kriteria dari ciri-ciri berpfikir filsafat, yaitu radikal, universal, konseptual, koheren, sistematik, komprehensif, bebas tidak terkait, dan bertanggung jawab.

B. Sejarah Perkembang Filsafat

Dalam memahami sejarah perkembangan filsafat agar lebih mudah perlu diketahui klasifikasi atau pembagiannya secara periodik, karena setiap periode pasti memiliki ciri khas tertentu. Sejarah perkembangan filsafat memiliki periodisasi yang dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer. Periodisasi tersebut dibagi menjadi empat zaman, yaitu Yunani Kuno, Abad Pertengahan (keemasan Islam), Modern dan Kontemporer.

1. Zaman Yunani Kuno (Abad 6 SM – 6 M)

Sejarah perkembangan zaman Yunani Kuno dikenal sebagai awal kebangkitan filsafat (the Greek miracle) pada abad ke 6 SM, dikarenakan mampu menjawab persoalan dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau takhayul irasional. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia dan lingkungan disekitar mereka, dan mereka tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas petanyaan-pertanyaan tersebut. Zaman ini disebut dengan zaman filosofi alam, karena tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Mengenai sejarah dari Priodesasi filsafat ini telah diungkapkan bahwa :: The early Greek priod is more a field for fancy than for fact"( Masa

(3)

filsafat Yunani kuno adalah suatu bidang yang lebih cocok untuk menjalankan fantasi dari pada menemukan fakta).( F.Cleve ; 1963: 446).

Kelahiran filsafat pada saat itu berbentuk sebuah mitologi dan dongeng-dongeng yang dipercayai oleh bangsa Yunani. Kemudian setelah Thales (624-548 SM) mengemukakan suatu pertanyaannya

“What is the nature of the world stuff ?” atau “Apa sebenarnya bahan dari alam semesta ini ?”

filsafat berubah menjadi suatu pemikiran yang rasional (logis). Mengapa begitu ? karena pertanyaan yang dikemukakan oleh Thales merupakan pertanyaan filsafat, yaitu pertanyaan yang umum dan sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan melampaui batas ilmiah, tidak bisa dijawab dengan menggunakan indra dan sains juga tidak bisa menjawabnya. Setelah pertanyaan itu muncul beberapa filsuf mencoba untuk menjawabnya. Begitu pula dengan Thales, ia mencoba menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, ia menjawab bahwa alam semesta ini berbahan dasar air, karena air bisa berubah menjadi berbagai macam wujud, jadi ia menjawab water is the basic principle of the universe. Berbagai jawaban yang dikemukakan oleh beberapa filsuf menandai adanya dinamika pemikiran yang perlahan menggeser mitologi. Kemudia para filsuf lainnya mulai serius memikirkan tentang alam, yang dijuluki sebagai philosopher atau ahli filsafat alam, yang kemudia melahirkan ilmu-ilmu tentang alam. Perkembangan selanjutnya, para filsuf banyak yang mulai memikirkan tentang hidup kita sebagai manusia di dunia, sehingga dari situ lahirlah filsafat moral atau filsafat sosial yang juga melahirkan ilmu-ilmu sosial. Salah satu filsuf yang terkenal dalam adalah Socrates (470-399 SM). Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani, karena pada zaman ini kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Setelah Socrates meninggal dihukum karena dianggap sebagai penghasut warga untuk mempertanyakan batin mereka entang kebenaran dan kebaikan. Lalu mulai berkembangnya para filsuf, salah satunya yang terkenal ialah Plato (427-347 SM). Pemikirannya yang berkaitan dengan pembagian realitas menjadi dua bagian.

Pertama Dunia Ide, yaitu dunia yang hanya terbuka bagi rasio (akal), dan dunia ini bersifat sempurna dan tetap. Kedua Dunia Jasmani, yaitu dunia yang hanya terbuka bagi panca indra, dunia ini bersifat selalu berubah. Plato mendapatkan respon yang positif dari pemikirannya tersebut, dan dia berhasil menyatukan pendapat dari Permenides mengenai dunia ide yaitu segala sesuatu yang sempurna dan tetap, dan pendapat dari Herakleitos mengenai dunia panca indra yang berubah- ubah.

Dalam sejarah perkembangan filsafat Zaman Yunani Kuno Selain itu terdapat salah satu filsuf yang legendaris, yaitu Aristoteles (384-322 SM) ada beberapa yang berpendapat bahwa ia sangat kagum dengan pemikiran-pemikiran Plato, namun ia mengambil jalan yang berbeda dengan Plato, bahkan dia juga mengkritik pendapat Plato mengenai dunia ide. Aristoteles berpendapat bahwa yang bersfiat sempurna dan tetap bukanlah ide, melainkan benda-benda jasmani, maka dari itu ia mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle=materi, Morphe=bentuk). Menurut teori ini, setiap benda jasmani terdiri dari dua hal, yaitu bentuk dan materi. Contohnya seperti sebuah patung, patung tersebut terdiri dari dua hal yaitu materi yang merupakan bahan baku pembuatan patung tersebut (kayu, batu), dan bentuk (patung berbentuk manusia atau hewan). Teori ini menjadi dasar dari pemikiran bahwa manusia juga terdiri dari materi (fisik) dan materi (jiwa), keduanya tidak

(4)

dipisahkan jadi apabila jiwa manusia mati maka fisiknya juga akan hancur. Pemikiran Aristoteles disebut Silogisme yang juag terdiri dari tiga pemikiran:

1. Semua manusia akan mati (premis mayor).

2. Socrates seorang manusia (premis minor).

3. Socrates akan mati (konklusi).

Aristoteles ini menjadi sosok filsuf yang legendaris, mengapa disebut legendaris ? karena dia memiliki cara berpikir yang teratur, sesuai dengan urutan, dan pemikirannya juga berdasarkan sebab-akibat.

2. Abad Pertengahan (Abad 6 - 16 M)

Semenjak sosok filsuf legendaris meninggal dunia, filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dalam corak yang berbeda- beda. Periode ini disebut dengan Hellenistik atau Hellenisme, yaitu istilah yang menunjukan gabungan kebudayaan antar Yunani dan Asia kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno. Sejak runtuhnya kerajaan Romawi non-Katolik dan mulai berkembangnya agama Katolik Roma, kerajaan-kerajaan di Eropa masuk dalam abad kegelapan, yaitu dimana kegiatan keilmuan terhambat yang disebabkan antara lain karena para penguasa kerajaan di Eropa tidak concern terhadap perkembangan keilmuan karena terlalu kuatnya pengaruh otoritas agama (Cony, at.al, 1988: 14). Agama Katolik menjadi salah satu problematika kefilsafatan karena mengajarkan bahwa kebenaran sejati adalah wahyu Tuhan, sehingga orang yang menganggap pemikiran itu tepat mereka menghiraukan kebijaksanaan yunani yang merupakan hasil pemikiran dari manusia.

Namun disisi lain terdapat pihak yang menganggap bahwa kebijaksanaan yunani dapat digunakan untuk mengabdi keagamaan. Kemudian masyarakat yang sudah lama beragama Kristen menemui kebenaran yang dijelaskan secara pemikiran yunani, menhyebabkan masalah dan pertanyaan- pertanyaan Bagaimana sikap orang terhadap filsafat ? Bagaimana akal dan budi bisa mencapai kebenaran ? Pertanyaan tersebut memunculkan beberapa versi jawaban, ada yang menolak filsafat yunani karena dipandang sebagai kebijaksanaan kafir, ada pula yang menerima sebagai kebijaksanaan amnesia dan alam amnesia itu diciptakan oleh Tuhan jadi kebijaksanaannya pun berasal dari Tuhan. Ada juga yang tidak mengakui bahwa filsafat Yunani itu sudah mencapai kebenaran seluruhnya, tetapi bukan berarti filsafat Yunani itu keliru. Munculnya pertanyaan- pertanyaan seperti itu menyebabkan beberapa kalangan di Eropa melakukan renungan atau memikirkan tentang ajaran agama dan kebijakan Yunani atau filsafat.

Saat Eropa sedang mengalami masa kegelapan, justru di Timur terutama di wilayah kekuasaan Islam, terjadi perkembangan filsafat yang pesat. Di dunia Islam mulai lahir para filsuf terkenal seperti Al-Kindi (801-865 M), Al-Farabi (1058-1111 M), dan Ibu Rusyd (1126-1198).. Selain menjadi filsuf mereka merupakan orang yang mendalami tentang ajaran agamanya masing-masing, sehingga pemikiran mereka mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama melalui folisofis. Pada masa ini juga ajaran-ajaran agama dipakai hakim untuk memfonis benar tidaknya hasil pemikiran filsafat. Dengan menduduki daerah-daerah Yunani dan Romawi secara bertahap, menyebabkan para filsuf Islam sudah mengalami kemajuan lebih dahulu. Kemudian mereka melakukan pengembangan lebih lanjut dengan memberikan ciri-ciri khas penalaran dan penemuan

(5)

mereka sendiri. Jadikaum musliminlah yang sesungguhnya mengisi kesenjangan perkembangan filsafat dan ilmu dan pengetahuan saat Eropa dilanda “kegelapan” (Cony, et.al., 1988:15).

Pasca Hellenisme dan Romawi kemudian disusul dengan masa patristik, baik Patristik Timur maupun Barat. Masa ini adalah masa bapak-bapak gereja, kira-kira pada abad ke-8. Para pemikir Kristen pada zaman ini mengambil sikap yang berbeda-beda, ada yang menerima filsafat Yunani dan ada yang menolak mentah-mentah, karena filsafat dianggap berbahaya bagi iman Kristen (Harun Hadiwijono, 1989 : 70). Setelah ini kemudian muncul zaman pertengahan, atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat. Sebutan Skolastik menggambarkan bahwa filsafat abad ini diajarkan oleh sekolah-sekolah gereja (Harun, 1989: 87). Pada zaman ini filsafat dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agaman Kristen, filsafat baru mencapai kemandiriannya saat gerakan Renaissance dan Aufklarung yang muncul pada abad ke-15 dan ke-18. Semenjak itu pula manusia bebas dari agama, tradisi, sistem, otoritas politik (Koento Wibisono, 1988: 4). Pada masa ini filsafat barat sangat bepusat pada manusia, sehingga manusia bebas mengadili dan menghakimi segala sesuatu dalam kehidupannya. Semenjak saat itujuga filsafat dan gama mencair, tidak bercampur. Agaman mendasarkan diri atas iman kepercayaan, kebenaran wahyu, dan firman Tuhan. Sedangkan filsafat mendasarkan diri pada perkembangan rasio dan pengelamannya mencoba menjawab pertanyaan atas permasalahan yang dihadapai dengan semangat kebebasan dan pembebasan dalam kehidupan manusia (Koento Wibisono, 1985 : 7-8).

3. Masa Modern (Abad 17 – 20 M)

Pada masa ini para filsuf menegaskan bahwa pengetahuan bukan berasal dari kitab suci atau ajaran agama, melainkan dari diri manusia sendiri. Namun terjadi perbedaan pendapat antara dua aspek mana yang paling berpengaruh, yang pertama terdapat aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah pemikiran (rasio), kebenaran berasal dari akal atau pemikiran.

Sedangkan aliran imperialisme menyatakan sebalikanya, sumber pengetahuan bersalah dari pengalaman, baik yang batin maupun inderawi. Kemudian muncul juga aliran kritisme, yang memadukan keduanya. Tapi yang paling mendominasi pada zaman ini adalah paham rasionalisme.

Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman yunani kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Era ini berawal sekitar abad ke-15.

Aliran rasionalisme dilahirkan oleh Rene Descartes (1596-1650 M), Dalam buku “Discourse de Ia Methode” tahun 1637 ia menegaskan bahwa perlunya metode atau prinsip sebagai dasar dari semua pengetahuan, yaitu dengan menguji segalanya secara metodis. Jika terdapat suatu kebenaran yang tahan dengan pengujian, maka sudah pasti kebenaran tersebut bisa menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan. Ketidak puasannya terhdapa metode dilsafat, memunculkan pemikirian yang bertentangan sehingga filsafat menjadi kacau, taka da metode untuk menvapai kepastian. Maka dibentuklah metode baru yang disebut “Cogito ergo sum” atau bisa disebut dengan metode

“Keragu-raguan”. Dia menciptakan metode ini karna keraguannya dengan metode-metode sebelumnya, dengan keraguan tersebut terciptalah metode ini yang bertujuan untuk mencapai kepastian dan untuk menjadi pangkal pikiran dan filsafatnya. Dari usahanya menciptakan metode tersebut, terbukti bahwa dengan pemikiran/akal/rasio dapat mengantar orang kepada kebenaran.

Meskipun metode yang dibuatnya sangat mengandalakan raisio, namun ia tetap mengakui bahwa

(6)

ide-ide yang muncul dalam pemikiran orang ialah pemberian dari Tuhan. Descartes sangat mendaulatkan rasio, sehingga mengabaikan penetahuan indera karena dianggap dapat menyesatkan manusia. Oleh karena itu ia menganut dua realitas yaitu, realitas pikiran dan realitas perluasan, karena ia mempercayai bahwa manusia mempunyai keduanya. Descartes juga merupakan pelopor kaum rasioanalis atau kaum yang percaya bahwa dasar dari semua pengetahuan ada dalam pikiran.

Aliran empirisme dipelopori oleh Francis Bacon (1210-1292 M) yang menjadi pembuka pintu gerbang Empirisme dengan prinsipnya bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima seseorang melalui persentuhan inderanya dengan dunia fakta alam, pengalamanlah sumber pengetahuan yang sejati. Kemudia aliran empiris dikembangkan oleh David Hume (1711- 1776) aliran tersebut mempercayai bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan. Pengalaman dapat bersifat lahirlah (yang menyangkut manusia) dan bersifat batiniah (yang menyangkut pribadi). Oleh karena itu pengenalan indera merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas. Terdapat dua hal yang dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitaas. Hume tidak menerima subtansi karena yang dialami hanya kesan (hasil penginderaan) tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama, sehingga dari kesan tersebut muncul gagasan (ingatan akan kesan tersebut). Maka dari itu dapat disimpilkan tidak ada substansi yang tetap. Hume juga menolak kausalitas karena harapan bahwa sesuatu hal mengikuti hal yang lain itu hanya ada dalam pikiran kita saja bukan berdasarkan pengalaman. Misalnya batu yang terpancar dianra matahari, dan batu tersebut mengikuti matahari dalam artinya batu tersebuta akan menjadi panas juga. Hume merupakan pelopor para empirisis atau kaum yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Selain David Humes, aliran empiris juga dikembangakan oleh Thomas Hubbes dan John Lock.

Kritisme, Aliran ini lah yang memadukan kedua aliran sebelumnya. Dengan kritisme Immanuel Kant berpendapat bahwa pengetahuan kita tentang dunia bersal dari indera kita, namun dalam akal kita terdapat faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar. Kant setuju dengan pendapat Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia itu. Namun menurun Kant terdapat dua hal yang mengarahkan pemikira manusia tentang dunia. Yang pertama ialah kondisi lahirlah ruang dan waktu yang merupakan cara pandang kita dan bukan atribut dari dunia fisik, yang juga tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita, berbentuk materi. Yang kedua, kondisi batiniah dla manusia mengenai proses yang tunduk pada hukum kausalitas yang tak terpatahkan, berbentuk pengetahuan. Demikianlah Immanuel Kant membuat kritik atas kedua pemikiran tersebut, membuat suatu intensitas, dan meletakan dasar beagi aneka aliran filsafat masa kini. Filsafat zaman modern lebih fokus pada manusia bukan kosmos (seperti zaman Yunani kuno) atau Tuhan (abad pertengahan).

Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance dimana kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dihidupkan kembali, seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana. Filsiuf terkenal yang penting pada masa ini ialah N Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626). Periode yang kedua ialah zaman barok, yang lebih menenkankan pada akal budi. Sistem filsafatnya juga enggunakan matematika.

Filsuf yang terkenal pada zaman ini ialah Rene Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1710). Periode yang ketiga ditandai dengan adanya fajar budi.

(7)

Filsuf yang terkenal pada zaman ini ialah John Locke (1632-1704), G Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776). Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant.

4. Masa Kontemporer atau Masa kini (1800-sekarang)

Filsafat zaman kontemporer berkaitan dengan isu-isu kekinian yang mendasar. PEriodisasi filsafat ontemporer ini biasanya masih mengac pada kurun waktu abad ke-19 sampai sekarang. Pemikir- pemikir yang berpengaruh pada zaman ini adalah Kierkegaard, Marx, Peirce, Nietzsche, Frege, Freud dan Einstein. Perkembangan filsafat pada masa ini tidak lepas dari perkembangan filsafat zaman modern, atau bisa disebut penyempurnaan dari filsafat modern. Perkembangan filsafat pada abad ke-19 manusia tetap dianggap sebagai pusat kenyataan, walaupun tidak fokus pada rasio, empiri, dan ide-ide manusia, melainkan lebih fokus pada unsur-unsur irasional, yaitu kebebasan atau kehendak sebagai penggerak tindakan manusia. Perkembangan selanjutnya yaitu pada abad ke-20, filsafat masih melanjutkan isu-isu utama dalam filsafat modern, namun dengan sudut pandang yang berbeda. Isu-isu yang dilanjutkan seperti metafisika, epistemology, antropologi (humanism) dan lainnya. Selain itu isu-isu tersebut meuas menjadi kapitalisme, alienasi, lingkungan, demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan lain sebagainya (Munir, tt:2) Filsafat abad ke- 20 tak mungkin dapat dipahami tanpa filsafat eksistensialisme, marxisme, analisis konsep logis dan bahasa pragmatis, tanpa kritik peradaban dan moral, psikoanalisa dan teori relativitas. Filsafat Barat kontemporer memiliki sifat yang sangat heterogen. Hal tersebut disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar. Sebagian besar filsuf pada zaman ini merupakan spesialis di bidang khusus, seperti matematika, fisika, sosiologi, dan ekonomi. Akan tetapi bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan paling banyak dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout, fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad 20 adalah pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika.

Pragmatisme

Tokoh yang terpenting dalam aliran ini adalah William James (1842-1910). Pragmatisme pertama kali diumumkan dalam sebuah kuliah di Berkeley pada tahun 1898, berjudul “Philosophical Conceptions and Practical Results”. Pragmatisme mengajarkan bahwa sesuatu hal yang benar adalah sesuatu yang akibatnya bermanfaat secara praktis. Jadi, pragmatisme memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Kaum pragmatisme sangat kritis terhadap sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka berpendapat bahwa filsafat pada masa lalu telah keliru karena mencari hal – hal yang mutlak, yang ultimate.

Vitalisme

Tokoh terpenting dalam vitalisme adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia adalah salah satu filsuf yang paling terkenal dan berpengaruh di Perancis pada akhir abad 19 – awal abad 20. Vitalisme berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan ilmu

(8)

teknologi serta industrialisme, di mana segala sesuatu dapat dianalisa secara matematis. Pengaruh filsafat ini mengalami penurunan setelah Perang Dunia 2,para pemikir Prancis umumnya sepakat bahwa Gilles Deleuze (1966) Bergsonism, menandai kebangkitan secara luas serta meningkatnya minat dalam karya Bergson. Deleuze menyadari bahwa kontribusi terbesar Bergson bagi pemikiran filsafat adalah konsep keanekaragaman. Filsafat Bergson merupakan dualistik: dunia mengandung dua kecenderungan yang berlawanan, yaitu gaya hidup (Elan vital) dan perlawanan dari dunia materi terhadap gaya. Manusia dapat mengetahui masalah dengan kepandaiannya. Mereka merumuskan doktrin ilmu pengetahuan dan melihat hal-hal yang ditetapkan sebagai unit terpisah.

Hal yang berlawanan dengan kepandaian adalah intuisi, yang berasal dari naluri yang lebih rendah.

Intuisi memberi kita isyarat dari gaya hidup yang melingkupi semua hal. Intuisi merasakan realitas waktu, bahwa durasi diarahkan dalam hal hidup dan tidak dapat dibagi atau diukur. Durasi ini ditunjukkan oleh fenomena memori.

Fenomenologi

fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri.

Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl . Edmund Husserl (1859-1938) adalah pendiri aliran fenomenologi yang telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad 20 secara mendalam. Husserl mengatakan bahwa apa yang kita amati hanyalah fenomena bukan sumber dari gejala itu sendiri dan dari apa yang kita amati terdapat beberapa hal yang membuatnya tidak murni sehingga perlu diadakan reduksi dengan cara membebaskan diri dari unsur subjektif kungkungan teori dan hipotesis, dan juga membebaskan diir dari doktrin tradisional. Setlah mengalami reduksi, fenomena yang kita amati telah menjadi fenomena yang murni. Tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau belum menjadi hal yang sebenarnya. Oleh karena itu harus dilakukan reduksi kedua.

Pandangan Husserl mengenai fenomena ini, ia telah mengadakan semacam revolusi dalam filsafat barat. Sejak masa Descrates, kesadaran selalu diartikan sebagai kesadaran yang tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri merupakan satu – satunya jalan untuk mengenal realitas. Namun, Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah kepada realitas, sama artinya dengan realitas menampakan diri sendiri.

Eksistensialisme

Aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Tokoh yang penting dalam filsafat eksistensialisme adalah Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre. Sebenarnya, istilah eksistensialisme tidak menunjukan suatu sistem filsafat secara khusus. Maksud eksistensi ialah cara berada di dunia. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya di dunia ini.

Akan tetapi manusia sadar hal tersebut. Itulah sebabnya, segala sesuatu mempunyai arti yang berkaitan dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan arti kepada segala hal. Filsafat ini bertitik tolak kepada manusia konkret, manusia yang bereksistensi.

Filsafat Analitis

Filsafat analitis atau filsafat bahasa merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme. Para penganutnya menyibukkan diri dengan menganalisa bahasa dan konsep.

Aliran ini muncul di Inggris dan Amerika Serikat sekitar tahun 1950. T okoh penting dalam filsafat

(9)

ini adalah Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.

Strukturalisme

Aliran ini muncul di Prancis tahun 1960, dan dikenal juga dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi.

Tokoh – tokoh yang memiliki peranan penting dalam filsafat strukturialisme adalah Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucault. Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme yang menekankan pada peranan individu, strukturialisme memandang manusia “terkurung”

dengan berbagai struktur di sekelilingnya. Maka kaum strukturalis menyibukkan diri dengan struktur tersebut.

Semiotika

Semiotika merupakan teori tentang tanda dan penandaan. Seorang ahli semiotika seperti Barthes dalam awal pemikirannya melihat kehidupan sosial dan kultural dalam kerangka penandaan.

Melalui pendekatan semiotika yang didasarkan atas kerangka linguistik Saussurean, kehidupan sosial menjadi pertarungan demi prestige dan status; atau bisa juga ia menjadi tanda pertarungan ini. Semiotika juga mempelajari bagaimana tanda melakukan penandaan. Roland Barthes merupakan ahli semiotika, ia melihat bahasa sebagai yang dimodelkan oleh teori Saussure tentang tanda yang melandasi pemahaman structural kehidupan sosial dan kultur. Karya Barthes sangat beragam, berkisar dari teori semiotika, esai kritik sastra, telaah psikobiografis serta karya yang lebih bersifat pribadi. Gaya bahasa personifikasi menjadi ciri khas dalam karyanya lebih lanjut.

Ferdinand de Saussure merupakan seorang bapak strukturalisme dan linguistik. Hal pokok pada teorinya adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian (penanda dan yang ditanda). Konsepnya mengenai tanda menunjuk ke otonomi relatif bahasa dalam kaitannya dengan realitas. Bahkan, secara lebih mendasar Saussure mengungkapkan suatu hal yang bagi kebanyakan orang modern menjadi prinsip yang paling berpengaruh terhadap teori linguistiknya : hubungan penanda dengan yang ditanda adalah sembarang dana berubah – ubah. Berdasarkan prinsip tersebut, bahasa tidak lagi dianggap muncul dalam etimologi dan filologi, tetapi bias ditangkap dengan sangat baik melalui cara bagaimana bahasa tersebut mengutarakan perubahan.

Postmodernisme

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan segala dampaknya. Tokoh yang dianggap memperkenalkan postmodernisme adalah Francois Lyotard, lewat bukunya, “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.” Modernisme dimulai oleh Rene Descrates, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian mengabdikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme. Dalam modernisme, filsafat berpusat pada epistemologi yang bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang saling terpisah.

Modernisme mempunyai gambaran dunia sendiri yang ternyata membawa berbagai dampak buruk, yakni objektifikasi alam secara berlebihan dan pengurasan semena – mena yang berakibat kepada krisis ekologi, militerisme, kebangkitan kembali tribalisme, dan manusia cenderung menjadi objek

(10)

karena pandangan modern yang objektivistis dan positivistis. Postmodernisme berupaya untuk mempertanyakan suatu epistemologi modernis yang didasarkan atas pembedaan subjek dan objek secara jelas. Selain itu, hal lain terkait dengan postmodernisme adalah adanya ketidakpercayaan kepada metanarasi (Lyotard) yang berarti tidak adanya penjelasan global tentang perilaku yang bisa dipercaya dalam zaman rasionalitas yang bermuatan tujuan.

Referensi

Anwar, Khaidir. 2013. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Imron. Sejarah Filsafat; Filsafat Kuno Periode Axial dan Asal-Usulnya. Palembang: UIN Raden Fatah.

Munir, Misnal. PENGARUH FILSAFAT NIETZSCHE TERHADAP PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT KONTEMPORER. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Nawani, Nurnaningsih. 2017. TOKOH FILSUF DAN ERA KEEMASAN FILSAFAT.

Makassar: Pusaka Alamaida Makassar.

Syarifuddin. 2011. KONSTRUKSI FILSAFAT BARAT KONTEMPORER. Banda Aceh:

UIN Ar-Raniry.

http://www.lintasberita.com/Dunia/Berita-

Dunia/Aliran_Pragmatisme_Filsafat_Masa_Kontemporer (3 Maret 2021, 23:05).

Referensi

Dokumen terkait

Memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang Sejarah Perkembangan dan Pemikiran Filsafat, baik filsafat Yunani Kuno, Filsafat Islam dan Filsafat Barat;

•• Sejarah filsafat barat dibagi menjadi Sejarah filsafat barat dibagi menjadi tiga, tiga, yaitu zaman Yunani Kuno dengan ciri. yaitu zaman Yunani Kuno dengan ciri

Tidak banyak lukisan Yunani dari periode Klasik yang masih ada pada masa kini, sebagian besar lukisan Yunani yang masih bertahan berasal dari Zaman Perunggu.. Lukisan Yunani

Aliran yang mengawali periode Yunani klasik kuno adalah sofisme, gambaran yang diberikan para tokoh aliran ini terlihat jahat dan tidak memiliki moral namun, sebenarnya

Tidak banyak lukisan Yunani dari periode Klasik yang masih ada pada masa kini, sebagian besar lukisan Yunani yang masih bertahan berasal dari Zaman Perunggu.. Lukisan Yunani

• pemikiran Yunani Kuno (sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat.. • tradisi sejarah

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan

makalah ini membahas perkembangan pemikiran fisafat sejak yunani kuno hingga masa