Metode Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih Untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari
Sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dengan Nomor SK.129/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional, Indonesia memiliki wilayah gambut seluas 865 hektar yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan luas di provinsi Kalimantan Tengah sebesar 24.667.804 hektar. Air gambut merupakan air yang berada pada bagian permukaan rawa gambut dan mengandung NOM (natural organic matter) dalam bentuk asam humat dengan pH di bawah 7. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Said et al. (2019) di kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi, menunjukkan pH air gambut sebesar 2,35 sampai 3,1. Air gambut juga mengandung logam berat yaitu Fe dan Mn, total coliform, TSS (total suspended solid), dan ion garam yang menyebabkan tingkat konduktivitas air tinggi. Air dari rawa gambut yang langsung terhubung ke laut juga berpotensi mengandung ion 𝐶𝑙−dan 𝐵𝑟− serta bakteri-bakteri patogen. Kandungan bahan organik pada air gambut dipengaruhi oleh lokasi dan iklim pada wilayah rawa gambut tersebut.
Pada musim hujan, kandungan senyawa organik pada air gambut akan lebih tinggi akibat proses leaching kandungan mineral dari tanah. Permasalahan kandungan air gambut di beberapa daerah di Indonesia ini menyebabkan masyarakat lebih bergantung pada air hujan yang semakin sulit dikumpulkan akibat perubahan iklim. Kandungan asam pada air gambut akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Air gambut akan meninggalkan noda kekuningan pada kulit jika terpapar secara terus menerus. Proses desinfeksi air gambut juga dapat menghasilkan trihalometan (THM) dan asam haloasetat (HAA) yang bersifat karsinogenik dan mutagenik yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker.
Indonesia baru mampu menyediakan air bersih untuk 30 persen dari 250 juta masyarakat yang menunjukkan banyaknya masyarakat yang belum mendapatkan akses air bersih yang layak, sehingga penelitian yang dilakukan oleh Sinambella, Marlina and Santoso (2022) merupakan sebuah pendekatan yang tepat untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun, dengan kandungan dan sifat kimia, fisik, serta biologi air gambut, muncul pertanyaan apakah teknologi penyaringan sederhana cukup untuk menjadikan air gambut menjadi air bersih yang layak dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Jurnal penelitian ini menganalisis tentang parameter sampel air gambut yang diuji sebelum dilakukan penyaringan, lalu dilakukan percobaan melalui teknologi tepat guna berupa pipa PVC berukuran 4 inci yang diisi media berupa arang dari tempurung kelapa yang berperan sebagai karbon aktif, ijuk, kerikil,
dan pasir. Penyaringan ini menghasilkan air yang terbebas dari zat padat terlarut. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen sehingga hasil yang dibahas berasal dari pengamatan langsung yang terjadi di lapangan. Selain itu, penelitian ini dilakukan dalam skala kecil untuk masyarakat menggunakan teknologi tepat guna yang mudah didapatkan dan digunakan. Hal ini termasuk pengolahan air berbasis masyarakat yang tepat karena tidak memerlukan usaha yang besar.
Penelitian ini dilakukan di sekitar rumah warga di Jl Mangku Raya, Kecamatan Sabangau, Kelurahan Bangkirai, Kota Palangka Raya. Hal-hal yang dianalisis diantaranya adalah parameter fisik dan kimia yang didasarkan pada permenkes RI No 32 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Hygiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua Dan Pemandian Umum. dari penelitian ini didapatkan bahwa pH sampel air yang digunakan sebesar 3,5 - 4,5, air berwarna merah kecoklatan, berbau dan memiliki rasa asam, indikator warna yang didapatkan menggunakan Hanna Colorimeter sebesar 25 NTU dengan suhu 28℃.
Setelah disaring, air terlihat lebih jernih karena zat padat yang terkandung melekat pada media penyaring, tetapi air masih bersifat asam dengan pH 4,09 - 4,83.
Seperti yang sudah dinyatakan pada paragraf sebelumnya, hasil dari penelitian ini merupakan pengamatan langsung atas peristiwa yang terjadi di lapangan, serta merupakan upaya pengolahan air berbasis masyarakat yang tepat karena tidak memerlukan usaha yang besar. Namun, di dalam penelitian ini tidak disebutkan dengan jelas apakah terjadi perubahan warna, bau, dan suhu, serta tidak ada pembahasan mengenai indikator keberhasilan penyaringan air yang menyatakan bahwa air yang dihasilkan dari proses penyaringan ini layak dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penelitian ini juga tidak menyertakan informasi mengenai treatment air sebelum dilakukan penyaringan, apakah air langsung dimasukkan ke dalam filter atau ditambahkan bahan tertentu terlebih dahulu, bagaimana prosedur pembuatan penyaring dan kriteria khusus media yang digunakan, serta berapa lama waktu tunggu proses penyaringan sampai didapatkan air yang benar-benar jernih. Penelitian ini hanya berfokus kepada parameter fisik dan biologi tanpa membahas sifat kimia air gambut, yaitu kandungan senyawa-senyawa yang sangat penting untuk menentukan proses pengolahan air. Gap tersebut memunculkan pertanyaan baru, apakah keseluruhan parameter sudah terpenuhi, dan apakah diperlukan tahap pemrosesan tambahan untuk menghasilkan air yang benar-benar bersih dan dapat dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kiswanto et al.
(2019), metode pengolahan yang digunakan yaitu biosand filter dual media.
Metode ini terdiri atas proses netralisasi, aerasi, flokulasi-koagulasi, filtrasi, dan desinfeksi. Proses netralisasi dilakukan untuk menetralkan pH air menjadi 7-8 dengan membubuhkan alkali berupa air kapur/gamping. Proses aerasi dilakukan untuk menghilangkan gas-gas beracun dan mengoksidasi zat besi Fe dan Mn agar lebih mudah diendapkan dengan cara mengontakkan air dengan oksigen. Proses koagulasi-flokulasi dilakukan untuk menggumpalkan koloid dan suspensi dalam air dengan membubuhkan bahan koagulan. Proses pengendapan dilakukan untuk mengendapkan gumpalan akibat proses koagulasi-flokulasi secara gravitasi serta untuk mengurangi beban kerja filter. Proses penyaringan dilakukan untuk mendapatkan air yang benar-benar jernih dan terbebas dari flok-flok kecil. Proses terakhir yaitu proses desinfeksi yang dilakukan untuk membunuh bakteri dan virus dalam air.
Parameter yang diamati berupa warna, bau, rasa, kekeruhan, pH, kesadahan, zat organik, fluoride, nitrat, nitrit, serta Fe dan Mn. parameter ini dibandingkan dengan standar air bersih sesuai dengan Permenkes No.416/MENKES/PER/IX/1990. Dari proses penyaringan yang dilakukan, didapatkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter yang diamati.
pH air gambut yang semula berada di angka 4,5 menjadi 7,6. Kandungan Fe dan Mn yang semula di atas 1 mg/L turun di bawah angka 0,1 mg/L setelah disaring.
Serta parameter lainnya menunjukkan penurunan yang signifikan, yang memenuhi baku mutu air bersih sesuai dengan Permenkes No.416/MENKES/PER/IX/1990. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengolahan air gambut yang dilakukan oleh Kiswanto et al. (2019) berhasil dan layak dijadikan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain pengolahan air gambut menggunakan biosand filter, jurnal yang disusun oleh Said et al. (2019) menyebutkan adanya beberapa metode lain yang dapat dilakukan untuk mengolah air gambut diantaranya yaitu elektrodialisis untuk menurunkan kandungan TDS pada air, menggunakan limbah cangkang kerang darah yang sudah di kalsinasi untuk menetralkan pH, menggunakan metode elektrokoagulasi menggunakan Al, Fe, St, dan Cu untuk menghilangkan kandungan COD dan menurunkan kandungan logam berat.
Pengolahan air gambut menjadi air bersih menggunakan teknologi tepat guna merupakan langkah yang baik dan cukup mudah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Dengan pertimbangan berupa kandungan air gambut yang beragam dan berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka panjang, pengolahan air gambut hanya dengan menggunakan teknologi penyaringan sederhana tidaklah cukup untuk menghasilkan air bersih yang bisa digunakan sehari-hari. Pengolahan air gambut menjadi air bersih akan lebih
efektif dan memberikan hasil yang maksimal jika dikombinasikan dengan tahapan pengolahan lainnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Kiswanto et al. (2019).
Bagaimanapun juga, jurnal penelitian ini sangat relevan sebagai salah satu upaya menyelesaikan permasalahan air bersih yang terjadi di indonesia.
Daftar Pustaka
Kiswanto, Wintah, Rahayu, N.L. and Sulistyowati, E. (2019). Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih Secara Kontinyu di Desa Peunaga Cut Ujong.
Jurnal Litbang Kota Pekalongan, 17, pp.6–15.
Qadafi, M., Wulan, D.R., Notodarmojo, S. and Zevi, Y. (2023). Characteristics and treatment methods for peat water as clean water sources: A mini review.
Water Cycle, 4(2023), pp.60–69.
Said, Y.M., Achnopa, Y., Zahar, W. and Wibowo, Y.G. (2019). Karakteristik Fisika Dan Kimia Air Gambut Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.
Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, 11(2), pp.132–142.
Sinambella, A., Marlina, S. and Santoso, A.I. (2022). Pengelolaan Air Gambut Menjadi Air Bersih Dengan Teknologi Sederhana Di Kecamatan Sabangau Kelurahan Bangkirai Kota Palangka Raya. Media Ilmiah Teknik Lingkungan (MITL), 7(2), pp.56–62.