• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODAL SOSIAL MASYARAKAT BUGIS DALAM PENGASUHAN ANAK BURUH MIGRAN PEREMPUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "MODAL SOSIAL MASYARAKAT BUGIS DALAM PENGASUHAN ANAK BURUH MIGRAN PEREMPUAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

(3)

iii

Menggagas Nilai-Nilai Kearifan Lokal Melalui Etnopedagogik

Penulis:

Kalsum, Agussalim, Imranah, Yulie Asni, Zurahmah, Fajriyani, Azmidar, Andi Zulfiana, Novia Anugra, Eka

Sriwahyuni, Selvy Anggriani Syarif, Nurul Hasanah, Hartina Husain, Nur Yusaerah, Humaeroah, Nur Azisah,

Muhammad Irwan, Nurleli Ramli, Syarifah Halifah, Nurrahmah

Editor:

Nurleli Ramli

Penerbit IAIN Parepare Nusantara Press

2023

(4)

iv

Menggagas Nilai-Nilai Kearifan Lokal Melalui Etnopedagogik

Penulis

Kalsum, Agussalim, Imranah, Yulie Asni, Zurahmah, Fajriyani, Azmidar, Andi Zulfiana, Novia Anugra, Eka Sriwahyuni, Selvy Anggriani Syarif, Nurul Hasanah, Hartina Husain, Nur Yusaerah, Humaeroah, Nur Azisah, Muhammad Irwan, Nurleli Ramli, Syarifah Halifah,

Nurrahmah

Editor

Nurleli Ramli

Desain Sampul Agsar

Penata Letak Muh. Ilham Jaya

Copyright IPN Press, ISBN:978-623-8092-46-8

Jalan Amal Bakti No. 08 Soreang Kota Parepare, Sulawesi Selatan 91132

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan

apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh IAIN Parepare Nusantara Press, Parepare 291 hlm 15,4 cm x 23 cm Cetakan I, Agustus 2023 Diterbitkan oleh:

IAIN Parepare Nusantara Press

(5)

v

Prakata

Puji syukur kami panjatkan kepada sang pencipta karena atas kehendak dan karunia-NYA sehingga kumpulan tulisan teman-teman sejawat dalam buku menggagas nilai-nilai kearifan lokal melalui etnopedagogik dapat diselesaikan. Kerarifan lokal disetiap daerah sangat beragam dan merupakan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Melestarikannya merupakan suatu kewajiban agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman.

Banyak pilihan yang dapat ditempuh untuk mewariskannya kepada generasi muda dan salah satu pihannya adalah melalui pembelajaran dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dalam pembelajaran dan atau menggunakan salah satu kearifan lokal tersebut sebagai media pembelajaran.

Buku ini terdiri dari ragam kearifan lokal berbagai daerah yang ada di Sulawaesi Selatan khsusunya pada masyarakat suku bugis. Ulasan ragam kearifan lokal yang tersajikan dalam buku diharapkan dapat menjadi suatu inspirasi bagi para pendidik, pemerhati pendidikan, orang tua, dan masyarakat untuk dijadikan sebagai suatu alternatif dalam mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi muda dengan memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal. Kehadiran buku ini sebagai suatu bentuk kepedulian untuk melestarikan kearifan lokal dan kepedulian terhadap mulai terlupakannya nilai-nilai kebersamaan dan filosifis dari kearifan lokal.

Semoga tulisan teman-teman sejawat dengan mengangkat kearifan lokal daerahnya masing-masing kembali mengingatkan para pembaca tentang ragam

(6)

vi

warisan yang telah ditinggalkan oleh Nenek Moyang utamanya pada masyarakat suku bugis Sulawesi Selatan.

Kami menyadari bahwa tulisan dalam buku ini tidak luput dari kesempurnaan oleh karena itu masukan dan kritik dari pembaca akan menjadi hal yang berharga untuk perbaikan tulisan berikutnya.

Terimakasih atas kerjasama teman-teman sejawat semua yang dengan ketulusan hatinya telah meluangkan waktu untuk memperkenalkan kearifan lokal daerahnya tanpa kerjasama yang baik dari teman-teman semua buku ini tidak akan hadir dan dinikmati oleh semua pembaca.

Parepare, April 2023

Founder AGSIA Foundation

(7)

vii

Daftar Isi

Prakata ... v Daftar Isi ... vii

Identifikasi Konsep Etnokimia pada Pembuatan Lipa’ Sabbe sebagai Sumber Pembelajaran IPA

Imranah ... 1 Kajian Etnobiologi Reu Balacung: Perban

Alami Masyarakat Enrekang sebagai Sumber Pembelajaran IPA

Novia Anugra ... 20 Konsep Fluida Statis pada Rumah Terapung di Danau Tempe sebagai Sumber Pembelajaran Mekanika Fluida

Fajriyani ... 39

Mappere: Identifikasi Konsep Fisika

Eka Sriwahyuni ... 56 Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis

Berbasis Budaya Tudang Sipulung pada Pembelajaran Statistika

Hartina Husain ... 69

1 a

2

3

4

5

(8)

viii

Potensi Pigmen Pewarna Alami pada Corak Songkok Recca sebagai Sumber Pembelajaran IPA

Nur Yusaerah ... 89 Eksplorasi Etnomatematika pada Makanan

Tradisional Masyarakat Massenrempulu sebagai Sumber Pembelajaran Matematika

Azmidar ... 109 Pendidikan Berbasis Karakter Menuju Era 5.0 : Penerapan Ada-Ada Pappaseng sebagai Sumber Pembelajaran Bahasa Inggris

Humaeroah ... 128

Buginese Cultural Values: Sipakatau,

Sipakalebbi, Sipakainge as an Introduction to Ethnopedagogy for English Pre-Service

Teachers

Yulie Asni ... 143 Penggunaan Bahan Ajar Berbasis Kearifan

Lokal dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Kalsum, Agussalim ... 160

6

7

8

9

10

(9)

ix

Penggunaan Materi Berbasis Budaya Lokal dalam Meningkatkan Keterampilan Menulis Bahasa Inggris Siswa SMP pada Procedure Text

Nurul Hasanah ... 171 Implementasi Tudang Sipulung sebagai

Modeling Konseling Kelompok pada

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Parepare Andi Zulfiana ... 185 Menilik Nilai Tradisi Mappatettong Bola

dalam Merawat Semangat Gotong Royong sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Zurahmah ... 196 Modal Sosial Masyarakat Bugis dalam

Pengasuhan Anak Buruh Migran Perempuan Selvy Anggriani Syarif ... 219

La Pagala: Petuahnya dalam Pengintegrasian Pembelajaran Bahasa Asing

Nur Azisa, Muhammad Irwan ... 238 Pembentukan Karakter Gotong Royong

Melalui Permainan Tradisional Suku Bugis

Nurleli Ramli ... 251 11

12

13

14

15

16

(10)

Pola Asuh Orang Tua dalam Membentuk Moral Anak pada Masyarakat Pesisir Mandar Syarifah Halifah, Nurrahmah ... 267 17

(11)

MODAL SOSIAL MASYARAKAT BUGIS DALAM PENGASUHAN ANAK BURUH MIGRAN PEREMPUAN

Selvy Anggriani Syarif, Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare Email: [email protected] Orang tua, masyarakat, dan negara memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan pemenuhan hak dasar anak, termasuk anak buruh migran perempuan. Hal ini tentu saja membutuhkan dukungan dari segenap pihak. Dengan berfungsinya modal sosial dalam masyarakat Bugis tentu akan memberikan dampak positif terhadap keberlangsungan hidup anak-anak buruh migran perempuan. Tulisan ini bertujuan untuk [1] mendeskripsikan pengasuhan anak buruh migran perempuan di kabupaten Soppeng; dan [2]

menganalisis peran dan fungsi modal sosial masyarakat Bugis dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan di kabupaten Soppeng. Penelitian yang dijalankan sebelumnya menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Terdapat 44 keluarga buruh migran perempuan yang terlibat dan dianalisis dalam penelitian ini. Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif, dan data kualitatif dianalisis dengan 3 alur (reduksi data, pemaparan, dan menghasilkan kesimpulan) secara bersamaan. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga buruh migran perempuan melibatkan keluarga intinya dalam pengasuhan anaknya. Dengan dukungan modal sosial dalam masyarakat Bugis yang masih sangat terlihat sangat memberikan pengaruh positif terhadap pemenuhan kebutuhan anak buruh migran perempuan.

Abstrak

Kata Kunci: Modal Sosial, Pengasuhan, Buruh Migran Perempuan

(12)

220 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, negara, masyarakat, dan keluarga harus turut aktif melaksanakan serangkaian kegiatan secara terus-menerus untuk melindungi hak-hak dasar anak, agar hidup layak. Kenyataannya hari ini, tidak sedikit anak-anak mengalami kondisi suram dalam kesehariannya, terkhusus bagi anak yang harus tinggal jauh dari orang tua (khususnya ibu). Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, banya ibu memilih untuk bermigrasi dan mencari penghidupan di tempat lain hingga ke negara seberang (Utami, 2012).

Anak-anak yang ditinggal bekerja jauh oleh orang tuanya cenderung akan merasakan dampak negatif terhadap kehidupan sosialnya dan tidak terpenuhinya seluruh kebutuhan psikologisnya (Purwatiningsih, 2016). Bahkan jika dibandingkan dengan anak yang berasal dari bukan buruh migran, tingkat kebahagiaan anak buruh migran perempuan cukup rendah (Jordan, et al., 2012).

Tentu untuk mengurangi dampak negatif atas ketidakhadiran ibu dalam pengasuhan anak, diperlukan keterlibatan pihak lain. Seperti yang dipaparkan bahwa saat seorang ibu menjadi migran, maka suami akan mengambil peran sebagai pengasuh anak-anaknya (Inayah, 2012). Selain itu, tidak sedikit yang melibatkan keluarga inti lainnya untuk bersama-sama mengasuh anak yang ditinggalkan (Lam et al., 2013).

Idealnya, masyarakat (komunitas) dan negara tentulah harus hadir dan terlibat dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan. Pemikiran yang mengatakan bahwa pengasuhan anak buruh migran adalah urusan privat masing-masing keluarga haruslah diubah, karena seharusnya pengasuhan menjadi urusan bersama dengan masyarakat secara luas (Narsidah et al., 2014).

Hal tersebut juga sejalan dengan yang disebutkan dalam UU No.

35 Tahun 2014 pasal 25 ayat (1) yang menyebutkan: “Kewajiban

(13)

221

dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.”

Tentu dengan melaksanakan management of left-behind children akan menjadi upaya bersama dengan memanfaatkan beragam pranata sosial yang mendukung pengasuhan anak buruh migran perempuan. Pengasuhan tidak hanya melibatkan orang tua saja atau wali anak, tetapi juga melibatkan sekolah, pusat perlindungan anak, bahkan hingga lebih menyeluruh melibatkan negara (Ming et.al., 2014)

Sebagai bagian masyarakat Bugis yang memiliki karakteristik dan budaya yang kental, tentu keterlibatan masyarakat dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan akan sangat memberi sumbangsih positif. Apalagi diketahui bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki modal sosial yang menjadi pengikat bagi setiap anggotanya. Modal sosial dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menjaga kebermanfaatan dan keuntungan melalui keanggotaan dalam jaringan maupun struktur sosial lainnya dalam masyarakat (Portes, 1998). Adanya sumber modal sosial dalam sebuah masyarakat akan memberikan dampak. Ada beberapa dampak yang telah dipetakan oleh Portes dengan membedakannya menjadi tiga fungsi dasar dari modal sosial, yaitu [1] sebagai sumber kontrol sosial, [2] sumber keuntungan bagi penengah keluarga, dan [3] sebagai sumber mediasi jaringan non-keluarga (Portes, 1998,2000).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Portes mengenai pendidikan para anak-anak migran menunjukkan bahwa pencapaian anak migran dalam pendidikan sangat dipengaruhi oleh asset yang dimiliki secara individu dan juga keluarganya, seperti arahan orang tua dan juga dukungan dari anggota komunitas lainnya (Portes, 2000). Dari temuan-temuan tersebut dapat ditarik kesimpulan adanya korelasi positif antara asset modal sosial yang dimiliki individu dan keluarganya dengan kemampuan akademik di sekolah serta peningkatan intelektualitas

(14)

222 anak migran.

Sangat penting untuk melihat cara kerja modal sosial, baik yang bersifat consummatory (nilai yang terinternalisasi dan solidaritas yang mengikat) maupun yang bersifat instrumental (pertukaran timbal balik dan kepercayaan yang kuat) dalam memberikan dukungan pengasuhan anak buruh migran perempuan. Karena sebagai bagian dari masyarakat Bugis yang memiliki nilai budaya dan norma yang masih dipegang teguh secara tradisional akan mampu menyeimbangkan keharmonisan dan solidaritas antara sesame anggota masyarakat atau komunitas.

Olehnya itu, tulisan ini bertujuan untuk [1]

mendeskripsikan pengasuhan anak buruh migran perempuan dan [2] menganalisis peran dan fungsi modal sosial dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Diawali dengan melakukan survey dengan pengisian kuesioner sebagai alat pengumpulan data, lalu dilanjutkan metode studi kasus dengan wawancara mendalam dengan beberapa informan sebagai alat pengumpulan data. Kedua metode ini dipilih karena data yang diperoleh dapat saling memperkuat satu sama lain.

Studi literatur juga dilakukan dengan menelaah dokumen- dokumen tertulis, penelitian terdahulu atau sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Teknik non-probability dengan metode purposive sampling digunakan dalam penelitian ini. Dalam penentuan sampel, terlebih dahulu dilakukan penentuan kriteria sesuai tujuan penelitian. Adapun kriteria yang telah ditentukan, yaitu keluarga yang memiliki ibu bekerja sebagai buruh migran lebih dari satu tahun, dan telah memiliki anak yang berusia delapan belas tahun ke bawah.

(15)

223

Kabupaten Soppeng menjadi lokasi penelitian ini. Hal ini didukung dari data yang dipublikasik oleh BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) yang memperlihatkan Provinsi Sulawesi Selatan sepanjang tahun 2019-2021 masih terus mengirimkan pekerjanya keluar negeri, termasuk dari kabupaten Soppeng.

Dengan memperhatikan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, kemudian penelusuran yang dilakukan, baik melalui Dinas Tenaga Kerja setempat maupun informasi yang dikumpulkan dari mulut ke mulut, maka ditemukanlah 44 keluarga buruh migran perempuan di kabupaten Soppeng untuk terlibat dalam penelitian ini sebagai responden.

PEMBAHASAN

A. Pengasuhan Anak Buruh Migran Perempuan Di Kabupaten Soppeng

Pengasuhan menjadi sebuah upaya pengembangan seluruh potensi yang ada pada diri anak (Newman dan Grauerholz, 2002).

Hal ini dilakukan karena adanya dorongan, usaha untuk mengawasi, memberikan contoh dan pembelajaran moral, serta instruksi langsung, sehingga anak dapat mengalami perubahan dari seorang bayi lemah menjadi seseorang yang memiliki kemampuan dan menjadi bagian dari masyarakat (Fatimaningsih, 2015).

Keluarga sebagai kelompok sosial sekaligus sistem sosial dan institusi sosial memiliki peranan penting dalam pengasuhan anak. Dari keluarga, anak dapat belajar bersosialisasi dengan mendapatkan bantuan dari orang tuanya untuk dapat memahami cara berkontribusi dalam sebuah masyarakat (Macionis, 2008).

Perginya ibu sebagai penyokong utama peran pengasuhan anak dalam sebuah keluarga tentu akan memberikan efek yang luar biasa dan dapat memunculkan ketidakseimbangan dalam keluarga tersebut (Inayah, 2012).

(16)

224

Bermigrasinya ibu menjadi buruh migran jauh meninggalkan anaknya tentu menyebabkan perubahan dalam keluarga (Wulan et.al., 2010), termasuk dalam pengasuhan anak.

Idealnya, seorang suami juga sebagai bapak yang mengambil alih peran tersebut. Namun, kenyataannya tidak banyak suami yang mau melibatkan diri sepenuhnya dalam pengasuhan anak- anaknya. Hal ini disebabkan suami (bapak) masih dianggap belum bisa terlibat secara emosional dalam pengasuhan, masih terkesan mekanis dan merasa terbebani dengan peran dan tugas yang berkaitan dengan pengasuhan (Abdullah, 2010). Olehnya itu, tidak sedikit keluarga yang melibatkan pihak lain untuk memastikan pengasuhan anaknya berjalan secara kondusif, seperti melibatkan keluarga dekat lainnya (nenek atau saudara) atau dari pihak lain di luar keluarga, seperti pengasuh professional (Kustini, 2013).

Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian ini. Orang- orang yang terlibat sebagai pengasuh pengganti selama ibu bermigrasi adalah orang yang telah dipercayakan dan dianggap memiliki kompetensi yang cakap untuk membantu memenuhi kebutuhan anaknya selama dia pergi. Apalagi dalam penelitian ini ditemukan bahwa keterlibatan suami (bapak) dalam pengasuhan tidak begitu signifikan karena bekerja jauh dari rumah. Hal ini membuat pihak keluarga dekat lainnya, baik dari keluarga ibu atau bapak harus dilibatkan sebagai pengasuh pengganti.

Seperti yang ditemukan dalam sebuah penelitian migrasi perempuan di Peru ke Chili, bahwa buruh migran perempuan memberikan kepercayaan penuh pada ibunya (nenek) untuk menjadi pengasuh pengganti (Illanes, 2010). Hal ini disebabkan nenek jauh lebih paham cara mengasuh dibandingkan bapak dari anak tersebut, sehingga anak mendapatkan pengganti figur ibu dalam kesehariannya. Meskipun bapak dapat melakukan pekerjaan rumah yang ditinggalkan istrinya, tetapi masih sulit mengambil alih peran maternal bagi anaknya. Olehnya itu, kehadiran nenek di sini akan sangat membantu.

(17)

225

Gambar 1. Pengasuh Pengganti Anak Buruh Migran Perempuan Di Kabupaten Soppeng

Tidak signfikannya keterlibatan bapak sebagai pengasuh pengganti dalam penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa hal.

Pertama, bapak juga turut menjadi buruh migran bersama ibu keluar negeri, sehingga wajarlah jika peran bapak sebagai pengasuh pengganti tidak dapat dijalankan.

Kedua, masih lekatnya pemahaman bahwa laki-laki tidak cakap dalam mengurus anak, dan kurangnya keterlibatan emosional dengan anak selama proses pengasuhan (Abdullah, 2010). Meskipun dalam jumlah yang sedikit, masih ada bapak yang menjadi pengasuh pengganti, tetapi ada bantuan dari pihak lain (ibu tiri dari anak buruh migran perempuan) untuk menyokong peran pengasuhan dalam keluarga tersebut.

Ketiga, dalam budaya Bugis, perempuan memiliki peran tersendiri dalam keluarga (rumah), seperti menjaga anak, memasak, mencuci, menumbuk padi, menyediakan lauk-pauk, dan lainnya. Sebab perempuan dianggap sebagai pengurus yang bijaksana (pa‟toro malampe‟ nawa-nawa‟e) (Pelras, 2006).

Barang tentu, seorang ibu akan memilih perempuan lain yang dipercayai dan sudah dikenal baik untuk menggantikan perannya dalam pengasuhan anaknya selama dia bekerja di luar negeri, baik itu nenek atau saudara perempuannya. Apalagi perempuan pengasuh pengganti ini telah memiliki pengalaman dalam

2,27%

15,91%

50,00%

2,27%

2,27%

2,27% 4,55%

20,45%

Ayah

Nenek dari ayah Nenek dari ibu Paman dari ayah Paman dari ibu Saudara/ kakak kandung Tante dari ayah Tante dari ibu

(18)

226

mengasuh anak-anaknya sendiri. Sebab pengalaman dan kehandalan dalam pengasuhan anak menjadi salah satu alasan tersendiri bagi ibu untuk memercayakan anaknya dipegang oleh pengasuh pengganti (Wahyuni, 2000).

Walaupun adanya keterlibatan pengasuh pengganti, tetapi hal ini tidak bisa dikatakan kondisi pengasuhan anak buruh migran perempuan dikatakan dalam keadaan baik-baik saja.

Karena disadari atau tidak bahwa pengasuh yang ada bersama anak-anak adalah pengganti yang sebelumnya telah memiliki peran serupa di dalam keluarganya sendiri. Mau tidak mau, mereka harus membagi fokusnya untuk melakukan tugas pengasuhan dan tugas rumah tangga lainnya dalam keluarganya sendiri, sekaligus melakukan tugas pengasuhan sebagai pengganti pada keluarga buruh migran perempuan.

Belum lagi adanya kedekatan emosional yang terjalin antara pengasuh pengganti dengan anaknya sendiri dibandingkan kedekatannya dengan anak buruh migran perempuan tentu akan berbeda. Hal ini tentu saja akan memengaruhi pemenuhan hak hidup anak buruh migran perempuan sehari-hari, khususnya dalam pemenuhan hak lingkungan keluarga dan pengasuhan.

Permasalahan lain yang muncul adalah tidak banyaknya keterlibatan bapak atau sosok laki-laki lainnya dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan. Kondisi ini memberi pengaruh terhadap pemenuhan hidup anak, terkhusus bagi anak laki-laki.

Idealnya seorang anak laki-laki khususnya membutuhkan contoh dan teladan dari laki-laki dewasa terdekatnya untuk mengenal diri dan mengembangkan kapasistas intelektual dan sosialnya.

Namun, karena sebagian besar bapak dari keluarga buruh migran perempuan ini turut bermigrasi, maka kondisi tidak ideal ini sulit untuk dihindari terjadi.

Dari permasalahan tersebut, mau tidak mau orang tua dari anak buruh migran perempuan tetap harus mengambil porsi keterlibatannya dalam pengasuhan anaknya. Adanya perbedaan jarak yang membentang sangat jauh seharusnya bukan lagi

(19)

227

menjadi penghalang untuk terus menjalin komunikasi dan interaksi antara orang tua dan anak. Hal ini tentu tidaklah sepenuhnya akan menggantikan waktu dan kesempatan bersama anak yang telah ditinggalkan oleh orang tua demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, paling tidak dapat mengurangi munculnya resiko sosial akibat bermigrasinya orang tua.

Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi, khususnya penggunaan fitur-fitur atau aplikasi pada gawai, komunikasi dan interaksi antara anak dan orang tua dapat terjalin secara lebih intens (Madianou dan Miller, 2011). Kondisi ini akan sangat membantu untuk membentuk kembali peran orang tua, khususnya ibu dalam pengasuhan anak sehari-hari.

B. Modal Sosial Dalam Pengasuhan Anak Buruh Migran Perempuan Di Kabupaten Soppeng

Pada keluarga buruh migran perempuan, peran pengasuh pengganti sangat krusial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan digambarkan fungsi dari modal sosial dalam mendukung peran pengasuhan yang dilakukan oleh pengganti. Dalam karyanya yang berjudul Social Capital: Its Origin and Applications In Modern Sociology, Portes (1998) menjelaskan bahwa modal sosial merupakan kemampuan yang dimiliki untuk menjaga manfaat dan keuntungan melalui keanggotaan dalam jaringan-jaringan serta struktur sosial lainnya. Lanjutnya, ada dua sumber munculnya modal sosial, yaitu yang bersifat consummatory dan jufa yang bersifat instrumental.

Dari penelitian ini ditemukan bahwa kedua sumber modal sosial ini dimiliki oleh pengasuh pengganti yang sedikit banyak dimanfaatkan dalam menjalankan perannya. Melalui hasil pengamatan dan juga wawancara mendalam, sumber modal sosial tersebut dapat dipetakan sebagai berikut.

(20)

228

1. Sumber Modal Sosial Bersifat Consummatory

Terdapat dua jenis sumber modal sosial dalam kategori ini, yaitu berasal dari nilai yang terinternalisai dan berasal dari solidaritas yang mengikat. Adapun sumber modal sosial yang dimiliki pengganti berasal dari nilai yang terinternalisasi, yaitu adanya empat saluran dalam pembentukan karakter anak lewat proses pengasuhan (Baki, 2005). Empat saluran tersebut adalah pengajaran melalui pembiasaan (abiasang), menyampaikan nasehat atau pesan (paseng), pengajaran nilai moral (pangaja), dan memberikan contoh melalui perbuatan atau teladan (gaukeng).

Selain itu, adanya nilai pengasuhan berdasarkan ajaran agama Islam yang dipegang dan tersirat dalam kehidupan masyarakat Bugis turut menjadi pegangan bagi pengasuh pengganti dalam menjalankan perannya dalam keluarga buruh migran perempuan. Nilai pengasuhan tersebut, yaitu alempureng (kejujuran), agettengeng (keteguhan), assitinajang (kepatuhan), ammaccang (kepintaran), reso (kerja keras), dan siri‟ (harga diri).

Dipegangnya nilai-nilai ini dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan diharapkan dapat membantu pengasuh pengganti dalam membentuk kepribadia anak buruh migran perempuan sebagai sosok ideal sesuai dengan ajaran agama dan nilai yang dipegang teguh dalam masyarakat Bugis.

Meskipun sang anak berada jauh dari pengawasan orang tuanya, tetapi dengan adanya pengasuh pengganti, sang anak tetap paham posisinya sebagai orang yang harus selalu mendengar nasehat orang yang dituakan, termasuk dalam hal menjalankan ibadah dan keharusan berkata jujur di kehidupan sehari-hari.

Pemahaman gender dalam masyarakat Bugis turut memberi pengaruh dalam pengasuhan anak, termasuk pengasuhan anak buruh migran perempuan. Dalam masyarakat Bugis, anak laki-laki harus bertanggung jawab atas diri dan keluarganya (warani) (Idris, 2005), sedangkan perempuan harus tetap berada dalam perlindungan dan pengawasan keluarga, mampu menjaga

(21)

229

diri dan menjadi pribadi baik (makkunrai malebbi) (Taibe, 2006).

Pemahaman semacam ini tentu mempengaruhi pola pelibatan anak dalam keluarga. Anak perempuan cenderung akan selalu dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Bagi laki-laki hal tersebut bukan menjadi tanggung jawab dan perannya. Anak laki- laki cenderung diberikan kebebasan untuk mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Meskipun, jika diperhadapkan dengan urusan sekolah, baik untuk anak laki-laki atau anak perempuan akan selalu diarahkan untuk terlebih dahulu menyelesaikan tugas sekolahnya sebelum menjalankan aktivitas lain di rumah.

Beberapa larangan juga disampaikan oleh pengasuh pengganti dengan tujuan berbeda. Larangan bagi anak laki-laki seperti tidak boleh berpergian jauh atau tidak boleh merokok muncul karena menurut pengasuh pengganti hal tersebut dilakukan agar anak laki-laki mudah ditemui jika dibutuhkan dengan segera. Selain itu, larangan tersebut muncul sebagai bentuk kontrol, agar anak laki-laki bisa bertanggung jawab menjaga dirinya sendiri.

Bagi perempuan larangan serupa hadir karena mereka dianggap sebagai belo jajareng (perhiasan rumah) dan ati goarie (isi bilik), sehingga mau tidak mau mereka tetap harus berada dalam pengawasan keluarga. Larangan keluar rumah terlalu jauh muncul bagi anak perempuan untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran adat atau hal-hal lain yang dapat mempermalukan siri‟ (harga diri) keluarga.

Nilai lain yang terinternalisasi dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan ialah adanya apresiasi atau hukuman yang biasa diberikan pengasuh pengganti kepada anak. Hukuman biasanya diberikan dalam bentuk teguran keras, agar anak tidak lagi mengulangi kesalahannya di kemudian hari. Hukuman fisik dianggap pengasuh pengganti tidak tepat diberikan karena dirinya dianggap tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan tersebut.

Memberikan nasehat, mengingatkan, atau menunjukkan

(22)

230

kemarahan dengan kata-kata menjadi pilihan pengasuh pengganti untuk menghukum anak buruh migran perempuan yang telah melakukan kesalahan.

Berbeda dalam menyampaikan apresiasi atas setiap pencapaian anak, pengasuh pengganti seperti enggan melakukannya secara terbuka. Pertanyaan terkait hal ini hanya dijawab dengan senyuman oleh pengasuh pengganti. Biasanya pengasuh pengganti memberikan nasehat sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian yang telah diperoleh anak.

Adanya pemmali‟ yang dikenal dalam masyarakat Bugis secara luas juga turut menjadi sumber modal sosial yang dimanfaatkan oleh pengasuh pengganti dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan. Beragam pemmali‟ hadir sebagai bentuk aturan tidak tertulis yang berisikan perbuatan atau perkataan yang sebaiknya dihindari untuk dilakukan (Rusli, Rakhmawati, 2013). Nilai pemmali‟ ini membantu pengasuh pengganti memberikan batasan-batasan yang jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak buruh migran perempuan, seperti pemmali i sesa nanrewe, madorakaki (tidak boleh menyisakan makanan karena durhaka); pemmali maccule ko mangaribiwi (tidak boleh bermain saat masuk waktu magrib);

atau pemmali kalloloe manrewi passampo, nasaba‟ ipancajiwi passampo siri‟ (anak laki-laki tidak boleh makan dari penutup makanan karena dapat menjadi penutup malu).

Meskipun pemmali‟ ini terkesan tidak logis, akan tetapi sesungguhnya dalam setiap aturan memiliki makna mendalam yang patut dipegang oleh setiap masyarakat Bugis. Dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan, pemmali‟ ini membantu anak untuk mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, bertindak sopan dan santun, mampu menghargai orang lain, serta dapat menjadi pribadi yang lebih berhati-hati dalam bertindak.

Selain adanya nilai yang terinternalisasi sebagai sumber modal sosial, pengasuh pengganti juga memiliki solidaritas yang

(23)

231

mengikat sebagai sumber modal sosial dalam mengasuh anak buruh migran perempuan. Bentuk solidaritas mengikat ini sebenarnya menjadi pegangan umum masyarakat Bugis sebagai bentuk ikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Seperti konsep 3S, yaitu Sipakatau (saling memanusiakan); Sipakainge (saling mengingatkan); dan Sipakalebbi (saling meninggikan).

Adanya konsep tania to laing (bukan orang lain) dalam masyarakat Bugis Soppeng memberikan gambaran mengenai dekatnya kekerabatan antara masyarakat Soppeng yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidak sulit ditemukan ternyata ada pertalian darah antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya dari tempat yang berbeda. Konsep 3S dan tania to laing membantu pengasuh pengganti melakukan pengawasan saat anak tidak berada di rumah. Biasanya tetangga atau kerabat lain akan memberikan pengawasan kepada anak yang berada jauh dari rumahnya, termasuk dalam hal memperhatikan keperluan dan pergaulan anak sehari-hari.

2. Sumber Modal Sosial Bersifat Instrumental

Ada dua sumber modal sosial yang bersifat instrumental, yaitu pertukaran timbal balik dan kepercayaan yang kuat. Dalam sumber modal sosial berupa pertukaran timbal balik dalam masyarakat Bugis dikaitkan dengan konsep 3S (Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi). Konsep sipakatau sebenarnya adalah konsep universal yang dipegang oleh semua orang, terkhusus bagi orang-orang yang memiliki ikatan yang kuat terhadap komunitasnya, sehingga wajib bagi mereka untuk memanusiakan orang lain (Cangara, 2012). Adanya konsep sipakalebbi dan sipakatau untuk memuliakan orang lain akan memunculkan pertukaran timbal balik antara anggota masyarakat atau komunitas.

Konsep inilah yang juga berlaku dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan. Di satu waktu, pengasuh pengganti akan membutuhkan bantuan anggota masyarakat atau komunitas

(24)

232

lainnya, tetapi di waktu lainnya akan memberikan bantuan ketika anggota masyarakat atau komunitas lainnya membutuhkan bantuan. Seperti ketika pengasuh pengganti harus meninggalkan rumah dalam waktu tertentu, maka akan meminta pertolongan tetangga untuk menjaga dan mengawasi, serta mengurus keperluan anak selama pengasuh pengganti tidak ada di rumah.

Keterlibatan pihak lain dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan memberikan pengaruh positif bagi anak buruh migran perempuan. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengasuhan, seperti guru di sekolah yang memberikan pengawasan kepada anak atau tetangga yang membantu mengawasi anak saat berada di luar rumah, membuat pengasuh pengganti sedikit lebih ringan beban dan tanggung jawabnya dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan.

Modal sosial dapat terbentuk, jika muncul kepercayaan yang kuat antar anggota masyarakat atau komunitas (Faedlulloh, 2015). Dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan, pengasuh pengganti memberikan kepercayaan kepada anak tidak akan melakukan hal-hal yang buruk. Hal ini sebagai bentuk memuliakan orang lain dan juga ketika saat anak melakukan kekeliruan, maka pengasuh pengganti akan memberikan nasehat dan mencoba mengingatkan untuk tidak melakukan kekeliruan serupa di kemudian hari sebagai bentuk dipegangnya konsep sipakainge.

Pada penjelasan sebelumnya juga dipaparkan bentuk interaksi dan kekerabatan yang terjalin antara pengasuh pengganti dan tetangga serta kerabat dekat lainnya dalam mengawasi dan memberikan penjagaan kepada anak buruh migran saat berada di luar rumah. Hal ini tentu tidak terlepas karena adanya kepercayaan yang mengakar antara pengasuh pengganti dan kerabat dekat lainnya, sehingga dalam beragam hal mereka akan saling membantu dan memudahkan, termasuk dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan. Kepercayaan ini hadir karena interaksi yang telah berlangsung cukup lama dalam ikatan

(25)

233

kultural, sehingga memunculkan sentiment komunitas yang melibatkan unsur seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh antara anggota masyarakat atau komunitas (Nasdian, 2014)

Adanya sumber modal sosial yang dimanfaatkan dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan barang tentu menunjukkan bahwa modal sosial berjalan dan berfungsi sebagaimana seperti yang disebutkan Portes (1998) yang menyebutkan modal sosial berfungsi sebagai kontrol sosial, sebagai keuntungan bagi penengah keluarga, serta sebagai sumber mediasi jaringan non keluarga.

Modal sosial sebagai kontrol sosial berfungsi dapat dilihat dari adanya pengawasan yang diberikan, baik dalam bentuk pemberian hukuman dan apresiasi kepada anak, dan juga pengawasan yang diberikan oleh anggota komunitas lainnya terhadap anak saat berada di luar rumah. Meskipun, anak sesekali melakukan pelanggaran, tetapi hal tersebut masih dapat ditolerir dan diselesaikan dengan baik oleh pengasuh pengganti dengan memberikan pengajaran dan nasehat.

Fungsi modal sosial sebagai keuntungan penengah keluarga juga berjalan dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya pengasuh pengganti sebagai sosok pendukung dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan. Kehadiran pengasuh pengganti dengan sumber modal sosial yang dimilikinya memberikan kemudahan bagi ibu saat harus meninggalkan anaknya untuk bekerja keluar negeri.

Fungsi sumber mediasi jaringan non-keluarga dimanfaatkan dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan masih kental dengan adanya ikatan kekerabatan. Hal ini memudahkan pengasuh pengganti mendapatkan bantuan dan kemudahan dalam memberikan pengawasan dan perlindungan kepada anak buruh migran perempuan.

(26)

234 PENUTUP

Dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan, peran pengasuh pengganti sangatlah penting. Idealnya keterlibatan bapak dalam proses pengasuhan anak buruh migran perempuan sangat memberikan pengaruh positif terhadap tumbuh kembang fisik, mental, dan sosial anak ke depannya. Namun, karena bapak dari sebagian besar keluarga buruh migran juga turut bermigrasi, maka perannya dalam pengasuhan akhirnya tidak dapat berjalan optimal, bahkan dapat dipastikan minim. Olehnya itu, hadirnya pengasuh pengganti yang sebagian besar perempuan menjadi pilihan terbaik oleh ibu untuk menggantikan peran pengasuhan yang ditinggalkan.

Meskipun akan muncul resiko sosial akibat ketiadaan ibu (dan juga bapak) secara langsung dalam pengasuhan anaknya.

Namun, diharapkan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dalam komunikasi bisa meminimalisir terjadinya resiko sosial tersebut. Secara perlahan, orang tua khususnya ibu akan tetap terlibat dalam pengasuhan anak secara jarak jauh. Hal ini tentu akan membentuk pola komunikasi dan interaksi antara ibu dan anak secara lebih baik dan terbuka.

Adanya kedua sumber modal sosial yang dimiliki pengasuh pengganti, baik yang bersifat consummatory dan yang bersifat instrumental memberikan kemudahan dalam menjalankan peran tambahannya sebagai pengasuh pengganti. Meskipun secara formal, keberadaan komunitas atau masyarakat luas belum tampak nyata dalam pengasuhan anak buruh migran perempuan.

Namun dengan adanya ikatan dan kepercayaan kuat yang terbentuk dalam masyarakat Bugis telah memberikan sokongan yang kuat bagi pengasuh pengganti dalam menjalankan perannya secara maksimal.

Penting untuk tetap mengatur regulasi, agar memastikan semua pihak yang disebutkan dalam UU Perlindungan Anak untuk turut mengambil peran dalam pengasuhan anak, terkhusus dalam keluarga buruh migran perempuan. Selain itu, secara lebih

(27)

235

khusus bagi keluarga buruh migran perempuan untuk membangun komunikasi dan interaksi yang lebih intens dengan memanfaatkan kemudahan yang diberikan teknologi. Komunikasi tidaknya hanya terjalin untuk menanyakan keperluan atau kebutuhan fisik anak saja, tetapi juga diharapkan menjalin komunikasi yang mampu mengikat emosional kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S.M. (2010). Studi Eksplorasi Tentang Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak Usia Dini. Jurnal Spirits, 1 (1).

Cangara, S. (2012). Identifikasi dan Pengembangan Nilai-Nilai Modal Sosial Lokal Untuk Pencegahan Serta Resolusi Konflik Sosial Masyarakat Di Provinsi Sulawesi Selatan.

Faedlulloh, D. (2015). Modal Sosial Dalam Gerakan Koperasi.

IJPA. 2 (1), 1-20.

Fatimaningsih, E. (2015). Memahami Fungsi Keluarga Dalam Perlindungan Anak. Jurnal Sosiologi, 17 (2), 77-88.

Idris, N.I. (2005). Siri‟, Gender, and Sexuality among the Bugis in South Sulawesi. Antropologi Indonesia, 29 (1), 38-55.

Illanes, J.C. (2010). Migrant Mothers And Divides Homes:

Perception of Immigrant Peruvian Women About Motherhood. Journal of Cooperative Families Studies, 42 (2), 205-228.

Inayah, N. (2012). Model Pola Asuh Ayah Dalam Keluarga Migran Di Kabupaten Banyuwangi. Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII: 2012 (hal, 2553- 2567). Surabaya, Indonesia.

Jordan, L.P., Graham, E. (2012). Resilience and Well-Being Among Children of Migrant Parents in South-East Asia.

Child Development. 83 (5), 1672-1688.

Kustini. (2013). Strategi Pengasuhan Anak Pada Keluarga Buruh

(28)

236

Migran Perempuan Sukabumi. Depok, Universitas Indonesia.

Lam, T., Ee. M., Anh, H.L., Yeoh, B.S.A. (2013). Securing a Better Living Environment for Left-Behind Children:

Implication and Challenges for Policies. Asian Pac Migr J, 22(3), 421-446.

Macionis, J.J. Gerber, L.M. (2010). Sociology. Kanada, Pearson.

Madianou, M. Miller, D. (2011). Mobile Phone Parenting:

Reconfiguring Relationships Between Filipina Migrant Mothers and Their Left-Behind Children. New Media and Society, 13 (3), 457-470.

Ming, G. Xinlu, Y. (2014). Left-Behind Children In China: A Qualitative Study About The Experience Of Left-Behind Children Concerning Their Childhood.

Narsidah, Wulan T.R., Wahyuningsih, E., Setywati R., dan Mahmudah. (2014). Buku Pedoman Pengasuhan Anak BMI/TKI Berbasis Komunitas. Banyumas-Jakarta: Seruni dan Yayasan Tifa.

Nasdin, F.T. (2014). Pengembangan Masyarakat. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Newman, D.M. Grauerholz, E. (2002). Sociology of Families.

Pine Forge Press.

Pelras, C. (2006). Manusia Bugis. Jakarta, Nalar bekerja sama Forum Jakarta-Paris, EFEO.

Portes, A. (1998). Social Capital: Its Origins and Applications In Modern Sociology. Annual Sociology, 12, 35-42.

Portes, A. (2000). The Two Meanings of Social Capital.

Sociology Forum, 15 (1), 1-12.

Purwatiningsih, S. (2016). Respons Anak-Anak Migran Terhadap Migrasi Internasional Di Perdesaan Ponorogo. Jurnal

(29)

237 Populasi, 24 (1), 57-71.

Rusli, M. Rakhmawati. (2013). Kontribusi “Pemmali” Tanah Bugis Bagi Pembentukan Akhlak. el Harakah, 15 (1), 19-33.

Taibe, F. (2006). Pengaruh Pola Pengasuhan Budaya Bugis Terhadap Kecenderungan Cinderall Complex Pada Perempuan Bugis [Tesis]. Makassar, Universitas Negeri Makassar.

Utami, R.T., Sukamdi, S. (2012). Pengambilan Keputusan Bermigrasi Pekerja Migran Perempuan (Kasus di Desa Jangkaran, Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo). Jurnal Bumi Indonesia, 1(1).

Wahyuni, E.S. (2000). Migran Wanita Dan Persoalan Perawatan Anak: Sebuah Analisa Migran Internal. Jurnal Sosiologi Indonesia, 4, 12-23.

Gambar

Gambar 1. Pengasuh Pengganti Anak Buruh Migran Perempuan  Di Kabupaten Soppeng

Referensi

Dokumen terkait

Adapun ciri-ciri pola pengasuhan anak keluarga TKI yang dihasilkan dalam penelitian terdiri atas; 1) Orang tua selalu melibatkan anak didalam proses pengambilan keputusan, ini

Dari hasil analisis tentang pola pengasuhan anak perempuan pada masyarakat Muna dalam upacara karia, penulis menemukan banyak inspirasi yang dapat dimanfaatkan sebagai

masing orang tua paham akan pekerjaan di jalanan dengan mengajak anaknya merupakan bentuk melanggar Undang-Undang perlindungan anak. Hambatan pengasuhan orang tua asuh di

Revolusi mental dalam sistem sosial untuk memperkuat ketahanan, kualitas dan peran keluarga dan masyarakat dalam pembentukan karakter anak melalui pengasuhan berbasis hak

Latar belakang habitus orang tua kelas buruh bangunan Desa Tembung Pasar VII Beringin Gang Singkong Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, dalam pengasuhan anak

Anak sering menjadi korban, baik perceraian, meninggalnya, bahkan kesibukan orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga menjadi buruh di Luar Negeri. Kurangnya perhatian orang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa figur orang tua di dalam keluarga besar memiliki pemaknaan bahwa pengasuhan anak, selain dari segi fisik seperi memberikan

Manfaat bagi masyarakat, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan wawasan ilmu pengetahuan kepada masyarakat untuk menyikapi penggunaan gawai dalam pengasuhan anak serta