• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Pengembalian

N/A
N/A
eka hikmawati

Academic year: 2024

Membagikan " Kisah Pengembalian"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Namaku Rosa Prameswari, keluarga dan teman-teman memanggilku Eca. Aku penyintas depresi psikotik dan pernah mempunyai inner child. Masa kecilku kujalani dengan gembira seperti anak kecil pada umumnya. Aku terlahir dalam keluarga yang taat beragama. Ayahku seorang kepala desa dan ibuku, ibu rumah tangga. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah dan ibuku meraih semuanya dari nol dan dengan kerja keras. Ibuku menerapkan pola asuh kemandirian bagi kami bertiga.

Meskipun kami anak kepala desa, tetapi ibuku tidak pernah memanjakan kami. Ibu selalu berkata kepada kami, jikalau nanti Ketika ayahmu sudah tidak menjabat sebagai kepala desa, kalian tidak kaget.

Semenjak TK, aku terbiasa berangkat ke sekolah sendiri. Aku sangat menyukai proses belajar. Saat hari Jum’at aku berangkat sekolah, kutemui sekolahku kosong tak berpenghuni. Seorang anak kecil yang rumahnya dekat dengan sekolah itu mendekatiku dan dia berkata “ hari Jum’at TKnya libur”.

Karena sangat bersemangat pergi sekolah, aku sampai kelupaan kalau hari ini hari libur. Aku pun pulang ke rumah sambil berteriak kalau sekolahnya libur.

Masa kecilku berjalan sangat menyenangkan, menginjak TK besar aku sudah mampu membaca terlebih dahulu dibandingkan teman-temanku yang lain. Aku sangat interest Ketika aku mulai bisa membaca. Aku merasa duniaku lebih berwarna karena aku bisa membaca cerita-cerita anak yang menarik di majalah anak kala itu. Setelah lulus dari TK aku kemudian melanjutkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) di desaku. Saat kelas satu aku merasakan atmosfer belajar yang berbeda. Aku semakin menyukai dengan pelajaran-pelajaran di MI. Ketika kenaikan kelas tiba, aku dinyatakan menjadi rangking satu, dan maju ke atas panggung untuk mendapat hadiah dari kepala sekolah. Saat itu aku melihat semua orang menatapku dengan bangga, terutama ibuku yang datang mengambil raport.

Saat itu aku merasa menjadi anak terbahagia dan berjanji akan selalu membanggakan kedua orang tuaku.

Sekarang aku duduk di bangku kelas dua. Aku mulai merasakan kesulitan dalam mata pelajaran matematika. Saat aku kelas satu, aku menyukai berhitung, karena masih tahap sederhana. Pertama kali, aku merasakan tidak nyaman dalam salah satu pelajaran. Menjadi anak seorang kepala desa, membuatku terobsesi menjadi gadis baik (good girl syndrome).

Beban pelajaran di madrasah yang sangat banyak, karena selain mempelajari maple umum, kami juga dibebankan untuk mempelajari materi agama. Membuatku tidak leluasa bermain dengan teman sebayaku seperti anak pada umumnya. Aku merasa tidak sepantasnya aku bersenang-senang dengan temanku yang lain. Aku anak pertama harus bisa jadi panutan adik-adikku. Aku kasihan kepada orang tuaku yang sudah susah payah mencari nafkah, tetapi aku tidak serius belajar. Aku tidak mau jadi orang yang tidak berguna jikalau aku tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Di usia SD aku sudah punya pemikiran seperti itu. Dewasa sebelum waktunya.

Aku sudah menginjak bangku kelas enam. Sebentar lagi lulus dan akan menghadapi ebtanas. Saat itu yang diujikan ada enam mata pelajaran. Salah satunya matematika, aku sangat kesulitan mempelajari mata pelajaran yang satu ini. Waktu ebtanas tiba. Aku belajar dengan tekun supaya bisa mendapat nilai yang baik. Tidak ada kendala yang berarti untuk semua mata pelajaran, hanya matematika yang menjadi momok bagiku. Aku sangat tertekan menghadapi ujian matematika, karena Sebagian besar aku tidak memahami materinya.

Seperti yang aku duga, aku tidak bisa mengerjakan Sebagian soal matematika. Aku merasa ketakutan jikalau nilaiku jelek untuk mata pelajaran matematika. Aku takut menegecewakan orang tuaku. Nilai ebtanasku sudah keluar, semua anak mendapat nilai jelek pada mata pelajaran matematika,

(2)

termasuk diriku. Meskipun aku tetap rangking satu, tetapi aku sudah menegecewakan orangku. Aku sangat malu jika orang lain menanyakan berapa NEMku.

Aku melanjtkan di Madrasah Tsanawiyah (MTs). Aku merasa insecure, setiap melihat anak SMP melewati rumahku. Aku merasa jadi produk gagal, karena aku tak mungkin bisa diterima karena NEMku yang minim.aku mengutuki diriku yang tidak mau meluangkan waktu lebih lama untuk maple matrmatika. Aku berjanji Ketika masuk MTs aku akan lebihntekun memepelajari matematika supaya aku bisa emamhami matematika.

Mengunjak MTs, aku makin menarik diri. Aku jarng bersosialisasi dengan teman,waktu yang aku punya hanya untuk belajar. Usahaku membuahkan hasil, aku mendapat nilai yang baik untuk maple matematika dan akupun selalu mendapatkan peringkat. Saat pengumuman kelulusan aku mendapat peringkat tiga parallel diantara semua teman-temanku di MTs. Aku mendapat beasiswa selama tiga tahun jika melanjutkan di MA yang satu Yayasan dengan MTsku.

Aku sangat bersyukur dan merasa telah menjadi anak baik dan panutan bagi adik-adikku. Aku kembali bertemu teman-temanku di MTs. Mereka kebanyakan memilih penjurusan IPA, penjurusan di MAku diawali dari kelas X. Aku lebih menyukai mata pelajaran Bahasa dibandingkan eksakta, aku menanyakan kepada ibuku, ibuku mengarahkan untuk memilih penjurusan IPA saja, karena kelak Ketika aku kuliah, aku bisa memilih jurusan IPS ataupun IPA. Aku menuruti saran ibu. Aku sangat ingin membanggakan orang tuaku, dan merasa telah membayar keasalahan di masa MI, karena tidak bisa meraih nilai yang baik untuk mata pelajaran matematika.

Tahun ajaran baru dimulai, aku makin bersemangat belajar di MA. Setelah beberapa minggu ku lalui aku mulai merasakan ketidaknyamanan belajar di penjurusan IPA. Sekeras apapun aku belajar, aku tetap tidak mampu memahami mata pelajaran eksakta. Aku sering terkena typus, bila aku terforsir pelajaran. Badanku kurus dan aku tidak mau merawat diri, karena ambisi untuk menguasai pelajaran eksakta.

Aku menjadi salah satu yang terjaring dalam seleksi beasiswa Depag Bersama teman-teman. Aku tidak lolos tes seleksi. Akupun mengikuti ujian mandiri di PTN. Aku mulai menyadari bahwa aku tidak ada minat dan bakat dalam eksakta. Aku sangat ingin diterima di PTN dengan mengambil jurusan IPS.

Tidak ada PTN yang menerimaku. Aku kalah waktu dengan anak IPS yang sudah mempelajarinya selama tiga tahun. Perlahan rasa sesal meneylimuti hatiku. Aku sangat menyukai proses belajar.

Tetapi aku membuang waktu untuk menekuni hal yang tidak aku sukai. Aku merasa iri dengan teman- teman yang memilih jurusan IPS. Betapa bahagianya apabila aku bisa belajar dengan perasaan sukacita. Aku ingin marah entah kepada siapa, rasa sesal pada masa lalu karena tidak panadai matematika, nyatanya merenggut mimpiku untuk melanjutkan study di PTN dengan jurusan yang sesuai minat dan bakatku.

Aku mencoba mengikuti tes UM di Politekhnik Negeri, meskipun jurusannya semua eksakta,

setidaknya bisa mengobati harapanku untuk bisa berkuliah di PTN seperti teman-temanku yang lain.

Aku diterima di politekhnik tersebut. Rasa ragu membuncah kembali, haruskah aku mengulangi kesalahan yang sama, belajar di jurusan yang tidak aku minati. Tetapi aku menguatkan diri untuk mengambil pilihan ini, karena tidak semua nak bisa diterima di PTN. Toh aku telah mempelajari eksakta selama tiga tahun, dan aku akan mempelajarinya selama tiga tahun saja (d3). insyaAllah aku mampu menjalaninya.

Berkuliah di luar kota dan jauh dari orang tua. Membuatku harus beradaptasi dengan tempat baru, apalagi semasa sekolah, aku jarang bersosialisasi dengan teman. Dahulu aku berprinsip jikalau aku unggul dalam mata pelajaran, dunia pun akan ramah denganku. Ternyata prinsipku salah. Dunia yang

(3)

keras membutuhkan teman sejati untuk menghadapinya. Di situlah aku bertemu dengan teman baik dari Pekalongan, Namanya Lina. Dia merasa senasib denganku, karena tidak menyukai praktikum.

Setiap libur kuliah kami memilih pulang kampung. Kami sering mengahabiskan waktu di kampus untuk mengerjakan tugas Bersama. Menjelang sore kami berdua kembali ke kos masing-masing.

Dari awal berkuliah, aku sering menegeluhkan ke keluarga, bahwa aku tidak nyaman dengan mata kuliah di situ. Tetapi aku dilemma, aku menjadi anak yang mengecewakan orang tua. Biaya berkuliah tidaklah murah. Orang tuaku memberi jalan tengah, jikalau semester satu nanti IPku rendah, beliau mengijinkanku untuk resign. Di luar dugaan IPku mendapat 3,11. Aku sangat bersyukur dan

menyadari aku mampu, meskipun aku satu-satunya berasal dari madrasah swasta. Apalagi semester depan aku akan pindah satu asrama dengan Lina. Tentunya dua hal tersebut menjadi moodboster bagiku.

Semester dua kujalani lebih berwarna. Karena aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan.

Di asrama aku juga mempunyai teman-teman yang baik dan pengertian. Apalagi aku satu kamar dengan Lina yang pandai dan baik hati mengajariku dengan sabar. Aku jarang pulang kampung, karena aku nyaman berada di asrama, sedangkan Lina sering pulang kampung.

Semester dua beban kuliah semakin berat disbanding semester satu, tetapi aku menjalaninya dengan Bahagia. Tibalah masa UAS, aku mulai merasa kesulitan mengerjakan soal-soal terutama praktikum.

Setiap pengumuman hasil UAS, aku tidak pernah lolos passing grade. Hampir semua mata kuliah, aku diwajibkan remidi, aku tidak remidi hanya pada mata kuliah komunikasi dan promosi Kesehatan. Satu persatu teman-teman kos pulang kampung, karena sudah mengikuti UAS. Lina pun pulang kampung duluan karena dia tidak mengikuti remidial. Karena dari kecil aku terlalu mengedepankan prestasi disbanding apapun. Aku mulai merasakan limbung. Aku merasa tujuan hidupku hilang. Tak ada semangat hidup jikalau aku tak mempunyai prestasi diri yang baik.

Masa remidi sudah selesai. Semua mahasiswa pulang ke kampung masing-masing untuk menikmati masa liburan UAS. Meskipun suasana liburan, aku sama sekali tidak bisa merasakan perasaan sukacita. Aku makin terpuruk dalam rasa penyesalan karena tidak pernah punya kesempatan untuk mempelajari apa yang benar-abenar aku inginkan. Tetapi di satu sisi aku merasa bersalah kepada orang tuaku karena telah membuang biaya secara percuma. Saat tak sengaja di televisi memutar film 3 Idiot yang menceritakan mengenai passion dan lika-liku mahasiswa yang salah dalam memilih jurusan, tak terasa air mataku menetes perlahan. Setiap malam rasa dilema itu menghantui tidurku.

Selama satu bulan aku mulai merasakan burnout dalam pikiranku. Aku tidak bisa merasakan tidur nyenyak, melakukan hal apapun yang menyenangkan tetapi tak berefek apapun dan mulai malas merawat diri.

Tak terasa waktu liburan UAS sudah selesai. Para mahasiswa harus kembali ke kampus untuk meneylesaikan tugas akademik mereka. Saat itu bertepatan dengan hari pernikahan anak teman ayahku yang kebetulan menikah di Semarang. Aku diajak bareng kembali ke kampus supaya tidak perlu menggunakan bus. Aku hanya terdiam, aku takut orang tuaku mengetahui keadaanku yang sebenarnya jika saat itu aku sedang tidak baik-baik saja.

Aku tidak berani menceritakan keadaanku yang sebenarnya kepada kedua orang tuaku. Aku lebih nyaman bercerita kepada bulikku yang kebetulan dekat dengan rumahku. Bulik yang sudah seperti orang tua sendiri,karena beliau tidak mempunyai ketiurunan. “Aku selama satu bulan ini tidurku sulit bulik” kataku terbata. Hanya air mata yang keluar setelah pengakuanku. Paklik kemudian

menjelaskan keadaanku kepada kedua orang tuaku, sementara bulik menenangkanku.

(4)

Seperti dugaanku, kedua orang tuaku kecewa kepadaku karena aku tidak mau menuruti nasehat mereka. Aku pun sangat merasa bersalah kepada keluargaku karena gagal menjadi anak yang membanggakan serta panutan yang baik untuk adik-adikku. Kemudian kedua orang tuaku pergi resepsi ke Semarang, sedangkan aku ditemani bulik. Keluargaku bermusyawarah bagaimana baiknya tentang kondisiku, akhirnya aku akan diobatkan di psikiater. Aku merasa lega karena menemukan solusi. Aku merasa tidak kuat dengan gejala yang menyiksa, terutama aku tidak dapat tidur pada mlam hari, hal itu yang paling menyiksa batinku.

Psikiater bukan menjadi hal yang tabubagi keluargaku, karena di keluarga besarku terdapat genetic sakit psikis. Salah satunya bulikku, juga mempunyai mental illness. Hari itu aku berangkat ke Semarang Bersama ayah dan ibu. Pertama kali aku berkenalan dengan psikiater. Psikiater

menanyakan apa gejala yang aku alami serta masalah apa yang sedang aku alami. Aku tidak bisa tidur selama satu bulan, dan penyebabnya karena akus alah jurusan Ketika kuliah. Hanya itu yang bisa aku katakana. Entahlah aku merasa hal ini akan terjadi. Ini seperti pergumulan masalah sedari kecil yang aku pendam sendiri dan akhirnya meledak pada hari ini. Tetapi lidahku kelu dan hatiku hancur, aku tak bisa bicara banyak.

Psikiater menganjurkan supaya aku rawat inap saja. Satu atau dua minggu, Insya Allah akan membaik. Karena perawatan di rumah sakit lebih cepat. Ibuku tidak tega, beliau minta obata jalan saja dan dirawat di rumah. Sesampai rumah, aku mendengar handphoneku bergetar. Aku melihat pesan masuk jarkom dari PJ mata kuliah yang mengabarkan mengenai jadwal kuliah. Aku tertrigger, pikiran berkecamuk lagi. Rasanya aku menyesal tidak bisa melanjutkan kuliah seperti teman-teman.

Malamnya aku tidak bisa tidur meskipun sudah konsumsi obat. Ibu segera merebut handphoneku supaya aku tidak emmbaca info tentang perkuliahan. Karena putus asa aku tidak lekas tidur, ibu menyuruhku shalat tahajud, berdoa dan membaca al-Qur’an supaya hatiku tenang dan bisa terlelap.

Tetapi hal itu sama sekali tidak membantu, meskipun aku muslim yang taat. Aku sama sekali tidak dapat terlelap hingga fajar menyingsing.

Paginya aku kembali ke Semarang. Orang tuaku memutuskansupaya aku opname di Rumah sakit. Hari itu pertama kali aku menjejakkan kaki di RUMAH sakit jiwa. Mengingat aku tingggal di pedesaan dan usiaku baru 19 tahun. Orang tuaku berinisiatif supaya aku opname di rumah sakit umum tempat [sikiater dinas selain di RSJ. Untuk memudahakan proses izin kuliah, sehingga boisa ditulis di RS tempat psikiaterku dinas. Psikiater menyetujui usulan orang tuaku demi kebaikanku.

Sudah satu minggu aku opname di RS. Ktika terapi ETC, aku dinaikkan ambulan, menuju RSJ karena hanya ada disitu. Banyak kemajuan yang aku buat setelah dirawat di RS.aku sudah bisa tidur dengan nyenyak Ketika malam tiba. Malamnya, temanteman satu kelas menjengukku, aku terharu mereka care dneganku. Kemudian disusul teman-teman satu kos juga Lina. Mereka bercanda denganku seperti Ketika di kos.aku senang sekaligus sedih tidak bisa lagi berjumpa dengfan mereka.

Sudah satu bulan aku dirawat, aku diizinkan pulang oleh psikiater. Aku sangat rindu dengan rumahg dan keluargaku, terutama mbah dan bulik yang sangat menyayangiku.karena aku telah diizinkan sakit oleh orang tuaku, maka namaku masih terdaftar sebagai mahasiswa dimpolitekhnik. Aku

memberanikan diri melanjutkan study karena tidak semua anak seberuntung aku, ditambah aku sudah mempunyai banyak teman ynag care. Paginya aku diantar paklik smapai semarng

menggunakan bus. Mendekatio Semarnag, aku merasa cemas. Tiba di kampus, aku segera menuju kelas. Di sana teman-teman menyambutku dengan Bahagia. Aku mendengarkan dosen

menyampaikan materi, tetapi aku tidak bisa menceerna pelajaran seperti dahulu. Aku merasa sangat kesulitan memahami eksakta dan kepercayaan diriku hilang. Selesai kuliah, aku minta pulang saja

(5)

ekpada paklik. Paklik mohon diri kepada teman-teman kos dengan mengatakan bahwa OCha cuti dahulu karena kesehatnnya belum pulih betul.

Sesampai di rumah aku memohon pada ibuku, bahwa aku ingin resign saja dari kampus. Ibuku mengiyakan. Malamnya kau begitu Bahagia hingga bermimpi bermain di bawah air terjun yang begitu indah, tetapi mimpi itus irna Ketika aku ingat bahwa aku ahrus menyelesaikan perkuliahan.

Akupun terbangun dan bergegas mencari ibuku yang sedang shalat berjama’ah di masjid. Aku mengatakan aku tidak mau terlamabat kuliah. Aku ingin ke semarang sekarng sendirian. Ibuku mengiyakan seraya menasihati ini semua demi masa depanku. Pagi sekali aku diantar oleh ibuku, dan aku berangkat sudah menggunakan seragam lengkap supaya aku bisa langsung menuju kampus.

Sampailah aku di kampus. Aku segera menuju kelas, seluruh mata memandangiku dengan ttapan aneh. Kabar bahwa ku mengambil cuti sudah sampai ke semua teman-temanku. Aku segera duduk di sebelah Lina. Aku kembali mendengarkan penjelasan dosen dilanjutkan praktikum. Hal yang sama terulang kembali, aku tidak bisa memahami materi. Bahkan Ketika praktikum aku hanya mampu mematung, karenasemuanya terasa sulit bagiku. Saat itu aku benar-benar tersadar, ini bukan tempatku. Aku harus resign dari kampus ini. Sebelum memutuskan pulang, aku menuju kmar mandi kampus seraya menulis di tembok kamr mandi “I’m Quit.

Aku benar-benar mantap untuk resign, karena aku sudah tidak mapu menyerap beban mata kuliah.

Aku ingin kuliah dengan jurusan yang benar- benar aku inginkan. Aku ingin menjadi guru seprti cita- citaku dari kecil. Aku ingin menjadi guru bahsa Indonesia, mata pelajaran yang palin aku sukai Ketika sekolah. Ibuku setuju dnegan pi;ihanku, beliau juga menyarankan jurusan PGSD karena peluang bekerjanya yang bagus. Awalnya ku ragu, karena aku akan menemui matematika di perkuliahannya.

Ibuku meyakinkan bebannya tidak sebrat Ketika di MA. Akupun mmeberanikan diri mengambil penjurusan PGSD dan Pendidikan Bahasa Indonesia.

Perasaan bersalah itu muncul kembali, aku tidak mau merepotkan orang tuakau. Kondisi keuangan yang tidak seperti dulu. ayahku sudah purna tugas. Ibuku berjuang melanjutkan study anak-anaknya dengan menjaul tanah warisan ibu. Harapanku untuk bisa sukses sehingga dapat membantu beban orang tuaku pupus. Mbahku berinisiatif supaya aku diangkat anak oleh bulikku saja yang kebtulan guru PNS. Aku merasa melihat harapan. Bulikku pun bersedia, dengan syarat aku memilih berkuliah di Pati saja yang dekat, supaya biaya finansial tidak terlalu tinggi. Aku limbung, seandainya aku bisa berdamai dengan keadaan aku pasti lapang menerima. Aku tidak bisa untuk sekedar tidak melakukan yang terbaik untuk prestasi diri. Aku seperti menjadi budak cinta bagi prestasi diri.

Ibuku melihat gelagat kemurunganku, akhirnya beliau bermusyawarah dengan bulik, bahwa setiap bulan ibuku tetap membantu biaya sppku setiap bulan, bulikku membayar kos dan biaya hidup.

Paklik dan bulik menyetujuinya. Mulai sekarang aku menjadi anak mereka dan tinggal Bersama mereka. Aku merasa lega, karena tidak terlalu memebebani orang tuaku, sebab mereka masih mempunyai tanggung jawab dua adikku yang masih duduk di bangku sekolah.

Aku mulai belajar mengahadapi ujian masuk Perguruan Tinggi. Aku membeli buku ujian masuk untuk penjurusan IPS. Tetapi aku tidak mempunyai buku-buku materinya, karena selama tiga tahun aku di penjurusan IPA. Sedangkan semasa MA aku tidak pernah bersosialisasi dengan teman-teman pada penjurusan IPS. Di tengah kebingunganku bulik mengajakku berbelanja di minimarket. Di situ aku bertemu teman MA yang kebetulan bekerja di minimarket tersebut. Dahulu dia memilih penjurusan IPS, kemudian sedikit ngobrol dan aku meminta nomor handphonenya.

Lain hari aku mengunjungi rumah temanku. Tak disangka dia masih menyimpan semua buku materi IPS semenjak kelas X. aku sangat bersyukur, aku bisa meminjam semua buku-buku tersebut, sehingga

(6)

aku bisa mempelajari materi dari awal. Aku tidak pernah melupakan jasa baik temanku. Dia salah satu seseorang yang mempermudah jalanku untuk bangkit. Aku mulai menyadari pentingnya sebuah pertemanan.

Tak terasa ujian masuk perguruan tinggi mulai dibuka. Aku segera menyiapkan persyaratan- persyaratan yang dibutuhkan. Aku tidak lagi berambisi di PTN. Aku memilih PTS yang membuka jurusan yang aku minati. Berkuliah di PTS tentunya peluang diterimanaya lebih besar. Aku memilih universitas keguruan swasta di Semrang sebagi pilihan pertama tempatku menuntut ilmu. Setelah melalui berbagi tes tulis dan wawancara akhirnya ku diterima menjadi bagian keluarga besar jurusan PGSD di universitas tersebut. Aku Bahagia sekaligus bersyukur. Aku semakin menyadari perjalanan menjadi Sarjana tidak semudah yang orang lain kira. Sebelum mempunyai mental illness mungkin aku menganggap biasa saja orang yang duduk di bangku kuliah. Karena aku bisa menyelaesaikan tugas-tugas berat meskipun jauh dari minat dan bakatku. Setelah aku punya mental illness cara pandangku dalam melihat kehidupan juga berubah. Allah ingin aku membijak di usia yang masih sangat belia.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menemukan kembali dokumen atau arsip dalam waktu yang cepat. dan tepat sudah tentu menghendaki suatu cara

Dokumen ini berisi beberapa nasihat tentang cara mencapai kesuksesan dalam

Konten ini berisi mengenai cerita-cerita kisah nabi yang bermanfaat dalam proses refleksi diri dalam hal keregiliusan. Setelah mempelajari ini diharapkan dapat memberikan insight bagi pembaca untuk kembali berbenah dan muhasaban diri untuk menjadi pribadi yang lebih

Dokumen ini berisi kisah dan nasihat singkat tentang hidup rukun, tanggung jawab sosial, dan nilai-nilai yang penting dalam kehidupan

Dokumen ini membahas tentang refleksi pribadi tentang masa lalu, harapan untuk masa depan, dan cara untuk mencapai tujuan hidup setelah lulus dari pendidikan